Michelle duduk bersandar di kursi penumpang dari taksi yang ditumpangi, sementara itu matanya menatap kosong ke luar jendela—di mana hujan deras sedang berlangsung.
Setelah cukup mampu memperbaiki harga dirinya, Michelle tak lagi bisa mengekspresikan suasana hati yang tersayat-sayat.
Di sisi lain ada perasaan lega mengendap di hati Michelle. Dia sangat puas bisa membantah seorang Roland. Setelah menyumpahi Roland, Michelle dengan berani melewati Roland sampai sengaja menabrak lengannya ke pria kejam itu.
Wanita cantik itu mengabaikan teriakan Roland, tak takut pada dua bodyguard yang ingin menangkap. Michelle mengunci rapat-rapat kamar yang dimasuki. Cepat-cepat pula Michelle mengganti pakaiannya dengan kaos putih dipadukan celana jeans biru yang merupakan pakaian miliknya sendiri. Michelle keluar dari kamar setelah memasukkan barang-barang miliknya ke dalam satu koper.
Michelle tidak merasa rugi melepaskan segala kemewahan yang didapatkan dari Roland. Sebaliknya, ada kepuasaan di batin Michelle yang berhasil menampar emosi Roland. Michelle juga merasa beruntung bahwa perasaan tulusnya tidak akan terbuang sia-sia terlalu larut.
Taksi yang berhenti telah menyadarkan Michelle dari lamunan kosong. Dia telah tiba di tujuannya, di mana tempat itu selalu Michelle kunjungi.
Tanpa berlama-lama, Michelle keluar dari taksi. Dia masuk ke dalam gedung tinggi itu dengan menggeret satu koper yang dibawa. Ketika tiba pada salah satu hunian di lantai sebelas, ada keraguan yang mempengaruhi Michelle.
“Apa aku tidak merepotkan?” Michelle bergumam sendirian.
“Michelle!”
Michelle tersentak, seketika menoleh ke sisi kanan di mana teriakan itu memanggil namanya.
“Kau sudah lama sampai?”
Michelle tersenyum tipis menyapa sang pemilik hunian apartemen tujuannya. “Kau dari mana? Aku pikir kau ada di dalam.”
Dia adalah Celine—sahabat Michelle yang sudah merangkul lengan Michelle. “Aku sangat cemas setelah mendengarkan ceritamu di telepon tadi. Kau pasti belum makan seharian, jadi aku memutuskan membeli makanan. Ayo kita masuk! Kau pasti lapar dan kelelahan.”
Celine mengambil alih koper Michelle kemudian menggeretnya masuk ke dalam hunian apartemen. Menu makan malam yang dibeli tak berlama-lama Celine hidang di meja makan. Gadis itu juga tak lupa menyajikan secangkir teh hangat kepada Michelle.
“Aku minta maaf telah merepotkanmu.”
Celine mendengus kesal. “Aku benturkan kepalamu ke dinding agar kau ingat aku ini siapa!”
Michelle tertawa kecil. “Kenapa kau juga kejam kepadaku?”
“Aku ini tidak kejam! Jangan kau sama kan aku dengan Tuan Roland sialan itu! Sampai mati pun aku tidak akan pernah menyakitimu!”
Benar! Selain bibinya, Celine merupakan sosok terbaik yang tidak akan menyakiti Michelle.
Celine adalah sahabat yang Michelle kenal sejak dia diasuh oleh bibinya. Wanita yang berusia satu tahun lebih tua dari Michelle itu tinggal di sebelah rumah bibi Michelle. Mereka tumbuh bersama dari masa anak-anak, remaja sampai detik itu.
Orang tua Celine juga yang mengajak Michelle untuk tinggal bersama ketika bibinya Michelle pindah mengikuti suaminya. Setelah mendapatkan pekerjaan, mereka memutuskan menyewa sebuah apartemen untuk ditinggali bersama. Yang tak lama kemudian Michelle keluar dari apartemen itu karena pindah ke apartemen pemberian Roland atas paksaan pria itu.
Meski tidak tinggal bersama, Michelle selalu menghabiskan waktu bersama Celine jika tidak bersama Roland. Celine juga merupakan salah satu orang yang mengetahui hubungan rahasia Michelle dengan Roland.
Michelle tersenyum memandangi Celine yang sedang dalam keadaan kesal. Dia benar-benar tidak salah memutuskan datang pada Celine, seolah mendapatkan cahaya baru setelah kegelapan menyiksa tanpa ampun. Celine benar-benar mampu menghibur hati Michelle.
“Yang harus aku benturkan kepala ke dinding itu adalah kepalanya Tuan Roland.” Celine mengembuskan napas kasar tanda kesal.
Michelle tenang menikmati teh hangat, setelahnya dia menanggapi perkataan Celine. “Kau bisa terkena masalah jika nekat melakukan itu.”
“Bisa-bisanya dia melakukan hal jahat semua itu padamu! Aku pikir tingkah playboy-nya sudah hilang sejak memutuskan lama berhubungan denganmu. Apa selama itu dia tidak pernah sedikit pun menaruh perasaanmu pada gadis cantik sepertimu? Otak dan hatinya benar-benar sudah rusak!”
“Aku hanya wanita simpanan dan pemuas nafsunya,” ungkap Michelle yang benar kenyataan.
“Apa tidak ada sedikit pun perasaan baik yang menyangkut di otaknya itu? Sebelum kau dibutakan cintanya, kau sudah bekerja keras pada pekerjaanmu. Kau lembur hampir setiap hari. Dan sekarang, kau dipecat secara tak hormat? Dia benar-benar mematikan langkah karirmu, Michelle!”
Mulut Celine sudah ingin menimpali perkataannya. Namun, logikanya bertindak cepat mendikte agar tidak melakukan kesalahan. Pada akhirnya Celine memilih mengabaikan emosi yang begitu ingin mengumpat sosok Roland habis-habisan.
Celine mengembuskan napas kasar. “Tinggallah di sini denganku. Aku akan membantumu untuk mencari pekerjaan yang jauh lebih baik dari perusahaan pria kejam itu. Kebetulan ada posisi kosong di tempatku bekerja. Aku bisa merekomendasikanmu pada HRD di kantorku.”
“Terima kasih, Celine. Aku telah memutuskan tidak akan menetap di sini lagi.” Michelle menanggapi tulus yang begitu menghargai kebaikan sahabatnya.
Celine mengangguk-angguk lemah. “Kau benar, kau tidak akan dalam keadaan baik-baik saja jika berada di sini. Pria itu sudah sangat kejam padamu. Dia mengambil semua pemberiannya tanpa terkecuali, padahal pemberianmu jauh lebih berharga. Dasar orang kaya pelit!”
“Sebelum tiba di sini, aku menghubungi Bibi Alins.”
“Apa yang kau katakan pada beliau?” Celine cukup cemas, karena Alins tidak mengetahui hubungan rahasia yang Michelle lakukan.
“Aku mengatakan mengenai aku yang dipecat karena kesalahan fatalku. Bibi Alins dan Paman Danny memintaku untuk segera pindah ke sana. Mereka sudah memesankan tiket pesawat agar besok aku bisa ke sana.”
Michelle terdiam sejenak saat memikirkan keputusan yang cukup sulit dia tentukan.
“Aku juga berniat akan menceritakan permasalahan ini kepada mereka. Aku tidak ingin menutupinya, apalagi sampai membuat mereka mendengarkan dari mulut orang lain,” ucapnya.
Celine langsung memeluk Michelle. “Harusnya aku mati-matian menghasutmu sejak dulu agar kau membenci pria kejam itu. Dia tidak pantas menyakiti gadis baik sepertimu, Michelle. Pria tampan memang paling berbahaya di dunia!”
“Aku tidak ingin tersisa apa pun lagi yang menyangkut tentang dia. Aku ingin tenang menjalani masa depanku. Aku tidak akan sanggup tinggal di sini, Celine.”
Saat itu Michelle tidak lagi menyembunyikan perasaannya. Dia menangis di pelukan Celine, membasahi bahu Celine dengan air mata yang mengalir deras tanpa mau berhenti.
“Keputusanmu sudah tepat. Kau melepaskan beban yang seharusnya sejak dulu kau lepaskan,” bisik Celine sembari menepuk-nepuk ringan punggung Michelle.
“Aku takut ... aku takut akan berakhir seperti Mommy-ku.”
Celine melepaskan pelukannya, dia meraup wajah Michelle yang memerah basah. “Jangan berkata seperti itu, Michelle. Keputusanmu sudah tepat pergi dari pria kejam itu.”
***
Roland kesulitan meredam emosi pasca berdebat sengit dengan Michelle. Dia marah pada Michelle yang berani membantah. Dia tidak menyangka gadis penurut yang paling disukai olehnya itu berhasil mengacaukan emosinya.
Di kamar tidurnya, suhu ruangan sengaja diatur dingin. Tetapi belum mampu meredakan aura panas di hati Roland. Beberapa botol minuman juga telah dinikmati. Hasilnya masih juga sama, belum mampu menghibur perasaan yang kacau balau.
Roland memandang kesal ranjang tidurnya yang malam itu terasa hampa. Batinnya merutuk kesal, dia tidak akan berakhir sendirian jika Michelle tidak melakukan kesalahan yang dinilainya bodoh. Sudah pasti dia akan merasa nikmat sepanjang malam bersama Michelle.
Sejujurnya, Michelle memiliki penilaian tersendiri bagi Roland. Dari semua wanita yang pernah singgah di hidupnya, hanya Michelle yang mampu membuat jantung Roland berdebar-debar. Michelle mampu membuat darah Roland berdesir dengan memikirkannya saja. Michelle pula yang bisa memantik rasa rindu Roland jika tidak melihat wajah cantiknya.
Sayangnya, ada sebuah luka yang bertengger kokoh di hati Roland. Sehingga dia tidak percaya pada cinta, ketulusan dan kesetiaan.
“Michelle munafik!” geraham Roland mengeras, sementara giginya menggemeretak kasar. “Wanita rendahan seperti dia tidak pantas menyumpahiku! Kau yang tidak akan bahagia jika tidak bersamaku!” lanjutnya dengan kesal melemparkan gelas di genggaman tangan ke arah dinding.
Michelle terdiam dengan tatapan linglung yang kosong. Dia sulit mencerna sempurna beberapa saat pasca tenggelam dalam kenikmatan erotis yang Roland antarkan lewat lumatan bibir.Setelah mengembuskan napas panas lewat celah bibir yang agak ranum, barulah Michelle memahami kabar yang Roland sampaikan.“K-kau ... kau akan kembali ke New York?” Michelle terbata memastikan ulang dalam kesadaran tidak memercayai.Dehemen ringan Roland terdengar menanggapi, namun kemudian lenyap oleh bibirnya yang menyapu singkat bibir Michelle.“Ada beberapa pekerjaan penting yang tidak bisa diwakilkan. Aku harus turun tangan langsung untuk menyelesaikan dan memastikan semua berjalan sesuai dengan harapanku.”Hati Michelle seketika tersadar pada sosok Roland yang bukan dari kalangan biasa seperti dirinya.Sudah lebih dari seminggu Roland merawat, menemani dan tak jauh dari sisi Michelle. Selama itu pula Michelle terbuai dalam kedamaian dan kenyaman yang Roland ciptakan. Sampai Michelle lupa bahwa Roland tak
“Dasar mesum!”Michelle membalas kejam lewat gigitan kecil yang menyakitkan di telinga Roland. Wanita itu tak terpengaruh oleh Roland yang mengerang kesakitan. Sebaliknya, Michelle merasa puas melihat Roland yang meringis sembari menggosok-gosok telinganya yang habis digigit.“Aku sedang serius berbicara, Roland!” Michelle memprotes sampai matanya menyorot tajam. “Apa kau tidak bisa serius sedikit?” lanjutnya menghardik ketus.“Apa aku terlihat tidak serius?” Roland balik memprotes dengan tangan masih menggosok-gosok telinganya yang sakit. “Selama kau mengenalku, apa aku pernah tidak serius?”Michelle terdiam karena perkataan Roland tidak bisa dibantah. Memang benar, sepanjang Michelle mengenal pria itu tak pernah sekalipun ketidakseriusan terjadi. Michelle bahkan mengingat jelas Roland yang selalu konsisten pada ucapannya. Bahkan sekalipun Michelle menganggap hal itu tidak masuk akal, Roland tidak pernah bercanda dalam hidupnya.“A-aku sedang ingin berbicara serius denganmu!” Michell
Michelle mulai menjalani rutinitas pagi setelah merasakan kondisi tubuh semakin membaik. Sejak kemarin dia sudah mulai menyiapkan sarapan pagi dan membantu Leah bersiap-siap untuk berangkat ke sekolah.Padahal Roland sudah bersikeras melarang dan menasihati Michelle agar lebih banyak beristirahat. Tetapi, wanita itu juga bersikeras tak bisa berdiam diri karena sudah terbiasa melakukan aktivitas seperti itu.Aktivitas paginya hanya sekadar itu. Michelle sudah resmi mengundurkan diri dari firma hukum David. Barang-barang miliknya pun sudah diantar oleh pihak firma sesuai alamat tempat tinggalnya.Pagi itu di ruangan santai yang bersebelahan dengan balkon, Michelle terlihat fokus pada sebuah buku yang dipegang.Dia sampai tidak menyadari kedatangan Roland yang baru saja kembali setelah mengantar Leah ke sekolah. Sampai-sampai Michelle tidak tahu Roland telah duduk di sebelahnya.“Apa yang sedang kau pikirkan?”Michelle tersentak kaget oleh Roland yang datang tiba-tiba. Wanita itu berings
“Ah ... untuk makan malam nanti Leah mau menu apa?”Michelle memalingkan pandangan setelah sengaja mengalihkan pembicaraan. Wanita itu pun beranjak dari duduk di tepian ranjang yang tak lama kemudian mengeluarkan handphone dari saku depan celana.“Sepertinya akan menyenangkan jika kita makan malam di luar.” Sembari memainkan handphone, Michelle sibuk berbicara sendiri tanpa peduli bagaimana Roland beserta Leah menatapnya. “Di sekitar sini banyak restoran, ‘kan? Sepertinya menu daging dan salad sayur akan terasa nikmat,” lanjutnya masih asyik sendiri.“Mom,” Leah menginterupsi datar.“Ya?” Michelle menyahut, kemudian menatap Leah yang menyorotnya tajam penuh rasa curiga. “Leah mau menu makan malam apa?” tanya Michelle yang sengaja menyembunyikan perasaan.“Mommy masih bisa memikirkan makanan ketika aku bertanya?” seperti biasa Leah mengkritik tajam ketika keinginannya belum terpenuhi.“Dokter mengatakan pada Mommy untuk banyak makan dan beristirahat. Mommy tidak salah jika lebih memiki
Sejak masuk ke dalam kamar tidurnya, Roland tak lagi menyembunyikan kegelisahan diri. Sejak tadi dia sudah mondar-mandir tak jelas, sementara itu napas pun berkali-kali diembuskan kasar.Selain gelisah dan cemas yang merasuki jiwa, rasa bersalah turun ikut campur mempermainkan perasaan Roland. Samar-samar dia memperhatikan sikap Leah yang perlahan-lahan murung.Jujur saja, Roland sudah berniat menguping pembicaraan Michelle bersama Leah di dalam kamar. Pria itu sudah menajamkan telinga ketika menutup rapat pintu kamar tamu.Tetapi, logikanya telah menasihati untuk sedikit lebih sabar. Roland dengan terpaksa memercayakan segalanya pada Michelle.“Sebaiknya aku menenangkan diri dengan beberapa gelas air mineral,” gumamnya lemah yang memutuskan beranjak dari kamar.Ketika keluar dari kamar mata keabu-abuannya langsung membidik kamar tamu yang berada di ujung lantai. Keberadaan kamar itu bagaikan sebuah magnet besar yang sulit mengalihkan perhatian Roland.Meski perhatian tertuju ke kamar
Roland masih tak banyak bersuara ketika tiba di penthouse. Dia hanya berbicara sekadarnya ketika ditanya. Tak peduli bagaimana cerewetnya Leah selama di perjalanan, hal tersebut sama sekali tak memengaruhi Roland.Sikapnya itu memantik rasa penasaran Leah yang setia menggenggam tangan Michelle. Bahkan Leah sampai menatap tajam Roland yang berjalan lebih dahulu di depannya.“Karena kamar yang tersedia hanya dua, kau dan Leah akan tidur di kamar tamu di lantai atas—yang berada di sebelah kiri,” jelas Roland tanpa menoleh pada Michelle dan Leah yang mengikuti dari belakang.“Kamar tamu di lantai bawah masih belum layak untuk ditempati dan masih tahap renovasi. Jadi, sementara waktu kau dan Leah akan tinggal dalam satu kamar.” Barulah Roland berbalik menatap setelah bersuara datar.“Kami tidak masalah.” Michelle menanggapi tenang.“Barang-barang kalian akan tiba sore nanti. Sementara waktu kalian bisa menggunakan barang yang telah aku siapkan.” Roland masih bersikap sama.Michelle mengang