Mata cokelatnya yang indah telah diselimuti oleh genangan air mata. Michelle terpaku kaku menatap Roland yang tak berekspresi pada dirinya.
Pelacur? Begitu rendahnya sosok Michelle bagi Roland, sehingga tidak ada kata lebih layak yang disematkan pada Michelle.
Padahal selama ini Michelle menghormati dan tulus memandang sosok Roland.
Semuanya memang salah Michelle. Dia sudah memahami karakter dan sikap Roland. Bahkan, Michelle sudah menakar sebab-akibat dari keputusannya itu.
Michelle benar-benar naif. Bukan! Michelle benar-benar melakukan kesalahan fatal. Selama ini dia mencintai pria yang salah dan tak memiliki hati.
Ketika memutuskan beranjak turun dari ranjang itu, batin Michelle telah mantap menentukan keputusan. Bahwa dia akan menyerah untuk menunggu balasan cinta dari Roland.
Ada rasa nyeri tak tertahankan di inti sensitifnya akibat perbuatan kasar Roland. Sangat perih seperti ratusan bekas sayatan baru terukir di sana. Namun, Michelle bersikeras menyembunyikan karena tak ingin terlihat lemah.
Michelle mengabaikan Roland yang menatapnya marah. Dia melewati tanpa rasa takut pada intimidasi mengerikan itu.
“Kau mau keluar dengan pakaian kusut seperti itu?”
Langkah Michelle didikte untuk berhenti oleh gemeretak kasar Roland. Matanya yang sudah basah oleh air mata telah berpadu dengan mata Roland, mata hazel—keabu-abuan yang ganas, berbahaya dan kejam.
“Kau mau menjatuhkan harga dirimu kepada orang-orang dengan penampilan kusutmu itu?” Roland kembali mencela.
Michelle tersenyum hampa. “Harga diriku telah jatuh, bahkan sudah diinjak-injak olehmu, Roland Archer.”
“Kau!” Roland kembali menggeram. Dia sudah meremas lengan kurus Michelle karena dorongan emosi. “Berani sekali kau bersikap kurang ajar denganku?!”
“Justru karena aku wanita rendahan aku bisa bersikap kurang ajar padamu, Roland Archer yang terhormat!” keberanian Michelle tak bergetar melawan Roland.
“Michelle!” Roland membentak kencang.
Suara yang dipenuhi emosi itu menguasai ruangan, sehingga tidak memiliki celah sedikit pun bagi udara untuk menyelinap masuk. Suara itu begitu kejam membungkam keberanian Michelle.
Suasana mencekam itu diinterupsi oleh suara pintu yang terbuka. Celahnya yang terbuka kecil semakin melebar dan menampilkan seseorang diambang pintu.
Tidak hanya Roland, Michelle sudah terkejut dengan sosok itu. Dia tidak mengetahui jika Roland akan kehadiran tamu wanita cantik yang menatapnya penuh kebencian. Atau mungkin dia yang sengaja tidak diberitahu mengenai kehadiran sosok wanita cantik itu.
Michelle sangat sadar diri. Sebab, wanita itu sangat pantas datang menemui Roland kapan pun karena dia adalah calon tunangan Roland. Dia adalah Ella Hansen, seorang putri bungsu dari pemilik mall ternama di New York. Ella juga model ternama.
Sungguh pendamping yang sempurna. Putri yang terlahir dari keluarga konglomerat dan sosok publik yang bersinar sangat pantas menjadi pendamping hidup Roland Archer. Bukan seperti Michelle yang hanya seorang piatu dan karyawan rendahan.
“Hello, Baby.” Ella sangat manis menyapa Roland. “Aku datang karena kau sudah janji menemaniku memilih cincin tunangan kita. Aku langsung masuk ke ruanganmu karena di depan tidak ada siapa pun. Aku sudah menghubungimu, tapi handphone-mu tertinggal di meja. Aku mendengar suara sedikit berisik dari sini. Karena cemas, aku mencoba memeriksa apa yang terjadi di sini.”
Cara Ella menjelaskan sangat lembut, begitu jelas menunjukkan karakter lembut yang sinkron dengan penampilan elegannya. Dia juga menunjukkan identitas seorang calon tunangan dan istri yang sempurna tanpa celah.
Hal itu hanya ditujukan pada Roland seorang. Ketika menatap Michelle, semua hal-hal baik itu lenyap.
Tatapan lembut Ella berubah sinis menatap Michelle. Seolah Michelle adalah sosok pengganggu yang harus segera disingkirkan.
“Dia sekretarismu?” tanya Ella sangat menuntut.
“Tunggulah di luar. Aku akan menyusulmu setelah menyelesaikan sesuatu.” Roland mengabaikan karena malas menjelaskan, sementara tangannya masih meremas lengan kurus Michelle.
“Aku harus tahu siapa dia dan apa yang terjadi diantara kalian.” Ella bertindak egois tanpa peduli pada penilaian Roland. “Aku harus mengetahui apa pun tentangmu karena aku adalah calon pendamping hidupmu,” lanjutnya tak terbantahkan.
“Rencana pernikahan kita karena dorongan politik bisnis.” Roland sengaja menyinggung karena Ella pasti tahu maksud ucapannya.
“Tapi, aku harus tahu siapa saja yang pernah “melayani” calon pendamping hidupku. Agar aku bisa menyingkirkannya “sampah” yang nantinya tidak mengganggu kehidupan pernikahanku.” Ella tersenyum manis membujuk, namun ucapannya begitu menusuk.
Michelle merundukkan pandangan mata. Gadis cantik itu tidak sanggup mengangkat wajah, tidak lagi peduli pada Roland dan Ella yang menghina lewat pandangan dan mulut keji mereka.
Hati Michelle semakin remuk dan tak terbentuk lagi. Keadaan itu semakin memburuk mengenai dia yang tidak diberitahu atas kedatangan Ella.
Abaikan status Michelle yang hanya wanita simpanan Roland. Sebagai seorang sekretaris, Michelle pantas mengetahui tentang apapun yang akan Roland lakukan seharian penuh, sehingga jadwal yang sudah diatur tidak terbentur dengan hal-hal tidak terduga.
Roland benar-benar menyembunyikan perihal pertunangan dan pernikahan itu dari Michelle. Dia menganggap Michelle tidak penting, tidak lebih dari sekadar wanita simpanan.
“Aku memiliki urusan pribadi. Jadi, batalkan semua shedule-ku sampai siang nanti.”
Michelle tersenyum getir terhadap perintah Roland yang tidak tahu malu. Dengan menahan rasa sakit dan hancur yang berkecamuk, Michelle mengangkat wajahnya kemudian dengan lembut melepaskan lengan kurusnya dari remasan Roland.
“Aku sudah bukan lagi siapa-siapa bagimu, termasuk bukan sekretarismu. Jadi, aku tidak akan mendengarkan apa pun yang kau ucapkan.”
Roland terdiam menanggapi. Namun tidak pada matanya yang dipenuhi emosi dan penuh hasrat kebencian nyata terhadap Michelle.
“Kau—Michelle Louise tidak lagi menjadi sekretarisku. Segera kemasi barang-barangmu dan kau dilarang menginjakkan kaki di perusahaanku. Kau tidak boleh menampakkan batang hidungmu ke hadapanku.”
Pria itu meninggalkan Michelle tanpa peduli bagaimana jahatnya dia telah mematah-matahkan hati Michelle. Tindakannya itu sekaligus memberitahu bahwa Ella harus mengikutinya.
Ella enggan menurut. Dia memutuskan mendekati Michelle dengan pandangan yang berbeda-beda, seolah-olah ada rasa simpati terhadap Michelle yang direndahkan.
“Aku tidak tahu apa yang terjadi antara kau dan Roland.” Ella bersuara tenang, pun dia mengeluarkan sapu tangan dari tasnya untuk kemudian membasuh air mata di pipi Michelle.
“Tapi, aku mau kau tidak memiliki hubungan apa pun dengan Roland!” lanjut Ella yang tiba-tiba melemparkan sapu tangan itu ke wajah Michelle.
Sorot mata penuh kebencian Ella kembali menyerang Michelle. “Sudah berapa lama kau menjadi penghangat ranjangnya Roland?”
Michelle memilih membisu. Rasanya dia tidak memiliki lagi tenaga untuk meladeni Ella.
“Siapa saja yang mengetahui hubungan kotor kalian?” Ella mencecar.
Lagi-lagi Michelle menutup rapat mulutnya. Tindakannya itu menimbulkan embusan napas kasar lolos dari mulut Ella.
“Tidak masalah jika kau tidak mau mengatakan. Aku tidak akan terpengaruh oleh sampah sepertimu.”
Ella tersenyum lembut penuh keramahan, kemudian dia melontarkan kalimat yang sudah terangkai di ujung lidah. “Kau harus sadar diri, wanita kotor dan miskin sepertimu tidak pantas untuk pria terhormat seperti Roland.”
Ella memalingkan pandangannya seolah sangat menjijikkan berlama-lama memandangi Michelle. Keinginannya segera angkat kaki dari hadapan Michelle sedikit terhalangi oleh sesuatu. Ketika kembali menatap Michelle, Ella melemparkan kartu nama miliknya.
“Kau bisa menghubungiku dan mintalah imbalan padaku jika kau tidak mau pergi dengan tangan kosong. Aku akan memberikanmu sebanyak kau mau, asalkan wajah menjijikkanmu itu tidak muncul di hadapanku dan Roland,” ucapnya angkuh.
Air mata mengalir deras tanpa diminta ketika pintu dibanting secara keras. Kedua kaki yang gemetaran pun tak lagi mampu menopang bobot tubuh, sehingga berujung membuat tubuh terduduk lemah di lantai yang dingin. Tubuhnya bergetar lagi diiringi dengan tangisan.
Michelle terdiam dengan tatapan linglung yang kosong. Dia sulit mencerna sempurna beberapa saat pasca tenggelam dalam kenikmatan erotis yang Roland antarkan lewat lumatan bibir.Setelah mengembuskan napas panas lewat celah bibir yang agak ranum, barulah Michelle memahami kabar yang Roland sampaikan.“K-kau ... kau akan kembali ke New York?” Michelle terbata memastikan ulang dalam kesadaran tidak memercayai.Dehemen ringan Roland terdengar menanggapi, namun kemudian lenyap oleh bibirnya yang menyapu singkat bibir Michelle.“Ada beberapa pekerjaan penting yang tidak bisa diwakilkan. Aku harus turun tangan langsung untuk menyelesaikan dan memastikan semua berjalan sesuai dengan harapanku.”Hati Michelle seketika tersadar pada sosok Roland yang bukan dari kalangan biasa seperti dirinya.Sudah lebih dari seminggu Roland merawat, menemani dan tak jauh dari sisi Michelle. Selama itu pula Michelle terbuai dalam kedamaian dan kenyaman yang Roland ciptakan. Sampai Michelle lupa bahwa Roland tak
“Dasar mesum!”Michelle membalas kejam lewat gigitan kecil yang menyakitkan di telinga Roland. Wanita itu tak terpengaruh oleh Roland yang mengerang kesakitan. Sebaliknya, Michelle merasa puas melihat Roland yang meringis sembari menggosok-gosok telinganya yang habis digigit.“Aku sedang serius berbicara, Roland!” Michelle memprotes sampai matanya menyorot tajam. “Apa kau tidak bisa serius sedikit?” lanjutnya menghardik ketus.“Apa aku terlihat tidak serius?” Roland balik memprotes dengan tangan masih menggosok-gosok telinganya yang sakit. “Selama kau mengenalku, apa aku pernah tidak serius?”Michelle terdiam karena perkataan Roland tidak bisa dibantah. Memang benar, sepanjang Michelle mengenal pria itu tak pernah sekalipun ketidakseriusan terjadi. Michelle bahkan mengingat jelas Roland yang selalu konsisten pada ucapannya. Bahkan sekalipun Michelle menganggap hal itu tidak masuk akal, Roland tidak pernah bercanda dalam hidupnya.“A-aku sedang ingin berbicara serius denganmu!” Michell
Michelle mulai menjalani rutinitas pagi setelah merasakan kondisi tubuh semakin membaik. Sejak kemarin dia sudah mulai menyiapkan sarapan pagi dan membantu Leah bersiap-siap untuk berangkat ke sekolah.Padahal Roland sudah bersikeras melarang dan menasihati Michelle agar lebih banyak beristirahat. Tetapi, wanita itu juga bersikeras tak bisa berdiam diri karena sudah terbiasa melakukan aktivitas seperti itu.Aktivitas paginya hanya sekadar itu. Michelle sudah resmi mengundurkan diri dari firma hukum David. Barang-barang miliknya pun sudah diantar oleh pihak firma sesuai alamat tempat tinggalnya.Pagi itu di ruangan santai yang bersebelahan dengan balkon, Michelle terlihat fokus pada sebuah buku yang dipegang.Dia sampai tidak menyadari kedatangan Roland yang baru saja kembali setelah mengantar Leah ke sekolah. Sampai-sampai Michelle tidak tahu Roland telah duduk di sebelahnya.“Apa yang sedang kau pikirkan?”Michelle tersentak kaget oleh Roland yang datang tiba-tiba. Wanita itu berings
“Ah ... untuk makan malam nanti Leah mau menu apa?”Michelle memalingkan pandangan setelah sengaja mengalihkan pembicaraan. Wanita itu pun beranjak dari duduk di tepian ranjang yang tak lama kemudian mengeluarkan handphone dari saku depan celana.“Sepertinya akan menyenangkan jika kita makan malam di luar.” Sembari memainkan handphone, Michelle sibuk berbicara sendiri tanpa peduli bagaimana Roland beserta Leah menatapnya. “Di sekitar sini banyak restoran, ‘kan? Sepertinya menu daging dan salad sayur akan terasa nikmat,” lanjutnya masih asyik sendiri.“Mom,” Leah menginterupsi datar.“Ya?” Michelle menyahut, kemudian menatap Leah yang menyorotnya tajam penuh rasa curiga. “Leah mau menu makan malam apa?” tanya Michelle yang sengaja menyembunyikan perasaan.“Mommy masih bisa memikirkan makanan ketika aku bertanya?” seperti biasa Leah mengkritik tajam ketika keinginannya belum terpenuhi.“Dokter mengatakan pada Mommy untuk banyak makan dan beristirahat. Mommy tidak salah jika lebih memiki
Sejak masuk ke dalam kamar tidurnya, Roland tak lagi menyembunyikan kegelisahan diri. Sejak tadi dia sudah mondar-mandir tak jelas, sementara itu napas pun berkali-kali diembuskan kasar.Selain gelisah dan cemas yang merasuki jiwa, rasa bersalah turun ikut campur mempermainkan perasaan Roland. Samar-samar dia memperhatikan sikap Leah yang perlahan-lahan murung.Jujur saja, Roland sudah berniat menguping pembicaraan Michelle bersama Leah di dalam kamar. Pria itu sudah menajamkan telinga ketika menutup rapat pintu kamar tamu.Tetapi, logikanya telah menasihati untuk sedikit lebih sabar. Roland dengan terpaksa memercayakan segalanya pada Michelle.“Sebaiknya aku menenangkan diri dengan beberapa gelas air mineral,” gumamnya lemah yang memutuskan beranjak dari kamar.Ketika keluar dari kamar mata keabu-abuannya langsung membidik kamar tamu yang berada di ujung lantai. Keberadaan kamar itu bagaikan sebuah magnet besar yang sulit mengalihkan perhatian Roland.Meski perhatian tertuju ke kamar
Roland masih tak banyak bersuara ketika tiba di penthouse. Dia hanya berbicara sekadarnya ketika ditanya. Tak peduli bagaimana cerewetnya Leah selama di perjalanan, hal tersebut sama sekali tak memengaruhi Roland.Sikapnya itu memantik rasa penasaran Leah yang setia menggenggam tangan Michelle. Bahkan Leah sampai menatap tajam Roland yang berjalan lebih dahulu di depannya.“Karena kamar yang tersedia hanya dua, kau dan Leah akan tidur di kamar tamu di lantai atas—yang berada di sebelah kiri,” jelas Roland tanpa menoleh pada Michelle dan Leah yang mengikuti dari belakang.“Kamar tamu di lantai bawah masih belum layak untuk ditempati dan masih tahap renovasi. Jadi, sementara waktu kau dan Leah akan tinggal dalam satu kamar.” Barulah Roland berbalik menatap setelah bersuara datar.“Kami tidak masalah.” Michelle menanggapi tenang.“Barang-barang kalian akan tiba sore nanti. Sementara waktu kalian bisa menggunakan barang yang telah aku siapkan.” Roland masih bersikap sama.Michelle mengang
“Apa kita tidak ke rumah sebentar untuk mengambil beberapa barangku dan Leah?”Michelle berusaha memecahkan keheningan canggung yang membentang di dalam mobil. Dia melirik ke samping di mana Roland bergeming tenang sembari fokus mengemudi. Michelle sedang samar-samar menanti tanggapan Roland yang sejak tadi menutup mulut.“Karena tidak tahu berapa lama aku dan Leah tinggal di tempatmu, sepertinya tidak salah jika kita ke rumahku untuk mengambil beberapa barang keperluan kami.” Michelle kembali mencuri perhatian dengan ketenangan yang hati-hati.Sayangnya, usaha Michelle belum mampu menarik perhatian Roland. Pria itu masih bergeming seperti semula. Seolah-olah dia mengabaikan keberadaan Michelle.Sikap Michelle itu berkaitan dengan sikap Roland yang tiba-tiba menjadi pendiam. Padahal sebelumnya Roland sangat kritis atas apa pun ucapan Michelle. Sehingga Michelle menaruh kecurigaan pada Roland yang sepertinya sedang memikirkan sesuatu.Keheningan Roland dinilai gugup dan gelisah. Penda
~ Beberapa hari kemudian ~Michelle mengantongi izin pulang setelah dokter memastikan kondisinya sudah jauh lebih baik dari sebelumnya. Beberapa luka yang menggores di tubuhnya pun mulai menutup, termasuk luka memar di tangan juga sepenuhnya memudar.Meskipun sudah bisa bergerak bebas seperti biasa, Michelle tak diizinkan turun dari ranjangnya. Wanita itu hanya diperbolehkan duduk di sana.Dan tidak usah ditanyakan siapa pelaku yang membuat Michelle kesal. Dia adalah Roland—yang sibuk merapikan barang-barang milik Michelle ke dalam sebuah tas.“Kita akan lebih dulu menjemput Leah di rumah Valen, lalu setelah itu kita akan ke penthouse-ku.” Roland dengan tenangnya memberitahu sembari menyelesaikan kegiatannya merapikan barang-barang ke dalam tas.“Maksudmu dengan kita? Apa aku dan Leah juga akan ke penthouse-mu?” Michelle memprotes, sementara matanya telah menatap tajam pada Roland yang berakhir menatapnya.Sebelum bersuara, lebih dulu Roland mengancingkan tas berisi barang-barang Mich
Tidur yang Roland inginkan adalah berbaring di samping Michelle dengan tangannya menggenggam tangan Michelle. Kehangatan dari jemari yang menyatu mampu menghibur Roland yang menatap dingin langit-langit kamar inap itu.Keinginan sederhana itu membuat jiwa Michelle gelisah. Dia bertanya-tanya di dalam hati dan mulai menerka-nerka masalah apa yang Roland hadapi.Sebelum meninggalkannya bersama Valencia, Michelle mengingat Roland yang menerima telepon. Jika telepon itu berkaitan dengan pekerjaan, Roland tak akan ambil pusing sampai emosinya tak terkendali. Sehingga Michelle menyimpulkan jika telepon itu berkaitan dengan seseorang yang mampu menguras emosi seorang Roland Archer.“Tadi aku menghabiskan makananku.”Alih-alih menanyakan langsung, Michelle sengaja berbasa-basi demi bisa membangun suasana berbicara dengan Roland.Suara tawa ringan Roland merespon, sekaligus berhasil memancing perhatiannya yang lama membisu pasca ciuman erotis beberapa waktu lalu.“Kau memang harus makan dengan