Kemudian, Satya membuka lemari tempat Clara menyimpan barang-barang. Semua pakaian dan perhiasan mahal yang diberikan Satya tidak terlihat lagi, hanya ada beberapa piama yang pernah dipakai oleh Clara.Clara mengenakan piama-piama itu saat tidur bersama Satya. Mungkin, itu alasannya Clara tidak membawanya bersamanya.Satya menutup pintu lemari dan duduk di pinggir ranjang. Dia mengeluarkan rokok dari sakunya dengan perlahan, lalu mengisapnya.Satya tahu bahwa Clara bukan wanita materialistis sehingga tidak akan membawa barang-barang semacam itu. Jadi, kemungkinannya hanya satu, yaitu semua telah dijual oleh Clara.Satya mengangkat dagunya sedikit, lalu mengisap rokoknya kuat-kuat. Ketika menunduk untuk mematikan rokoknya, tatapannya tidak sengaja tertuju pada laci nakas. Terlihat sebuah celah yang memperlihatkan botol obat berwarna putih.Satya menggigit rokoknya, lalu menarik laci dan mengambil botol itu untuk diamati. Terlihat tulisan "obat aborsi". Satya menatap tulisan itu lekat-le
"Tapi, Clara masih punya hati nurani! Dia berbeda dengan kita!" Gracia menjelaskan panjang lebar. Dia menunggu hukuman dari Satya. Bagaimanapun, Benira kehilangan kaki dan rahimnya juga karena dirinya. Gracia yang membantu Clara. Benira merasa dirinya akan dipecat oleh Satya.Satya menatapnya dengan tenang. Sesaat kemudian, dia mengeluarkan sebatang rokok. Sambil menyalakannya, dia berucap, "Gracia, bawa dokter itu ke hadapanku sebelum besok pagi. Dengan begini, aku akan mengampuni dosa-dosamu."Gracia hanya bisa mengiakan. "Baik, Pak."Gracia meninggalkan vila pada malam hari. Dia tahu betapa mengerikannya Satya saat marah. Kalau Satya benar-benar murka, nyawanya mungkin akan melayang. Bagaimanapun, dirinya bukan Benira yang selalu bertingkah manja.Kinerja Gracia tidak perlu diragukan lagi. Sebelum langit terang, dia membawa dokter itu menemui Satya. Dokter itu berlutut di ruang tamu dalam keadaan diikat.Ketika mendongak, dokter itu melihat Satya yang berkarisma duduk di sofa. Satya
Setelah semuanya beres, Satya kembali ke vilanya yang satu lagi. Dia tidak ingin membangunkan Benira. Dia berniat untuk pergi setelah mengambil paspor.Akan tetapi, begitu keluar dari ruang kerjanya, Benira sudah berdiri di depan pintu kamar sambil memegang gelas anggur. Wanita ini menatapnya dengan suram sambil bertanya, "Mau ke mana pagi-pagi begini?"Nada bicara Benira terdengar sinis. Satya adalah pria yang sangat mendominasi. Dia menyukai wanita yang lemah lembut. Begitu Benira menunjukkan karakter aslinya, Satya menjadi makin kehilangan kesabaran padanya.Satya menatap Benira sembari bertanya balik dengan dingin, "Atas dasar apa kamu bertanya begitu kepadaku?"Benira menahan amarahnya agar tidak mengamuk. Dia menyahut, "Satya, kamu yang berjanji akan memberiku masa depan.""Memangnya apa yang kujanjikan kepadamu?" Satya berbicara terus terang, "Ya, aku memang ingin menemui Clara. Aku nggak akan menikahimu. Kalau kamu wanita cerdas, lanjutkan kehidupanmu di Barline. Aku akan menja
Benira sampai curiga. Apa Satya makan obat kuat? Jika tidak, bagaimana mungkin Satya bisa melakukannya berturut-turut seperti ini?Karena tidak bisa menghentikan Satya, Benira hendak melampiaskan amarah kepada pelayannya. Namun, para pelayan tidak bodoh. Mereka sudah melarikan diri sejak tadi.Benira hanya bisa naik ke lantai 2, lalu memasuki kamar utama untuk melemparkan semua pakaian Satya. Dia bahkan menggunting pakaian-pakaian mahal itu.Ketika menggunting dengan penuh emosi, Benira mulai meneteskan air matanya dan menangis kuat-kuat.....Satya telah pulang ke negaranya. Namun, Clara tidak berada di Kota Aruma ataupun Kota Brata.Saat ini, di ruang presdir Grup Chandra, Satya bersandar di kursinya sembari melemparkan sebuah dokumen ke atas meja. Dia menatap Gracia dan bertanya dengan murung, "Jelaskan, kenapa Clara nggak naik pesawat ke Kota Aruma?"Gracia bercucuran keringat dingin. Dia memberanikan diri untuk membalas, "Maaf, Pak. Aku nggak mengantar Bu Clara ke bandara hari itu
Gracia menatap Satya, lalu bertanya, "Pak, sebenarnya apa yang kamu inginkan?"Tatapan Satya tampak suram. Sesaat kemudian, dia meletakkan peralatan makannya dan menyeka mulutnya. Sesudah mengeluarkan ponsel dari sakunya, Satya menelepon beberapa orang sebelum menyerahkannya kepada Gracia."Aku rasa kamu akan ingat lokasi Clara setelah menerima panggilan ini," ucap Satya.Gracia menerima dengan tangan bergetar. "Mama, kami sedang bermain di pantai. Paman Satya mengirim orang untuk membawa kami bermain. Mereka membelikan kami ban renang. Besok, kami juga akan menangkap kepiting kecil."Gracia menanggapi dengan kaku. Setelah mengakhiri panggilan, seluruh energinya seperti terkuras habis. Dia tahu temperamen Satya. Jika tidak memberitahunya, pria ini kemungkinan besar akan menyakiti anaknya.Gracia bertanya dengan wajah pucat, "Pak, apa yang ingin kamu lakukan? Mereka hanya anak kecil. Tolong lepaskan mereka. Mereka nggak ada hubungannya dengan masalah orang dewasa. Anggap ini balasan kar
Menurut Aida, jika mereka tinggal di sini, uang mereka akan cukup untuk 10 generasi mendatang. Clara hanya tertawa saat mendengarnya. Dia merasa mereka tetap harus pindah dalam 3 bulan. Jika tidak, keberadaan mereka mungkin akan terlacak.Setelah sibuk sepanjang hari, mereka akhirnya selesai berkemas. Joe ingin pergi bermain. Aida paling menyayangi Joe. Dia berkata, "Aku akan menjaga Nona Alaia. Nyonya bawa Tuan Joe pergi bermain saja. Anak seumuran ini memang senang bermain."Clara menyahut, "Panggil saja namaku. Aku bukan Nyonya Keluarga Chandra lagi sekarang.""Tapi, aku menerima gaji. Aku juga lebih terbiasa kalau memanggilmu nyonya," tolak Aida.Clara tidak merespons lagi. Dia membawa Joe keluar untuk bermain. Di depan vila mereka, terdapat sebuah jalanan panjang. Anak kecil bisa mengendarai mobil mainan mereka di sini.Joe mengendarai mobilnya dengan stabil. Clara hanya mengikuti dan mengawasinya dari belakang. Tahun baru makin dekat, tetapi dedaunan di sini masih hijau dan sinar
Anak kecil seperti Joe tentu tidak memahami masalah orang dewasa. Begitu melihat ayahnya, dia langsung tersenyum lebar dan menunjukkan gigi-giginya yang kecil dan putih. Joe terlihat sangat menggemaskan. Dia bahkan meraih leher Satya dengan tangan kecilnya sambil menjawab, "Rindu."Satya merasa hidungnya agak berkedut. Dia menempelkan dahinya ke kepala Joe dan mengatakan dengan pelan, "Anak bodoh."Sembari memegang mobil mainan, dia menggendong putranya dan berjalan menuju vila dua lantai tersebut. Baru berjalan beberapa langkah, Satya menoleh ke arah Clara. Dia bertanya dengan nada lembut, "Kenapa nggak jalan?"Clara sedang berdiri di bawah pohon. Sinar matahari memang menerobos celah-celah daun, tetapi tidak ada sinar yang bisa menghangatkannya ....Apabila Joe tidak ada di sana, dia mungkin akan dengan emosi menanyakan alasan Satya yang masih enggan melepaskannya. Kenapa pria itu masih terus mengejarnya? Padahal Satya telah setuju untuk berpisah.Sayangnya, Joe tengah digendong oleh
Satya menutup pintu. Dia duduk di pinggir ranjang dan meraba perut kecil Joe yang buncit. Pria itu berucap sambil tersenyum, "Anak ini benaran jago makan. Tiap malam, dia selalu sanggup makan sebanyak itu ya?"Clara tidak menjawab. Dia terus melanjutkan rutinitas merawat kulitnya tanpa terburu-buru. Satya tahu dia sedang marah, tetapi dia memang ingin memenangkan hati Clara. Dia bahkan memuji anaknya Davin, "Bi Aida memang jago mengurus anak. Alaia juga berisi banget. Nanti, aku akan kasih dia bonus."Clara tetap diam. Sayangnya, itu justru membuatnya makin terpancing. Satya berjalan ke belakang kursi rias. Dia memeluk kursi dan tubuh Clara, lalu menatap sosok mereka yang berpelukan di cermin. Satya bertanya dengan nada sangat lembut, "Malam ini, aku tidur di mana?"Clara juga menatap cermin. Tak lama kemudian, dia menjawab pelan, "Ada kamar tamu di sebelah. Kamu tidur di sana saja.""Antar aku ke sana," timpal Satya. Bibirnya yang tipis menyentuh telinga Clara.Pria itu melanjutkan de