Sebelum Ray menghubungi anak buahnya, ponselnya sudah berdering keras. Nama pemanggil yang muncul di layar membuat jantungnya berpacu cepat. Adam—asisten kepercayaan Wilson.
Tentu saja dia cemas, jika Adam atau kakeknya mengetahui Gia pergi dari rumah. Bibirnya bergetar cemas dan takut, hingga suaranya terdengar gagap. Namun, Ray langsung terkejut saat Adam memintanya untuk segera ke rumah sakit.
Ray masih terengah-engah ketika langkahnya tiba di depan ruang perawatan intensif di rumah sakit. “Adam, apa yang terjadi?” Ray bertanya panik begitu melihat pria berjas rapi itu berdiri di dekat pintu ruangan.
“Bukankah pagi tadi Tuan Wilson memarahiku?” tanya Ray lagi dengan napas tersengal.
Adam tak menjawab. Dia hanya membukakan pintu ruangan rawat Wilson. Lelaki tua itu tampak lemas di atas ranjang rawat, tanpa peralatan medis di tubuhnya.
“Tuan, cucumu sudah tiba,” ucap Adam melapor.
Wilson membuka matanya lemas dan langsung melihat wajah cemas Ray. Meskipun Ray kesal dengan kakeknya, tetapi dia sangat menyayangi Wilson. Hubungan keduanya merenggang semenjak kakeknya memaksa menikahi Gia.
Adam memilih meninggalkan keduanya dan menunggu di luar. Ray meraih tangan kakeknya dengan air mata khawatir. “Kakek, kenapa kamu begini? Maafkan aku, jika aku bandel dan selalu menentangmu.”
“Ray, aku selalu memaafkanmu. Mungkin sekarang ajalku sudah dekat.” Suara Wilson sangat lemas sekali membuat Ray tak tega.
“Tidak, kakek! Jangan berkata seperti itu.”
“Pagi tadi, kamu bertanya kenapa aku menikahkanmu dengan Gia ... sekarang aku akan memberitahu alasannya, sebelum semuanya terlambat.”
Ray sadar, Gia sudah pergi. Namun, dia tidak mungkin mengatakannya pada Wilson sekarang. Dia hanya menangis dan mencoba mendengarkan penjelasan kakeknya.
“Sebelum kecelakaan itu, aku sudah mengenal Gia. Dia gadis yang pintar dan jenius dan akulah yang membiayai kuliahnya, karena aku tahu dia adalah seorang yang jenius ... akan berguna bagi perusahaan,” jelas Wilson dengan napas tersengal.
Ray mencoba menahan agar Wilson tak banyak bicara. Wilson harus segera mendapatkan perawatan, tetapi menolak. Dia harus menyelesaikan penjelasannya.
Dengan napas tersengal dan suara dipaksakan, Wilson menceritakan semua alasannya. Tentang alasan utamanya meminta Ray menikahi Gia. Sejak dulu Wilson menyadari bakat dan kepintaran Gia dan membiayai kuliahnya tanpa sepengetahuan siapapun.
Dugaan Wilson benar, setelah Gia bekerja di perusahaannya langsung memberikan kontribusi besar. Hingga kecelakaan yang disebabkan oleh Ray membuatnya cemas dan akhirnya Wilson memaksa Ray menikahinya. Dia cemas jika Gia berhenti bekerja di perusahaannya, maka tak ada lagi seorang analisis data sepintar dia.
Setelah menikah dan menjadi istrinya Ray, Gia masih bekerja dari rumah, lalu memberikan semua analisanya pada Wilson. Pekerjaan yang membutuhkan kepintaran, dan beresiko. Ray langsung terkejut mendengar penjelasan kakeknya.
“Gia tahu kapan saham naik dan apa saja hambatannya, hingga lonjakan saingan perusahaan kita,” pungkas Wilson dengan bangga, walaupun suaranya terengah.
Dunia Ray seperti berhenti berputar. Air matanya bahkan berhenti dan tak lagi terisak. Dia bahkan terlihat bingung, tetapi kakeknya tak mungkin berbohong.
“Karena Gia perusahaan kita terus bertahan dan bisa mengalahkan pesaing-pesaingnya. Semua data perusahaan kita ada di tangan Gia ... kemajuan perusahaan kita ada di tangannya, Ray” ucap Wilson menambahkan dan semakin membuat Ray terkejut. “Jadi, aku mohon jangan perlakukan Gia dengan buruk! Nasibmu dan nasib perusahaan kita ada di tangan Gia.”
Tangan Ray bergetar. Dia panik dan ketakutan. Ray sudah membuat Gia pergi setelah menyakiti hatinya. Apa yang harus dilakukannya?
Semua pertanyaan dalam benaknya terhenti saat air mata Wilson menetes dan diikuti napasya yang tersengal. Wilson kesulitan bernapas, membuat Ray panik. “Kakek, apa yang terjadi denganmu?”
Ray memekik keras, hingga petugas medis berdatangan dan meminta lelaki itu untuk menunggu di luar. Wilson sudah terlalu banyak bicara dan perlu mendapatkan perawatan insentif. Ray menolak, tetapi Adam memaksanya keluar.
“Argh!” Ray memekik frustasi di lorong rumah sakit.
Seketika dia bingung. Hingga akhirnya dia menatap Adam yang memberikan tatapan dukungan. “Adam, kamu harus membantuku,” katanya dengan tatapan memohon.
“Tentu, Tuan! Saya pasti akan membantu Anda,” jawab Adam. “Katakan saja, apa yang harus saya lakukan?”
Ray menggigit ibu jarinya. Ia seolah kehilangan kata-kata, tak tahu apa yang harus diucapkannya. Adam hanya berdiam menunggu Ray mendapatkan keberaniannya untuk bersuara.
“G—gia ... dia pergi dari rumah membawa semua pakaiannya dan meninggalkan surat gugatan cerai,” ucap Ray terbata.
“Apa?!” Adam terkejut dengan kedua bola mata membesar sempurna.
Wajah cemas dan frustasi Ray menunjukan jika dia tak sedang bergurau. Tentu saja Adam pun panik, tetapi dia tetap mencoba untuk tenang. “Kapan Anda menyadari Nona Gia pergi, Tuan?” tanyanya memastikan.
“Pagi tadi, sebelum kamu menghubungiku,” jawab Ray ragu dan bimbang. “Tapi, sepertinya dia sudah pergi sebelum aku menyadarinya. Bagaimana ini?”
“Tenang, Tuan! Saya akan mengutus tim untuk mencari keberadaan Nona Gia. Saya yakin dia tidak akan pergi jauh dan kita akan segera menemukannya,” ucap Adam mencoba menenangkan.
Tanpa menunggu jawaban, Adam langsung menghubungi seseorang dengan ponselnya. Perintah singkat dan cepat, serta tegas, tetapi cukup membuatnya yakin mereka bekerja cepat. Sementara Ray terus mengacak rambutnya frustasi seraya terus memandangi kaca kecil pada pintu bangsal yang menunjukkan kondisi Wilson sedang dalam penanganan medis.
Tak sampai tiga menit, ponsel Adam berbunyi. Dia segera mengangkatnya cepat. Kedua bola matanya seketika berbinar.
“Tuan, mereka menemukan Nona Gia di Bandara. 30 menit lagi pesawatnya akan lepas landas.”
Senyuman Ray langsung mengembang sempurna. Tanpa basa basi, Ray langsung berlari cepat. Dia harus bisa membuat Gia kembali.
“Ibu, kenapa dia belum bangun juga?” tanya Claire menatap cemas.Wajah Ray terlihat tenang, tampak tertidur pulas. Sudah 4 jam pasca operasi, belum juga menunjukkan tanda akan sadar. Suara monitor tetap stabil, tetapi membuat mereka cemas.“Ah, dia bangun,” seru Charlie menunjuk jari telunjuk Ray yang bergerak perlahan.“Kamu benar.” Claire berseru riang.Napas Gia berembus lega. Serentak mereka menatap wajah Ray yang menunjukkan tanda-tanda tersadar. Kelopak matanya sedikit bergetar dan mulai terbuka perlahan, sementara bibirnya bergerak pelan.“Ray, kamu sudah sadar?” Suara Gia bergetar, disusul air mata haru. “Sebentar, aku panggilkan dokter!” serunya.Gerakan Gia terhenti. Tangan lemas Ray langsung tangannya. Gia urung bergerak dan kembali menatap wajah Ray.“Aku tidak akan pergi. Aku hanya akan memanggil dokter untuk memastikan keadaanmu,” katanya lembut. Gia lantas tersenyum, mengartikan reaksi Ray yang mencemaskan dirinya.Mata Ray mengedip, isyarat persetujuan. Kemudian tangan
“Tuan Ray kehilangan banyak darah, tetapi syukurlah ... operasinya berjalan dengan baik. Kami akan memindahkan Tuan Ray ke ruang perawatan dan terus memantau perkembangan.”Penjelasan singkat dari dokter tersebut langsung membuat napas Gia berembus lega. Pintu ruang operasi terbuka lebar, memberi jalan pada ranjang brankar membawa tubuh Ray keluar. Namun, tubuh Gia mematung, tak tubuh Ray yang dibawa menjauh.“Ada apa, Nona Gia?” tanya Adam dengan kening mengkerut.Gia menunduk sejenak, lalu menggeleng. Kemudian dia tersenyum tipis pada pria di hadapannya. “Tidak apa-apa Adam. Aku lega dan bersyukur Ray baik-baik saja,” katanya.“Tolong jaga dan rawat Ray untukku,” sambung Lisa seraya menepuk lengan Adam pelan. “Aku percayakan dia padamu,” tambahnya.“Kenapa Nona ...?” tanya Adam terhenti, tetapi mengurungkan langkah kaki Gia yang hendak memutar.Adam menatapnya lekat. Terlihat jelas garis keraguan pada wajah Gia. Perasaan bersalah yang berat, seolah menahan wanita di hadapannya untuk
Asap hitam keabu-abuan mengepul memenuhi seluruh ruangan dan langsung menyesakkan dada. Pandangan mereka yang ada di sana langsung kabur dan tak jelas, tetapi indera pendengaran mereka menangkap jelas suara derap langkah pasukan terlatih mendekat.Brak! Pintu ruangan langsung terbuka. Beberapa petugas berpakaian serba hitam, lengkap dengan rompi anti peluru, senjata laras panjang di tangan dan masker oksigen, serta kaca mata pelindung. Mereka semua adalah pasukan terlatih keamanan perusahaan Wish Group Company.Mereka sigap menyergap musuh sesuai instruksi dalam diam. Tak lama Ray ikut masuk, hanya menggunakan masker oksigen dan kaca mata pelindung. Pria itu sigap langsung menemukan keberadaan Gia. Tangannya cepat melepaskan ikatan yang membelenggu wanita cantik itu, lalu menggendongnya keluar.“Ray?” Suara Gia lirih dan lemas. Gia terlalu banyak menghirup gas dari asap tersebut. Pandangannya yang kabur masih mengenali sosok yang kini menyelamatkannya.Tanpa mereka ketahui, dalam kega
“Kamu bilang lokasi ini tak akan terdeteksi? Apa ini? Mereka menemukan keberadaan kita.”Suara David menggema penuh amarah, memenuhi salah satu ruang gedung terbengkalai. Dinding di sekelilingnya sudah berjamur dan sebagian plafon mengelupas. Satu kaca jendela sudah terganti dengan triplek.Bau lumut basah dan lantai berdebu menyeruak hidung. Tangan David mengudara, bersiap melayangkan tamparan pada dua pria berpakaian serba hitam di hadapannya. Namun, suara tawa kecil penuh ejekan menghentikannya.Tawa dari Gia yang kini terikat pada kursi kayu. Wanita itu sama sekali tak merasa terintimidasi, apalagi cemas. Tentu saja wajah David semakin murka saat menatap wajahnya.“Percuma saja kamu menyandera aku, David,” ucap Gia semakin mengejek. Kemudian dia melirik pada Grace yang sama murka seperti David, lalu tersenyum miring. “Kalian hanya membuang waktu saja.”Dalam hati, Gia cemas, bingung dan penuh tanya. Dia yakin, Ray tak bergerak sendiri atau menemukan lokasinya saat ini. Mereka bisa
“Tolong jelaskan padaku, apa yang terjadi!” pinta Ray seraya mengatur posisi duduk di tengah pesatnya laju mobil yang membawanya.Kedua anak kecil itu langsung menoleh. Wajah Ray terlihat cemas dan bingung. Claire lantas menangguk, setelah keduanya saling bertukar pandang, isyarat pemikiran mereka sama.“Anda bawa laptop?” tanya Charlie tiba-tiba.Sontak saja kening Ray mengkerut, tak mengerti dengan pertanyaan pria kecil tersebut. Tatapannya lantas berpindah pada Claire yang duduk tepat di sampingnya, menjadi penghubung Ray dan Charlie. “Aku yang akan menjelaskannya, tetapi biarkan Charlie bekerja agar tak membuang waktu,” papar Claire menyadari tatapan tanyanya Ray.Sementara Doni, sopirnya, sangat terlatih. Baginya, jalan raya yang ramai dan padat, bak sirkuit balap. Apalagi mobil milik Ray memiliki semua fasilitas mewah yang tak perlu diragukan. Sekalipun mobil terseok saat mendahului beberapa kendaraan di hadapannya, para penumpangnya tak terlalu terguncang.Menyadari lampu lalu
Claire mendesis kesal. Mereka tersudut dan terkepung. Suara derap langkah sepatu pantofel semakin mendekat dari segala arah.Charlie langsung menolak panggilan dan mengaktifkan mode senyap. Napas keduanya terputus-putus, tapi akal dan pikiran bekerja lebih cepat, mencari cara untuk meloloskan diri di antara mobil-mobil yang berdekatan. Hingga akhirnya tatapan Claire tertuju pada kerikil kecil di dekat kakinya.“Charlie, buat kekacauan besar!” seru Claire memberi perintah tanpa suara.Pikiran keduanya seolah sudah terhubung. Tanpa memberi penjelasan, Charlie mengangguk mengerti. Dengan gerakan cepat, keduanya meraih beberapa batu kelikir, lalu bersamaan melemparnya ke arah mobil-mobil di sekitar mereka.Seketika alarm kendaraan di sana berbunyi saling bersahutan. Cukup untuk mengecoh fokus para pria yang mengejar keduanya. Detik berikutnya napas kedua bocah kecil itu tertahan. Tatapan mata mereka tertuju pada ujung sepatu pantofel yang mengintip di kedua sisi mobil tempat mereka bersem