Share

Bab. 7

Author: Disi77
last update Last Updated: 2024-12-10 22:36:57

Sebelum Ray tiba di bandara, anak buahnya Wilson sudah berada di sana. Dia berdiri di tengah keramaian bandara dengan rahang terkatup, matanya menyapu sekeliling seperti elang yang kehilangan mangsa. Ponselnya berdering tanpa henti, laporan dari anak buahnya masuk satu per satu.  

“Nona Gia tidak ada di penerbangan ke Singapura, Tuan.”  

“Nona Gia juga tidak naik penerbangan ke Denmark.”  

Ray mengepalkan tinjunya hingga buku-buku jarinya memutih. “Terus cari! Periksa setiap sudut, kamera pengawas, manifest penerbangan ... semuanya! Jangan biarkan dia lolos!” teriaknya dengan nada tegas yang mencerminkan frustasi.  

Namun, laporan berikutnya membuat Ray semakin geram.  “Tuan, kami sudah memeriksa semua penerbangan yang dipesan atas namanya, tapi ... dia tidak ada di satu pun.”  

Ray membanting ponsel ke meja logam terdekat seraya memekik keras. Sontak saja beberapa penumpang di sekitar menoleh dengan pandangan khawatir. 

“Sialan! Dia mempermainkanku!”  

Ray menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan pikirannya yang berputar-putar. Gia adalah kunci hidupnya. Pikirannya bercabang tak karuan.

Ada rasa kesal dan marah, kenapa kakeknya tak memberitahunya sejak awal. Akan tetapi, ini juga kebodohannya. Ray menyepelekan Gia hanya karena dia cacat.

Salah satu anak buahnya, Adrian datang tergopoh-gopoh dengan ekspresi cemas. “Tuan, Nona Gia memesan tiket ke enam kota dan negara berbeda, tetapi tidak ada yang berhasil kami temukan. Saya curiga ini hanya trik untuk mengacaukan kita.”  

Ray melirik Adrian dengan tatapan tajam seperti belati. Napasnya memburu cepat dan rahangnya mengeras. 

“Trik atau bukan, dia ada di sini. Dia pasti di sini,” sentak Ray tak mau tahu seraya menunjuk lantai yang di pijaknya.  Adrian hanya mengangguk dan segera berbalik seraya memberi perintah yang lainnya.

Namun jauh di lubuk hatinya, Ray tahu bahwa Gia sudah selangkah di depan mereka. Semua tiket hanyalah labirin palsu yang dia buat untuk memancing mereka ke arah yang salah.  Ternyata Gia memang cerdik, pikirnya.

Ray berjalan ke arah kaca besar yang menghadap landasan pacu, tangannya mengusap rambutnya dengan kasar. “Gia, apa yang sebenarnya kau rencanakan?” geramnya nyaris putus asa.  

Suara pesawat yang lepas landas terdengar seperti ejekan. Gia telah menghilang dan menghinanya. Tidak, ini adalah kesalahannya.

Sementara Ray memekik frustasi di bandara, Gia duduk dengan tenang di bangku kayu stasiun kereta, hanya berjarak beberapa kilometer dari kekacauan yang ia tinggalkan. Dengan koper kecil di sampingnya dan jaket tipis yang membalut tubuhnya, Gia tampak seperti penumpang biasa yang menunggu jadwal keberangkatan. Tidak ada yang mencurigai bahwa wanita dengan wajah teduh itu baru saja membuat orang-orang kehilangan jejaknya.  

Wajah Gia tetap tenang, tak ada garis bersalah atau ragu. Gia sudah yakin untuk pergi meninggalkan semua lukanya. Kota ini, dengan segala kenangan pahitnya, tak layak untuk ditinggali lebih lama. Terlalu banyak luka dan penghakiman yang ia terima hanya karena keadaannya.  

Gia memandang lurus ke arah rel kereta yang seolah tak berujung. Dari kejauhan, lampu kereta perlahan mendekat dan suara peringatan untuk segera bersiap terdengar. Ia menggenggam erat pegangan kopernya dan bergegas bangkit dari duduknya. 

“Cukup, Gia!” ucapnya memantapkan hati. “Aku sudah cukup kuat menanggung semuanya. Saatnya aku hidup untuk diriku sendiri.”  

Tak boleh ada lagi hinaan atau cemooh yang menyebutnya wanita cacat tak berguna. Gia tahu ke mana dia akan pergi. Semuanya sudah dipikirkan secara matang. Yakin di sana dia akan menemukan kedamaian yang selama ini dirindukan.  

Setelah kereta berhenti dengan suara berderit, Gia bangkit dan melangkah dengan kaki pincangnya masuk ke dalam gerbong. Koper kecilnya diletakkan di rak atas, sementara ia memilih duduk di dekat jendela. Dari kaca, ia menatap kota yang perlahan menjauh saat kereta mulai bergerak.  

“Kali ini, aku akan menjadi diriku sendiri,” tekadnya. 

Tak ada air mata, hanya tekad kuat untuk melangkah ke depan tanpa menoleh lagi ke belakang. Kereta melaju, membawa Gia menjauh meninggalkan kota besar itu. Gia membuka sedikit kaca jendelanya, merasakan angin semilir menerpa wajahnya. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, dia merasa benar-benar bebas.  

Setelah hampir enam jam perjalanan yang melelahkan, Gia akhirnya tiba di stasiun tujuan. Langit mulai memancarkan cahaya jingga yang lembut, seolah menyambut babak baru dalam hidupnya. Wanita lantas berdiri, lalu meregangkan otot-otot tubuhnya yang kaku sebelum ikut dalam antrian penumpang menunggu giliran turun.  

Meski terasa pegal, kaki pincangnya tetap melangkah. Tak ada tatapan sinis atau cemoohan yang biasanya didapatkan saat di kota. Tak ada yang memandangnya dengan rasa takut atau menjauh seolah kaki pincangnya adalah penyakit menular. 

Semua orang sibuk dengan urusan masing-masing, terlalu tenggelam dalam rutinitas mereka untuk peduli pada keberadaan seorang wanita asing. Sungguh, Gia merasa lega. Ia tersenyum tipis, meski langkahnya sedikit tertatih saat menuruni peron stasiun.  

“Ah, melelahkan sekali,” ucap Gia setelah menuruni tangga terakhir. Ia menyeka keringatnya yang mengucur di dahi.

Setelah keluar dari kerumunan, Gia berjalan ke arah tempat pemesanan taksi. "Ke pelabuhan," katanya pelan. 

Dalam perjalanan menuju pelabuhan, Gia memandangi jalanan yang mulai berubah dari perkotaan menuju wilayah yang lebih sepi dan asri. Perasaan damai mulai merayapi dirinya. Ia merasa beruntung masih memiliki tempat yang bisa sebut kampung halaman. Desa kecil di sebuah pulau terpencil, rumah mendiang neneknya yang penuh kenangan hangat. Tempat itu tidak ada dalam peta kehidupan orang-orang yang mengejarnya.  

“Terima kasih, Nek,” ucap Gia dalam hati, seolah sang nenek ada di hadapannya.

Gia masih ingat wajah sang nenek saat dirinya masih kecil dulu. Neneknya pernah berpesan, dia akan meninggalkan rumah di sana untuknya tinggal. Seolah tahu, jika Gia akan melewati hidup yang berat.

 “Di sana takkan ada yang tahu siapa aku. Takkan ada yang peduli pada apa yang pernah terjadi.”  

Senyum kecil muncul di wajahnya. Di sana ia bisa hidup sebagai dirinya sendiri, tanpa harus menjelaskan apa pun kepada siapa pun. Lama Gia larut dalam bayangan indah yang diciptakannya, taksi pun mulai mendekati pelabuhan.  

“Selamat datang di kehidupan barumu, Gia!”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Tuan CEO, Istri Cacatmu Genius   Bab. 41

    "Kenapa kamu mencari ibuku?" Charlie bertanya pada Ray dan mengabaikan teguran saudari kembarnya.Ray tersenyum puas. Charlie menunjukkan sifat tertarik pada dirinya. Sementara Claire tetap memberikan tatapan tak suka dan curiga padanya.Keduanya benar-benar mewarisi sifat dirinya dan juga Gia. Charlie yang berhati lembut dan selalu penuh pertimbangan. Sedangkan Claire penuh kehati-hatian, seperti dirinya dan tak mudah percaya pada orang baru. Tak salah lagi, mereka memang anak-anaknya."Aku pernah melakukan kesalahan yang besar sekali dan mungkin tak termaafkan. Setelah Ibu kalian pergi, aku baru menyadarinya dan aku menyesal," ungkap Ray jujur."Itu hanyalah alasan orang-orang bodoh!" celetuk Claire sinis.Charlie menyikut kasar lengan saudarinya dan langsung mendapatkan pelototan protes Claire. "Apa? Aku benarkan? Itu hanya alasan klise. Dia pasti selalu bersikap angkuh dan arogan ... itulah sebabnya Ibu pergi," ujarnya beralasan."Kamu benar, Nak. Aku memang angkuh, sombong dan ar

  • Tuan CEO, Istri Cacatmu Genius   Bab. 40

    “Tuan, Ray. Apa yang membawamu kemari?” tanya seorang wanita berusia sekitar 40 tahun, pakaiannya tampak formal dengan riasan yang sedikit tebal dan lipstik merah merona.Senyum Ray mengemang sempurna. Dia mengenali wanita itu yang merupakan kepala sekolah tempat si kembar berada. Ray sengaja memasuki sekolah setelah semua anak-anak pulang dan dia tak melihat keberadaan Gia.Bukan itu saja, Ray melihat si Kembar bersembunyi di ruang guru. Mereka pasti menghindari dirinya dan menunggu Gia menjemput. Ray pantang menyerah untuk mendekati si Kembar dan ini adalah kesempatan yang tepat menurutnya. Dia datang lebih awal.“Oh, Bu Jenny. Aku ingin menemui seseorang di sini, tetapi sepertinya mengalami kesulitan.” Ray bertanya dengan nada penuh ketertarikan.“Siapa dia?” tanya wanita bernama Jenny itu.Ray menggaruk ujung alisnya sebelum menjawab. Lalu melirik ke ruangan tempat si Kembar melihat. Dia sudah mengamatinya sejak tadi dan beruntungnya mengenal kepala sekolah itu.“Guru yang mengaja

  • Tuan CEO, Istri Cacatmu Genius   Bab. 39

    “Apa itu? Hampir saja tak terlihat,” celetuk salah satu karyawan di ruang keamanan IT.Beberapa orang yang berada di sebelahnya langsung menoleh dan menatap layar di hadapan karyawan tadi. Tatapan karyawan tadi tampak tajam dan tangannya piawai mengetik beberapa rumus untuk mendeteksi pergerakan sinyal yang muncul pada data base-nya. Sementara mereka yang mendekat tadi melihat layar tersebut penasaran.“Mungkinkah itu penyusup yang mencuri data perusahaan?” tebak yang lainnya dan langsung dijawab anggukan rekan-rekannya.Karyawan tadi yang bernama James, tak menjawab. Dia masih menunggu layar monitor miliknya memproses data hingga selesai. Keningnya mengkerut, begitu juga dengan rekan-rekannya dan mereka dapat mengartikan hasil yang tertera di pada layar monitor tersebut.“Statusnya akses diizinkan? Siapa yang menerobos masuk cepat?” ujar James bingung.“Apa yang terjadi di sini? Kenapa kalian berkumpul dan terus berbual?” Suara lantang dan tegas hampir mengejutkan mereka yang tengah

  • Tuan CEO, Istri Cacatmu Genius   Bab. 38

    Tanpa sadar Gia sudah memasuki akun miliknya yang tersambung dengan perusahaan Ray. Dia mencari tahu penyebab perusahaan itu menjadi tak stabil. Mungkin karena rasa penasarannya lebih tinggi dan kalah oleh perasaan sakit hati serta prinsip yang sudah dibuatnya, untuk tak terlibat dengan Ray.Matanya memicing, menelusur dan mencari penyebab kekacauan di sana. Hanya deretan angka dan huruf yang hanya dimengerti olehnya. Hingga akhirnya Gia menyadari hal ganjil di sana. Entah sadar atau tidak, tangannya menggeser mouse, hingga kursor pada layar laptopnya bergerak sesuai keinginan Gia. Layar di hadapannya menampilkan tanda sedang memuat data. Gia menatap layar laptopnya dengan cemas, seraya menggigit kuku jari jempolnya.“Apa ini?” gumam Gia sedikit terkejut.Gia berhasil menemukan sebuah data ilegal di sana dan menjadi penyebab keganjilan. Rasa penasarannya semakin meninggi membuatnya semakin jauh mencari tahu. Matanya terus tertuju pada layar dan tak berkedip sekali pun, menandakan dia

  • Tuan CEO, Istri Cacatmu Genius   Bab. 37

    “Tapi, aku sudah tak memiliki wewenang untuk itu semua. Maaf.” Suara Gia terdengar berat dan sungkan.Adam mengangguk dan tetap tersenyum ramah. Dia bisa merasakan tatapan Gia, ada rasa berat, cemas, dan juga amarah yang terpendam. Tentunya, dia tahu apa yang alami Gia dulu.“Saya bisa mengerti, Nona Gia. Tidak perlu merasa bersalah,” ucap Adam mencoba memecahkan kecanggungan.Gia tersenyum tipis. Dulu, dia akan selalu terbuka pada Adam. Lelaki paruh baya di hadapannya begitu perhatian, bukan karena tugasnya sebagai asisten pribadi Wilson dulu. Akan tetapi, Gia merasakan tulusnya perhatian Adam, seperti seorang ayah pada anak perempuannya.Itulah kenapa Gia tak merasa cemas atau panik saat Adam muncul, walaupun di bagian dari perusahaannya Ray. Adam bisa menempatkan dirinya sebagai seorang pelindung dan profesional dalam pekerjaan. Gia pun akhirnya membalas senyuman tulus dan ramahnya Adam.“Astaga, aku lupa menyuguhkan minuman untukmu. Anda mau minum apa Pak Adam ... teh, kopi atau j

  • Tuan CEO, Istri Cacatmu Genius   36

    Napas Gia berembus cepat seiring dengan dadanya yang naik turun. Kesabarannya sudah habis, hingga amarahnya tak bisa lagi dibendung. Dia menatap murka pada Ray, seolah mengujinya.Namun, Ray hanya tersenyum tipis setelah menghapus darah yang mengucur di sudut bibir. Tamparan keras Gia, membuat kedua sudut bibirnya berdarah. Tak ada tatapan marah atau tak terima.“Kamu tersenyum?” tanya Gia sinis.“Tentu saja. Setidaknya sekarang aku tenang ... kamu menjadi lebih berani. Tetaplah menjadi kuat dan tangguh, Gia. Aku suka Gia yang sekarang,” jawab Ray terdengar penuh kebanggan.Kening Gia mengkerut dengan mata yang menyipit. “Apa yang kamu bicarakan?” geramnya.Ray tak segera menjawab. Dia seolah sengaja menarik rasa penasaran Gia, hingga wanita di hadapannya menatapnya curiga. Lelaki itu kembali tersenyum seraya membersihkan kacamata hitamnya.“Aku tak perlu lagi mencemaskanmu, karena sekarang Gia menjadi pemberani. Dia tak lagi menjadi wanita lemah dan pendiam seperti dulu. Teruskan men

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status