Radha menarik napas panjang saat berdiri di depan pintu rumah Freya, ibu tirinya. Untuk sesaat, ada semacam beban berat yang menggantung di hatinya.
“Bu, ada yang ingin aku bicarakan,” kata Radha, berusaha tetap tenang. Freya sedang duduk di ruang tamu dengan ponsel genggamnya ketika Radha masuk. Perhatiannya seketika teralihkan, ia melayangkan pandangan tajam yang begitu menusuk ke arah Radha. “Soal apa? Jika ini menyangkut masalah rumah tanggamu dengan Krisna, maka simpan saja untuk dirimu sendiri.” Freya mengangkat alisnya, tanda tidak sabar. “Aku sudah memberikanmu begitu banyak saran yang bisa kau lakukan, tapi tetap saja tak bisa memenangkan hati suamimu sendiri. Kau memang payah!” Radha tertunduk sejenak, lalu menggeleng pelan. Menciptakan kerutan halus di dahi Freya. Sementara itu, kedua tangan Radha yang terasa dingin, meremas kuat gagang tasnya. “Bukan? Lalu tentang apa? Katakan dengan cepat, karena sejam lagi aku harus pergi arisan dengan ibu-ibu pejabat di Bunga Rampai.” Desak Freya. Tak langsung menjawab, Radha mengambil sebuah amplop coklat berukuran sedang dari dalam tasnya dan meletakkannya di atas meja, tepat di hadapan Freya. “Ini ada tabungan untuk Nirmala dan Nakula. Beberapa tahun lagi Nirmala akan menyelesaikan kuliahnya. Nakula juga akan lulus dari SMA, lalu melanjutkan pendidikannya di universitas. Karena itu, aku sudah menyiapkan semua ini untuk mereka berdua. Dan kupastikan, keduanya tidak akan kekurangan sedikit pun, meski nanti aku sudah tidak lagi di sini.” Tutur Radha, pelan. Freya menatap amplop itu tanpa berniat ingin menyentuhnya, dengan mata menyipit, bingung, dan curiga. “Apa maksudmu?” “Aku ingin berpisah dari Krisna, Bu.” Suasana di ruangan itu seketika berubah. Freya yang tadinya tampak tenang langsung bangkit dari kursinya. Wajah tirusnya merah padam. “Kau bilang apa barusan? Berpisah?” Melihat kemarahan ibu tirinya, tenggorokan Radha mendadak terasa kering, membuatnya kesulitan menenggak salivanya sendiri. “Aku sangat lelah, Bu. Aku ingin bercerai ....” Belum sempat Radha menyelesaikan ucapannya, Freya meraih pipi Radha dengan cepat, lalu menamparnya dengan keras hingga meninggalkan cetakan tangan Freya yang memerah. Kedua mata Freya berkilat marah. “Beraninya kau! Kau pikir siapa dirimu? Apa karena setelah menikah, kau jadi merasa bisa mengambil keputusan untuk dirimu sendiri? Setelah semua yang kulakukan untukmu, kau pikir bisa pergi begitu saja?!” Bentak Freya, napasnya naik turun. “Argh… I-ibu…” Freya lalu mencengkeram dagu Radha, memaksa Radha untuk melihatnya. “Dengarkan aku baik-baik, sejak ayahmu yang payah itu meninggalkan hutang yang banyak karena tidak becus mengurus perusahaannya sendiri hingga nyaris bangkrut, kau tak lagi punya hak atas hidupmu. Kau adalah bagian dari rencana besarku, dan aku tidak akan membiarkanmu menghancurkan semuanya!” Tubuh lemah Radha terhuyung ke belakang saat Freya melepaskan cengkeramannya dan menghempasnya. “Kau harusnya bersyukur dan berterima kasih padaku. Karena aku, kau bisa hidup enak dengan memiliki suami kaya seperti Krisna. Andai saja Nirmala waktu itu sudah lulus sekolah, sudah pasti dia yang kunikahkan dengan Krishna. Dan aku tidak perlu pusing mengurus wanita tak berguna sepertimu.” Lanjut Freya lagi, ketus. “Aku tahu ibu telah melakukan banyak hal untukku, tetapi pernikahan ini sudah tidak bisa lagi aku pertahankan.” Radha mencoba menjelaskan dengan suara bergetar. “Baik aku dan Krisna, kami berdua tidak memiliki masa depan yang bagus di hubungan ini, Bu.” Freya mendekat, nadanya lebih rendah namun penuh ancaman. “Kau pikir menjadi seorang janda itu mudah? Tidak akan ada pria yang mau memperistrimu setelah kau bercerai, Radha!” Ibu tirinya menambahkan cibiran. “Sadarilah, kau bukan siapa-siapa tanpa suami kayamu itu. Lihat saja, jika kau benar-benar keras kepala dan ingin bercerai, kau tidak akan pernah bisa diterima di mana pun, dan oleh siapa pun juga, Radha!” Radha terdiam. Kata-kata Freya begitu tajam seperti pisau yang menghunjam langsung ke hatinya. Namun, mengingat pernikahannya yang telah berjalan selama lima tahun ini terasa jauh lebih menyakitkan daripada status yang akan disandangnya nanti, maka Radha tidak peduli. Ia hanya ingin bebas, dan membiarkan Krisna berbuat sesuka hati bersama Nindy. Meskipun itu berarti, Radha harus kehilangan segalanya. Mata Freya kembali menyipit, merasakan bahwa Radha masih tetap teguh dengan keputusannya. Dengan gerakan cepat, Freya meraih amplop coklat yang berada di atas meja dan melemparkannya ke wajah Radha. “Kau pikir uang ini cukup? Hah?! Hanya recehan seperti ini, tapi sok mau membiayai pendidikan anak-anakku.” Freya berteriak, nadanya mencemooh. “Jika kau benar-benar peduli mereka, pastikan mereka hidup dalam kemewahan! Untuk itu, hiduplah seperti pohon emas yang bisa kuperas kapan pun aku mau!” Radha menunduk, matanya berkaca-kaca. Namun dia tidak ingin lagi menunjukkan kelemahannya di hadapan Freya. “Aku sudah memikirkan ini matang-matang, Bu. Tidak ada jalan lain selain bercerai.” “Dasar keras kepala!” Freya berteriak, semakin marah. “Kalau kau tetap bersikeras ingin bercerai, lebih baik kau bunuh diri saja! Setidaknya, aku masih bisa mendapatkan asuransi dari kematianmu! Ketahuilah, hidupmu itu tidak ada nilainya tanpa pernikahan ini!” Seolah disambar petir di siang bolong, perkataan Freya kembali membuat Radha terdiam dan dunia di sekelilingnya mendadak berhenti berputar. Hatinya mencelos dan miris akan dirinya sendiri. Seorang ibu, tak segan-segan menyarankan kematian untuk anak tirinya sendiri, hanya demi keuntungan finansialnya. Freya kemudian mendekat, wajahnya penuh dengan kebencian yang mendidih. “Kau ingin melihat kedua adikmu itu bahagia, ‘kan? Maka enyahkan segera keinginan bodohmu untuk bercerai. Atau, berikan kami sesuatu yang jauh lebih berharga dari hidupmu yang tidak berguna itu!” “Apa yang Ibu inginkan dariku?” Sudut bibir Freya terangkat. Dan sembari menyingkirkan tiap helai rambut Radha yang menjuntai bebas di sisi wajahnya, Freya berkata, “Aku sudah bilang, bukan? Berikan nyawamu untuk kedua anakku.”“Kau bertanya karena ingin tahu, atau ingin cepat-cepat menemui kekasih gelapmu itu?” sindir Gayatri dengan nada penuh keangkuhan. Semua orang yang berada di dalam ruangan itu, termasuk Baskara dan Mega, menatapnya dengan ekspresi terkejut. Hanya Nindy yang tampak biasa saja. Bahkan ada senyum tipis yang terukir di bibirnya, seolah menunggu reaksi yang akan diberikan Saga. Saga mengepalkan kedua tangannya, menahan gejolak amarah yang mulai merayapi dadanya. Ia menatap Gayatri dengan sorot mata tajam. “Tolong jangan mengucapkan sesuatu yang sama sekali tidak benar tentang hubungan saya dan Radha.” Gayatri mendengus sinis. “Tidak benar, katamu?” Ia melipat kedua tangannya di dada. “Jadi, menurutmu, kepedulianmu yang berlebihan terhadap Radha itu hal yang wajar? Jangan munafik, Saga. Aku sudah melihat bagaimana kau yang selalu berada di sisinya tiap kali dia bermasalah dengan suaminya. Bahkan caramu menatap Radha, aku bisa tahu bahwa ada sesuatu di antara kalian berdua. Jangan kira ak
Gayatri mengepalkan jemarinya dengan erat, menahan amarahnya yang meluap-luap. Napasnya terdengar memburu, wajahnya memerah, dan matanya menyorotkan kemarahan yang tidak bisa lagi terbendung. “Berani-beraninya Krisna menutup telepon Mamanya sendiri!” batin Gayatri, geram."Apa yang terjadi?" Suara berat dan penuh wibawa khas milik Baskara terdengar dari belakangnya. Pria itu baru saja keluar dari kamar tempat Kakek Felix beristirahat. Wajahnya terlihat lelah dan cemas. "Apa kau sudah memberi tahu Krisna tentang kondisi Ayah?"Gayatri menoleh dengan ekspresi jengkel. "Tentu saja, Mas! Aku juga sudah menyuruhnya untuk segera pulang. Tapi dia justru membantahku dan bersikeras untuk tetap menemani Radha. Kata Krisna, wanita itu pingsan!" Nada suaranya penuh kejengkelan dan ketidakpercayaan.Baskara mengernyit. "Radha pingsan?""Iya, Mas! Dan Krisna membawanya ke rumah sakit. Seolah-olah itu lebih penting daripada kondisi kakeknya sendiri!" Gayatri mendengus sinis. "Aku sudah menduga wani
Krisna terperangah. Napasnya tercekat saat melihat tubuh Radha ambruk ke tanah tanpa daya. Untuk sesaat, dunia terasa berhenti. Pikirannya kosong dan tubuhnya membeku. Tetapi detik berikutnya, tanpa sadar, ia sudah berlari ke arah wanita itu."Radha!" Krisna berlutut di sampingnya, tangannya terulur untuk menyentuh wajah Radha yang pucat pasi. Dada wanita itu naik turun tak beraturan, napasnya tersengal-sengal, dan keringat dingin mulai membasahi dahinya.
Krisna menarik tangan Radha dengan erat, membawanya keluar dari ruangan yang penuh dengan kekacauan. Langkahnya cepat, hampir menyeret Radha yang masih terkejut dengan apa yang baru saja terjadi. Napasnya memburu, sementara pikirannya berputar liar, mencoba memahami mengapa dia tiba-tiba merasa perlu melindungi Radha. Radha hanya bisa menurut, mengikuti Krisna dengan langkah goyah. Jantungnya masih berdegup kencang, kepalanya pening akibat kilatan kamera dan suara-suara menghakimi yang terus terngiang di telinganya. Namun, genggaman tangan Krisna yang kuat seolah memberinya perlindungan di tengah badai yang mengamuk. Mereka terus berjalan hingga mencapai taman belakang gedung, jauh dari sorotan kamera dan kerumunan orang-orang yang menggila serta haus akan berita penuh sensasi dari salah satu anggota keluarga Harlingga. Saat akhirnya Krisna melepaskan genggamannya, Radha terhuyung sedikit ke belakang. Napasnya masih tersengal, dadanya naik turun dengan cepat. “Apa... yang baru saj
Radha berdiri terperangah di tengah kerumunan wartawan yang tak kenal ampun. Kilatan kamera terus menyambar wajah Radha dan menyilaukan matanya. Suara-suara tajam dan penuh desakan dari wartawan pun turut menusuk telinganya, membuat kepalanya berdengung tanpa henti. “Nyonya Radha, benarkah Anda telah menggugat cerai Tuan Krisna?” salah satu wartawan melemparkan pertanyaan dengan nada mendesak. “Apakah benar penyebabnya adalah orang ketiga?” yang lain menambahkan tanpa memberi waktu bagi Radha untuk menjawab. Sebuah mikrofon mendekat dari arah lain, “menurut informasi yang kami terima, Anda memiliki hubungan tersembunyi dengan seorang pria dari keluarga kaya. Bisakah Anda memberi klarifikasi tentang itu?” “Dan apakah benar Anda tengah mengandung anak dari pria tersebut?” pertanyaan terakhir dilontarkan dengan nada yang lebih tajam dan mengintimidasi. Radha hanya bisa membeku, tubuhnya terasa seolah kehilangan tenaga. Kilatan kamera yang terus-menerus membuat pandangannya semakin
Krisna menegang sesaat. Kata "sayang" yang diucapkan Radha dengan nada menggoda seolah nyaris menghantam benteng pertahanannya. Mata hitamnya menatap wanita di sampingnya yang kini tersenyum manis seakan benar-benar menikmati perannya. "Apa kau sangat menikmatinya?" gumamnya pelan. Radha tertawa kecil. "Bukankah kau sendiri yang menyuruhku bersikap layaknya istri yang baik?" Krisna hanya mendengus dan menatap lurus ke depan. Langkahnya mantap saat memasuki gedung mewah tempat acara amal berlangsung. Sejak mereka muncul di pintu masuk, mata para tamu undangan yang ada di dalam ruangan itu, kompak tertuju pada mereka. Bisik-bisik di antara mereka pun mulai samar terdengar. "Oh, lihat itu! Mereka datang!" “Astaga, aku pikir ini seperti acara pengobatan raja dan ratu. Mereka berdua terlihat sangat menawan!” “Aku hanya mendengar bahwa menantu perempuan mereka sangat cantik, dan ternyata itu benar.” “Rasanya beruntung sekali bisa datang ke tempat ini. Bisa melihat wajah tampan cuc
“Seberapa berpengaruhnya dia?” Andre tersenyum tipis, tetapi kali ini senyumnya lebih dingin. “Cukup untuk bisa masuk ke dalam lingkaran bisnis kelas atas tanpa harus membawa nama Harlingga. Dan cukup untuk membuat banyak orang bertanya-tanya… siapa sebenarnya yang berdiri di belakangnya.” Aresha membatu seketika. Jadi, Joshua bukan hanya sekadar putra Baskara yang tersembunyi. Dia lebih dari itu. Dia seseorang yang memiliki kekuatan, pengaruh, dan—kemungkinan besar—rencana tersendiri. Ini jauh lebih rumit dari yang ia bayangkan. “Jika kau ingin tahu lebih banyak, aku bisa menyelidikinya lebih dalam,” tawar Andre. Aresha menghembuskan napas panjang. “Kalau begitu lakukanlah.” Andre mengangguk, lalu bangkit. Sebelum pergi, ia menatap Aresha dengan pandangan tajam. “Tapi Aresha, aku sarankan satu hal.” “Apa?” “Berhati-hatilah.” Suaranya rendah, nyaris seperti peringatan. “Joshua bukanlah orang yang bisa disentuh dengan mudah.” Aresha hanya tersenyum kecil. Namun di dalam hatin
Aresha merasakan detak jantungnya berdegup lebih cepat dari biasanya. Kata-kata yang baru saja keluar dari bibirnya menggantung di udara, menciptakan keheningan yang memekakkan telinga. Joshua adalah putra lain dari Baskara. Jika itu benar, berarti… dia dan Joshua memiliki darah yang sama. Perutnya terasa mual. Keringat dingin mengalir di pelipisnya, meskipun udara di sekitar masih dikuasai angin sepoi-sepoi yang seharusnya menenangkan. Tetapi dirinya sama sekali tidak bisa tenang dengan kondisi pikirannya yang kacau balau saat ini. “Saga,” bisiknya, mencoba memastikan kembali. “Apa kau benar-benar yakin dengan apa yang kau ucapkan barusan? Barangkali saja yang kau maksud adalah Joshua yang lain?” Di seberang telepon, suara Saga terdengar lebih berat, seolah ia sendiri belum siap menerima kenyataan ini. “Ya, aku juga tidak menutup kemungkinan akan hal itu,” katanya pelan. “Tapi tetap saja, Aresha. Tidak ada salahnya untuk bersikap waspada terhadap segala hal yang bisa menghancur
Aresha mengedarkan napas perlahan, menyembunyikan keterkejutannya di balik senyum tipis yang tak terbaca. Namun, tatapannya menajam, menyelidik pria yang berdiri di hadapannya. Joshua. Nama yang terdengar asing, tetapi caranya berbicara seolah ia tahu lebih banyak daripada yang seharusnya. Sorot matanya yang tajam, tak menunjukkan sedikit pun celah yang bisa dimanfaatkan Aresha. Dia jelas bukanlah orang biasa. Aresha menggeser sedikit berat badannya ke satu sisi, menyilangkan tangan di depan dada, seolah percakapan ini bukan hal besar baginya. “Aku tak tahu siapa yang memberimu informasi, tapi aku rasa kau sedang salah paham, Tuan Joshua,” ujarnya, suaranya tetap ringan namun berhati-hati. Joshua tersenyum kecil, seolah mengapresiasi usaha Aresha untuk tetap tenang. "Salah paham?" ulangnya, seakan mengecap kata itu di lidahnya. "Apakah itu benar? Aku rasa aku tidak mungkin salah." Aresha tertawa pelan, seolah menertawakan ketidakmasukakalan kata-kata pria itu. Namun, hatinya be