Percakapannya dengan Bian masih jelas membekas di kepala Fio. Gadis itu sejak tadi kesulitan untuk memejamkan matanya. Dia terus merapatkan matanya dengan paksa yang sayang sekali hanya bertahan selama lima menit saja. Dia menyerah dan kembali membuka mata untuk menatap langit-langit kamarnya. Disana terdapat bintang-bintang yang berasal dari lampu di atas nakas Fio.
Suasana remang dan banyaknya proyeksi bintang di atasnya membuat Fio semakin merasa kalimat demi kalimat yang dilontarkan oleh Bian kepadanya tidak berhenti berputar di kepalanya. Gadis itu mendesah kemudian beranjak dari tempat tidurnya. Fio berjalan dengan pelan. Matanya bahkan masih sembab akibat menangis tepat setelah Bian meninggalkan rumahnya.
Dia membuka pintu kamarnya kemudian berjalan menuju ke arah ruang makan. Dia menoleh ke arah jam dinding yang terletak di atas pintu kamar kedua orang tuanya. “Huh!” Dia membuang napasnya dengan kasar. Pukul sebelas lebih sepuluh menit malam. Fio meneruskan l
Fio menatap dua roti yang masih ada di dalam kotak bekalnya dengan sorot kecewa. “Ini… ini untuk aku semua,” jawab Fio. “iya ini untuk aku semua,” gumam Fio. “Makanmu banyak sekali,” celetuk Nadya sambil mengunyah rotinya. “Supaya berat badanku bertambah, mama berkata kalau aku kelihatan kurus,” Fio tersenyum dengan menunjukkan gigi-giginya yang putih bersih. Nadya hanya tertawa dan tidak menanggapi ucapan Fio. Mengingat bagaimana mamanya menyiapkan bekal sarapan tadi pagi membuat Fio merasa kembali kecewa. Memangnya Fio harus bagaimana setelah obrolannya dengan Bian malam itu? Semuanya semakin menjadi abu-abu dan terasa sia-sia bagi Fio. Dia ingin menghentikan langkahnya. Dia ingin memutus semua perasaannya untuk Bian sekarang juga, tapi pemuda itu selalu egois dengan menarik ulurnya sesuka hati. “Aku senang selama ini ada kamu di sampingku,” kata Bian. Fio menoleh dengan bibirnya yang terkunci rapat. Matanya tidak berkedip menat
Fio menatap papanya dengan gelas berisi susu yang masih berada di depan bibirnya. “Ya, Fio baik-baik saja, Pa,” jawabnya dengan senyuman yang terlihat seperti dipaksakan.“Kalau kamu sedang tidak enak badan, kamu tidak perlu datang ke sekolah, Papa bisa minta izin ke sekolahmu pagi ini,” kata Anjar dengan pandangan yang tidak lepas dari wajah Fio.Fio menggelengkan kepalanya dengan cepat. “Tidak perlu, Fio tidak sakit, Fio benar-benar baik-baik saja, Pa,” katanya membantah.“Yasudah kalau begitu, ini Mama siapkan bekal sarapan kamu untuk di sekolah nanti, jangan lupa di makan,” kata Rahma dengan senyuman hangat.Fio tersenyum dan mengangguk paham. “Terima kasih banyak, Ma.”Dia kemudian menatap kotak bekalnya yang hampir di tutup oleh Rahma. “Mama tunggu!” Fio menahan tangan Rahma yang hendak menutup kotak bekal tersebut.“Ada apa?” tanya Rahma sedikit terkej
Nadya menampilkan wajah sedih dan juga kecewa. “Ya,” jawabnya dengan lirih.Jantung Fio berdegup kencang. “Kenapa kamu mau melakukannya? Kalian bahkan belum menikah dan kita bahkan masih duduk di bangku SMA.” Fio benar-benar tidak habis pikir dengan kelakuan Nadya dan juga Dio.“Kami saling cinta, terlebih aku sudah terlanjur mencintai Dio setengah mati,” jawab Nadya sambil mengangkat bahunya acuh.Fio menghela nafasnya dalam. “Kalau kamu yang katanya sudah di cintai saja masih bisa di lukai, apalagi aku yang masih berstatus teman?” Fio menundukkan kepalanya dengan kerutan-kerutan di dahinya.“Fi?” Nadya mencoba memahami apa yang sedang dirasakan oleh teman baiknya itu.Fio mendongak. “Nad, apa kamu tidak takut kalau kamu sampai eumm…” Fio menggaruk kepalanya yang tidak gatal sama sekali. “Apa kamu tidak takut hamil?” Fio berhasil membuat beberapa orang di se
“Nanti pulang sekolah denganku, ya?” kata Rey yang tengah mengendarai motor sport-nya.Fio menatap jalanan di sekitar mereka. “Oke,” jawabnya singkat.Rey menatap pantulan dirinya dari kaca spion. “Fi, apa kamu sedang ada masalah?” tanya Rey.“Tidak, aku baik-baik saja,” jawab Fio.Rey menghela napasnya dalam kemudian tidak ada lagi percakapan di antara keduanya. Sampai saat motor Rey berhenti di lampu merah, mata Fio terbelalak.“Bian?” Rey menepuk bahu Bian yang sedang menaiki sepeda motornya.Posisi yang berjejer membuat Bian bisa menatap wajah Fio dengan jelas. “Hai Rey,” sapa Bian.Bian hanya melirik Fio dengan raut wajah datar. Pemuda itu sama sekali tidak menyapa Fio. Hanya sebentar, karena setelahnya lampu hijau menyala.“Aku pergi dulu, Rey,” kata Bian.Rey terlihat mengangguk kemudian berbelok ke kanan di mana sekolahnya dan Fio
Fio menoleh ke samping. Dia meneguk salivanya dengan pelan. Mata Bian menatapnya dengan tajam.“Katakan kalau kamu tidak benar-benar menginginkan Rey!” Fio dapat melihat urat-urat di leher Bian yang tercetak jelas.“Aku tidak perlu melakukannya, ini semua bukan urusan kamu,” kata Fio. “Aku harus segera pulang.” Fio berdiri dari duduknya.Bian dengan cepat menangkap pergelangan tangan Fio dan menarik gadis itu hingga Fio kembali terduduk di bangku taman.“Bi?” Mata Fio melebar merasakan cengkeraman tangan Bian yang terasa erat.Dengan sekali tarikan, tubuh Fio semakin mendekat dengan Bian. Tanpa permisi, Bian memajukan wajahnya. Mata Fio membulat sempurna kala bibir Bian sudah menempel di atas bibirnya. Benda kenyal dan juga lembut itu seketika membuat kaki Fio terasa tidak bertenaga.Bian dengan pelan mulai menggerakkan bibirnya pelan. Tubuh Fio menegang dengan sempurna saat Bian meraih tengkuk
“Kita berhenti di sini sebentar,” kata Bian kemudian menepikan motornya.“Bukankah semalam kita sudah ke taman? Kenapa sekarang ke taman lagi?” tanya Fio dengan kerutan di dahinya.Bian diam sambil melepaskan helmnya. “Ayo!” Bian meraih tangan Fio dan menggandengnya.Mereka berdua berjalan menuju ke sebuah pohon besar yang terlihat rindang. “Duduk!” kata Bian kepada Fio yang masih berdiri di depannya.Fio menatap Bian yang sudah duduk di atas rerumputan di bawah pohon tersebut. “Aku tidak pernah sadar kalau taman di sini sangat asri,” kata Fio yang kemudian duduk di sebelah Bian.“Hmm, kamu tidak pernah memperhatikan beberapa hal yang sebenarnya sangat sesuai dengan keinginanmu,” kata Bian.Fio mengerutkan dahinya. “Maksud kamu?” tanyanya.“Taman ini sangat nyaman untuk mengobrol, bahkan tempat yang aku pilih sekarang untuk kita duduk juga
“Apa gosip itu benar?”Fio berdiri di pinggir lapangan dengan tas ransel yang sudah ada di punggungnya. “Hmm, benar,” jawabnya.Bahu Rey merosot ke bawah. “Jadi selama ini kamu terus menolak untuk pergi bersamaku karena kamu dan Bian sudah bersama?” Rey tahu dirinya sedang memilih untuk menyakiti hatinya sendiri.“Ya, aku sudah menjadi kekasih Bian,” jawab Fio.“Ah I see!” Rey menganggukkan kepalanya dengan mata yang menyorotkan rasa kecewa.“Selamat ya.” Rey tersenyum.“Terima kasih.” Fio ikut tersenyum.“Aku pergi dulu, sampai jumpa lagi, Fi,” Rey tersenyum dan pergi meninggalkan Fio tanpa menunggu gadis itu menjawab ucapannya.Fio menatap punggung Rey yang semakin menjauh. “Ada apa dengannya?” Fio bergumam kemudian mengangkat bahunya acuh.***“Terima kasih sudah mengantarku pulang
“Apa kamu merasa senang?”Fio menoleh kemudian tersenyum lebar. “Hmm, tentu saja aku senang!” jawabnya.Bian ikut tersenyum. Pemuda dengan kulit putih bersih dan juga hidung mancung itu menatap beberapa anak kecil yang sedang bermain di taman itu.“Es krimnya enak sekali!” kata Fio dengan nada yang terdengar antusias.Bian menoleh ke samping dan terkekeh geli melihat bagaimana Fio memakan es krimnya. “Kenapa kamu selalu seperti anak kecil saat makan es krim?” Bian mengusap ujung bibir Fio dengan jempolnya.Fio terbelalak kaget. Dia menatap wajah Bian tanpa berkedip. Bibir Fio terbuka ketika melihat Bian menjilat es krim dari jempolnya dengan mata yang tidak lepas dari Fio.“Bi?” Fio bergumam.“Kenapa?” Bian tersenyum. “Kamu ingin aku menciummu di sini?” tanya Bian dengan nada jahil.“Ekhm!” Fio segera mengalihkan tatapannya ke arah l