“Fio.” Melati berdiri di samping ranjang Fio dengan tatapan rindunya.
Fio tersenyum. “Ibu,” suaranya terdengar sangat merdu di telinga Melati hingga membuat mata wanita itu mengabur karena air mata.
Dada Melati membuncah kala mendengar Fio memanggilnya ibu. “Iya, ini Ibu, Nak.” Melati kemudian maju dan memeluk Fio dengan erat.
Fio balas memeluk Melati. Mereka hanya berdua di ruangan itu. Anjar sengaja menunggu di luar ruangan untuk memberikan waktu kepada Fio dan juga Melati. Sementara Rahma, dia memilih menunggu di rumahnya. Setelah semuanya selesai, dia akan datang kembali ke rumah sakit.
“Ibu senang kamu sudah sehat,” kata Melati.
Wanita itu duduk di pinggiran ranjang Fio.
“Fio senang bertemu dengan Ibu.” Senyum Fio terlihat tulus.
Melati mengangguk. “Ibu lebih senang lagi karena bisa memeluk Fio.” Melati mengusap pipi Fio dengan sayang. “Fio, ikut Ibu pu
Fio menghirup udara sebanyak mungkin untuk mengisi paru-parunya yang belakangan ini terus saja terasa sesak. Senyumnya terkembang sempurna.“Kamu sudah benar-benar baik-baik saja?” tanya Bian yang masih memasang wajah bahagianya karena Fio sudah kembali tersenyum.“Hmm.” Fio menoleh ke samping dan tersenyum. “Orang tuaku, mereka benar-benar menyayangiku,” kata Fio. “Aku pikir…” Fio menatap lurus ke depan. “Kemarin mereka hanya sedang frustasi hingga mengabaikanku dan bahkan berkata hal yang tidak seharusnya mereka katakan.” Fio tersenyum.“Manusia terkadang bisa lepas kendali jika sedang emosi, kamu harus bisa mengambil sikap bijak mulai sekarang, bunuh diri tidak menyelesaikan apapun.” Bian mengelus rambut Fio.Fio mengangguk. “Maaf,” katanya dengan sorot mata penuh penyesalan.“Kamu harusnya meminta maaf kepada dirimu sendiri, bukan denganku.” B
“Kenapa dia sampai memukulmu?” tanya Fio dengan dahi berkerut.Rey mengangkat bahunya. “Dia teman baikku ketika kami berada di bangku SMP.” Rey meminum es jeruknya.Mereka masih berada di warung bakso yang tidak jauh dari rumah Fio. Gadis itu terlihat melebarkan matanya. Dia bahkan baru tahu fakta terbaru dari seorang Bian, yang tidak lain adalah kekasihnya sendiri.“Lalu, kenapa dia memukulmu? Kamu tidak menjawab pertanyaanku yang satu ini.” Fio bersedekap.“Aku tahu dia mengacuhkanmu akhir-akhir ini,” kata Rey sambil menatap Fio dengan intens.Fio mengerutkan keningnya dalam. “Bagaimana kamu bisa tahu?” Karena seingat Fio, hanya Nadya yang mengetahui hubungannya dengan Bian yang sedang merenggang.“Nadya.” Rey tersenyum simpul.“Ah, sudah aku duga,” sahut Fio dengan cepat.“Dia brengsek, kan?” Rey terlihat tersenyum misterius.
Rasanya seperti baru kemarin Fio menjadi siswi baru di SMA Nusantara. Gadis itu tersenyum lebar di depan kamera. Anjar dan Rahma, kedua orang tua itu tengah berbahagia karena putri semata wayang mereka berhasil menyelesaikan sekolahnya.“Mama, sudah ya sesi foto-fotonya?” Fio mulai cemberut.“Sebentar lagi ya? Setelah ini, kamu ‘kan ke Jogja untuk kuliah, Mama hanya ingin mengambil banyak foto dengan anak Mama,” kata Rahma dengan wajah sendu.“Mama, Fio hanya akan kuliah di sana bukan pindah rumah selamanya.” Fio mencebik.Anjar hanya terkekeh geli dengan obrolan kedua orang penting di dalam hidupnya tersebut. Sesi foto tetap berlanjut seperti keinginan Rahma. Setelahnya, mereka makan di sebuah restoran untuk merayakan kelulusan Fio. Hanya makan bertiga dan itu adalah hal yang membuat Fio merasa sangat bahagia.“Kalau ada Bian pasti lebih rame ya, Fi?” Rahma kemudian meminum jus mangganya.
Acara selanjutnya adalah kuliah umum. Fio mengernyitkan keningnya kala dia sudah tidak bisa lagi menahan rasa ingin buang air kecil. Gadis itu menoleh ke kanan dan ke kiri.“Ada apa?” tanya Tiara.“Aku ingin ke toilet,” kata Fio sambil berbisik.“Yasudah, pergilah sekarang! Atau perlu aku temani?” tawa Tiara.Fio sontak menggelengkan kepalanya. “Ah, tidak perlu!” Fio tersenyum kemudian berdiri dan melangkah pergi dari sana.Dia melangkahkah kaki dengan mata yang terus mencari jalan menuju ke toilet mahasiswa. Fio kemudian berjalan lurus ke depan dan mulai turun dari tangga yang di sana terdapat beberapa panitia.“Mau ke mana, Dek?” tanya salah satu panitia bernama Intan yang berdiri di dekat tangga menuju ke bawah hall.“Saya mau ke toilet, Kak,” jawab Fio sambil menunduk.“Toiletnya tepat ada di sebelah tangga ini,” kata Intan yang dia
“Fio, ya?”Fio mendongak dan mengangguk sambil mengernyitkan keningnya ketika mentari menerpa wajah putihnya. “Iya aku Fio,” jawabnya ramah.“Aku Bobby,” pemuda yang merupakan salah satu panitia itu mengulurkan tangannya.Fio menyambutnya dan tersenyum. “Oh halo, Kak!” sapa Fio.“Kamu sedang istirahat?” tanya Bobby yang kemudian ikut duduk di halaman kampus.“Hmm.” Fio mengangguk dan tersenyum. “Kakak sedang apa di sini?” Fio kemudian celingukan.“Aku ingin berkenalan denganmu, sejak hari pertama OSPEK aku penasaran denganmu,” Bobby terkekeh.“Penasaran?” Fio melebarkan matanya. “Aku mahasiswi biasa dari Surabaya, Kak.” Fio tertawa.“Oh Surabaya, sama seperti ketua OSPEK kita,” kata Bobby yang membuat tawa Fio berhenti dengan seketika. “Dia mahasiswa yang cukup terkenal di kampus, banyak maha
Fio menghela napasnya. Dia menunduk dengan jemari tangan yang sudah saling memilin ujung almamaternya.“Lihat ke saya jangan ke lantai!” kata Bian tegas.Fio menelan salivanya dan mendongak. Dia menatap mata Bian yang terlihat tajam dan galak.“Kak Bian.” Fio terdiam sebentar. “Saya cinta Kak Bian,” kata Fio dengan suara tercekat di akhir kalimatnya.“Oke! Pernyataan cinta kamu ke saya di terima,” kata Bian dengan cepat.Fio yang hendak kembali menunduk langsung mendongak dengan mata membulat. “Kak Bian menerima saya?” tanya Fio lirih.“Saya menerima usahamu yang ingin menanggung risiko dari setiap tindakan yang kamu lakukan,” ucap Bian yang terdengar sangat aneh di telinga Fio.“Risiko?” tanya Fio.Bian mengangguk. “Semua yang kamu lakukan ada risikonya dan kamu sedang menanggung risiko tersebut,” ucap Bian.Fio tidak mampu b
Fio hanya diam ketika Rey memanggil namanya. Pemuda itu melirik gadis yang semakin dia harapkan melalui kaca spion motor matic-nya. Mata Fio memandang jalanan dengan sorot sedih. Rey menghela napasnya sambil mengurangi kecepatan motornya. Dia jelas tahu apa yang sedang Fio pikirkan saat ini dan itu jelas membuat hati Rey terasa nyeri.“Fi?” Rey kembali memanggil Fio sambil menyentuh paha gadis itu pelan.Fio berkedip kemudian mendekatkan wajahnya ke depan. “Ya?” responnya.Rey tersenyum lembut. “Kamu sedang melamun tentang apa?” tanya Rey dengan sangat tenang.“Ah tidak ada! Aku hanya sedang rindu rumah,” jawab Fio.“Oh, kalau kamu mau, besok weekend kita bisa pulang ke Surabaya, bagaimana?” Fio bisa menangkap senyum manis yang di berikan oleh Rey kepadanya.Fio tersenyum dan menggelengkan kepalanya. “Aku ingin mencoba hidup mandiri, kalau ketika aku rindu ru
Fio baru saja selesai kuliah hari pertama. Gadis itu masih terlihat ceria seperti biasanya. Dia berjalan menuju kantin kampus yang terletak tidak jauh dari fakultasnya. Sore ini dirinya ingin memakan mie ayam yang di jual di kantin. Kata teman-teman kelasnya rasanya enak dan seperti anak muda kebanyakan yang merasa penasaran, Fio juga ingin mencobanya.Dia segera memesan apa yang dia ingin makan. Kemudian, dengan santai dia memilih meja yang terletak di tengah. Fio tetap duduk tenang sambil kembali membaca materi kuliah yang tadi dia ikuti sambil sesekali menyuapkan mie-nya ke dalam mulutnya.Sampai ketika dirinya sedang memakan mie ayamnya yang tersisa sedikit, matanya tidak sengaja melihat sosok yang sudah terlalu jauh berubah tengah duduk menghadap ke mejanya. Fio berhenti mengunyah dan terdiam saling menatap dengan Bian yang masih saja melayangkan tatapan dinginnya. Fio menelan mie-nya dengan kesulitan.Kali ini, Bian terlihat bersama teman-temannya yang ber