Tepat pada malam jumat kliwon sesuai dengan syarat yang telah ditentukan oleh Marleni, saat itu pernikahan antara Rangga dan Tania pun berlangsung dengan cepat. Menikah secara adat dan agama saja, mereka sengaja menunda pernikahan secara negara.Menurut ramalannya Leni, Rangga akan menikah dengan Ratih. Ramalan tersebut tidak akan terhindarkan, semua akan terjadi sesuai dengan bagaimana alam akan kembali berpihak pada mereka setelah masa paceklik selama ini.Entah bagaimana caranya, Rangga juga tidak tau. Dia hanya akan mengikuti semua petunjuk Leni tanpa melewatkan berbagai syarat sedikit pun.“Rangga, bolehkah aku memanggilmu dengan sebutan Mas, saat ini?” tanya Tania pada pria yang kini sudah menjadi suami sirinya.“Boleh, Nia. Kamu boleh memanggilku apa saja,” ucap Rangga melangkah mendekati Nia yang masih berbalut pakaian pengantin kebaya putih dengan sewek batik berwarna coklat.Ia lalu memegang rahang Ni
Bayangan Saka yang jika tertawa memamerkan lesung pipi di sebelah kirinya membuat Ratih semakin semangat mengerjakan pekerjaannya di pabrik. Semangit hidupnya kembali timbul dan pikirannya setenang air laut di pagi hari. Sangat tenang tidak berombak.“Bunda jadi ikut kan? Yuk bergegas,” ajak Ratih sambil mengembangkan senyuman di wajahnya.“Tentu saja, ayo kita bergegas pulang,” sahut Lusi langsung mengambil tas selempangnya dan naik ke atas mobil anaknya.Keduanya mengisi perjalanan tersebut dengan berbagi cerita kelucuannya Saka. Bagaimana Saka akan terbahak kalau mendengar Lusi bersin. Sedangkan Ratih menceritakan bagaimana ekspresi anaknya jika hendak buang air besar.“Oh Tuhan, Bunda. Aku tidak pernah menyangka akan sangat bahagia seperti sekarang ini,” ucap Ratih dengan kedua mata yang berbinar.“Iya Nak. Berbahagialah, ayahmu pasti ikut tersenyum, tertawa dan menangis haru di sana,&rdqu
Dua bulan sudah waktu berlalu, hari ini Ratih dan Deva sedang mengadakan acara syukuran tujuh bulanannya baby Saka. Para pegawai, seluruh penghuni panti asuhan dan panti jompo semua juga turut hadir.Walau selama ini Ratih menyimpan kegelisahannya sendiri, tapi tidak sekali pun Ratih menunjukkan kesedihannya dan rasa cemasnya di hadapan Deva.“Apa, kamu bahagia?” tanya Deva pada istrinya itu.“Sangat, aku sangat bahagia, Deva.” Ratih lalu memeluk suami sambil menggendong anak sulungnya.Acara berlangsung meriah hingga tepat pukul tujuh malam mereka pun segera pulang ke rumahnya masing-masing. Terakhir, Deva pergi mengajak Ratih untuk pulang bersama. Sedangkan, Saka dan Lusi berada dalam satu mobil menuju ke rumah Deva.Malam itu, Deva berencana untuk mengajak Ratih bermalam di rumah pohon. Ia sudah menyiapkan segalanya dan menatap Ratih penuh cinta.Hari ini hingga tiga hari kedepan adalah masa suburnya
Ratih mengerjabkan kedua matanya, ia beradaptasi dengan sinar lampu yang silau di dalam kamarnya. Ia tidak tahu sudah berapa lama dirinya menutup mata, kepalanya terasa sangat pusing dan berdenyut nyeri.Bahkan untuk dipakai menoleh pun rasanya sakit sekali, Ratih tahu di sisi kanannya ada seseorang yang sedang duduk menunggu dan menemaninya. Hanya saja untuk tahu siapa orang itu, Ratih perlu menoleh sejenak.“Ini sakit sekali,” rintih Ratih sambil mengangkat tangan kirinya dan memegang kepalanya.Lusi pun terlonjak dari kursi, ia sangat bahagia melihat Ratih yang sudah berhasil membuka kedua matanya. “Ya Tuhan, untunglah kamu sudah sadar sekarang, Nak,” ucap Lucy langsung segera memencet sebuah tombol untuk memanggil suster datang ke dalam kamar tersebut."Ada apa, Nyonya? Oh! syukurah Nyonya Ratih sudah sadar," pekik suster itu langsung kembali keluar untuk memanggil dokter Hastuti yang berada di kamar sebelah.Ratih bingung dengan hiruk pikuk yang ada di hadapannya, ia melihat baik
Sebuah telepon rumah berdering sangat nyaring, membuat sepasang kaki tergagih untuk segera mengangkatnya. Dengan peluh di pelipisnya, akhirnya dia mengangkat telepon rumah tersebut.“Halo,” jawab Rangga terengah.“Rangga, inilah waktunya. Ratih akan segera kembali kepadamu, Rangga. Kembalilah ke rumah orang tuamu, pastikan mereka menerimamu kembali. Jika Ratih mencabut laporan di kantor polisi, masalah pelik ini semuanya akan selesai.”“Kita bisa melimpahkan semua kesalahan kepada Tedy yang saat ini sedang terbaring tidak berdaya di rumah sakit. Kamu jangan khawatir, paling kamu hanya akan di penjara beberapa bulan saja,”“Ibu yakin, Ratih akan memperjuangkan kebebasanmu,” terang Leni sangat yakin.Rangga mendengar dengan seksama. “Tapi, pada akhirnya aku akan tetap di penjara, Ibu,” lirih Rangga sambil mengusap wajahnya.“Hanya sebentar sampai Ratih sendiri yang akan membebaskanmu, ingat! Mainkan peranmu dengan baik! Jangan bodoh! Waktumu di penjara itu tidak sepadan dengan uang mily
“Rangga, apa benar ini rumahnya Rangga?” tanya Ratih yang sedikit ragu akan rangkaian nomor telepon rumah yang baru saja ditekannya untuk menghubungi mantan kekasihnya.“Ratih?! Apa benar ini kamu?” tanya Rangga sumringah, akhirnya ucapannya Leni menjadi kenyataan.Kali ini, Ratih benar-benar datang sendiri padanya dan dirinya tidak perlu repot lagi untuk mengejar atau bahkan menculik Ratih.“Iya, ini aku. Kenapa kamu tidak datang ke rumah sakit saat aku sedang sakit, Rangga? Apa karena bunda dan Deva yang mencegahnya?” tanya Ratih penasaran dengan jawaban Rangga.Terdengar helaan nafas Rangga yang terasa berat. “Jangankan ke rumah sakit, mendengar kabarnya saja aku tidak pernah. Sejak kamu mengusirku tanpa sebab dari acara ulang tahunmu yang ke dua puluh satu tahun, sejak saat itulah keluargamu berhasil mencuci otakmu,” ucap Rangga.Kedua mata Ratih membulat sempurna. “Aku mengusirmu? Apa masukmu aku mengusirmu, Rangga? Aku, mencintaimu … tidak mungkin aku mengusir dirimu!” Ratih tid
“Aku sangat merindukanmu,” lirih Rangga memeluk erat tubuh Ratih yang saat ini sudah berada di kamarnya.Ratih juga membalas pelukan Rangga dengan posesif. “Aku tidak percaya selama ini mereka memisahkan kita,” jawab Ratih sedih.“Apa lagi aku, kita sangat bahagia sebelumnya Ratih. Hanya karena aku orang miskin, mereka semudah itu membuatku menjadi seorang penjahat. Kini aku adalah seorang buronan, Ratih. Mereka bisa menangkap aku kapan pun,” ucap Rangga sedih dan membuat Ratih terkejut.“Tidak, itu tidak boleh terjadi. Aku akan pergi ke kantor polisi dan mencabut laporannya,” ucap Ratih hendak pergi saat itu tapi Rangga mencegahnya.“Tidak bisa Ratih, sudah ada putusan pengadilan dan aku sudah di vonis bersalah. Satu-satunya cara adalah aku harus mengganti identitasku dan aku harus operasi plastic mengganti bentuk wajahku. Menjadi pribadi dan manusia yang baru, agar aku bisa diterima di kalangan masyarat,” terang Rangga.Ratih tidak berpikir dua kali. “Apapun, akan aku lakukan asal k
“Ada apa denganmu? Kita saling mencintai, kita tidak saling membenci Ratih.” Deva merasa hancur saat itu.“Sudahlah, Dev,” dengus Ratih menatap jengah Deva dan beralih ke bundanya.“Bagaimana, Bunda? Apa Bunda bersedia membantuku agar kita tetap bisa hidup bersama?” Ratih mendesak agarsaat itu Lusi mengambil keputusan yang sulit.Menyadari jika hanya Lusi satu-satunya harapan untuk menyadarkan Ratih, Deva langsung mengangguk sambil menatap Lusi dengan tatapan sedihnya.“Baiklah, Bunda akan ikut denganmu,” tangis Lusi.Ia lalu mendekati Deva dan memeluk Saka seraya berbisik. “Maafkan, eyang putri, Saka. Doakan mamamu cepat sadar,” bisiknya membuat Saka menggeliat dalam tidurnya.Lusi juga memeluk Deva sambil menepuk bahu menantunya. “Maafkan, bunda … tolong jangan menyerah padanya,” lirih Lusi membuat Deva tak kuasa meneteskan air matanya.&ldq