Dua bulan sudah waktu berlalu, hari ini Ratih dan Deva sedang mengadakan acara syukuran tujuh bulanannya baby Saka. Para pegawai, seluruh penghuni panti asuhan dan panti jompo semua juga turut hadir.
Walau selama ini Ratih menyimpan kegelisahannya sendiri, tapi tidak sekali pun Ratih menunjukkan kesedihannya dan rasa cemasnya di hadapan Deva.
“Apa, kamu bahagia?” tanya Deva pada istrinya itu.
“Sangat, aku sangat bahagia, Deva.” Ratih lalu memeluk suami sambil menggendong anak sulungnya.
Acara berlangsung meriah hingga tepat pukul tujuh malam mereka pun segera pulang ke rumahnya masing-masing. Terakhir, Deva pergi mengajak Ratih untuk pulang bersama. Sedangkan, Saka dan Lusi berada dalam satu mobil menuju ke rumah Deva.
Malam itu, Deva berencana untuk mengajak Ratih bermalam di rumah pohon. Ia sudah menyiapkan segalanya dan menatap Ratih penuh cinta.
Hari ini hingga tiga hari kedepan adalah masa suburnya
Ratih mengerjabkan kedua matanya, ia beradaptasi dengan sinar lampu yang silau di dalam kamarnya. Ia tidak tahu sudah berapa lama dirinya menutup mata, kepalanya terasa sangat pusing dan berdenyut nyeri.Bahkan untuk dipakai menoleh pun rasanya sakit sekali, Ratih tahu di sisi kanannya ada seseorang yang sedang duduk menunggu dan menemaninya. Hanya saja untuk tahu siapa orang itu, Ratih perlu menoleh sejenak.“Ini sakit sekali,” rintih Ratih sambil mengangkat tangan kirinya dan memegang kepalanya.Lusi pun terlonjak dari kursi, ia sangat bahagia melihat Ratih yang sudah berhasil membuka kedua matanya. “Ya Tuhan, untunglah kamu sudah sadar sekarang, Nak,” ucap Lucy langsung segera memencet sebuah tombol untuk memanggil suster datang ke dalam kamar tersebut."Ada apa, Nyonya? Oh! syukurah Nyonya Ratih sudah sadar," pekik suster itu langsung kembali keluar untuk memanggil dokter Hastuti yang berada di kamar sebelah.Ratih bingung dengan hiruk pikuk yang ada di hadapannya, ia melihat baik
Sebuah telepon rumah berdering sangat nyaring, membuat sepasang kaki tergagih untuk segera mengangkatnya. Dengan peluh di pelipisnya, akhirnya dia mengangkat telepon rumah tersebut.“Halo,” jawab Rangga terengah.“Rangga, inilah waktunya. Ratih akan segera kembali kepadamu, Rangga. Kembalilah ke rumah orang tuamu, pastikan mereka menerimamu kembali. Jika Ratih mencabut laporan di kantor polisi, masalah pelik ini semuanya akan selesai.”“Kita bisa melimpahkan semua kesalahan kepada Tedy yang saat ini sedang terbaring tidak berdaya di rumah sakit. Kamu jangan khawatir, paling kamu hanya akan di penjara beberapa bulan saja,”“Ibu yakin, Ratih akan memperjuangkan kebebasanmu,” terang Leni sangat yakin.Rangga mendengar dengan seksama. “Tapi, pada akhirnya aku akan tetap di penjara, Ibu,” lirih Rangga sambil mengusap wajahnya.“Hanya sebentar sampai Ratih sendiri yang akan membebaskanmu, ingat! Mainkan peranmu dengan baik! Jangan bodoh! Waktumu di penjara itu tidak sepadan dengan uang mily
“Rangga, apa benar ini rumahnya Rangga?” tanya Ratih yang sedikit ragu akan rangkaian nomor telepon rumah yang baru saja ditekannya untuk menghubungi mantan kekasihnya.“Ratih?! Apa benar ini kamu?” tanya Rangga sumringah, akhirnya ucapannya Leni menjadi kenyataan.Kali ini, Ratih benar-benar datang sendiri padanya dan dirinya tidak perlu repot lagi untuk mengejar atau bahkan menculik Ratih.“Iya, ini aku. Kenapa kamu tidak datang ke rumah sakit saat aku sedang sakit, Rangga? Apa karena bunda dan Deva yang mencegahnya?” tanya Ratih penasaran dengan jawaban Rangga.Terdengar helaan nafas Rangga yang terasa berat. “Jangankan ke rumah sakit, mendengar kabarnya saja aku tidak pernah. Sejak kamu mengusirku tanpa sebab dari acara ulang tahunmu yang ke dua puluh satu tahun, sejak saat itulah keluargamu berhasil mencuci otakmu,” ucap Rangga.Kedua mata Ratih membulat sempurna. “Aku mengusirmu? Apa masukmu aku mengusirmu, Rangga? Aku, mencintaimu … tidak mungkin aku mengusir dirimu!” Ratih tid
“Aku sangat merindukanmu,” lirih Rangga memeluk erat tubuh Ratih yang saat ini sudah berada di kamarnya.Ratih juga membalas pelukan Rangga dengan posesif. “Aku tidak percaya selama ini mereka memisahkan kita,” jawab Ratih sedih.“Apa lagi aku, kita sangat bahagia sebelumnya Ratih. Hanya karena aku orang miskin, mereka semudah itu membuatku menjadi seorang penjahat. Kini aku adalah seorang buronan, Ratih. Mereka bisa menangkap aku kapan pun,” ucap Rangga sedih dan membuat Ratih terkejut.“Tidak, itu tidak boleh terjadi. Aku akan pergi ke kantor polisi dan mencabut laporannya,” ucap Ratih hendak pergi saat itu tapi Rangga mencegahnya.“Tidak bisa Ratih, sudah ada putusan pengadilan dan aku sudah di vonis bersalah. Satu-satunya cara adalah aku harus mengganti identitasku dan aku harus operasi plastic mengganti bentuk wajahku. Menjadi pribadi dan manusia yang baru, agar aku bisa diterima di kalangan masyarat,” terang Rangga.Ratih tidak berpikir dua kali. “Apapun, akan aku lakukan asal k
“Ada apa denganmu? Kita saling mencintai, kita tidak saling membenci Ratih.” Deva merasa hancur saat itu.“Sudahlah, Dev,” dengus Ratih menatap jengah Deva dan beralih ke bundanya.“Bagaimana, Bunda? Apa Bunda bersedia membantuku agar kita tetap bisa hidup bersama?” Ratih mendesak agarsaat itu Lusi mengambil keputusan yang sulit.Menyadari jika hanya Lusi satu-satunya harapan untuk menyadarkan Ratih, Deva langsung mengangguk sambil menatap Lusi dengan tatapan sedihnya.“Baiklah, Bunda akan ikut denganmu,” tangis Lusi.Ia lalu mendekati Deva dan memeluk Saka seraya berbisik. “Maafkan, eyang putri, Saka. Doakan mamamu cepat sadar,” bisiknya membuat Saka menggeliat dalam tidurnya.Lusi juga memeluk Deva sambil menepuk bahu menantunya. “Maafkan, bunda … tolong jangan menyerah padanya,” lirih Lusi membuat Deva tak kuasa meneteskan air matanya.&ldq
“Terima kasih, kalau begitu sekarang bunda akan mencairkan uangnya ke rekeningnya Ratih,” desah Lusi merasa lelah menghadapi ujiannya kali ini.Pemberontakan Ratih dulu masih bisa diatasi tapi kalau kondisi seperti ini, di mana Ratih memiliki seorang suami dan baru saja merasa bahagia karena memiliki Saka. Lantas, Musibah datang dan membuat Ratih melupakan kehidupannya saat ini.Bagi Lusi, tidak ada yang lebih berat menghadapi Ratih yang sekarang. Apalagi dia harus menghadapi masalah ini tanpa Darman di sisinya. Untunglah ada Deva yang saat ini menjadi penguat Lusi bagaikan anak kandungnya sendiri walau ia adalah seorang menantu.“Iya Bunda, jangan sedih yah. Deva selamanya tidak akan menyerah untuk mendapatkan Ratih kembali,” lirih Deva juga merasa hatinya ngilu di sana.Mereka pun mengakhiri percakapannya, Lusi menatap ibu Sri dan mengangguk singkat, tanpa kalau uang aman untuk dicairkan karena sudah ada yang membeli saham terseb
“Apakah uang tiga puluh milyar cukup untuk mewujudkan semua Impian kita yang tertunda?” tanya Ratih sambil tersenyum lebar menatap Rangga dengan kedua matanya yang berbinar terang.“Ti-tiga puluh milyar?!” sahut Rangga tidak percaya.Ratih mengangguk seolah menjawab kalau usaha Rangga selama ini tidak berakhir dengan sia-sia. Ia akhirnya berhasil untuk memanupulasi Ratih dan sebentar lagi ia akan menjadi orang yang sangat kaya dengan menikahi Ratih.“Aku, aku tidak sedang bermimpi kan, Ratih? Kau benar-benar akan menolongku?” tanya Rangga menatap takjub.“Benar, kalau begitu jangan buang waktu lagi, kita harus segera bergerak sekarang juga,” ucap Ratih dan Rangga segera bergegas menghubungi seseorang yang sudah lama menantikan kedatangannya Rangga.Rangga dan Ratih pergi menggunakan sepeda motor agar tidak bisa dilacak oleh pihak kepolisian atau siapapun yang mencarinya. Mereka datang ke
"Ada yang bisa saya bantu, Nyonya," tanya customer service tersebut sopan."Iya, saya ingin bertemu dengan pengacara Bapak Jakse. Saya ingin konsultasi untuk mengurus proses perceraian secepatnya. Bisakah anda memanggilnya sekarang?" tanya Ratih tidak kalah ramah.Penerima tamu yang tidak mengenal Ratih pun segera menghubungi Jakse yang sementara menerima telepon juga dari Deva.“Permisi, Pak,” ucap sekertarisnya saat mendapatkan informasi dari bagian front line.Wajah sekertaris tersebut tampak pias dan panik. “Tuan Deva, bisakah saya menghubungi anda sebentar lagi? Untuk surat perjajian jual beli saham istri anda akan segera siapkan dan saya akan membuat janji dengan Nyonya Lusi terkait rencana agenda kita ini,” terang Jakse sambil mengangkat satu jari telunjuknya.“Baiklah, Jakse. Terima kasih banyak untuk bantuanmu selama ini,” sahut Deva lalu mengakhiri panggilan teleponnya.“Ada apa, Mila? Kenapa dengan wajahmu?” tanya Jakse menebak pasti ada masalah yang cukup fatal yang membua