Maaf yah untuk para readersku, hari ini Author cuman bisa up 1 bab aja, besok author janji deh bakal up minimal 2 bab yah.
“Jangan bilang kalau kamu marah sama aku gara-gara bikini merah di masa depan yah? Apa kamu dari tadi cemburu atas sesuatu yang belum terjadi, Dev?!” tanya Ratih sambil berjalan semakin mendekati Deva. “HAH?! Cemburu?! Hahaha! Apa kamu lagi menghayal?! Ngapain aku cemburu sama kamu? Aneh-aneh saja,” sangkal Deva langsung membuang mukanya. Tapi Ratih terus saja mengejar Deva dan berjalan menuju ke tempat Deva berdiri di depan jendela. “Aneh-aneh? Terus kalau bukan cemburu apa namanya. Kamu marah-marah nggak jelas, belum lagi mencecar aku dengan pertanyaan-pertanyaan aneh soal bikini. Kamu bahkan marah sama aku karena aku memakai bikini di masa depan.” Ratih terus mencecar Deva dengan tatapan penuh curiga. Lagi-lagi Deva menghindar dari tatapan tajamnya Ratih. “Aku hanya marah dan curiga kalau kamu sering ke hotel sama Rangga karena apa yang kamu lakukan di masa lalu akan mempengaruhi nama baikku. Syukurlah hal tersebut terjadi di masa depan versimu sebelum kamu kembali ke masa lalu j
“Atmadeva! Jangan main ujung danau itu!” teriak Nadira mamanya Deva.Saat itu Deva yang baru berumur sepuluh tahun sedang bermain bola dan hampir saja terjebur ke dalam danau. Deva teringat kalau saat itu Nadira mamanya sangat panik. Apalagi, saat melihat Abizar yang juga berlari mengejar Deva.Kalau saja, Deva jadi mengambil bola di danau dan Abizar menolongnya bisa dipastikan keduanya akan meninggal.“Tapi, bolaku Mama!” tangis Deva saat melihat bola kesayangannya kini hanyut di tengah danau.“Biarkan saja! Jangan sampai karena bola itu Mama kehilangan kalian berdua. Papa juga! Sudah tau nggak bisa berenang kok sok-sok’an mau melompat ke danau!” amuk Nadira sambil menggandeng dan berjalan setengah berlari.Abizar tampak heran melihat istrinya. “Dari mana kamu tau kalau aku hampir terjun ke Danau itu saat melihat Deva mengejar bolanya?” tanya Abizar sambil mengejar Nadira dan Deva yang sudah berjalan lebih dahulu.“Sudahlah! Jangan banyak bertanya, aku jengkel sekali melihat kecerobo
“Sudah percaya kalau aku ini datang dari masa depan?” bisik Ratih menatap yakin kepada Deva.“Ini hanya sebuah kebetulan,” dengus Deva.Tidak semudah itu Deva percaya dengan omongan Ratih yang lebih terdengar seperti sedang mendongeng. Ratih tau, jika dia harus berusaha lebih keras lagi membuat Deva percaya kepadanya.“Ayah, nanti setelah pernikahan kami. Deva dan Ratih akan menyelidiki masalah ini, benarkan Deva?” tanya Ratih sekaligus setengah memaksa Deva di depan kedua orang tuanya.“Eh, Iya Ayah, kami berdua akan menyelidikinya. Sekarang, Ayah, Bunda dan Papa lebih baik berhentilah khawatir. Kalau kami sudah turun tangan, maka tidak akan ada yang bisa menghindar,” ucap Deva sambil mengepalkan tangannya.Ratih langsung memutar matanya dan menertawakan Deva sambil menunduk, tidak ingin Deva tau kalau dirinya baru saja mengejek Deva.“Baiklah, kalau begitu kami pulang dulu. Itu Papa ada bawakan buah-buahan, katanya Mbak Lusi, Ratih suka sekali makan mangga. Sudah, Papa bawakan buat
“Apa yang kamu butuhkan untuk saat ini, Ratih?” tanya Deva dengan lembut. “Di mana liontin milikmu? Aku butuh liontinmu, Deva.” Harapan Ratih semakin besar saat ini. “Entahlah, aku sudah lama tidak meihatnya. Nanti setelah menikah, saat aku mengatur barang-barangku pindah ke kamarmu, akan aku cari sekalian yah,” jawab Deva lagi. Ratih mengangguk, tidak apalah menunggu beberapa hari. “Aku akan membantumu untuk membereskan barang-barangmu,” ucap Ratih. “Kalau begitu sekarang istirahatlah, besok kita masih harus mengurus masalah Yoga Budiman dan masalah barang yang tertutar di gudang papaku.” Deva lalu beranjak dan mengantarkan Ratih sampai di depan kamar. “Selamat malam, Deva.” Ratih lalu masuk dan mengunci kamarnya dari dalam. Suara ketukan pintu berulang membangunkan Ratih dari tidurnya. Tubuhnya terasa cukup lelah pagi ini, ia menarik badan sejenak sambil menguap selebar-lebarnya. “Duh, Deva! Kenapa pagi-pagi sudah mengganggu saja.” Ratih ngedumel sambil membuka pintu kamarnya.
Deva gelagapan mendengar amukan Ratih. “Yah! Siapa suruh! Kamu tidur kok malah nggak pakai dalaman, Uda gitu, baju tidurmu itu macam paranet untuk persemaian tanaman! Bukan hanya kamu yang malu! Aku juga malu tau melihat-!” “ARGH! DEVA HENTIKAN! JANGAN LANJUTKAN LAGI, AKU BISA LOMPAT DARI MOBIL SEKARANG JUGA!” teriak Ratih sambil menutup telinganya dan memejamkan matanya. “Apa kamu gila?! Berhenti berteriak seperti ini. Telingaku sakit mendengarnya.” Deva juga ketularab panik seperti Ratih. “Makanya diamlah, jangan bahas maslah pagi ini! Aku tidak sanggup mendengarnya, aku sangat malu,” ucap Arumi masih dengan nafas yang tersengal. Menyadari jika dirinya membahas lagi maka Ratih akan semakin malu, maka Deva langsung mengunci mulutnya rapat. Ia membawa kendaraan dengan tegang, saat itu juga Deva langsung mengunci pintu Ratih dari tombol yang ada sisinya. Mau bagaimana caranya Ratih membuka, kunci pintu mobil itu tetap tidak akan terbuka. Karena Deva sudah mengunci dengan sidik jari
“Sini aku bantu!” Deva langsung memakaikan sabuk pengamannya Ratih hingga membuat mereka tanpa sadar sudah tidak berjarak lagi.Sekuat apa pun Ratih mencoba untuk menghindar dan bersandar di kursi, lengan sebelah kiri Deva tetap menyentuh tubuhnya. Hingga membuat Ratih gugup hingga nafasnya memburu, sedangkan Deva kembali berdebar saat merasakan hembusan nafas Ratih yang menyapu pipi kirinya.“De-deva?!” pekik Ratih refleks mendorong kepala Deva sampai menempel di dasbor depan.“Kau! Kau gila yah Ratih?! Lepaskan!” Deva juga berteriak sampai suaranya terdengar di luar dan membuat Parlin langsung membuka pintu mobilnya Ratih.“Tuan! Nona! ada apa ini?!” tanya Parlin panik dan langsung menolong Deva.Pelipis kanan Deva terlihat memerah akibat benturan ke dasbor depan mobil. Sedangkan Ratih masih mengatur nafasnya, sangking gugupnya tangan Ratih sampai gemetar.“Sudah, tidak apa Parlin. Kamu kembalilah, kita langsung menuju ke Butik Pesona Kiandra.” Deva lalu merapikan rambutnya yang sud
“Kia, kenapa kamu bertingkah seperti itu di depan calon istriku?” tanya Deva saat masuk ke dalam ruangan koleksi pakaian pengantin pria.“Aku tidak suka sama calon istrimu, terus terang saja aku cemburu. Aku juga mencurigai Ratih, kenapa dia tiba-tiba saja menyetujui perjodohan yang ditolaknya mentah-mentah selama tiga tahun?” dengus Kiandra terus terang.“Dia melakukan hal ini untuk berbakti dengan kedua orang tuanya dan aku rasa dia juga menyukaiku. Mungkin selama ini Ratih hanya tidak sadar saja,” bela Deva.“Sudahlah, aku tidak perduli apa motivasinya menerima perjodohan ini. Yang jelas, aku tidak suka dengan calon istrimu itu. Sudah pendek, judes lagi.” Kiandra terus menjelek-jelekkan Ratih.Dengan lancangnya Kiandra menghampiri Deva lalu membuka kancing kemeja yang menempel di tubuh Deva. “Loh, loh, jangan. Biar aku aja yang buka bajunya kalau udah di ruangan ganti. Kamu pilihkan saja mana yang harus aku coba,” tolak Devara sambil berusaha melepaskan cengkeraman tangan Kiandra.
“Bunda?” panggil Ratih menunggu Lusi masuk dari balik pintu kamarnya.“I-ini aku.” Deva masuk perlahan dan menutup pintu kamar Ratih sambil bersandar di pintu.“Ngapain kamu ke sini?! Siapa yang ijinkan kamu masuk ke kamarku? Pakai kunci cadangan yah?! Sini kembalikan! Cepat kembalikan!” amuk Ratih mendekati Deva dan merogo saku kemeja dan saku celana Deva membabi buta.Deva hanya bergeming, membiarkan Ratih melakukan apa yang dia inginkan. Setelah merogo seluruh saku di pakaian dan celana, Ratih tidak menemukan apapun. Ia menjadi semakin berang, Ratih memukuli tubuh Deva.Walau pukulan itu tidak terasa sakit sama sekali, Deva sesekali meringis sampai pada akhirnya Ratih berhenti memukulinya karena lelah.“Pulanglah, aku tidak mau ikut ke rumahmu lagi. Kita bertemu di pelaminan, aku tidak akan memakai baju pengantin dari butik perempuan jalang itu! Aku akan memilih pakaianku sendiri dengan bundaku,” ucap Ratih lalu kembali merebahkan tubuhnya di atas ranjang.Langkah Deva terdengar me