Bukan untuk melawan yang kesekian kalinya lagi, tapi Ratih hanya ingin memastikan jika langkah yang akan diambilnya adalah langkah yang benar. Ratih juga tidak tau, apakah dia bisa kembali ke masa lalu lebih dari sekali atau tidak?
“Karena itu adalah amanat dari bundanya Deva, sebenarnya Eyang Buyut bundamu dengan Eyang Buyutnya memiliki sebuah perjanjian, Nduk.” Sebuah rahasia baru kembali terungkap.
“Apa, perjanjiannya Ayah? Apa, Ayah tau?” Ratih menjadi penasaran.
“Entahlah, yang pernah Ayah dengar, turunan mereka harus ada yang menikah. Tapi, lebih tepatnya kamu bisa tanyakan kepada bundamu. Yang jelas, terlepas dari perjanjian itu, Deva adalah anak yang baik. Tidak ada pilihan yang paling sempurna di tempat ini selain Atmadeva, Nduk.”
Ratih tidak menyangka perkataan ini akan terucap saat ini. Seharusnya ayahnya mengatakan ini sepulang persta ulang tahunnya. Ayah juga akan mengatakannya sambil menahan amarahnya, tapi saat ini Ayah justru menjelaskannya dengan santai.
Sama, seperti tadi saat Ratih memberikan uang lima ratus ribu kepada Rangga. Kalimat yang keluar dari mulutnya juga sama seperti yang terjadi masa depan. Ratih mengerti sekarang, merubah suatu tindakan tidak serta merta merubah segala rentetan kejadian di masa depan.
“Ayah, Ratih setuju untuk menikah dengan Deva. Ratih mau nurut sama Ayah dan Bunda,” ucap Ratih sambil memegang kedua telapak tangan Darman.
Tatapan Darman penuh selidik, sangking herannya kedua alis Darman sampai saling tertaut. Darman kembali menggeleng dan menatap curiga kepada Ratih. “Tidak ada yang kamu sembunyikan dari Ayah kan Ratih?”
“Ayah, Ratih sadar kalau sikap keras kepala Ratih selama ini akan membuat keluarga kita hancur. Ratih, mohon maaf, Pa. Percayalah, tidak ada yang Ratih sembunyikan, Ratih hanya ingin memperbaiki segalanya, Ayah.” Ratih bersungguh-sungguh, suaranya sampai bergetar seperti seseorang yang penuh dengan penyesalan.
“Baiklah, kalau begitu Ayah akan menghubungi Pak Abizar dulu, yah.” Dengan tergesa Darman menghubungi Pak Abizar, dia takut anaknya berubah pikiran.
Dengan melihat binar di mata Darman saja, Ratih sudah bahagia. Teringat kembali bagaimana tatapan Darman begitu kosong saat sakratul maut. Kematian Darman di masa lalu juga menyisakan kecurigaan yang sangat mendalam.
“Semoga dengan cara ini, aku bisa membuat kedua orang tuaku berumur panjang,” gumam Ratih menatap teduh Lusi yang sedang terlelap dengan tenang.
“Ratih,” panggil ayahnya membuat lamunan Ratih buyar seketika.
“Iya, Ayah?” sahut Ratih.
“Pak Abizar tidak masalah dengan rencana perjodohan ini kembali, Nak. Hanya saja, Deva ….”
“Ada apa dengan Deva, Ayah?” Firasat Ratih sudah tidak enak.
“Deva, tidak mau. Dia mengatakan jika rencana pernikahan ini mau berlanjut, maka kamu pergilah sendiri dan bicaralah dengannya empat mata.” Ratih mengangguk, ia menganggap wajar jika Darman tersinggung dan membuat segalanya tidak mudah.
Tapi, semua masih ada harapan. Mendengar dari pesan yang disampaikan oleh ayahnya, Ratih tau, jika Deva masih menginginkannya. “Baiklah, Ayah … Ratih akan bersiap-siap dulu, semoga Ratih bisa datang bersama dengan Deva malam ini.”
Tidak mau membuang waktu, Ratih memilih sebuah gaun yang sebelumnya dibelikan oleh Deva. Gaun berwarna pastel dengan lengan tiga per empat, serta potongan gaun yang membentuk tiap lekuk tubuh serta rok yang melebar di bagian lutut ke bawah, membuat Ratih tampak sangat anggun.
Keahliannya memakai make up, membuat Ratih tidak membutuhkan perias untuk membuat wajahnya semakin cantik dan bersinar. Untuk kali ini, Ratih harus pergi menggunakan ojek untuk mempersingkat waktu. “Ayah, Ratih pergi dulu yah,” pamit Ratih sedikit tergesa.
“Eh, tunggu! Biar diantar Pak Bagio, Nduk!” perintah Darman tapi Ratih langsung menolak saat itu juga.
“Nggak ayah, Bagio nanti akan mengantar Ayah dan Bunda. Ratih naik ojek aja, ini sudah janjian sama ojek langganan, dia sudah nunggu di depan pagar rumah. Ayah! Wish me luck!” ucap Ratih lalu mengecup pipi Darman dan sedikit berlari kecil sambil melambaikan tangannya.
Terlihat sopir pribadi keluarganya menunduk hormat kepada Ratih. “Non, mau ke mana?” tanyanya, tapi Ratih mengabaikannya begitu saja.
“Kau, akan menjadi pengkhianat dalam keluargaku,” batin Ratih mengabaikan supirnya begitu saja, lalu membuka pagar dan terlihat seorang ojek langganannya Ratih sudah menunggu.
“Bang, tolong antarkan saja ke pabriknya Pak Abizar, sekarang yah, Bang!” perintah Ratih berharap semua belum terlambat.
Bagi Ratih saat ini, tidak masalah jika harus merendahkan diri serendah-rendahnya demi mencegah tragedy tragis yang akan dihadapinya beberapa tahun ke depan.
“Siap, Non! Abang, tancap gas nih, Non!” Tukang ojek tersebut tidak main-main, ia membawa motornya cukup ngebut sesuai permintaan Ratih.
Setelah memberikan selembar uang lima puluh ribu, Ratih langsung berlari dengan sedikit tertatih karena heels yang digunakannya menuju ke sebuah kantor yang tertutup rapat.
Ratih lalu membuka pintu tersebut tanpa mengetuk. “Deva, maafkan aku! Maafkan atas kebodohanku semalam, maafkan aku! Ku mohon! Berikan aku kesempatan untuk memperbaikinya, Atmadeva!”
Pak Abizar dan Atmadeva, langsung menoleh melihat Ratih yang ngos ngosan sambil berlutut di lantai ruangan kantornya. “Apa, kamu tidak punya sopan santun, Ratih?!” dengus Deva menatap kesal kepada Ratih.
“Ma-maafkan aku, Deva,” lirih Ratih menahan malu, ia tidak tau jika ada Pak Abizar di ruangan ini.
“Papa, keluar yah.” Pak Abizar lalu melangkah keluar sambil menepuk bahu Ratih sekali dan segera menutup pintu kantor anaknya.
“Mau apa kamu ke sini? Bukannya semalam kamu sudah menolak lamaranku dan mempermalukan aku. Bahkan, dengan bangganya kamu memamerkan pacar brengsekmu itu.” Deva kembali mendengus kesal menatap wanita yang direkomendasikan oleh Abizar, papanya.
“Iya, aku tau, aku memang salah, aku juga tau kalau dia brengsek. Masihkah, ada kesempatan untukku memperbaiki semuanya, ku mohon, Deva? Kita, memang tidak pernah akur sejak remaja, tapi maafkan aku yang tidak tau malu ini, aku kini datang untuk meminta kesempatan. Aku, akan melakukan apa pun, untuk memperbaikinya, Deva.” Ratih memohon sambil meremas tali tas selempang yang dipakainya.
Alis Deva langsung tertaut, ia juga baru sadar kalau Ratih ternyata memakai gaun yang diberikannya. Ratih perlahan mendongakkan kepalanya, saat tidak mendengar jawaban apa pun dari Deva.
Kedua tatap saling bertemu, Ratih tau kalau hati Deva mulai luluh, tetapi dia juga sadar kalau apa yang dilakukannya selama ini memang sudah kelewatan.
“Bangunlah Ratih, ada sofa untuk duduk, buat apa kamu berlutut seperti itu.” Deva lalu membantu Ratih berdiri dan duduk berhadapan dengannya.
“Dev, ayahku tadi bilang kalau kamu-“ Belum juga Ratih selesai berbicara Deva sudah mengangkat tangannya.
“Apa yang membuatmu berubah dalam sekejab, semua ini tidak masuk diakal, aku tidak bisa percaya begitu saja.”
“Kalau aku jelaskan, kamu pasti tidak percaya dan menganggap aku gila, Deva.” Ratih ingin sekali menjelaskan apa adanya, tetapi apa Deva akan percaya begitu saja? Ratih takut malah dikira mengada-ngada.
“Maka, Jelaskan sama aku, biar aku percaya, Ratih!”
Bingung, harus dari mana Ratih menjelaskan semuanya, hingga akhirnya dia mencoba untuk menggenggam Kembali liontin pada kalungnya sambil menutup mata. Ia ingin menunjukkan sinar kuning keemasan yang keluar dari liontin itu. Ratih Kembali merasakan, sensasi panas di dadanya setiap kali ia mengingat jika dirinya ditenggelamkan dengan sengaja. Nafasnya Kembali tersengal, keringat dingin juga mulai membasahi dahinya. “RATIH! RATIH! Kamu kenapa sih?! Kok malah kayak gini? Jangan buat aku takut dong!” Suara Deva sontak membuat Ratih membuka matanya dan kembali memegang dadanya yang tersara panas. Dirinya sampai mengambil air minum Deva yang disediakan di meja kantornya, Ratih masih tidak bisa menjawab Deva selain menelan tiap teguk air pada gelas itu hingga tandas. “Okay! Sekarang kamu habisin air minumku,” keluh Deva. “Tadi, kamu lihat nggak? Ada cahaya nggak dari liontin giok yang aku genggam?” tanya Ratih penuh harap. Deva semakin kesal mendengar pertanyaan Ratih, dirinya merasa ke
“Ratih, sini Nduk. Deva sudah menunggu kamu sejak tadi,” panggil Darman saat melihat Ratih baru saja datang mendekat kepadanya. Deva menatap Ratih tanpa berkedip, wajah cantik Ratih membuatnya kagum, tetapi melihat penampilan calon tunangannya Deva heran. Di acara peresmian pabriknya, kenapa Ratih malah datang dengan kaos oblong dan celana jeans belel. Akhirnya Deva memberikan sebuah kotak kado yang disiapkan untuk Ratih, karena kebetulan besok adalah hari ulang tahun Ratih yang ke dua puluh satu. “Ratih, mungkin kamu bisa ganti baju dulu, ini kado buat kamu besok. Tapi, kamu bisa pakai gaun pemberianku hari ini, sebentar lagi pertunangan kita akan diumumkan. Kamu ganti yah.” Deva lalu menyodorkan sekotak kado berisikan gaun saat dirinya mendekati Ratih yang berdiri dekat Darman dengan raut wajah tak ramah. Wajah Deva menunjukkan seulas senyum bahagia saat Ratih mengambil kotak kado tersebut, begitu juga dengan Darman dan anggota keluarga keduanya. Tapi, tiba-tiba saja Ratih melemp
BAB 7. Rangga Terusir Dari Pesta. Entah kenapa Deva selalu melontarkan kata demi kata yang bertujuan untuk meruntuhkan dan menggoyahkan tekad bulatnya Ratih. Walau Ratih tampak berpikir sejenak tapi dirinya tetap berkomitmen untuk memenuhi semua syarat yang diberikan oleh Deva. Mungkin inilah perjuangan awal Ratih, untuk mendapatkan kepercayaan Deva. “Deva, jangan ragukan diriku jika aku sudah berjanji kepadamu. Harusnya kamu bisa menilai bagaimana keras kepalanya aku saat aku memperjuangkan sesuatu yang ku anggap penting. Memperjuangkan keluargaku adalah prioritas utamaku.” Ratih menatap tajam Deva dan segera turun dari mobil. “Ratih?! Kok kamu turun dari mobilnya Deva?” Rangga terbelalak kaget melihat Ratih. Tak lama kemudian terdengar suara pintu mobil tertutup, Deva turun dan memberikan kunci mobil pada petugas valet. Lalu Deva mensejajarkan dirinya di samping Ratih sambil memasukan tangannya di dalam saku celana. “Rangga, kita putus! Aku, akan menikah dengan Deva. Kamu bisa m
“Mau seribu kali kamu bertanya kepadaku, jawabanku tidak akan berubah!” tegas Ratih lalu berjalan meninggalkan Deva menuju ke toilet. “Dasar, keras kepala,” gumam Deva sembari menggelengkan kepalanya. Deva lalu berjalan menuju ke meja tempat Abizar dan Darman sedang berbincang. “Om Darman, Tante Lusi mana?” tanya Deva tidak melihat calon ibu mertuanya. “Tante lagi menyusul Ratih ke toilet,” sahut Darman sambil memberikan segelas sirup untuk Deva. “Pa, Om, ada yang mau saya bicarakan malam ini. Apa kita perlu mencari tempat yang agak tenang untuk membahasnya?” tanya Deva sambil mengedarkan pandangan melihat suasana pesta yang sebenarnya sudah mulai lengang. Banyak para tamu yang sudah berpamitan satu per satu, dari sejak tadi saat dirinya berbincang dengan Ratih di sudut ruangan. Hanya tersisa beberapa yang masih terlihat asik dengan obrolan mereka sendiri. “Disini saja, masih ada beberapa tamu yang belum pulang. Apa yang mau kamu sampaikan, Deva?” saran Abizar sekaligus bertanya
Jantung Ratih kini sudah tidak lagi bersabat dengannya, sengatan kecil juga merasuk di atas permukaan kulitnya. “Deva?” panggil Ratih sambil menahan nafasnya sejenak tanpa berani menoleh.“Hem? Acara pernikahan kita akan dilaksanakan minggu depan,” sahut Deva lalu menarik kursi di samping Ratih untuk bergabung dengan calon mertua dan papanya.Ratih tidak lagi mempertanyakan segala hal yang bersangkutan dengan urusan pernikahan mereka. Ia hanya mengulas senyum tipis saat mendengar Abizar dan Darman saling berkelakar dan juga menceritakan kisah masa kecil kedua anaknya.Begitu juga dengan Lusi yang sesekali ikut menimpali percakapan kedua bapak-bapak ini, lalu sesekali ikut tertawa bersama. Ratih sangat menikmati pemandangan ini, sampai Deva kembali berbisik kepadanya.“Aku pinjam ponsel kamu.” Merasakan kembali hembusan nafas Deva, Ratih mendengus dan membuka tas pesta yang dibawanya.“Kenapa sih, suka banget bisik-bisik? Bicara normal kan juga bisa,” omel Ratih sambil memberikan ponse
“Ratih, berjanji akan belajar menerima pernikahan ini dan membuka hati Ratih untuk Deva. Tetapi Ratih tidak yakin Deva bisa membuka hatinya, rasa dendam dan kekecewaannya selama ini sepertinya akan menjadi tembok penghalang dalam pernikahan kami,” lirih Ratih.Menanggapi keputus asaan Ratih akan sikap Deva, Lusi hanya mengulas senyum saja. “Semua harus dimulai dari diri kita dulu. Jika, hatimu memang tulus kepadanya, Bunda yakin suatu saat hati Deva pasti akan tersentuh. Sekarang tidurlah, jangan lagi kamu berprasangka buruk. Tuhan sudah memberikanmu kesempatan untuk kembali menata hidupmu, bersyukurlah dan berprasangka baiklah,” tutur Lusi memang selalu dapat menyejuk jiwa Ratih yang rapuh.“Terima kasih, Bunda … karena selalu mau menerima Ratih walau selama tiga tahun ini Ratih selalu menyakiti hati Bunda dan Ayah. Sungguh, Ratih merasa tidak layak,” sesal Ratih lalu membaringkan tubuhnya dan mengecup punggung tangan Lusi yang setia mengusap lembut surai rambut anaknya.Lusi lalu me
Setelah mobil berhenti dengan sempurna, Ratih membuka sabuk pengamannya. Baru saja sabuk pengamannya selesai dilepas. Deva telah membuka pintu mobil dan keduanya sama-sama terkejut melihat satu sama lain. Pak Ratmin yang ada di sana hanya mengulum senyum saja, melihat kedua insan muda ini saling terpanah satu sama lain. Tapi, kok terpananya lama sekali, akhirnya Pak Ratmin mengambil inisyatif untuk berdeham. “Ehem, ehem!” Suara Pak Ratmin langsung membuat Deva dan Ratih salah tingkah. “Em, silahkan masuk. Kamu, sudah sarapan?” tanya Deva sampai lupa tujuannya mengundang Ratih ke rumahnya. “Terima kasih, iya aku sudah sarapan,” sahut Ratih lalu mengikuti Deva dari belakang. Ternyata di meja makan, Deva sudah menyediakan dua piring dan ada roti bakar. Sepertinya Deva menyiapkan sarapan ini untuk Ratih. “Oh sudah yah,” sahut Deva sambil mengambil piring yang disiapkan untuk Ratih, tapi dengan cekatan Ratih mencegahnya. “Eh, mau apa? Aku jadi ngiler liat rotinya. Aku sengaja sarapan s
“Kenapa kamu selalu saja mengancamku?!” protes Ratih.Dia mulai emosi setiap kali Deva mengatakan tidak akan ada pernikahan. Bayangan wajah Darman dan Lusi yang kecewa membuat Ratih selalu mati kutu jika sudah mendengar tentang pembatalan pernikahan mereka.“Kan, kamu sendiri yang mengatakan kalau akan memenuhi semua syarat yang aku ajukan sekali pun itu merugikanmu. Asalkan aku mau menikah dengan mu? Apa kamu sudah lupa dengan perkataanmu sendiri?” sindir Deva sambil menatap tajam Ratih.“Yah, kalau begitu ngapain kamu suruh aku membaca dan mendiskusikan isi perjanjian pernikahan ini, kalau pada akhirnya kata diskusi itu hanya sebuah isapan jempol belaka. Harusnya kamu langsung suruh aku menandatangi perjanjian ini saja dong!” Ratih tanpa sadar meninggikan suaranya.“Aku tidak suka sekali mendengar nada dan cara bicaramu kepadaku. Sepertinya aku harus menambah satu poin mutlak lagi!” dengus Deva sambil menulis angka sepuluh dan kalimat yang cukup panjang pada bagian bawah kertas yang