Share

BAB 4. Penawaran Deva atas Ratih.

Bukan untuk melawan yang kesekian kalinya lagi, tapi Ratih hanya ingin memastikan jika langkah yang akan diambilnya adalah langkah yang benar. Ratih juga tidak tau, apakah dia bisa kembali ke masa lalu lebih dari sekali atau tidak?

“Karena itu adalah amanat dari bundanya Deva, sebenarnya Eyang Buyut bundamu dengan Eyang Buyutnya memiliki sebuah perjanjian, Nduk.” Sebuah rahasia baru kembali terungkap.

“Apa, perjanjiannya Ayah? Apa, Ayah tau?” Ratih menjadi penasaran.

“Entahlah, yang pernah Ayah dengar, turunan mereka harus ada yang menikah. Tapi, lebih tepatnya kamu bisa tanyakan kepada bundamu. Yang jelas, terlepas dari perjanjian itu, Deva adalah anak yang baik. Tidak ada pilihan yang paling sempurna di tempat ini selain Atmadeva, Nduk.”

Ratih tidak menyangka perkataan ini akan terucap saat ini. Seharusnya ayahnya mengatakan ini sepulang persta ulang tahunnya. Ayah juga akan mengatakannya sambil menahan amarahnya, tapi saat ini Ayah justru menjelaskannya dengan santai.

Sama, seperti tadi saat Ratih memberikan uang lima ratus ribu kepada Rangga. Kalimat yang keluar dari mulutnya juga sama seperti yang terjadi masa depan. Ratih mengerti sekarang, merubah suatu tindakan tidak serta merta merubah segala rentetan kejadian di masa depan.

“Ayah, Ratih setuju untuk menikah dengan Deva. Ratih mau nurut sama Ayah dan Bunda,” ucap Ratih sambil memegang kedua telapak tangan Darman.

Tatapan Darman penuh selidik, sangking herannya kedua alis Darman sampai saling tertaut. Darman kembali menggeleng dan menatap curiga kepada Ratih. “Tidak ada yang kamu sembunyikan dari Ayah kan Ratih?”

“Ayah, Ratih sadar kalau sikap keras kepala Ratih selama ini akan membuat keluarga kita hancur. Ratih, mohon maaf, Pa. Percayalah, tidak ada yang Ratih sembunyikan, Ratih hanya ingin memperbaiki segalanya, Ayah.” Ratih bersungguh-sungguh, suaranya sampai bergetar seperti seseorang yang penuh dengan penyesalan.

“Baiklah, kalau begitu Ayah akan menghubungi Pak Abizar dulu, yah.” Dengan tergesa Darman menghubungi Pak Abizar, dia takut anaknya berubah pikiran.

Dengan melihat binar di mata Darman saja, Ratih sudah bahagia. Teringat kembali bagaimana tatapan Darman begitu kosong saat sakratul maut. Kematian Darman di masa lalu juga menyisakan kecurigaan yang sangat mendalam.

“Semoga dengan cara ini, aku bisa membuat kedua orang tuaku berumur panjang,” gumam Ratih menatap teduh Lusi yang sedang terlelap dengan tenang.

“Ratih,” panggil ayahnya membuat lamunan Ratih buyar seketika.

“Iya, Ayah?” sahut Ratih.

“Pak Abizar tidak masalah dengan rencana perjodohan ini kembali, Nak. Hanya saja, Deva ….”

“Ada apa dengan Deva, Ayah?” Firasat Ratih sudah tidak enak.

“Deva, tidak mau. Dia mengatakan jika rencana pernikahan ini mau berlanjut, maka kamu pergilah sendiri dan bicaralah dengannya empat mata.” Ratih mengangguk, ia menganggap wajar jika Darman tersinggung dan membuat segalanya tidak mudah.

Tapi, semua masih ada harapan. Mendengar dari pesan yang disampaikan oleh ayahnya, Ratih tau, jika Deva masih menginginkannya. “Baiklah, Ayah … Ratih akan bersiap-siap dulu, semoga Ratih bisa datang bersama dengan Deva malam ini.”

Tidak mau membuang waktu, Ratih memilih sebuah gaun yang sebelumnya dibelikan oleh Deva. Gaun berwarna pastel dengan lengan tiga per empat, serta potongan gaun yang membentuk tiap lekuk tubuh serta rok yang melebar di bagian lutut ke bawah, membuat Ratih tampak sangat anggun.

Keahliannya memakai make up, membuat Ratih tidak membutuhkan perias untuk membuat wajahnya semakin cantik dan bersinar. Untuk kali ini, Ratih harus pergi menggunakan ojek untuk mempersingkat waktu. “Ayah, Ratih pergi dulu yah,” pamit Ratih sedikit tergesa.

“Eh, tunggu! Biar diantar Pak Bagio, Nduk!” perintah Darman tapi Ratih langsung menolak saat itu juga.

“Nggak ayah, Bagio nanti akan mengantar Ayah dan Bunda. Ratih naik ojek aja, ini sudah janjian sama ojek langganan, dia sudah nunggu di depan pagar rumah. Ayah! Wish me luck!” ucap Ratih lalu mengecup pipi Darman dan sedikit berlari kecil sambil melambaikan tangannya.

Terlihat sopir pribadi keluarganya menunduk hormat kepada Ratih. “Non, mau ke mana?” tanyanya, tapi Ratih mengabaikannya begitu saja.

“Kau, akan menjadi pengkhianat dalam keluargaku,” batin Ratih mengabaikan supirnya begitu saja, lalu membuka pagar dan terlihat seorang ojek langganannya Ratih sudah menunggu.

“Bang, tolong antarkan saja ke pabriknya Pak Abizar, sekarang yah, Bang!” perintah Ratih berharap semua belum terlambat.

Bagi Ratih saat ini, tidak masalah jika harus merendahkan diri serendah-rendahnya demi mencegah tragedy tragis yang akan dihadapinya beberapa tahun ke depan.

“Siap, Non! Abang, tancap gas nih, Non!” Tukang ojek tersebut tidak main-main, ia membawa motornya cukup ngebut sesuai permintaan Ratih.

Setelah memberikan selembar uang lima puluh ribu, Ratih langsung berlari dengan sedikit tertatih karena heels yang digunakannya menuju ke sebuah kantor yang tertutup rapat.

Ratih lalu membuka pintu tersebut tanpa mengetuk. “Deva, maafkan aku! Maafkan atas kebodohanku semalam, maafkan aku! Ku mohon! Berikan aku kesempatan untuk memperbaikinya, Atmadeva!”

Pak Abizar dan Atmadeva, langsung menoleh melihat Ratih yang ngos ngosan sambil berlutut di lantai ruangan kantornya. “Apa, kamu tidak punya sopan santun, Ratih?!” dengus Deva menatap kesal kepada Ratih.

“Ma-maafkan aku, Deva,” lirih Ratih menahan malu, ia tidak tau jika ada Pak Abizar di ruangan ini.

“Papa, keluar yah.” Pak Abizar lalu melangkah keluar sambil menepuk bahu Ratih sekali dan segera menutup pintu kantor anaknya.

“Mau apa kamu ke sini? Bukannya semalam kamu sudah menolak lamaranku dan mempermalukan aku. Bahkan, dengan bangganya kamu memamerkan pacar brengsekmu itu.” Deva kembali mendengus kesal menatap wanita yang direkomendasikan oleh Abizar, papanya.

“Iya, aku tau, aku memang salah, aku juga tau kalau dia brengsek. Masihkah, ada kesempatan untukku memperbaiki semuanya, ku mohon, Deva? Kita, memang tidak pernah akur sejak remaja, tapi maafkan aku yang tidak tau malu ini, aku kini datang untuk meminta kesempatan. Aku, akan melakukan apa pun, untuk memperbaikinya, Deva.” Ratih memohon sambil meremas tali tas selempang yang dipakainya.

Alis Deva langsung tertaut, ia juga baru sadar kalau Ratih ternyata memakai gaun yang diberikannya. Ratih perlahan mendongakkan kepalanya, saat tidak mendengar jawaban apa pun dari Deva.

Kedua tatap saling bertemu, Ratih tau kalau hati Deva mulai luluh, tetapi dia juga sadar kalau apa yang dilakukannya selama ini memang sudah kelewatan.

“Bangunlah Ratih, ada sofa untuk duduk, buat apa kamu berlutut seperti itu.” Deva lalu membantu Ratih berdiri dan duduk berhadapan dengannya.

“Dev, ayahku tadi bilang kalau kamu-“ Belum juga Ratih selesai berbicara Deva sudah mengangkat tangannya.

“Apa yang membuatmu berubah dalam sekejab, semua ini tidak masuk diakal, aku tidak bisa percaya begitu saja.”

“Kalau aku jelaskan, kamu pasti tidak percaya dan menganggap aku gila, Deva.” Ratih ingin sekali menjelaskan apa adanya, tetapi apa Deva akan percaya begitu saja? Ratih takut malah dikira mengada-ngada.

“Maka, Jelaskan sama aku, biar aku percaya, Ratih!”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status