Bingung, harus dari mana Ratih menjelaskan semuanya, hingga akhirnya dia mencoba untuk menggenggam Kembali liontin pada kalungnya sambil menutup mata. Ia ingin menunjukkan sinar kuning keemasan yang keluar dari liontin itu.
Ratih Kembali merasakan, sensasi panas di dadanya setiap kali ia mengingat jika dirinya ditenggelamkan dengan sengaja. Nafasnya Kembali tersengal, keringat dingin juga mulai membasahi dahinya.
“RATIH! RATIH! Kamu kenapa sih?! Kok malah kayak gini? Jangan buat aku takut dong!”
Suara Deva sontak membuat Ratih membuka matanya dan kembali memegang dadanya yang tersara panas. Dirinya sampai mengambil air minum Deva yang disediakan di meja kantornya, Ratih masih tidak bisa menjawab Deva selain menelan tiap teguk air pada gelas itu hingga tandas.
“Okay! Sekarang kamu habisin air minumku,” keluh Deva.
“Tadi, kamu lihat nggak? Ada cahaya nggak dari liontin giok yang aku genggam?” tanya Ratih penuh harap.
Deva semakin kesal mendengar pertanyaan Ratih, dirinya merasa kembali dipermainkan. “Okay, sekarang pulanglah! Aku tidak akan datang di acara pesta ulang tahunmu, pergilah. Sebelum aku semakin kesal melihatmu yang tidak ada habisnya terus saja mempermainkan aku.”
Melihat Deva semakin marah, Ratih semakin kalang kabut dia menggeleng cepat dan memegang kedua tangan Deva.
“Apa wajahku terlihat seperti sedang bermain-main? Aku serius, Deva! Aku tidak pernah seserius ini sepanjang hidupku. Hanya kamu yang bisa menyelamatkan aku dan hanya aku yang bisa membantumu untuk mengatasi kebangkrutan perusahaanmu.”
“Apa maksudmu?” Deva bingung bagaimana Ratih tau tentang masalah pada Perusahaan keluarganya saat ini.
“Aku tau, saat ini perusahaan Om Abizar sedang mengalami penurunan kualitas produksi, beberapa olahan karet yang sudah kalian kirim dikembalikan lagi oleh para distributor besar yang memesannya. Jika kamu menikah denganku, Om Abizar tidak perlu menjual dua ratus hektar kebun sawit dan karet hanya untuk menutupi semua kegagalan produksi pabrikmu! Aku jamin, Deva, please kali ini percayalah kepadaku.” Ratih sudah kepalang basah, dia tidak akan pergi dari kantor ini sebelum Deva mengabulkan permintaannya.
“Kamu jamin? Untuk apa aku percaya. Aku tau, wajahmu itu memang terlihat tidak main-main. Tetapi, apa semua masuk akal, Ratih?! Setelah mati-matian kamu menolak aku berkali-kali dan kini kamu juga mati-matian meminta aku menikahmu, ini kan konyol! Aku butuh sebuah kalimat yang membuatku percaya,” desak Deva.
“Aku datang dari masa depan, aku bisa tau apa yang terjadi beberapa tahun ke depan, terserah kamu mau percaya atau tidak yang jelas. Aku tau kalau perusahaanmu akan mengalami kebangkrutan sebentar lagi. Hanya aku yang bisa mengatasinya, hanya jika kamu menikah denganku. Aku dan kedua orang tuaku juga akan meninggal, hanya denganmu aku dan keluargaku bisa selamat. Please, Deva percayalah, walau semua terdengar tidak masuk akal, tapi inilah yang sebenarnya terjadi.”
Mendengar pernyataan Ratih, bukannya percaya. Deva justru terbahak sembari memegang kepalanya yang sesekali menggeleng. “Ya, ampun Ratih, Ratih, aku tidak menyangka ternyata kamu juga pintar mendongeng. Pulanglah, aku sudah lelah mengejarmu selama ini. Kalau bukan karena baktiku kepada papa dan almarhum mamaku yang meminta aku menikahi anak sahabatnya mereka. Aku tidak mungkin akan bersabar dan mengejarmu selama ini.”
“Maka, baktimu kepada almarhum mamamu bisa segera terpenuhi, aku sudah bersedia menikah denganmu bukan? Kumohon jangan menolak aku. Aku akan memenuhi semua permintaanmu, kumohon Deva. Aku tau, kesalahanku sudah sangat fatal. Aku akan membayar semua kesalahanku. Aku juga tidak perduli dan tidak marah jika kamu ejek seperti tadi. Kumohon apa pun, akan aku kabulkan, Deva, Please ….” Ratih sudah tidak tahan lagi, suaranya sampai bergetar.
Dia tidak menyangka ternyata rasanya dipermalukan seperti ini sangatlah menyakitkan. Air matanya mulai jatuh bercucuran, seumur hidupnya baru kali ini Ratih memohon dan merendahkan dirinya seperti ini. Tapi, setiap mengingat bayangan tubuh kaku Darman dan Lusi, Ratih kembali menguatkan dirinya.
Deva mulai tidak tega saat melihat bahu Ratih bergetar, apalagi suara Ratih juga terdengar tidak seperti biasanya. Air mata Ratih sanggup meluluhkan hati Deva. “Apa pun?!” tanya Deva walau masih terdengar ketus.
“Iya, apa pun,” sahut Ratih menatap Deva, lalu kembali menundukkan kepalanya.
“Termasuk menikah kontrak denganku?” Deva tidak yakin jika Ratih akan setuju dengan ide gilanya ini.
Tetapi, dugaan Deva ternyata salah, Ratih langsung mengangguk tanpa ada keraguan. Ia menatap Deva dengan yakin. “Walau harus menikah kontrak denganmu, itu sudah lebih dari cukup untukku,” jawab Ratih tidak masalah.
“Hanya aku yang bisa membatalkan kontrak ini secara sepihak, kamu tidak memiliki hak apa pun untuk membatalkannya.” Deva kembali memberikan sebuah syarat mutlak yang cuku merugikan Ratih.
“Aku, tidak masalah. Aku menerima syaratmu,” sahut Ratih masih dengan tatapan penuh keyakinan.
“Syarat yang lain adalah kamu tetap harus melayani aku selayaknya suami.”
“Tentu saja, aku akan menjadi istri yang baik, mendukung pekerjaanmu, memasakkan makanan untukmu, merawatmu dengan baik seperti seorang istri pada umumnya.” Ratih mempertegas jika dirinya juga bisa mengerjakan segala pekerjaan rumah dan handal dalam hal bisnis.
“Termasuk melayaniku di tempat tidur! Aku minta hakku atas dirimu di malam pertama, aku tidak mau mendengar kata tidak siap dari bibirmu. Apa kamu sanggup? Bercinta dengan Atmadeva, pria yang selama ini tidak pernah kamu cintai?”
“A-apa?!” Sungguh, Ratih tidak memikirkan sampai sejauh itu. Lidahnya keluh, tidak tau harus menjawab apa.
Ratih jadi bingung sendiri, apalagi wajah Deva terlihat tanpa beban. Sambil melipat kedua tangannya di dada, Deva menyandarkan punggungnya di sofa lalu melipat kaki sambil menggoyangkan kakinya. Sungguh menyebalkan! Tapi, Ratih lebih membutuhkan Deva dibandingkan sebalinya.
“Keluarlah, waktuku sudah habis menunggu jawabanmu!” usir Deva lalu bangun dari sofa dan membuka pintu kantornya lebar-lebar.
“Keluarlah, aku sudah tau jawabannya. Kamu tidak perlu membujukku lagi, sebentar lagi acara pestamu akan dimulai kan?” ucap Deva sambil melihat jam yang melingkar di pergelangan tangannya.
“Deva, bisakah sekarang kamu ikut denganku menuju ke Aula Hotel Siak. Aku yakin Ayah dan Bunda sudah menunggu kita di sana.” Bukannya pergi, Ratih malah kembali memohon kepada Deva sambil memilin ujung tali tasnya tanpa berani menatap Deva.
“Pergilah, Ratih ….” Pintu kantor masih terbuka lebar.
Dengan berat hati Ratih bangun dari kursinya, ia melangkah masih dengan kepala menunduk. Jangan menjawab, melihat wajah Deva saja rasanya Ratih sudah tidak sanggup lagi. Sesampainya di ambang pintu hal tidak terduga terjadi.
Ratih menggapai daun pintu dan menutupnya kembali sambil bersandar pada pintu tersebut. “Aku, akan melakukan apa pun yang kamu mau, Deva. Termasuk, memberikan hakmu atas diriku setelah kita menikah nanti.”
Sebutir kristal bening meluncur begitu saja dari pelupuk matanya, kedua tangannya saling bertaut mengatasi rasa gugup yang luar biasa.
Kini gantian Deva yang tidak bisa berkata. Ia hanya dapat menetap Ratih tidak percaya. Suasana kembali lengang, keduanya masih bermain dengan pikirannya sendiri. Sampai Deva kembali membuat hati Ratih hancur.
“Malam ini, umumkan pernikahan di acara pestamu dan putusin Rangga di depan semua orang. Sama seperti kamu mempermalukan aku, kemarin malam di pesta keluargaku. Yakin kamu bisa memenuhi satu syarat yang satu ini?”
“Ratih, sini Nduk. Deva sudah menunggu kamu sejak tadi,” panggil Darman saat melihat Ratih baru saja datang mendekat kepadanya. Deva menatap Ratih tanpa berkedip, wajah cantik Ratih membuatnya kagum, tetapi melihat penampilan calon tunangannya Deva heran. Di acara peresmian pabriknya, kenapa Ratih malah datang dengan kaos oblong dan celana jeans belel. Akhirnya Deva memberikan sebuah kotak kado yang disiapkan untuk Ratih, karena kebetulan besok adalah hari ulang tahun Ratih yang ke dua puluh satu. “Ratih, mungkin kamu bisa ganti baju dulu, ini kado buat kamu besok. Tapi, kamu bisa pakai gaun pemberianku hari ini, sebentar lagi pertunangan kita akan diumumkan. Kamu ganti yah.” Deva lalu menyodorkan sekotak kado berisikan gaun saat dirinya mendekati Ratih yang berdiri dekat Darman dengan raut wajah tak ramah. Wajah Deva menunjukkan seulas senyum bahagia saat Ratih mengambil kotak kado tersebut, begitu juga dengan Darman dan anggota keluarga keduanya. Tapi, tiba-tiba saja Ratih melemp
BAB 7. Rangga Terusir Dari Pesta. Entah kenapa Deva selalu melontarkan kata demi kata yang bertujuan untuk meruntuhkan dan menggoyahkan tekad bulatnya Ratih. Walau Ratih tampak berpikir sejenak tapi dirinya tetap berkomitmen untuk memenuhi semua syarat yang diberikan oleh Deva. Mungkin inilah perjuangan awal Ratih, untuk mendapatkan kepercayaan Deva. “Deva, jangan ragukan diriku jika aku sudah berjanji kepadamu. Harusnya kamu bisa menilai bagaimana keras kepalanya aku saat aku memperjuangkan sesuatu yang ku anggap penting. Memperjuangkan keluargaku adalah prioritas utamaku.” Ratih menatap tajam Deva dan segera turun dari mobil. “Ratih?! Kok kamu turun dari mobilnya Deva?” Rangga terbelalak kaget melihat Ratih. Tak lama kemudian terdengar suara pintu mobil tertutup, Deva turun dan memberikan kunci mobil pada petugas valet. Lalu Deva mensejajarkan dirinya di samping Ratih sambil memasukan tangannya di dalam saku celana. “Rangga, kita putus! Aku, akan menikah dengan Deva. Kamu bisa m
“Mau seribu kali kamu bertanya kepadaku, jawabanku tidak akan berubah!” tegas Ratih lalu berjalan meninggalkan Deva menuju ke toilet. “Dasar, keras kepala,” gumam Deva sembari menggelengkan kepalanya. Deva lalu berjalan menuju ke meja tempat Abizar dan Darman sedang berbincang. “Om Darman, Tante Lusi mana?” tanya Deva tidak melihat calon ibu mertuanya. “Tante lagi menyusul Ratih ke toilet,” sahut Darman sambil memberikan segelas sirup untuk Deva. “Pa, Om, ada yang mau saya bicarakan malam ini. Apa kita perlu mencari tempat yang agak tenang untuk membahasnya?” tanya Deva sambil mengedarkan pandangan melihat suasana pesta yang sebenarnya sudah mulai lengang. Banyak para tamu yang sudah berpamitan satu per satu, dari sejak tadi saat dirinya berbincang dengan Ratih di sudut ruangan. Hanya tersisa beberapa yang masih terlihat asik dengan obrolan mereka sendiri. “Disini saja, masih ada beberapa tamu yang belum pulang. Apa yang mau kamu sampaikan, Deva?” saran Abizar sekaligus bertanya
Jantung Ratih kini sudah tidak lagi bersabat dengannya, sengatan kecil juga merasuk di atas permukaan kulitnya. “Deva?” panggil Ratih sambil menahan nafasnya sejenak tanpa berani menoleh.“Hem? Acara pernikahan kita akan dilaksanakan minggu depan,” sahut Deva lalu menarik kursi di samping Ratih untuk bergabung dengan calon mertua dan papanya.Ratih tidak lagi mempertanyakan segala hal yang bersangkutan dengan urusan pernikahan mereka. Ia hanya mengulas senyum tipis saat mendengar Abizar dan Darman saling berkelakar dan juga menceritakan kisah masa kecil kedua anaknya.Begitu juga dengan Lusi yang sesekali ikut menimpali percakapan kedua bapak-bapak ini, lalu sesekali ikut tertawa bersama. Ratih sangat menikmati pemandangan ini, sampai Deva kembali berbisik kepadanya.“Aku pinjam ponsel kamu.” Merasakan kembali hembusan nafas Deva, Ratih mendengus dan membuka tas pesta yang dibawanya.“Kenapa sih, suka banget bisik-bisik? Bicara normal kan juga bisa,” omel Ratih sambil memberikan ponse
“Ratih, berjanji akan belajar menerima pernikahan ini dan membuka hati Ratih untuk Deva. Tetapi Ratih tidak yakin Deva bisa membuka hatinya, rasa dendam dan kekecewaannya selama ini sepertinya akan menjadi tembok penghalang dalam pernikahan kami,” lirih Ratih.Menanggapi keputus asaan Ratih akan sikap Deva, Lusi hanya mengulas senyum saja. “Semua harus dimulai dari diri kita dulu. Jika, hatimu memang tulus kepadanya, Bunda yakin suatu saat hati Deva pasti akan tersentuh. Sekarang tidurlah, jangan lagi kamu berprasangka buruk. Tuhan sudah memberikanmu kesempatan untuk kembali menata hidupmu, bersyukurlah dan berprasangka baiklah,” tutur Lusi memang selalu dapat menyejuk jiwa Ratih yang rapuh.“Terima kasih, Bunda … karena selalu mau menerima Ratih walau selama tiga tahun ini Ratih selalu menyakiti hati Bunda dan Ayah. Sungguh, Ratih merasa tidak layak,” sesal Ratih lalu membaringkan tubuhnya dan mengecup punggung tangan Lusi yang setia mengusap lembut surai rambut anaknya.Lusi lalu me
Setelah mobil berhenti dengan sempurna, Ratih membuka sabuk pengamannya. Baru saja sabuk pengamannya selesai dilepas. Deva telah membuka pintu mobil dan keduanya sama-sama terkejut melihat satu sama lain. Pak Ratmin yang ada di sana hanya mengulum senyum saja, melihat kedua insan muda ini saling terpanah satu sama lain. Tapi, kok terpananya lama sekali, akhirnya Pak Ratmin mengambil inisyatif untuk berdeham. “Ehem, ehem!” Suara Pak Ratmin langsung membuat Deva dan Ratih salah tingkah. “Em, silahkan masuk. Kamu, sudah sarapan?” tanya Deva sampai lupa tujuannya mengundang Ratih ke rumahnya. “Terima kasih, iya aku sudah sarapan,” sahut Ratih lalu mengikuti Deva dari belakang. Ternyata di meja makan, Deva sudah menyediakan dua piring dan ada roti bakar. Sepertinya Deva menyiapkan sarapan ini untuk Ratih. “Oh sudah yah,” sahut Deva sambil mengambil piring yang disiapkan untuk Ratih, tapi dengan cekatan Ratih mencegahnya. “Eh, mau apa? Aku jadi ngiler liat rotinya. Aku sengaja sarapan s
“Kenapa kamu selalu saja mengancamku?!” protes Ratih.Dia mulai emosi setiap kali Deva mengatakan tidak akan ada pernikahan. Bayangan wajah Darman dan Lusi yang kecewa membuat Ratih selalu mati kutu jika sudah mendengar tentang pembatalan pernikahan mereka.“Kan, kamu sendiri yang mengatakan kalau akan memenuhi semua syarat yang aku ajukan sekali pun itu merugikanmu. Asalkan aku mau menikah dengan mu? Apa kamu sudah lupa dengan perkataanmu sendiri?” sindir Deva sambil menatap tajam Ratih.“Yah, kalau begitu ngapain kamu suruh aku membaca dan mendiskusikan isi perjanjian pernikahan ini, kalau pada akhirnya kata diskusi itu hanya sebuah isapan jempol belaka. Harusnya kamu langsung suruh aku menandatangi perjanjian ini saja dong!” Ratih tanpa sadar meninggikan suaranya.“Aku tidak suka sekali mendengar nada dan cara bicaramu kepadaku. Sepertinya aku harus menambah satu poin mutlak lagi!” dengus Deva sambil menulis angka sepuluh dan kalimat yang cukup panjang pada bagian bawah kertas yang
Ratih juga baru menyadari jika rencananya di pagi hari sebelum berangkat ke rumahnya Deva ternyata gagal dia laksanakan. Sejak tadi, rambut lembutnya justru menutupi jepit mutiara yang tersemat di sisi kiri belahan rambutnya. Jepit Mutiara ini baru tampak jelas saat Ratih menjepit poni depannya ketika tadi menandatangani Married Agreement. “Ini? Iya, ini punya Tante Nadira. Kok kamu tau?” tanya Ratih pura-pura kaget. “Tentu saja aku tau semua barang milik mamaku.” Deva lalu mengambil sebuah pigura foto yang ditaruh di meja menghadap ke arah kursinya. “Jepit rambut ini, sering sekali dipakai mamaku dan kebetulan lebih dari setengah foto mamaku almarhumah selalu memakai jepit itu. Pertanyaannya, kok bisa ada di kamu?” tanya Deva curiga. Apakah Abizar yang memberikannya? Rasanya tidak mungkin. Kalau pun Nadira yang memberikannya langsung kepada Ratih, Deva sedikit heran kenapa selama ini dia tidak tau. “Ini hadiah ulang tahunku yang ke sebelas. Waktu itu Tante Nadira merasa gerah mel