Share

BAB 5. Ada Syaratnya.

Bingung, harus dari mana Ratih menjelaskan semuanya, hingga akhirnya dia mencoba untuk menggenggam Kembali liontin pada kalungnya sambil menutup mata. Ia ingin menunjukkan sinar kuning keemasan yang keluar dari liontin itu.

Ratih Kembali merasakan, sensasi panas di dadanya setiap kali ia mengingat jika dirinya ditenggelamkan dengan sengaja. Nafasnya Kembali tersengal, keringat dingin juga mulai membasahi dahinya.

“RATIH! RATIH! Kamu kenapa sih?! Kok malah kayak gini? Jangan buat aku takut dong!”

Suara Deva sontak membuat Ratih membuka matanya dan kembali memegang dadanya yang tersara panas. Dirinya sampai mengambil air minum Deva yang disediakan di meja kantornya, Ratih masih tidak bisa menjawab Deva selain menelan tiap teguk air pada gelas itu hingga tandas.

“Okay! Sekarang kamu habisin air minumku,” keluh Deva.

“Tadi, kamu lihat nggak? Ada cahaya nggak dari liontin giok yang aku genggam?” tanya Ratih penuh harap.

Deva semakin kesal mendengar pertanyaan Ratih, dirinya merasa kembali dipermainkan. “Okay, sekarang pulanglah! Aku tidak akan datang di acara pesta ulang tahunmu, pergilah. Sebelum aku semakin kesal melihatmu yang tidak ada habisnya terus saja mempermainkan aku.”

Melihat Deva semakin marah, Ratih semakin kalang kabut dia menggeleng cepat dan memegang kedua tangan Deva.

“Apa wajahku terlihat seperti sedang bermain-main? Aku serius, Deva! Aku tidak pernah seserius ini sepanjang hidupku. Hanya kamu yang bisa menyelamatkan aku dan hanya aku yang bisa membantumu untuk mengatasi kebangkrutan perusahaanmu.”

“Apa maksudmu?” Deva bingung bagaimana Ratih tau tentang masalah pada Perusahaan keluarganya saat ini.

“Aku tau, saat ini perusahaan Om Abizar sedang  mengalami penurunan kualitas produksi, beberapa olahan karet yang sudah kalian kirim dikembalikan lagi oleh para distributor besar yang memesannya. Jika kamu menikah denganku, Om Abizar tidak perlu menjual dua ratus hektar kebun sawit dan karet hanya untuk menutupi semua kegagalan produksi pabrikmu! Aku jamin, Deva, please kali ini percayalah kepadaku.” Ratih sudah kepalang basah, dia tidak akan pergi dari kantor ini sebelum Deva mengabulkan permintaannya.

“Kamu jamin? Untuk apa aku percaya. Aku tau, wajahmu itu memang terlihat tidak main-main. Tetapi, apa semua masuk akal, Ratih?! Setelah mati-matian kamu menolak aku berkali-kali dan kini kamu juga mati-matian meminta aku menikahmu, ini kan konyol! Aku butuh sebuah kalimat yang membuatku percaya,” desak Deva.

“Aku datang dari masa depan, aku bisa tau apa yang terjadi beberapa tahun ke depan, terserah kamu mau percaya atau tidak yang jelas. Aku tau kalau perusahaanmu akan mengalami kebangkrutan sebentar lagi. Hanya aku yang bisa mengatasinya, hanya jika kamu menikah denganku. Aku dan kedua orang tuaku juga akan meninggal, hanya denganmu aku dan keluargaku bisa selamat. Please, Deva percayalah, walau semua terdengar tidak masuk akal, tapi inilah yang sebenarnya terjadi.”

Mendengar pernyataan Ratih, bukannya percaya. Deva justru terbahak sembari memegang kepalanya yang sesekali menggeleng. “Ya, ampun Ratih, Ratih, aku tidak menyangka ternyata kamu juga pintar mendongeng. Pulanglah, aku sudah lelah mengejarmu selama ini. Kalau bukan karena baktiku kepada papa dan almarhum mamaku yang meminta aku menikahi anak sahabatnya mereka. Aku tidak mungkin akan bersabar dan mengejarmu selama ini.”

“Maka, baktimu kepada almarhum mamamu bisa segera terpenuhi, aku sudah bersedia menikah denganmu bukan? Kumohon jangan menolak aku. Aku akan memenuhi semua permintaanmu, kumohon Deva. Aku tau, kesalahanku sudah sangat fatal. Aku akan membayar semua kesalahanku. Aku juga tidak perduli dan tidak marah jika kamu ejek seperti tadi. Kumohon apa pun, akan aku kabulkan, Deva, Please ….” Ratih sudah tidak tahan lagi, suaranya sampai bergetar.

Dia tidak menyangka ternyata rasanya dipermalukan seperti ini sangatlah menyakitkan. Air matanya mulai jatuh bercucuran, seumur hidupnya baru kali ini Ratih memohon dan merendahkan dirinya seperti ini. Tapi, setiap mengingat bayangan tubuh kaku Darman dan Lusi, Ratih kembali menguatkan dirinya.

Deva mulai tidak tega saat melihat bahu Ratih bergetar, apalagi suara Ratih juga terdengar tidak seperti biasanya. Air mata Ratih sanggup meluluhkan hati Deva. “Apa pun?!” tanya Deva walau masih terdengar ketus.

“Iya, apa pun,” sahut Ratih menatap Deva, lalu kembali menundukkan kepalanya.

“Termasuk menikah kontrak denganku?” Deva tidak yakin jika Ratih akan setuju dengan ide gilanya ini.

Tetapi, dugaan Deva ternyata salah, Ratih langsung mengangguk tanpa ada keraguan. Ia menatap Deva dengan yakin. “Walau harus menikah kontrak denganmu, itu sudah lebih dari cukup untukku,” jawab Ratih tidak masalah.

“Hanya aku yang bisa membatalkan kontrak ini secara sepihak, kamu tidak memiliki hak apa pun untuk membatalkannya.” Deva kembali memberikan sebuah syarat mutlak yang cuku merugikan Ratih.

“Aku, tidak masalah. Aku menerima syaratmu,” sahut Ratih masih dengan tatapan penuh keyakinan.

“Syarat yang lain adalah kamu tetap harus melayani aku selayaknya suami.”

“Tentu saja, aku akan menjadi istri yang baik, mendukung pekerjaanmu, memasakkan makanan untukmu, merawatmu dengan baik seperti seorang istri pada umumnya.” Ratih mempertegas jika dirinya juga bisa mengerjakan segala pekerjaan rumah dan handal dalam hal bisnis.

“Termasuk melayaniku di tempat tidur! Aku minta hakku atas dirimu di malam pertama, aku tidak mau mendengar kata tidak siap dari bibirmu. Apa kamu sanggup? Bercinta dengan Atmadeva, pria yang selama ini tidak pernah kamu cintai?”

“A-apa?!” Sungguh, Ratih tidak memikirkan sampai sejauh itu. Lidahnya keluh, tidak tau harus menjawab apa.

Ratih jadi bingung sendiri, apalagi wajah Deva terlihat tanpa beban. Sambil melipat kedua tangannya di dada, Deva menyandarkan punggungnya di sofa lalu melipat kaki sambil menggoyangkan kakinya. Sungguh menyebalkan! Tapi, Ratih lebih membutuhkan Deva dibandingkan sebalinya.

“Keluarlah, waktuku sudah habis menunggu jawabanmu!” usir Deva lalu bangun dari sofa dan membuka pintu kantornya lebar-lebar.

“Keluarlah, aku sudah tau jawabannya. Kamu tidak perlu membujukku lagi, sebentar lagi acara pestamu akan dimulai kan?” ucap Deva sambil melihat jam yang melingkar di pergelangan tangannya.

“Deva, bisakah sekarang kamu ikut denganku menuju ke Aula Hotel Siak. Aku yakin Ayah dan Bunda sudah menunggu kita di sana.”  Bukannya pergi, Ratih malah kembali memohon kepada Deva sambil memilin ujung tali tasnya tanpa berani menatap Deva.

“Pergilah, Ratih ….” Pintu kantor masih terbuka lebar.

Dengan berat hati Ratih bangun dari kursinya, ia melangkah masih dengan kepala menunduk. Jangan menjawab, melihat wajah Deva saja rasanya Ratih sudah tidak sanggup lagi. Sesampainya di ambang pintu hal tidak terduga terjadi.

Ratih menggapai daun pintu dan menutupnya kembali sambil bersandar pada pintu tersebut. “Aku, akan melakukan apa pun yang kamu mau, Deva. Termasuk, memberikan hakmu atas diriku setelah kita menikah nanti.”

Sebutir kristal bening meluncur begitu saja dari pelupuk matanya, kedua tangannya saling bertaut mengatasi rasa gugup yang luar biasa.

Kini gantian Deva yang tidak bisa berkata. Ia hanya dapat menetap Ratih tidak percaya. Suasana kembali lengang, keduanya masih bermain dengan pikirannya sendiri. Sampai Deva kembali membuat hati Ratih hancur.

“Malam ini, umumkan pernikahan di acara pestamu dan putusin Rangga di depan semua orang. Sama seperti kamu mempermalukan aku, kemarin malam di pesta keluargaku. Yakin kamu bisa memenuhi satu syarat yang satu ini?”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status