BAB 7. Rangga Terusir Dari Pesta.
Entah kenapa Deva selalu melontarkan kata demi kata yang bertujuan untuk meruntuhkan dan menggoyahkan tekad bulatnya Ratih. Walau Ratih tampak berpikir sejenak tapi dirinya tetap berkomitmen untuk memenuhi semua syarat yang diberikan oleh Deva. Mungkin inilah perjuangan awal Ratih, untuk mendapatkan kepercayaan Deva.
“Deva, jangan ragukan diriku jika aku sudah berjanji kepadamu. Harusnya kamu bisa menilai bagaimana keras kepalanya aku saat aku memperjuangkan sesuatu yang ku anggap penting. Memperjuangkan keluargaku adalah prioritas utamaku.” Ratih menatap tajam Deva dan segera turun dari mobil.
“Ratih?! Kok kamu turun dari mobilnya Deva?” Rangga terbelalak kaget melihat Ratih.
Tak lama kemudian terdengar suara pintu mobil tertutup, Deva turun dan memberikan kunci mobil pada petugas valet. Lalu Deva mensejajarkan dirinya di samping Ratih sambil memasukan tangannya di dalam saku celana.
“Rangga, kita putus! Aku, akan menikah dengan Deva. Kamu bisa masuk ke dalam dan bersikaplah sebagai tamu undangan seperti para tamu lainnya. Atau kamu bisa pulang, jika tidak suka terima dengan keputusanku ini.” Suara Ratih tegas dan wajah tampak datar saat mengucapkan sabda kiamat bagi Rangga.
“Apa?! Tidak! Tidak bisa semudah itu, aku tidak mau putus denganmu. Kamu tidak bisa seenaknya memutuskan aku secara sepihak. Hubungan ini atas kesepakatan kita bersama maka kalau mau putus pun harus atas kesepakatan bersama!” Rangga tidak terima dan tanpa sadar meninggikan suaranya.
Beberapa tamu yang baru saja mau masuk ke dalam gedung lantas menghentikan langkahnya. Mereka penasaran melihat keributan yang ada, drama apa lagi ini? Pikir beberapa tamu yang sudah saling berbisik satu sama lain.
“Kamu pikir ini perjanjian kontrak kerjasama perusahaan? Perjanjian kerjasama perusahaan saja bisa diputuskan oleh salah satu pihak pemberi pekerjaan. Apalagi hubungan kita! Jangan bodoh, Rangga, pergilah!” perintah Ratih kepada Rangga dan segera menggandeng lengan Deva sengaja untuk membuat Rangga semakin panas.
“Lepaskan pacarku! Lepaskan! Apa yang kamu lakukan sehingga Ratih berniat meninggalkanku hah?!” Rangga langsung melepaskan tautan tangan Ratih dari lengan Deva dan mendorong tubuh Deva berkali-kali.
Dengan santai Deva mengebaskan tangannya beberapa kali pada bagian tuxedo yang tersentuh tangan Rangga. Seperti sedang membersihkan debu kotor pada pakaiannya. Gantian, kali ini Devalah yang tersenyum sinis menatap Rangga yang terlihat hanya sebagai seonggok manusia tidak berguna.
“Kok malah nanya aku, tanyakan saja sama pacarmu ini.” Deva tertawa mengejek.
“Mantan pacar! Alasanku sederhana, kamu dan aku bagai langit dan bumi, Rangga. Pergilah sebelum aku memanggil pihak keamanan untuk mengusirmu dari area gedung ini!” Ratih kembali menggandeng tangan Deva dan kali ini dia juga menarik Deva menuju ke dalam Gedung tanpa menghiraukan teriakan Rangga yang memanggil Namanya berkali-kali serta mengancam Deva.
“Aku bersumpah akan membuat perhitungan denganmu, Atmadeva! Ratih! Ratih! Jangan tinggalkan aku, Ratih! Lepas! Lepaskan!” Rangga berontak saat dua orang satpam menyeretnya keluar secara paksa dari tempat itu.
“Ratih, itu Rangga kenapa teriak-teriak gitu?” tanya Lusi khawatir saat mendengar ancaman kepada Deva.
“Nggak apa-apa, Bunda. Yuk, kita mulai acaranya Bunda, sepuluh menit lagi acara dimulai kan Bun?” Ajak Ratih lalu melepaskan tautan tangannya dari Deva dan beralih menggandeng Lusi.
“Ratih? Apa yang terjadi?” bisik Lusi saat mereka berjalan menuju ke meja paling depan.
“Sampai rumah saja, baru Ratih jelaskan yah, Bunda,” sahut Ratih sambil mengusap lembut tangan Lusi.
Sepanjang acara berlangsung, Ratih menguasai dirinya dengan sangat baik. Bahkan saat acara pemotongan kue, Ratih memberikan potongan pertama kepada kedua orang tuanya sebagai ucapan kasih sayang.
Setelahnya barulah acara bebas. Alunan music berdentang riang, sementara Ratih sedang menikmati pemandangan para tamu yang tertawa lepas, Deva datang mendekati Ratih.
“Bagaimana perasaanmu? Apa pikiranmu terganggu soal Rangga?” Deva ingin tau karena sejak tadi Ratih lebih banyak diam, bukan seperti Ratih yang dia kenal selama ini.
“Huh! Sama sekali tidak, saat ini aku sedang bersyukur. Pesta ulang tahunku dirayakan dengan meriah, lihatlah pancaran kebahagiaan di kedua pasang mata binar orang tuaku itu. Sangat indah dan menyejukkan hatiku,” akuh Ratih dengan senyuman manis tersungging di bibirnya.
“Benarkah? Bukannya kamu datang dari masa depan? Apa yang terjadi di pesta ulang tahun ke dua puluh satu kamu sebelumnya?” Pertanyaan Deva menarik perhatian Ratih.
Ratih tidak langsung menjawab, ia malah justru balik bertanya. “Apa itu artinya kamu sudah percaya, kalau aku tidak mendongeng soal kedatanganku dari masa depan?”
“Tergantung dari caramu meyakinkan aku, jujur saja sampai detik ini aku masih tidak percaya. Semua ucapan dan niatmu itu masih mencurigakan,” bisik Deva di telinga Ratih.
Ratih kembali tertawa kecut, sikap Deva semakin menyebalkan. Seharian penuh, Deva tidak sekali pun menunjukkan tanda-tanda akan memberikan hatinya kepada Ratih.
“Ulang tahunku yang ke dua puluh satu tahun adalah petaka bagi keluargaku. Ayah dan bundaku kembali malu, aku mengusir ayah dan bundaku dari pesta ini. Aku tidak terima saat Rangga bilang, kalau Ayah berkata kasar bahkan mengusirnya.” Ratih tersenyum getir dan wajah penuh penyesalan.
“Iya, kalau itu yang terjadi aku percaya. Kamu memang luar biasa untuk urusan menyakiti perasaan orang lain. Usahamu itu sangat totalitas!” sindir Deva dengan sarkas.
Ingin rasanya Deva percaya kepada Ratih, tapi logikanya melarang keras.
“Kamu benar, aku sangat totalitas memperjuangkan hubunganku dengan Rangga. Saat itu aku tidak peduli dengan omongan banyak orang yang mencibir hubunganku dengan Rangga. Aku sangat keras kepala.” Ratih mengingat kembali kelakuannya.
“Kamu bukan keras kepala, tapi kamu sudah tidak waras,” dengus Deva menatap jengah wajah Ratih.
“Terserahlah Deva, sekarang penuhi janjimu. Tentukan tanggal pernikahan kita, aku sudah memenuhi syarat yang kamu minta kan? Lalu, kamu tunggu apa lagi?” desak Ratih, sejak tadi Deva tidak terlihat berbicara dengan Darman sama sekali.
“Kenapa kamu ngebet sekali untuk menikah denganku, apa kamu tidak tahan untuk tidur satu ranjang denganku?” Deva kembali mengintimidasi Ratih sambil menarik pinggang ramping Ratih mendekat ke tubuhnya.
“De-Deva, lepaskan! Jangan seperti ini.” Jantung Ratih sudah bergemuruh bagai genderang perang, kakinya lemas saat aroma tubuh Deva merasuk ke Indera penciumannya.
“Kenapa?! Bukannya nanti kalau sudah menikah denganku, kamu bukan hanya sekedar aku pegang seperti ini.” Deva tampak menikmati wajah Ratih yang memerah dan gugup, belum lagi butiran keringat dingin mulai membasahi pelipis.
“I-iya, tapi kan, itu nanti kalau sudah menikah. Lepaskan Deva.” Ratih yang panik, terus berusaha menarik diri dari rangkulan Deva yang semakin erat hingga tidak ada lagi jarak di antara mereka.
“Baiklah,” sahut Deva lalu mendadak melepaskan pinggang Ratih hingga Ratih hampir jatuh terlentang di lantai dan dengan sigap Deva kembali menangkap tubuh mungilnya.
“Deva! Kamu sengaja yah lepasin aku kayak tadi?! Kalau aku jatuh terlentang terus ada apa-apa sama aku, gimana?! Kamu jahat, Deva!” amuk Ratih sambil memegang dadanya yang terkejut.
“Loh, kan kamu yang minta aku lepasin pinggang kamu. Kok, malah jadi kamu yang marah sama aku,” ejek Deva semakin membuat Ratih frustasi bukan kepalang.
Mau marah tapi tidak berani. Tidak marah, tapi kok perbuatan Deva sudah keterlaluan kepadanya. Merasa sesak di dadanya, Ratih tidak lagi kuasa menahan tangis karena sepanjang hari diperlakukan seenaknya sama Deva.
“Aku, sudah berusaha untuk melakukan semua yang kamu mau, tetapi kenapa kamu tega memperlakukan aku seperti ini?” lirih Ratih sambil menundukkan kepalanya.
Jemari Deva mengangkat dagu Ratih perlahan, hingga Ratih menengadah untuk melihat wajah Deva dengan seksama. Disekanya air mata yang membasahi pipi Ratih dengan lembut.
“Baru beberapa jam aku memperlakukanmu seenak hatiku dan ternyata kamu tidak setegar yang aku bayangkan. Bagaimana jika kita sudah menandatangi perjanjian kontrak pernikahan nanti? Apa kamu yakin, masih mau melanjutkan rencana kita, Ratih?”
“Mau seribu kali kamu bertanya kepadaku, jawabanku tidak akan berubah!” tegas Ratih lalu berjalan meninggalkan Deva menuju ke toilet. “Dasar, keras kepala,” gumam Deva sembari menggelengkan kepalanya. Deva lalu berjalan menuju ke meja tempat Abizar dan Darman sedang berbincang. “Om Darman, Tante Lusi mana?” tanya Deva tidak melihat calon ibu mertuanya. “Tante lagi menyusul Ratih ke toilet,” sahut Darman sambil memberikan segelas sirup untuk Deva. “Pa, Om, ada yang mau saya bicarakan malam ini. Apa kita perlu mencari tempat yang agak tenang untuk membahasnya?” tanya Deva sambil mengedarkan pandangan melihat suasana pesta yang sebenarnya sudah mulai lengang. Banyak para tamu yang sudah berpamitan satu per satu, dari sejak tadi saat dirinya berbincang dengan Ratih di sudut ruangan. Hanya tersisa beberapa yang masih terlihat asik dengan obrolan mereka sendiri. “Disini saja, masih ada beberapa tamu yang belum pulang. Apa yang mau kamu sampaikan, Deva?” saran Abizar sekaligus bertanya
Jantung Ratih kini sudah tidak lagi bersabat dengannya, sengatan kecil juga merasuk di atas permukaan kulitnya. “Deva?” panggil Ratih sambil menahan nafasnya sejenak tanpa berani menoleh.“Hem? Acara pernikahan kita akan dilaksanakan minggu depan,” sahut Deva lalu menarik kursi di samping Ratih untuk bergabung dengan calon mertua dan papanya.Ratih tidak lagi mempertanyakan segala hal yang bersangkutan dengan urusan pernikahan mereka. Ia hanya mengulas senyum tipis saat mendengar Abizar dan Darman saling berkelakar dan juga menceritakan kisah masa kecil kedua anaknya.Begitu juga dengan Lusi yang sesekali ikut menimpali percakapan kedua bapak-bapak ini, lalu sesekali ikut tertawa bersama. Ratih sangat menikmati pemandangan ini, sampai Deva kembali berbisik kepadanya.“Aku pinjam ponsel kamu.” Merasakan kembali hembusan nafas Deva, Ratih mendengus dan membuka tas pesta yang dibawanya.“Kenapa sih, suka banget bisik-bisik? Bicara normal kan juga bisa,” omel Ratih sambil memberikan ponse
“Ratih, berjanji akan belajar menerima pernikahan ini dan membuka hati Ratih untuk Deva. Tetapi Ratih tidak yakin Deva bisa membuka hatinya, rasa dendam dan kekecewaannya selama ini sepertinya akan menjadi tembok penghalang dalam pernikahan kami,” lirih Ratih.Menanggapi keputus asaan Ratih akan sikap Deva, Lusi hanya mengulas senyum saja. “Semua harus dimulai dari diri kita dulu. Jika, hatimu memang tulus kepadanya, Bunda yakin suatu saat hati Deva pasti akan tersentuh. Sekarang tidurlah, jangan lagi kamu berprasangka buruk. Tuhan sudah memberikanmu kesempatan untuk kembali menata hidupmu, bersyukurlah dan berprasangka baiklah,” tutur Lusi memang selalu dapat menyejuk jiwa Ratih yang rapuh.“Terima kasih, Bunda … karena selalu mau menerima Ratih walau selama tiga tahun ini Ratih selalu menyakiti hati Bunda dan Ayah. Sungguh, Ratih merasa tidak layak,” sesal Ratih lalu membaringkan tubuhnya dan mengecup punggung tangan Lusi yang setia mengusap lembut surai rambut anaknya.Lusi lalu me
Setelah mobil berhenti dengan sempurna, Ratih membuka sabuk pengamannya. Baru saja sabuk pengamannya selesai dilepas. Deva telah membuka pintu mobil dan keduanya sama-sama terkejut melihat satu sama lain. Pak Ratmin yang ada di sana hanya mengulum senyum saja, melihat kedua insan muda ini saling terpanah satu sama lain. Tapi, kok terpananya lama sekali, akhirnya Pak Ratmin mengambil inisyatif untuk berdeham. “Ehem, ehem!” Suara Pak Ratmin langsung membuat Deva dan Ratih salah tingkah. “Em, silahkan masuk. Kamu, sudah sarapan?” tanya Deva sampai lupa tujuannya mengundang Ratih ke rumahnya. “Terima kasih, iya aku sudah sarapan,” sahut Ratih lalu mengikuti Deva dari belakang. Ternyata di meja makan, Deva sudah menyediakan dua piring dan ada roti bakar. Sepertinya Deva menyiapkan sarapan ini untuk Ratih. “Oh sudah yah,” sahut Deva sambil mengambil piring yang disiapkan untuk Ratih, tapi dengan cekatan Ratih mencegahnya. “Eh, mau apa? Aku jadi ngiler liat rotinya. Aku sengaja sarapan s
“Kenapa kamu selalu saja mengancamku?!” protes Ratih.Dia mulai emosi setiap kali Deva mengatakan tidak akan ada pernikahan. Bayangan wajah Darman dan Lusi yang kecewa membuat Ratih selalu mati kutu jika sudah mendengar tentang pembatalan pernikahan mereka.“Kan, kamu sendiri yang mengatakan kalau akan memenuhi semua syarat yang aku ajukan sekali pun itu merugikanmu. Asalkan aku mau menikah dengan mu? Apa kamu sudah lupa dengan perkataanmu sendiri?” sindir Deva sambil menatap tajam Ratih.“Yah, kalau begitu ngapain kamu suruh aku membaca dan mendiskusikan isi perjanjian pernikahan ini, kalau pada akhirnya kata diskusi itu hanya sebuah isapan jempol belaka. Harusnya kamu langsung suruh aku menandatangi perjanjian ini saja dong!” Ratih tanpa sadar meninggikan suaranya.“Aku tidak suka sekali mendengar nada dan cara bicaramu kepadaku. Sepertinya aku harus menambah satu poin mutlak lagi!” dengus Deva sambil menulis angka sepuluh dan kalimat yang cukup panjang pada bagian bawah kertas yang
Ratih juga baru menyadari jika rencananya di pagi hari sebelum berangkat ke rumahnya Deva ternyata gagal dia laksanakan. Sejak tadi, rambut lembutnya justru menutupi jepit mutiara yang tersemat di sisi kiri belahan rambutnya. Jepit Mutiara ini baru tampak jelas saat Ratih menjepit poni depannya ketika tadi menandatangani Married Agreement. “Ini? Iya, ini punya Tante Nadira. Kok kamu tau?” tanya Ratih pura-pura kaget. “Tentu saja aku tau semua barang milik mamaku.” Deva lalu mengambil sebuah pigura foto yang ditaruh di meja menghadap ke arah kursinya. “Jepit rambut ini, sering sekali dipakai mamaku dan kebetulan lebih dari setengah foto mamaku almarhumah selalu memakai jepit itu. Pertanyaannya, kok bisa ada di kamu?” tanya Deva curiga. Apakah Abizar yang memberikannya? Rasanya tidak mungkin. Kalau pun Nadira yang memberikannya langsung kepada Ratih, Deva sedikit heran kenapa selama ini dia tidak tau. “Ini hadiah ulang tahunku yang ke sebelas. Waktu itu Tante Nadira merasa gerah mel
“Iya benar, Tuan Muda. Saya saja tidak menyangka Nona Ratih bisa mengajak saya bercerita. Satu saja pesan saya, Tuan Muda. Jangan enggan untuk membuka hati Tuan Muda untuk Nona Ratih, semua yang terjadi saat ini bisa saja menjadi jawaban dari doa keluarga Nona Ratih dan juga papanya Tuan Muda.” Nasehat Pak Ratmin memang benar, hanya saja Deva masih memiliki keraguan yang besar.“Iya, kita lihat nanti bagaimananya Pak Ratmin. Saya tidak bisa menjanjikan hati saya untuk Ratih, semua ini saya lakukan untuk memenuhi janji saya kepada Mama Nadira. Untuk urusan kepercayaan, Ratihlah yang harus berjuang mendapatkan kepercayaan dariku. Setelahnya, bukan tidak mungkin aku akan membuka hatiku untuknya,” jawab Deva.Selebihnya Deva menghabiskan waktu untuk berpikir dan sesekali membaca laporan keuangan yang baru saja dikirimkan oleh tim auditor tadi pagi.Di sisi lain, Ratih baru saja sampai di gudang penyimpanan kasil karet. Terlihat bundanya menggunakan jumpsuit kerja dan masker. “Bang Parlin,
Suara tak asing itu membuat Ratih spontan berbalik. Tampak Rangga sedang berdiri dengan membawa sebilah celurit di tangannya. Wajahnya tampak lusuh, matanya juga tampak agak sembab dengan bagian bawah mata yang berwarna lebih gelap.“Rangga? Apa yang kamu lakukan di sini?” Suara Ratih terdengar gugup sambil sesekali melirik ke benda tajam yang digenggam erat oleh Rangga.“Apa kamu lupa, kalau aku ini buruh panen getah karet harian di kebun ayah kamu? Kenapa kamu sangat terkejut melihat aku seperti ini? Apa yang dilakukan oleh si Deva brengsek itu, sampai kamu tega meninggalkanku seperti ini?” Rangga terlihat sangat geram, matanya juga memerah dan berair sangking kesalnya perasaan Rangga.“Rangga, kamu tenanglah. Kalau kamu memang mau bicara baik-baik sama aku, kita atur waktu untuk bertemu diluar jam kerjamu yah. Jangan seperti ini, kamu kan harus menyelesaikan dulu tanggung jawabmu hari ini.” Ratih berbicara selembut mungkin dengan sedikit membujuk Rangga.Ratih takut Rangga emosi da