Pagi-pagi sekali, Nara yang sudah bangun dari tidurnya, berjalan dengan cepat mencari taxi untuk pergi menuju ke arah rumah sakit di mana anaknya sedang dirawat. Nara ingin sebisa mungkin menghabiskan waktunya dengan putranya itu selama dia masih berada di London."Itu, kan, wanita kampungan yang mengaku sebagai istrinya Jaden." Kalista yang baru keluar dari club' malam tidak jauh dari hotel di mana Jaden dan Nara menginap melihat Nara naik ke dalam taxinya. Dia yang penasaran akhirnya mengikuti ke mana taxi itu membawa Nara.Di dalam taxi, Nara tidak sabar ingin segera sampai ke rumah sakit, tapi dia ingin mampir sebentar ke sebuah toko mainan untuk membelikan putranya beberapa mainan. "Untuk apa dia masuk ke dalam toko mainan anak-anak?" Kalista pun melihat heran.Tak lama Nara pun keluar dan dia segera naik ke dalam taxinya lagi. Tak lama Nara pun sampai di depan gedung rumah sakit dan dia segera berjalan masuk. Kalista yang masih heran, saat Nara membeli beberapa mainan, semakin
Jaden mengusir Kalista agar pergi dari sana dan Kalista pun yang merasa tidak dihargai oleh Jaden pergi dari sana."Tuan, aku kecewa pada Tuan JL." Nara yangsaat ini hatinya terasa sangat sakit pun berjalan menuju ke kamarnya, tapi Jaden mencoba mengejar Nara."Nara, tunggu!" Terdengar suara sesuatu jatuh dan Nara terkejut saat melihat tuan lumpuhnya terjatuh dari kursi rodanya."Tuan JL!" seru Nara seketika. Nara segera membantu Jaden duduk kembali ke kursi rodanya. "Nara, aku ingin bicara denganmu." Pria itu pun memegang tangan Nara.Nara tidak menjawab, tapi dia mendorong Jaden kembali ke kamarnya. Nara tanpa bicara mengambilkan baju untuk pria itu dan membantunya juga mengenakan pakaiannya.Pria di depannya itu tak melepaskan pandangannya pada Nara. "Nara, aku dan Kalista tidak melakukan apapun di sini.""Melalukan sesuatu pun itu bukan urusanku! Tuan masih sangat mencintainya, kan, dan percuma saja usahaku yang ingin membuat Tuan JL sembuh dari rasa sakit hati itu akan sia-sia.
Dua hari berlalu, Nara menghabiskan waktu dengan pria yang dia cintai itu. Nara yang meskipun di sana sedang berlibur dengan Jaden, dia tetap saja selalu melakukan terapi pijat pada kaki pria itu. "Nara, besok kita pulang, apa kamu tidak ingin berbelanja sesuatu?" Nara pun menggeleng. "Aku tidak ingin membeli apapun, Tuan. Aku sudah senang bisa berjalan-jalan ke tempat yang ada bianglalanya besar itu," ujar Nara sembari tetap memijit kaki Jaden."London Eye, Nara, itu namanya London Eye." Jaden pun tergelak tawa melihat kepolosan wanita yang dia cintai itu."Aku lupa namanya, lagi pula bahasa Inggrisku juga tidak begitu bagus." Nara sekarang memberikan obat pada Jaden. Pria itu menerima dan langsung meminumnya. Jaden tidak sadar jika obatnya sudah diganti oleh Nara dan Nara masih akan terus mencari tahu tentang saudara tiri dari pria yang dia cintai itu."Nara, tempat mana yang menurut kamu paling indah di sini? Dan kamu ingin datangi sekali lagi?"Nara terlihat sedang berpikir. Ka
Jaden tidak mau memaksa Nara menerima lamaran pernikahannya. Dia akan menjalani dulu kisah asmaranya dengan wanita yang sekarang menempati hatinya. "Nara, apa benar kamu besok akan kembali ke rumah keluarga Luther?" tanya sang ibu dan Nara pun menganggukkan kepalanya. "Kamu jangan lupa terus memberi kabar pada ibumu." "Iya, Bu, Ibu sudah punya nomorku yang baru, kan? Bu, tolong titip Nio. Aku juga sudah mentransfer sejumlah uang yang nenek Miranti berikan untuk pengobatan Nio, padahal aku tidak mau menerimabuangnya karena masih ada uang dari pria itu, tapi Nenek memaksa. Aku berikan saja semua pada Ibu karena aku pun tidak membutuhkan apapun." Nara pun mengusap lembut kepala putranya. "Ibu baik-baik di sini bersama Nio, ya?" Nara pun memeluk ibunya. Setelah tadi Jaden tidur pulas di kamar hotelnya, seperti biasa Nara langsung pergi ke rumah sakit untuk berpamitan pada ibu dan anaknya. Namun, kali ini Nara lebih berhati-hati karena kejadian dengan Kalista waktu itu. Nara pun senga
Nara mendorong kursi roda Jaden menuju ke dalam rumah kenangan. Mereka berdua sudah tidak sabar ingin bertemu nenek Miranti. Reno yang berjalan di belakang keduanya pun masih tidak percaya jika Nara dan Tuan mudanya sudah menjalin hubungan, meskipun di dalam hatinya dia merasa sangat senang. "Halo, Jaden Sayang." Saat sudah memasuki rumah kenangan itu, tiba-tiba seorang wanita berjalan mendekat dan langsung memeluk Jaden. "Mama? Mama kapan datang?" tanya Jaden yang terlihat sedikit terkejut."Halo, Kak, apa kamu merindukan kamu?" Seorang laki-laki juga mendekat dan gantian memeluk Jaden.Nara yang berdiri tepat di belakang Jaden pun memperhatikan satu persatu dua orang yang Nara bisa menebak jika mereka adalah mama dan adik tiri tuan lumpuhnya."Kamu tadi pagi juga baru mendarat, saat di rumah mengetahui kamu sekarang tinggal di rumah kenangan, mama mengajak adikmu ke sini, sayang," ucap wanita paruh baya dengan wajah terlihat angkuhnya.Andrew adik tiri Jaden yang ada di sana mel
Nara sedang berada di dalam kamar tuan lumpuhnya, seperti biasa Nara memberikan obat untuk Jaden minum setiap hari."Selamat malam, Tuan JL," tutur Nara lembut sembari menyelimuti kaki pria yang tengah duduk bersandar pada tepi tempat tidurnya."Nara, tunggu!" Tangan pria itu menggenggam lembut tangan wanita yang baru saja menjalin hubungan dengannya."Ada apa? Apa Tuan tidak bisa tidur lagi? Tapi aku sangat lelah hari ini, perjalanan di dalam pesawat sangat tidak mengenakan," Nara pun mengeluh."Nara, aku ingin kamu berjanji kalau tidak akan pernah meninggalkan aku dengan alasan apapun," ujar Jaden terdengar serius."Maksud Tuan JL?""Nara, aku tau sikap mamaku padamu terlihat jika dia tidak bisa menerimu menjadi kekasihku, tapi aku mohon kamu jangan memilih pergi karena hal itu. Apa yang terjadi dalam hidup kita nantinya, kita yang akan menjalani semuanya." Nara pun mengangguk. "Aku tidak akan memikirkan hal itu, Tuan, karena bagiku itu adalah dari Tuan JL sendiri. Kalau suatu hari
Andrew masih berdiri di tempatnya dan menatap heran pada wanita yang dia sebut pelayan kurang ajar itu."Maksud dia apa tadi? Apa dia sebenarnya mengetahui tentang obat ini?" Andrew pun menggenggam erat obat ditangannya. "Sebaiknya aku segera bicarakan hal ini dengan mama." Dia pun berjalan pergi dari sana."Ren, kamu lihat apa? Kenapa dari tadi serius sekali melihat ke arah luar jendela kamarku? Apa kamu melihat ada hantu di sana?" celetuk Jaden sembari kembali melanjutkan membaca dokumen yang tadi dibawakan oleh Reno."Apa tadi yang sedang Nara dan tuan muda Andrew bicarakan? Kenapa Nara aku lihat melemparkan sesuatu?" Reno berdialog dalam hatinya saat dia memang tadi sempat melihat Nara dan Andrew di luar."Ren, Minggu depan aku akan mulai kembali bekerja di kantor. Tolong kamu bersihkan semua barang-barang yang ada kaitannya dengan Kalista karena aku tidak ingin mengingat kembali semua masa laluku dengannya." Jaden melirik Reno yang di mana, Reno malah melamun memikirkan tentang N
Semua sudah duduk di meja makan dengan kursi utama di tempati oleh Nenek Miranti. Reno dan Nara pun diajak untuk sarapan pagi bersama di satu meja makan."Nara, apa kamu yang memasak semua ini?" tanya Jaden sembari melihat ke arah wanitanya itu.Nara pun mengangguk. "Apa ada yang kurang dari rasa masakannya, Tuan JL?" tanya Nara penasaran.Jaden pun tersenyum kecil. "Tidak ada, aku sudah terbiasa dengan rasa masakan kamu ini, bahkan aku sampai lupa rasa masakan nenekku." Jaden pun melihat ke arah wanita tua yang juga sedang tersenyum padanya."Nenek itu sempat khawatir jika kamu akan tidak cocok dengan masakan Nara saat awal Nara membawa kamu ke sini."Nara pun melihat ke arah tuan lumpuhnya itu. "Semua itu penuh perjuangan dan cerita, Nek," sahut Nara."Jangan dibahas lagi masalah itu, Nara," jawab Jaden tegas yang tidak mau diingatkan akan bagaiman sikap dirinya dulu dengan Nara.Mereka tidak sadar jika dua pasang mata yang memperhatikan dan mendengarkan percakapan hangat mereka di
Nara akhirnya menerima suit dari Jaden. Entah kenapa, di hatinya merasa jika pria lumpuhnya itu masih sangat mencintainya, hanya rasa bencinya saja yang membuat pria itu menolak mengakuinya."Terima kasih, Tuan JL."Jaden tidak menjawab, dia malah kembali melihat pada layar laptopnya. Nara yang tidak mendapatkan balasan ucapan pun memilih berjalan menuju pintu keluar. Pyaar!Baru dua langkah Nara keluar dari dalam kamar rawat Nenek Miranti. Indra pendengaran Nara mendengar ada benda jatuh dan teriakan Reno memanggil nama seseorang yang sangat Nara kenali"Tuan JL?" Nara langsung masuk kembali ke dalam kamar dan melihat pria lumpuhnya itu jatuh ke lantai dan ada pecahan gelas di sampingnya. Reno pun sudah mencoba membantu Jaden duduk kembali di atas sofa."Tuan Jaden kenapa bisa jatuh?" tanya Nara yang sekarang mengambil beberapa pecahan gelas yang mengenai tangan Jaden."Aku juga tidak mengetahui kejadiannya dengan persis. Saat berbalik melihat Nenek. Tiba-tiba terdengar suara pecah
Nara dengan wajah kesalnya berjalan menuju kamar Nenek Miranti setelah dirinya hampir saja menampar wajah Alexa yang terus menghinanya. Jika Reno tidak cepat menarik paksa tangan Nara dan membawa pergi dari sana. Nara benar-benar tidak bisa menahan emosinya saat Alexa mengatainya jika dirinya membutuhkan uang kenapa tidak menjual diri saja. "Tadi kenapa kamu menahan tanganku, Ren? Wanita itu harus ditampar mulutnya karena ucapannya itu benar-benar membuatku sakit hati." Wajah Nara masih ditekuk kesal."Nara, kamu lupa siapa musuh kamu? Dia Nyonya Alexa, apalagi kamu pernah punya catatan buruk yang bisa dia jadikan senjata untuk membuat kamu dilaporkan. Kalau saja Tuan JL adalah suami kamu, aku pasti akan membiarkan kamu menamparnya karena kamu memiliki orang yang kuat di belakangmu."Nara terdiam sejenak. "Aku tidak takut padanya, Ren." Wajah Nara tampak sedih."Kalau tidak takut, tapi kenapa wajah kamu sedih begitu?""Aku teringat hal itu dulu saat kamu mengatakan jika saja Tuan JL
Siang itu benar saja, Alexa dan putranya—Andrew sudah tiba di rumah sakit. Alexa tampak meneteskan air matanya melihat nenek yang duduk dengan wajah yang masih tampak pucat. Andrew pun terlihat sama sedihnya.Nara pun sudah diajak Reno untuk pergi dari sana sesuai dengan apa yang Jaden perintahkan. Jaden yang menunggu nenek di kamarnya sembari dia mengerjakan pekerjaan kantornya."Ibu kenapa bisa terkena serangan jantung? Bukannya Ibu sering kontrol dan sudah lama sekali tidak pernah sakit," ucap Alexa. "Iya, Nek, kenapa Nenek bisa sampai sakit begini?" Andrew pun menggengam erat tangan Nenek Miranti."Aku tidak apa-apa, kalian tidak perlu cemas. Aku sakit karena tidak sengaja mendengar kabar tidak enak tentang salah satu cucuku." Nenek Miranti pun menatap dengan tajam pada Andrew dan Andrew yang ditatap seperti itu pun merasa jika wanita tua di depannya ini sedang membicarakan tentangnya."Cucu Nenek siapa? Apa Jaden?" tanya Alexa bingung. Nenek Miranti mencoba menahan esmosinya, d
Jaden yang sudah terbangun dari tidurnya, melihat pada sofa yang di sana ada Nara yang masih mendengkur halus. Beberapa menit pria itu duduk dengan menatap wajah Nara yang terlihat dari tempatnya. Entah apa yang sedang pria itu pikirkan, hanya helaan napas pendek yang bisa dia embuskan."Tuan Jaden, Anda sudah bangun." Reno yang baru memasuki ruangan melihat pada bosnya itu. Dia pun sekilas melihat pada Nara."Ren, hari ini aku ingin menghabiskan waktu di sini. Mama dan Andrew juga nanti siang akan datang dan langsung ke sini. Ren, apa kamu bisa mengajak Nara pergi dari sini?""Loh, kenapa saya harus mengajak Nara pergi dari sini? Tuan tidak ingin melihat Nara?" Reno pun sekarang berdiri di depan pria lumpuh itu."Lebih baik dia tidak di sini. Mamaku dan Andrew akan datang, dan lagi pula dia tidak ada tempat di sini." Sorot mata dengan aura dingin itu menatap pada wanita yang masih terlihat memejamkan kedua matanya.Reno terdiam di tempatnya. Dia sama sekali tidak menyangka jika apa y
Nara kembali dari kamar mandi setelah puas dia menangis di sana. Tak lupa juga dia membawa minuman jus alpukat kesukaannya untuk menenangkan dirinya. Nara membuka pintu kamar rawat nenek dan melihat wanita paruh baya itu sudah tertidur di tempatnya. Di sana kedua matanya juga menangkap sosok Jaden yang tengah duduk pada tempat tidur yang dikhususkan untuk penunggu pasien. Pria lumpuhnya itu sedang membaca buku seperti biasanya."Reno ke mana?" Nara celingukan mencari di mana Reno, tapi sepertinya Reno tidak ada di dalam kamar. "Reno sedang aku suruh pulang untuk mengambil sesuatu," jawab Jaden tanpa melihat ke arah Nara.Nara tentu saja kaget karena tuan lumpuhnya itu mengetahui apa sjg sedang dia pikirkan. Nara duduk di sofa panjang tepat di depan tempat tidur Jaden. Wanita itu menikmati jusnya dengan melihat ke arah Jaden yah sibuk membaca meskipun sebenarnya Jaden sadar jika dia diperhatikan oleh Nara."Tuan JL sudah minum obat, kan?" Nara pun membuka pembicaraan."Reno sudah mem
Nara menjauhkan tubuhnya dari Jaden yang saat ini menatapnya tajam. Pria itu melihat ada selimut yang menutupi tubuhnya, dia pun menariknya dengan kasar dan mengembalikan pada Nara. "Jangan sok peduli denganku. Dan apa tadi? Kamu asih sangat mencintaiku? Pelayan, buang jauh-jauh perasaan cinta kamu yang tidak ada artinya itu karena sebentar lagi aku akan menikah dengan Kalista—wanita yang aku cintai," Jaden menekankan ucapannya. Jujur saja, saat ini perasaan Nara sangat sakit mendengar Jaden mengatakan jika Kalista adalah wanita yang sangat dia cintai. Padahal waktu itu dia melihat jika tuan lumpuhnya itu menaruh cinta yang begitu besar padanya. "Tuan JL, apa benar kamu sudah benar-benar tidak mencintaiku? Meskipun sedikit saja?" tanya Nara dengan nada bergetar. "Pergilah dari hadapanku, Pelayan!" bentak Jaden. "Aku bertanya padamu, Tuan JL." Jaden tampak gusar, tapi dia mencoba menyembunyikan hal itu. Cinta yang dia rasakan pada Nara begitu besar melebihi cintanya dulu pada K
"Kak Dean, aku minta maaf jika beberapa hari ini, aku tidak masuk kerja. Aku masih mau menjaga Nenek Miranti di sini. Kak Dean tau sendiri kalau aku merasa sangat bersalah setelah menceritakan hal itu pada Nenek Miranti." Wajah Nara pun tampak pias. "Iya, aku tau." Tangan Dean pun mengusap lembut kepala Nara. "Nanti kalau Nenek sudah benar-benar sehat, aku akan kembali bekerja. Aku juga kangen ingin membuat kue lagi di dapur cafe milik Kak Dean." Terlukis senyum kecil pada sudut bibir Nara. Dean pun mengangguk. "Nara, bulan depan rencananya aku mau mengajak kamu pergi menemui Nio dan ibumu. Aku kangen dengan keponakanku itu." "Aku mau, Kak. Kemarin, aku juga sudah menghubungi putra kecilku itu dan juga ibuku. Perkembangan kesehatan Nio juga semakin membaik. Dia terlihat sangat ceria, Kak." Ekspresi wajah Nara pun tampak bahagia saat sedang menceritakan tentang keadaan putranya. "Ya sudah, kalau begitu bulan depan kita akan pergi ke sana. Aku pulang dulu dan jangan lupa maka
Nara mendekatkan dirinya pada kaca besar di sana. Dia seolah sedang menyapa wanita tua yang sudah membuka kedua matanya dan melihat ke arahnya. Nara benar-benar merasa senang karena dia bisa melihat Nenek Miranti membuka keduanya. Wanita tua yang masih terpasang begitu banyak alat medis yang menancap pada tubuhnya tampak tersenyum tipis."Reno! Nenek sudah sadar!" seru Nara yang memeluk Reno di sana. Reno pun tak lupa membalas pelukan Nara karena dia pun merasa sangat senang."Iya, Nenek sudah sadar dan aku sebaiknya segera memberitahukan ini pada Tuan Jaden."Nara pun melepaskan pelukannya. "Iya, Ren, beritahu dia jika Nenek sudah sadar. Tuan JL pasti akan sangat senang mengetahui hal ini." Reno pun segera pergi dari sana. Nara masih memperhatikan Nenek Miranti. Nara seolah sedang mengajak Nenek Miranti untuk berbicara menggunakan bahasa isyarat. Wanita tua itu pun hanya menanggapi dengan mengangguk perlahan. Ada suatu kelegaan di hati Nara melihat Nenek Miranti sudah sadar.Tak lam
Pria dengan kursi rodanya itu mengerjapkan kedua matanya. Dirinya tidak sadar jika semalam dia malah ketiduran di depan ruang ICCU, di mana neneknya sedang dirawat. "Selimut?" ujarnya heran melihat ada selimut berwarna biru menutupi tubuhnya yang tidur dia atas kursi rodanya.Tak lama kedua matanya menangkap sosok yang sebenarnya tidak ingin dia lihat, tapi hati kecilnya rindukan. Nara sedang berdiri tepat di depan jendela kaca besar dengan tirai ruangan yang masih tertutup. Tangannya pun menampak pada kaca besar itu, serta terlihat guratan kesedihan pada wajahnya. "Nek, aku mohon nenek bisa bertahan dan sembuh. Aku ingin melihat nenek kembali." Air mata Nara pun perlahan menetes.Sekarang Jaden tahu siapa yang sudah menyelimuti tubuhnya. Dia mengambil selimut itu dan melemparnya dengan kasar. Rasa bencinya pada Nara seketika muncul mengingat apa yang sudah wanita itu lakukan."Untuk apa kamu ke sini? Pergi dari sini! Nenekku tidak membutuhkan dirimu, Pelayan!" bentak Jaden marah.N