INICIAR SESIÓN“Tentu saja, Bibi. Aku akan menjaga Rania dengan baik, aku janji bi,” jawab Nathan meyakinkan. “Coba ceritakan, bagaimana bisa seseorang memusuhi pria sopan sepertimu?” lanjut Naina bertanya. “Tunggu dulu! Apa tadi aku tidak salah dengar? Kau adalah tuan muda keluarga Middleton?” tanya Paul penasaran. “Bibi, Paman, bisakah kalian bertanya satu-satu? Aku jadi bingung harus menjawab yang mana dulu,” ujar Nathan tak berdaya. “Lihatlah, karena kau terlalu banyak bertanya, menantu kita jadi bingung, kan!” tegur Naina. “Baiklah… baiklah, kau jawab saja pertanyaannya lebih dulu,” ujar Paul mengalah. “Sebenarnya bukan musuh seperti itu, Bi. Maksud Nasha tadi, takutnya ada orang yang tidak suka denganku. Bukankah mereka akan mencoba berbuat jahat pada orang-orang di dekatku juga,” jawab Nathan mencoba meredakan ketegangan Naina. Jika dia mengatakan semuanya dengan jujur, mungkin menantu perempuannya itu akan pingsan seketika karena ketakutan. Secara bersamaan, Nasha juga menger
Saat mereka berdua keluar dari akar pohon tempat mereka tinggal, mereka melihat seorang pria sedang tergeletak di tanah, dengan darah yang mengucur deras dari luka di dadanya. Tanpa banyak bicara, mereka langsung bergegas mencoba menyelamatkan pria itu. ... Kembali ke masa sekarang... Nathan hampir saja memasuki alam jiwa karena merasakan kegelisahan Ravina, sampai saat sebelum ia memejamkan mata sepenuhnya, tiba-tiba saja ia teringat pada taruhan di antara mereka. Hari ini tepat tiga tahun sejak taruhan itu ditetapkan, dan tinggal beberapa jam lagi sampai saat kemenangan Nathan tiba. “Hahaha, aku tahu kau pasti memancingku untuk masuk ke alam jiwa, kan?! Jangan terlalu yakin pada dirimu, Kak. Hal terbaiknya adalah kau menganggap remeh diriku, dan sekarang aku bisa meminta tiga hal penting darimu,” batin Nathan. Meskipun mereka tidak berkomunikasi, namun Ravina dapat merasakan gejolak emosi kebahagiaan dari jiwa Nathan. Dia benar-benar cemas sekarang, karena tantangan ya
“Kakak, kau itu terlalu percaya diri! Aku sama sekali tidak membutuhkan bantuanmu untuk apa pun,” gumam Nathan sinis. “Bocah mesum, kalau begitu mari kita lihat siapa yang akan membutuhkan bantuan lebih dulu,” tantang Ravina. “Baik, kau lihat saja,” jawab Nathan acuh. “Tampaknya kau yakin sekali. Bagaimana kalau kita bertaruh sesuatu? Apa kau berani melakukannya?” tantang Ravina lagi. Jika saja Nathan sedikit lebih peka, seharusnya dia sadar jika Ravina menginginkan sesuatu darinya. Tapi sayangnya, Nathan hanyalah remaja enam belas tahun yang polos, jadi dia sama sekali tidak waspada saat itu. “Baik, apa taruhannya?” tantang Nathan balik. “Begini saja… siapa pun yang kalah harus mengikuti perintah yang menang sebanyak tiga kali, dan dia harus melakukannya tanpa batas dan tanpa syarat. Apa kau berani?!” “Tentu saja aku berani, karena aku sama sekali tidak akan membutuhkan bantuanmu. Mulai sekarang aku tidak akan pernah lagi memasuki alam jiwa dan juga altar kuno ini,” uja
Di dalam ruang VIP... Nathan kembali tersenyum. “Ayo cepat selesaikan makan, kita harus segera melanjutkan perjalanan. Masih ada tiga tempat yang harus kita datangi sebelum malam,” ujarnya lembut. “Bos, bisakah aku dan Bela juga ikut?” tanya Richard sopan. “Tentu saja boleh, semakin ramai tentu akan semakin seru,” jawab Nathan santai. “Kalau begitu beberapa dari kalian bisa ikut di mobilku,” ajak Richard. “Mobilku juga kosong,” sambung Billy. “Baiklah, kalau begitu siapa yang mau naik mobil Richie?” tanya Nathan. “Lena, kak. Lena ingin mengobrol dengan Kak Bela.” “Kalau begitu Lana juga, kak,” sahut dua gadis kembar itu bergantian. “Lalu mobil Billy?” “Mila, kak. Mila akan pergi bersama Kak Billy, dan Mila akan ajak Kak Laras juga,” teriak Mila bersemangat. Nathan mengangguk dan tersenyum seolah mengerti maksud Mila. “Bagaimana, Bill? Kau tidak keberatan, kan?” “Tidak, tentu saja tidak...” “Eh... kenapa Kak Billy bersemangat sekali?” tanya Rania menggod
Ruangan VIP itu kembali hening, namun tidak lagi terasa menekan seperti sebelumnya. Ketegangan telah berganti menjadi suasana canggung yang sulit dijelaskan. Tidak ada teriakan, tidak ada pertikaian, hanya sisa-sisa perasaan yang belum sempat menemukan tempatnya. Laras masih berdiri di tempatnya, kedua tangannya saling menggenggam erat di depan perut. Pipi gadis itu masih memerah, entah karena malu atau karena jantungnya yang sejak tadi berdetak terlalu cepat. Billy berdiri beberapa langkah di depannya. Untuk pertama kalinya, putra wali kota itu tidak tampil dengan sikap santai dan percaya diri yang biasa ia miliki. Bahunya sedikit tegang, satu tangannya dimasukkan ke saku celana seolah mencari pegangan, sementara pandangannya sesekali melirik ke arah Laras lalu cepat-cepat mengalihkan mata. Keheningan itu akhirnya dipecahkan oleh Gina. “Ras,” panggilnya pelan. Laras tersentak kecil, lalu menoleh. “Iya, Ma?” Gina menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan perasaannya sendir
Ruangan itu perlahan menjadi sunyi. Satu per satu orang yang tadi memenuhi kamar VIP kini telah pergi. Leon, Revan, Rosa, Nicky, Rowman, bahkan Dicky, semuanya meninggalkan ruangan dengan kepala tertunduk. Tidak ada yang berani menoleh kembali, seolah takut tatapan Nathan akan menyusul mereka. Tinggallah Laras sendirian. Berdiri di tempatnya dengan tubuh yang masih gemetar, Laras menatap kosong ke arah pintu yang telah tertutup. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia merasakan perasaan yang asing dan menyakitkan, 'ditinggalkan.' Bukan karena ia tidak penting, tetapi karena ia keliru menilai segalanya. Semua orang yang selama ini ia banggakan, semua yang ia yakini sebagai 'lingkungan yang tepat', pergi meninggalkannya tepat saat ia terpuruk. Harga dirinya runtuh perlahan. “Ma…” suara itu lirih, nyaris tak terdengar. Gina yang sejak tadi berdiri di sampingnya dengan wajah cemas segera meraih tangan Laras. Dengan hati-hati ia membantu putrinya berdiri lebih tegak, menopan







