Cahaya lampu putih yang dingin menerangi koridor rumah sakit, menciptakan bayangan samar di lantai.
Di kursi tunggu, Aiden duduk dengan punggung menegang, tangannya saling bertaut di atas lutut.
Tatapannya terpaku pada dinding putih di hadapannya, tapi pikirannya berkelana entah ke mana.
Primrose sudah melewati masa kritis. Itu yang dikatakan dokter beberapa saat lalu. Mereka berhasil menyelamatkannya, tapi sampai sekarang, wanita itu belum juga sadar.
Aiden menghela napas, mengangkat tangan dan mengusap wajahnya kasar.
Bodoh. Benar-benar bodoh!
Kenapa wanita itu melakukan hal seperti ini?
Saat ia menemukan Primrose beberapa jam yang lalu, tubuhnya sudah lunglai di sofa, napasnya lemah, dan wajahnya pucat pasi. Jika ia terlambat beberapa menit saja, Primrose pasti sudah mati.
Pikiran itu membuat dadanya seolah terhimpit oleh sesuatu yang berat. Tapi Aiden buru-buru mengusirnya.
‘Apa peduliku?’
Wanita itu bukan siapa-siapa baginya. Ia menegaskan hal itu berkali-kali dalam pikirannya.
Primrose hanyalah seorang wanita licik yang mengikatnya dalam pernikahan ini demi uang dan kekuasaan keluarga Reeves.
Aiden menggertakkan gigi. Jika bukan karena kakeknya yang keras kepala, Primrose tidak akan pernah ada dalam hidupnya.
Semua yang terjadi—kematian Daisy, keterpurukan ini—adalah akibat dari pernikahan konyol itu.
Dia menekan kepalanya dengan tangan, berusaha mengabaikan suara hatinya yang lain. Suara yang samar dan lemah, tapi tetap ada.
‘Apa benar Prims hanya wanita licik?’
Aiden mengingat tatapan kosongnya. Wajahnya yang dipenuhi air mata saat memanggil nama Daisy. Tubuhnya yang menggigil dalam hujan di depan makam Daisy sore tadi.
Sial. Kenapa ia masih memikirkan itu?
Aiden mendongak saat mendengar langkah kaki mendekat. Amber Reeves datang dengan wajah tidak senang. Suaranya langsung meluncur tajam tanpa basa-basi.
“Aku sudah mendengar semuanya. Ini benar-benar keterlaluan, Aiden!”
Amber duduk di sampingnya, meletakkan tasnya dengan kasar di atas kursi di sebelahnya.
“Lihat akibatnya jika kau membiarkan wanita seperti itu ada di keluarga kita,” katanya dengan suara penuh kejengkelan. “Mencoba bunuh diri? Hah! Apa dia pikir ini drama murahan?”
Aiden diam. Sungguh, ia tidak punya tenaga untuk membahas ini.
Tapi Amber tampaknya tidak mau berhenti.
“Perempuan itu benar-benar merepotkan. Bayangkan kalau ini bocor ke publik. Kau tahu betapa cepatnya media akan mengendus skandal seperti ini? Tajuk ‘Menantu Keluarga Reeves Mencoba Bunuh Diri’ akan ada di semua headline besok pagi! Aku tidak akan membiarkan nama keluarga kita dicoreng oleh wanita itu!”
Aiden mengatupkan rahangnya.
Amber menghela napas panjang, lalu melanjutkan, “Lagipula, semua ini karena dia terlalu berlebihan. Hanya karena anaknya meninggal, dia sampai ingin mengakhiri hidupnya? Konyol sekali. Aku bisa mengerti dia sedih, tapi ini? Ini adalah bukti bahwa dia wanita lemah dan menyedihkan. Kau benar, Aiden. Wanita seperti itu tidak pantas berada di keluarga ini.”
Aiden tetap tidak menjawab. Ia hanya menatap lurus ke depan, tapi dadanya terasa lebih berat dari sebelumnya.
Bagian terdalam hatinya merasakan sesuatu yang aneh, sesuatu yang tidak ingin ia akui.
Sedikit… bersalah?
Namun, ia segera menepisnya. Tidak. Primrose bukan wanita baik-baik. Wanita itu sudah memanfaatkan dirinya untuk mendapatkan keuntungan lewat mendiang kakeknya.
Bahkan, Daisy bukan anak kandungnya.
Tapi mengapa… mengapa ada bagian dari dirinya yang menepis pernyataan itu? Mengapa saat nama anak itu disebut, hatinya terasa sakit seolah ada tangan-tangan yang meremukkannya tanpa ampun?
Aiden mengepalkan tangannya dengan kuat.
Tidak. Daisy bukan anaknya.
Ya. Itulah kenyataannya.
Dan semua ini adalah konsekuensi yang pantas diterima oleh Primrose.
**
Kesunyian menyelimuti ruangan.
Primrose membuka matanya perlahan, dan yang pertama kali ia lihat adalah langit-langit putih yang terasa begitu asing. Di mana ini?
Tubuhnya terasa berat, kepalanya berdenyut menyakitkan, dan napasnya seperti tertahan di tenggorokan.
Untuk beberapa saat, pikirannya kosong. Lalu, seperti air bah, semua kenangan malam itu menyerbunya sekaligus.
Botol bourbon. Pil-pil putih. Kepalanya yang berputar. Keputusan untuk pergi.
Namun, kenyataannya… ia masih di sini.
Sebuah isakan lolos dari bibirnya. Kenapa? Kenapa dia masih hidup?
Air mata mengalir dari sudut matanya membasahi bantal. Seharusnya semua ini sudah berakhir. Seharusnya dia sudah tenang bersama Daisy.
Suara-suara samar dari luar pintu yang menelusup ke indera pendengarnya membuat isakan Primrose berhenti. Ia mendengarkan dengan mata nanar.
Suara itu… ia mengenalinya.
Amber.
“Bisa kau bayangkan betapa malunya keluarga Reeves kalau berita ini sampai tersebar? Aku tidak akan membiarkan perempuan itu mencoreng nama baik kita!”
Hati Primrose mencelos.
Tangannya yang terbaring di atas selimut perlahan mengepal.
“Dan yang lebih menjijikkan, dia melakukan ini hanya karena anaknya meninggal. Sungguh menyedihkan! Dia terlalu berlebihan. Wanita seperti itu tidak pantas ada di keluarga ini.”
Primrose menahan napas, merasakan kepahitan merayapi dadanya. Kata-kata itu begitu tajam, begitu menyakitkan.
Tangannya bergetar, tapi bukan karena marah. Ia hanya lelah.
Tidak lama kemudian, langkah kaki terdengar menjauh. Tidak ada suara lagi di luar sana.
Mereka sudah pergi.
Primrose menarik napas panjang, berusaha menenangkan dirinya sendiri. Tapi sebelum ia bisa benar-benar merasa lega, suara pintu terbuka.
Jantungnya hampir berhenti berdetak.
Aroma itu.
Hangat, sedikit musk, dengan jejak samar aftershave yang begitu familiar.
Aiden.
Primrose segera memejamkan mata, berpura-pura masih tertidur. Ia tidak ingin melihat pria itu. Ia tidak ingin mendengar suara dinginnya.
Melihat Aiden hanya akan menambah lukanya yang belum sempat kering.
Tapi selama beberapa saat, Aiden tidak mengatakan apa pun.
Sunyi.
Primrose bisa merasakan kehadiran pria itu, begitu dekat, begitu nyata. Ada kehangatan yang memancar dari tubuhnya, membuat dada Primrose terasa sesak.
Apa yang sedang Aiden lakukan?
Jantungnya berdebar, tetapi ia menahan diri untuk tidak bereaksi. Primrose tidak tahu apa yang pria itu pikirkan. Tidak tahu apakah pria itu menatapnya dengan jijik, atau malah sama sekali tidak peduli.
Tapi kemudian dering ponsel memecah keheningan.
Primrose mendengar suara Aiden mengangkat telepon.
“Iya, Sayang. Papa akan segera pulang.”
Primrose menahan napas.
Daisy sudah tidak ada. Tapi tetap saja, mendengar kata-kata itu dari mulut Aiden yang ditujukan untuk anak lain, membuat luka di hatinya kembali menganga.
Diam-diam, air mata kembali mengalir di sudut matanya.
Ia menggigit bibir, berusaha menahan isakan. Jangan sampai Aiden menyadari ia menangis.
Tak lama, Primrose mendengar suara langkah pria itu menjauh. Pintu terbuka dan kemudian tertutup lagi.
Primrose membuka mata, menutup mulutnya dengan lengan, tak ingin dinding sekalipun mendengarnya menangis.[]
Sepanjang perjalanan kembali ke kantor, Primrose tenggelam dalam lamunan. Mendengar Aiden pergi ke pameran pernikahan bersama Celine membuat hati wanita itu seolah teriris. Padahal itu bukan sesuatu yang baru. Sejak awal, Aiden selalu menempatkan Celine dan Kenzie sebagai prioritas utama. Sangat berbanding terbalik dengan Primrose dan Daisy. Tapi tetap saja, hal itu ternyata masih menyakiti perasaan Primrose.Dulu, dengannya, bahkan tidak ada pembicaraan mengenai rencana pernikahan. Aiden tidak pernah bertanya pendapatnya mengenai pernikahan mereka. Semuanya dilakukan serba tiba-tiba dan seadanya. Akan tetapi, dengan Celine, semuanya seperti direncanakan dengan matang. Aiden bahkan mengajak Celine untuk pergi melihat pameran di tengah kesibukannya.“Sudahlah … apa yang kuharapkan? Tidak ada gunanya memikirkan mereka,” gumamnya sedih.Wanita cantik itu lantas turun dari taksi begitu sudah sampai di pelataran gedung. Dengan sedikit repot, ia memeluk bahan-bahan yang dibelinya dan na
Primrose keluar dari ruang rapat dengan wajah tegang. Keputusan perusahaan untuk tetap bekerja sama dengan Kings Hotel membuat perasaannya campur aduk. Primrose tahu, itu adalah pilihan terbaik dari yang terburuk. Bagaimanapun, mereka sudah terlanjur kesal dengan pihak hotel yang terkesan mempermainkan mereka. Hanya saja, itu adalah tempat yang paling cocok dengan konsep yang sudah disusun. Ditambah lagi, semua persiapan sudah hampir rampung.“Hah … menyebalkan sekali!” gerutu Wendy di sebelahnya. “Kita jadi harus bolak-balik merapikan venue gara-gara pihak hotel yang labil!”Primrose tersenyum kecut. “Paling tidak, itu masih lebih baik daripada pindah tempat,” katanya.Wendy mengerucutkan bibir. “Tapi bagaimana dengan Hartington Hotel? Bukankah itu hotel milik kenalanmu yang kapan hari kita tidak sengaja bertemu?”“Dari mana kau tahu?” tanya Primrose balik.“Gosip menyebar dengan cepat di tempat ini, kau tahu?”Primrose tersenyum miris. “Benar juga,” katanya. “Kurasa Hartington ba
Istriku …Istriku.Kata itu bergema di telinga Primrose seperti kaset rusak. Selama enam tahun menikah, tak pernah sekali pun Aiden memperlakukannya sebagaimana istri pada umumnya. Tapi kini, Aiden tiba-tiba mengklaimnya sebagai istri di depan pria lain. Untuk apa? Mengapa baru sekarang setelah Primrose ingin menyerah dan membangun hidupnya yang baru tanpa Aiden di dalamnya?“Aku tidak suka mengulang ucapanku, Matthias,” kata Aiden, penuh penekanan di setiap katanya. Ekspresi wajahnya masih tampak mengeras. Begitu pula dengan Matthias yang masih mencengkeram salah satu pergelangan Primrose, tak berniat melepaskannya meski tatapan Aiden seolah siap membunuhnya.Aiden lantas menarik tubuh Primrose hingga wanita itu terhuyung membentur dadanya.“Akh!”Tapi Matthias tidak melepas tangannya begitu saja.“Primrose pulang bersamaku,” balas Matthias sama keras kepalanya.Primrose menelan ludah melihat kedua pria itu saling melempar tatapan permusuhan yang begitu kental. Udara di sekitar
“Prims, seseorang dari divisi pemasaran mencarimu.” Primrose menoleh pada salah satu rekan kerjanya itu. “Di mana dia?” tanyanya. “Dia menunggumu di pantry.”“Baik. Terima kasih,” sahut Primrose. Ia merapikan kertas-kertas yang berserakan di mejanya, lalu pergi ke arah pantry. Sudah sejak kemarin ia ingin menemui Elise, tapi temannya itu seperti hilang ditelan bumi.“El,” panggilnya begitu tiba di pantry kantor yang tampak sepi. Hanya ada Elise yang duduk sendirian di kursi bar.“Aku mencarimu dari kemarin,” kata Primrose. “Apa yang terjadi?”Elise tampak murung. Kilatan sedih di matanya tidak dapat disembunyikan. “Maafkan aku, Prims….”Primrose mengerutkan kening. Ia belum sempat bertanya kenapa ketika Elise kembali bersuara.“Aku tidak tahu kalau Aiden ternyata orang yang seperti itu,” lirihnya sedih.Primrose mencekal pergelangan tangan temannya khawatir. “El, apa yang dia lakukan padamu?” Elise menggelengkan kepala. “Tidak ada. Dia hanya berkata agar tidak ikut campur dalam ur
“Ada apa, Prims?” tanya Matthias saat melihat Primrose memucat usai berbicara dengan seseorang di telepon. Wanita cantik itu menatapnya sejenak sebelum memaksakan senyum tipis. “Aku harus kembali ke kantor,” katanya. “Aku akan menghubungimu lagi nanti.”Primrose tidak menunggu tanggapan dari Matthias. Ia langsung berbalik dan keluar dari lobi dengan langkah tergesa. Matthias menatap kepergiannya dengan tatapan penuh perhitungan. “Padahal aku bisa mengantarmu,” gumamnya pada diri sendiri.Di sisi lain, Primrose tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi setelah ini.Ia menduga-duga apakah Elise sudah mengatakan yang sebenarnya kepada Madam Sophie, atau Aiden yang menemui atasannya itu secara langsung. Primrose menghela napas panjang. Sepertinya, ia harus mulai mencari pekerjaan yang lain. Ia tidak akan bertahan lama di kantor ini jika Aiden sudah ikut campur.Sesampainya di kantor, Primrose langsung berjalan menuju ruangan Madam Sophie. Ia mengetuk pintu dan membukanya begitu wa
Primrose bergeming. Sementara Elise terkesiap di sebelahnya. “Prims, bukankah dia suami—”Elise tak sempat melanjutkan ucapannya karena Aiden kini sudah berdiri di hadapan mereka. Tatapannya masih terpaku pada Primrose, tampak menikmati kilatan gugup yang mewarnai raut pias wanita itu. Primrose menelan ludah, tidak berani membayangkan apa yang akan dilakukan pria ini di tempat umum! Apalagi, saat ini semua mata tengah tertuju pada mereka, seolah menanti tontonan apa yang akan disuguhkan.Namun, tatapan Aiden berpindah pada wanita berambut pendek di sebelah Primrose. Pria itu mengulas senyum tipis yang membuat siapapun akan terkesima, tidak terkecuali Elise. “Selamat pagi, Nona,” sapanya ramah. Terlalu ramah. Sangat tidak cocok dengan citra Aiden yang selama ini Primrose kenal.“Se-selamat … pagi ….” sahut Elise dengan suara pelan dan terbata, seolah nyawanya tidak benar-benar di sana. Wajahnya bersemu merah muda karena ditatap sedemikian rupa. “A-ada yang bisa saya bantu, Tuan?”
Selama beberapa detik, Primrose tidak berani membuka matanya. Ia diam di posisi yang sama hingga tubuhnya yang kebas mulai gemetar. Napas Aiden masih terasa begitu dekat, namun tidak ada yang terjadi. Aiden tidak melakukan apapun selain diam menikmati ketakutan yang menjalari wanita di bawah kungkungannya itu. Primrose dapat merasakan udara di sekitarnya yang tadinya menyempit mulai mengembang. Hangat yang menguar dari tubuh Aiden seolah menguap, digantikan kelegaan hingga ia bisa menarik napas dalam-dalam.Ia membuka mata dan melihat Aiden sudah menarik diri. Pria itu berdiri selangkah di depannya sambil memasukkan tangan ke dalam saku celana, tampak angkuh dan puas melihat Primrose yang menciut seperti anak anjing yang ketakutan. “Kalau kau mengaku bersalah dan memohon padaku, aku akan mempertimbangkan ulang pembatalan kerjasama itu,” kata Aiden memberi penawaran yang lebih terdengar seperti ancaman. Primrose menggertakkan gigi, tangannya mengepal seolah berusaha menguatkan diri
Primrose mengepalkan tangan dengan kuat. Intonasi arogan pria itu membuat darahnya seolah membara oleh amarah. Ia tahu dengan pasti, Aiden melakukan ini dengan sengaja. “Tidak bisakah kau membiarkanku pergi, Aiden?” tanya Primrose dengan suara yang ia jaga setenang mungkin, meski sebenarnya ia ingin meledak dan menumpahkan kekesalannya pada pria itu. Aiden berjalan lebih dekat. Seringai keji dari bibirnya masih belum lenyap. “Kalau kau memang berniat pergi, kenapa tak pergi lebih jauh?” sindirnya. “Apa kau sengaja agar aku masih bisa menemukanmu?”Buku-buku jemari Primrose tampak memutih saking kuatnya ia mengepalkan tangan. “Aku tidak pergi untuk dicari, Aiden,” tekannya dengan nada tegas. “Aku hanya ingin memulai semuanya dari awal lagi!”Aiden terkekeh, tampak tidak terpancing oleh kemarahan wanita di hadapannya itu. Ia kemudian berkata dengan nada mengejek, “Setelah memiliki seseorang yang berpihak padamu, kau pikir kau bisa melakukan apapun sesukamu?”Primrose tertegun mendeng
“Dibatalkan? Apa maksudmu?!” Suara Madam Sophie menggelegar hingga terdengar sampai ke ruangan staf. Suasana di kantor pagi itu begitu menegangkan setelah Camille & Co. mendapatkan kabar bahwa pihak Kings Hotel membatalkan kerjasama secara sepihak dan mendadak tanpa pembicaraan apapun sebelumnya. “Bagaimana mungkin itu bisa terjadi?! Acara akan diadakan dua minggu lagi! Orang gila mana yang tiba-tiba membatalkan kerjasama begitu saja?!” Setelah rentetan kalimat penuh kemurkaan itu, pintu ruangan kepala divisi desain menjeblak terbuka. Madam Sophie keluar dari ruangannya dan berdiri di depan pintu sambil berkacak pinggang. Dadanya naik turun dan kemarahan menguasai wajahnya hingga tampak memerah. “Aku akan bertemu dengan direktur. Kalian tetap bekerja seperti biasa,” kata wanita paruh baya itu dengan nada tegas. “Damian, ikut aku!” Ketua tim satu itu dengan gegas mengikuti langkah Madam Sophie meninggalkan ruangan. Keheningan yang pekat memerangkap ruangan divisi desain. Tak ada