"Kenapa? Apa Anda mengingat sesuatu?" tanya Evelyn tiba-tiba. Entah kenapa emosinya yang telah lama terpendam seakan muncul ke permukaan. Ia berharap jika Sean akan ingat dengan kejadian malam itu dan meminta maaf padanya.
Lukas hanya bisa menatap dengan perasaan resah. Ia merasa tak nyaman berada di tengah-tengah dua orang yang terlihat seperti sedang perang dingin tersebut."Berani sekali menatapku seperti itu!" hardik Sean pada Evelyn."Ah, itu … apa kita langsung toko pakaian saja?" Lukas berusaha menghentikan percikan kecil di antara keduanya."Langsung pulang saja!" timpal Sean yang terlihat kesal setiap kali melihat Evelyn.Emosi Evelyn semakin memuncak. Ia sangat membenci pria yang pernah menidurinya itu. Bagaimana mungkin seorang pria begitu tidak tahu malu, setelah merenggut kesuciannya Sean malah seperti tidak merasa bersalah dan menatapnya dengan perasaan jijik.Namun, Evelyn tidak tahu harus berbuat apa lagi. Pada akhirnya memilih untuk pasrah di bawa ke rumah Sean karena sejak awal pun ia merasa jika hidupnya sudah bukan miliknya lagi.Selama perjalanan, entah kenapa mata Evelyn tanpa sadar malah terus menatap Sean. Membuat situasi menjadi semakin canggung."Mau terus menatapku, Eve?" Sean tersenyum miring, tatapannya seakan memandang Evelyn dengan hina.Jantung Evelyn seakan mendadak berhenti. "B-bagaimana kamu tahu namaku?""Perlu kujawab?" bentak Sean yang mulai merasa risi dengan sikap Evelyn."Eve?" tanya Evelyn, ragu.Sean tak menjawab pertanyaan Evelyn, baginya setiap pertanyaan perempuan itu begitu tidak penting.Evelyn tidak yakin dengan apa yang dirasakannya. Sedih, bahagia, dan bingung seakan menjadi satu.Setelah perdebatan kecil tadi, Evelyn dan Sean memilih untuk saling diam selama perjalanan. Bahkan saat sampai di depan rumah pun keduanya bersikap acuh sama-sama tak memperdulikan satu sama lain."Bawa dia ke kamarnya!" titah Sean yang berjalan lebih dulu, meninggalkan Lukas dan Evelyn di belakang."B-baik, Pak," jawab Lukas.Sean pun berlalu pergi sampai tak terlihat lagi punggungnya."Ayo ikut aku!" ajak Lukas pada Evelyn.Evelyn mengangguk, lalu mengikuti Lukas dari belakang. Sesekali ia menatap setiap sisi rumah besar berlantai dua tersebut. Begitu mewah dan megah, layaknya sebuah istana. Dalam benak Evelyn seringkali terbesit pertanyaan, mengapa pria sekaya Sean mau membelinya? Padahal tak ada sesuatu yang bisa dilihat darinya."Pak Sean sudah menyiapkan dua kamar tidur, satu di atas satu lagi di bawah. Pilih yang mana?" tanya Lukas sambil terus berjalan.Tanpa berpikir panjang, Evelyn langsung menjawab. "Di bawah saja.""Kalau begitu, kita ke sana sekarang," ajak Lukas sambil berjalan di depan Evelyn.Evelyn sedikit tersentuh melihat sikap Lukas yang sama sekali tak memandang dirinya sebelah mata. Padahal, asisten Sean itu tahu persis seperti apa penampilan perempuan tersebut saat pertama kali keluar dari rumah lelang."Kalau butuh sesuatu kamu bisa panggil pelayan di rumah ini," terang Lukas."Bukannya aku akan dijadikan pembantu juga?" tanya Evelyn dengan wajah datarnya."Mana mungkin Pak Sean membelimu dengan harga semahal itu hanya untuk dijadikan pembantu." Lukas tersenyum simpul, merasa lucu dengan pertanyaan Evelyn."Jadi, untuk apa aku dibeli?" Evelyn semakin penasaran."Entahlah, aku saja tidak tahu. Pak Sean itu orang yang tidak bisa ditebak, seringkali dugaanku salah tentangnya," terang Lukas.Evelyn mengerutkan alis, berusaha memikirkan apa tujuan Sean yang sebenarnya. Sampai tiba-tiba terbayang lagi kejadian saat kesuciannya direnggut pria itu."Apa Pak Sean itu orang mesum?" tanya Evelyn dengan polosnya.Lukas menghentikan langkahnya. Ia langsung menoleh ke belakang, menatap Evelyn dengan tajam."Pak Sean bukan orang seperti itu. Tapi … dia pernah masuk jebakan, dan berakhir dengan meniduri seorang perempuan," bisik Lukas sambil terkekeh. Entah kenapa, meski pertama bertemu, pria itu seakan percaya begitu saja untuk menceritakan sesuatu yang seharusnya menjadi privasi."Dijebak?" lagi-lagi Evelyn merasa tertarik dengan apa yang Lukas katakan.Lukas merasa bersalah karena tanpa sengaja malah membuka aib sang atasan. Namun, karena semua sudah terlanjur, ia langsung mengecek situasi sekeliling.Setelah dirasa aman, barulah ia mendekati Evelyn sambil berbisik. "Seseorang memasukkan obat perangsang pada minumannya saat sedang bertemu klien di hotel Clinton."Evelyn lagi-lagi dibuat terkejut, kebenciannya pada Sean sedikit berkurang saat tahu jika ternyata pria itu juga telah dijebak seseorang."Ternyata dia tidak sebejat itu!" gumam Evelyn."Tentu saja tidak. Meski terlihat kejam, Pak Sean itu–""Siapa yang kejam?" potong Sean yang tiba-tiba berada di belakang."I-itu, seseorang yang saya kenal," jawab Lukas.Sean tak menjawab dan hanya menatap Lukas dengan sinis.Lukas menelan ludah, menyesal telah membicarakan sang atasan di belakangnya."M-maaf, Pak. Saya janji untuk tidak akan membicarakan Anda lagi," ujar Lukas.Namun, lagi-lagi Sean hanya menatap Lukas dengan tajam.Lukas langsung menunduk takut. Ia hanya bisa pasrah sambil mengekor sang atasan dari belakang.Evelyn sedikit terkejut melihat nuansa kamar yang serba biru muda. Entah kenapa, rasanya seperti bernostalgia dengan kamarnya dulu."Pak Sean, sengaja–""Kamu harus bisa menjaga mulutmu itu! Jangan terlalu cerewet kalau masih ingin bekerja denganku!" potong Sean sambil menatap tajam asistennya itu.Lagi-lagi Lukas merasa dirinya sangat bodoh. Jelas-jelas ada Sean dihadapannya, ia malah mengatakan sesuatu yang membuat sang atasan murka."M-maaf, Pak," jawab Lukas, tertunduk ragu"Di rumah ini, aku adalah peraturannya. Semua yang kukatakan itu mutlak, tidak boleh membantah atau melawan," timpal Sean.Evelyn yang malas menjawab pun hanya mengangguk. Sejak tadi ia menatap kasur empuk yang sudah lama sekali tak ditemuinya, seakan sudah tak sabar ingin berbaring di atasnya."Jangan pernah berkata tidak, pada apa pun yang kuperintahkan! apalagi jika itu menyangkut kehamilanmu," sambung Sean yang mendadak cerewet."Aku mengerti," jawab Evelyn."Ini, ambillah!" Sean menyodorkan sebuah kotak besar dan berlalu pergi begitu saja.Evelyn yang penasaran pun membuka kotak tersebut di hadapan Lukas yang masih berniat mengenalkan beberapa tempat padanya."I-ini, bagaimana bisa?" gumam Evelyn.Terima kasih buat semua reader yang sudah mengikuti cerita sampai sejauh ini. Othor bukan apa-apa tanpa kakak² reader.Oh, iya othor mau sedikit menceritakan beberapa kisah tokoh yang nggak muncul di akhir.Ada yang cariin Daren nggak ya? kakak tiri Evelyn yang sempet punya rasa itu akhirnya bisa melupakan istri dari sang atasannya itu, dia memilih untuk melamar kekasih sesama rekan kerja di perusahaan Sean.Lukas, si asisten gila kerja itu lebih milih untuk fokus ngurus perusahaan yang Sean titipin loh. Beberapa kali Sean berusaha ngejodohin sama perempuan malah berakhir di tolak, ya itu semua karena dia gila kerja.Jennifer, kakak tiri Evelyn yang udah insyaf ini milih menjauh dari kehidupan dulu. Dia pergi ke luar negri dan diam-diam menikah dengan warga lokal.Yang lebih mengejutkan, nggak berselang lama setelah Evelyn melahirkan, Nicki melamar Diana di depan orang ramai. Ya, cinta tumbuh karena biasa, kebersamaan bikin benih-benih cinta itu tumbu. Tapi, tenang aja, meski udah bern
Sean tampak kebingungan, tak tahu sang istri hendak mengajaknya ke mana. Sampai saat mereka berdiri di depan sebuah rumah barulah mengerti alasan Evelyn membawanya ke sana.“Kuharap ibu tidak ada sangkut pautnya dengan masalah korupsi dan perdagangan manusia.” Evelyn tampak terus menghela napas berat, terlebih di setiap kali teringat ibunya.Sean tak mau berspekulasi lebih dan hanya berniat untuk menyaksikan apa yang akan terjadi nantinya.“Ibu ….” teriak Evelyn sambil berjalan cepat ke arah pintu.Namun, ketika masuk ke rumah, Evelyn sama sekali tak mendapati keberadaan sang ibu. Ia mencari ke kamar, dapur bahkan ke gudang, tetapi Rose sama sekali tak ada.“Sepertinya ibumu telah pergi, Evelyn.” Sean merangkul sang istri yang tampak sedang kecewa.“Aku tidak menyangka ibu jadi seperti ini.” Mata Evelyn berkaca-kaca.“Sudahlah, mau bagaimana kalau itu semua sudah menjadi pilihan ibu. Lebih baik kita pulang sekarang, Kelvin sudah menunggumu.”Evelyn mengangguk, rasanya ingin menangis t
Namun, pria yang menariknya itu malah seakan tak memperdulikan Evelyn dan terus menarik entah hendak membawanya ke mana.“Lepaskan! Atau aku akan melakukan sesuatu yang membuatmu menyesal!” ancam Evelyn sambil terus berusaha melepas tangan pria itu.Mendadak pria itu menghentikan langkahnya, menatap Evelyn dengan tatapan datar.“Bu Evelyn, saya tidak bermaksud jahat. Maaf karena saya telah lancang membawa Anda dengan kasar, tapi kalau tidak begini saya khawatir Anda akan kabur dan melewatkan apa yang sedang Pak Sean lakukan,” jelas pria itu.“Pak Sean? Siapa kamu? Bukankah kamu warga asli desa ini?” Perasaan Evelyn menjadi tak karuan saat mendengar ucapan pria itu.“Saya anak buah Pak Sean yang bertugas untuk mengawasi Anda karena secara kebetulan juga merupakan warga desa,” terang anak buah Sean itu.Evelyn belum percaya sepenuhnya, tatapan penuh kecurigaan terus ia perlihatkan. Wajar jika perempuan itu tidak langsung percaya karena bagaimanapun dirinya sedang berada di posisi yang me
Noah terus memperhatikan sekeliling, mengawasi Joseph dan Viona, berharap jika kedua orang itu tidak sedang memperhatikannya. Dan benar saja, mereka sedang asyik dengan orang-orang yang sedang berusaha menjilat.“Aku harap ini akan berhasil,” gumam Noah yang segera beranjak, lalu menyelinap keluar dari pesta.Beruntung saat itu tidak ada yang memperhatikannya, sehingga Noah bisa leluasa berjalan ke sana kemari tanpa ada yang mengetahui.Namun, saat ia sampai di rumah, dari kejauhan terlihat ada beberapa orang yang menjaga area sekitar rumah Joseph tersebut, karenanya Noah berusaha untuk terlihat tenang dan menyembunyikan niat buruknya.“Tuan muda, kenapa Anda sudah kembali? Bukankah pesta masih sedang berlangsung?” tanya salah seorang pria yang sedang menjaga rumah Joseph tersebut.“Ayah menyuruhku untuk membawa perempuan itu ke pesta,” ucap Noah yang terlihat begitu gugup.Awalnya para penjaga sedikit tidak yakin dengan ucapan Noah tersebut. Namun, mereka berpikir kembali, untuk apa
Kelvin tidak mengerti dengan maksud ayahnya, tetapi ia tetap mengizinkan selama bisa membawa sang Ibu kembali.“Hati-hati di jalan, Ayah! Jangan lama-lama,” pinta Kelvin sambil melambai.Mata Kelvin berkaca-kaca. Namun, ia berusaha untuk tetap tegar karena itu semua demi kebaikan sang ibu. Beruntung ada Nicki dan Diana yang selalu menemani, setidaknya bocah itu tidak terlalu berlarut dalam kesedihan.“Paman Nick apakah ayah akan pergi lama?” tanya Kelvin yang wajahnya jelas terlihat sedang menahan tangis.“Paman tidak bisa memastikannya, tapi ayah pasti tidak mau berlama-lama jauh dari Key.”Kelvin tersenyum, berusaha untuk kuat. Bocah itu seakan didewasakan oleh keadaan, yang mana di usianya dia sudah mengalami banyak masalah.Di tengah kegelisahan Kelvin, Sean saat itu malah sedang merasa bahagia karena pada akhirnya semua bukti dan saksi sudah terkumpul, hanya tinggal menjalankan rencana yang sudah matang itu.Sean melaju, menuju salah satu gudang terbengkalai yang berada ujung kot
Evelyn begitu mengenali wanita yang kini berada di hadapannya. Bagaimana tidak? ingatan akan kenangan pahit masih terus terngiang, tidak mungkin terlupakan.“Siapa sangka ternyata kita bisa bertemu lagi,” ucap wanita itu.Evelyn benar-benar benci menatap wajah wanita yang terlihat menjijikan itu, melihatnya membuat teringat pada Sean.“Aku kan tidak menyangka akan bertemu dengan wanita menjijikan sepertimu,” ucap Evelyn dengan tatapan sinis.Ucapan Evelyn berhasil memancing emosi wanita itu. Senyum yang semula tampak penuh penghinaan berubah dengan rasa sakit hati yang jelas terlihat.“Jaga ucapanmu itu jika tidak mau ku buat hidupmu lebih menderita!”Melihat wanita itu kesal, Evelyn merasa sedikit puas, setidaknya perempuan itu merasa sakit hati walaupun hanya sedikit.Namun, rasa senang Evelyn hanya bersifat sementara karena saat itu ia malah ditarik secara paksa menuju ke tempat Joseph berada.“Hentikan! Aku tidak ingin pergi dengan manusia jahat seperti kalian!” timpal Evelyn samb