"Siapa?" Talita mengulang pertanyaannya lagi. "Bangunlah." Reynald memegang kedua lengan Talita untuk membimbingnya berdiri. "Yang pasti bayi itu bukan anakku." Reynald kemudian berbalik menuju pantry. Dibasuh wajah dalam tangkupan kedua tangan. Suara gemericik air dari wash basin jadi pengisi hening ruangan. "Sejak kapan kamu tahu soal ini?" Tak ada lagi paksaan Talita untuk pergi, tapi kini ia justru terjebak rasa penasaran. Reynald meraih tissu kering dari tangan Talita. Dari sini pula Talita menyadari kalau ada perubahan dari diri Reynald. Kedua matanya lebih cekung, begitu pula bobot tubuh berkurang, belum lagi tatapan kuyu Reynald jelas berbeda dari dulu saat mereka bersama. "Kamu belum makan malam ya?" Tiba-tiba saja pertanyaan itu muncul dalam pikiran Talita. Teori bilang kalau dalam keadaan kenyang, kemungkinan besar orang akan lebih mudah di ajak bicara. "Kamu simpen bahan makanan nggak? Mie instan atau apa kek?" Talita kesampingkan ego dan harga dirinya demi meng
Mario segera menjemput saat Talita mengabarkan telah selesai dengan sesi medical check up dengan dokter yang menangani bcederanya waktu itu. "Kita nggak bisa berlama-lama disini. Aku mau pesan tiket pesawat, kamu jadi tunda balik ke New York?" Mario menoleh bergantian secara singkat-singkat antara Talita dan fokus ke jalanan depan. "Kenapa? Ada hal baru dari hasil check up tadi? Kok kamu jadi pendiam dari tadi?" tanyanya. "Oh, nggak kok," sanggah Talita. "Syukurnya, semua baik-baik saja. Sudah nggak ada keluhan apa-apa. Masa recovery itu juga sudah berlalu. Aku merasa jadi orang baru dengan tubuh lebih fit sekarang." "Karena kamu bahagia dengan keadaanmu sekarang. Nggak tertekan lagi sama orang-orang toxic itu." "Iya. Kamu betul banget!" Talita menyetujui sampai angguk-anggukkan kepalanya beberapa kali. "Dan aku ingin tetap di Jakarta." "Oke. Tak apa. Oh ya, klausula baru itu sudah di setujui Reynald, kan? Dia juga sudah tanda tangan, kan?" "Oh, itu." Talita jadi baru kep
Setelah beberapa jam. "Aku senang kamu jadi tegas seperti ini." Mario melingkarkan kedua tangannya pada pinggul ramping Talita dari arah belakangnya. "Kamu jadi ke rumah sakit?" pertanyaan ini bersamaan dengan tarikan untuk memutar tubuh Talita agar menghadap padanya. Mario sangat tak menyukai bila melihat Talita melamun seperti tal menyadari akan keberadaannya. "Iya. Sudah di buatkan janji sama sekretarisnya Pak Wira. Bagaimana denganmu? Apa kamu jadi ke tempat temenmu?" Talita teringat pembicaraan mereka berdua selama perjalanan menuju kantor Tanjunh, corp tadi. "Iya jadi." Mario berganti duduk di tempat presdir utama yang baru saja di siapkan untuk Talita. "Cuma obrolan temu kangen aja. Setelah aku antar kamu ke rumah sakit, aku tinggal sebentar ya. Nanti kalau kamu selesai ketemu dokter, baru jemput kamu. Kita harus segera balik ke New York, selesaikan ujian musim panas kita lalu balik ke sini. Tidak baik terlalu andalkan Pak Wira. Kamu dan aku sekarang punya tanggung jawab
"Celine cerita kalau dia itu cowok mokondo. Sukanya numpang sama cewek-cewek yang dia dekati, tapi tujuannya buat naikin pasaran dia. Orang kayak begini kok dipercaya jalanin proyek besar. Pasti merugikan!" Pernyataan pedas Veronica ini langsung mendapatkan pertentangan Mario. "Terus bagaimana dengan anak anda?" tatapan sinisnya tertuju pada Reynald. "Seenaknya mencampakkan istrinya, tapi setelah tahu siapa dan latar belakang keluarga Talita, sekarang dia mau deketin Talita lagi. Anda nggak tahu gimana kelakuan anak anda tiap kali ke Amerika. Dia seperti penguntit amatiran buat cari perhatian Talita. Tanya sendiri saja sama dia!" tuduhan Mario tidak kalah keras. "Hentikan! Tolong jangan kekanakan!" dengan keberanian demi suasana kondusif, Talita menengahi. "Tolong segera tanda tangani. Kamu nggak mau situasi ini jadi semakin nggak terkendali, kan?" kali ini Talita tertuju pada Reynald. Permintaan sekaligus harapan suaminya itu akan berpikiran sama dengannya. "Baiklah. Akan aku
Beberapa hari telah berlalu, Talita berusaha menutup segala kemungkinan adanya komunikasi dengan Reynald. Menata lagi rencana yang sudah di pikirkan jauh-jauh hari, sampai berganti minggu kemudian baru di realisasikan. "Kamu sudah siap?'" tanya Mario. Ada rasa penasaran setelah memperhatikan Talita lebih cepat dari biasanya. "Kamu bawa kopernya satu doang?" Agak terheran ketika tempat pakaian dan keperluan pribadi yang di bawa Talita itu justru terpilih berukuran kecil, sedangkan rencana perjalanan mereka ke Jakarta adalah dua minggu lamanya. "Iya begitulah. Aku punya segalanya sekarang, dan sudah di siapkan Pak Wira di Jakarta." Walaupun mengungkapkan tanpa gerak angkuh, tapi cukup menggambarkan bagaimana Talita tengah menikmati perubahan besar dari hidupnya sekarang. "Oh, begitu." Mario mendekat, lalu menarik pinggang ramping Talita. "Jadi sekarang kamu benar-benar telah berubah jadi wanita miliarder?" kemudian Mario lebih merapatkan pelukannya, sehingga Talita sampai mendonga
"Aku sudah belajar mencintainya, seperti halnya kamu mulai buka hati lagi untuk Celine." Reynald angguk-anggukkan kepala. "Lalu bagaimana dengan kesehatanmu sendiri? Kamu masih rajin kontrol setelah program fisioterapi?" "Aku akan jawab pertanyaanmu itu, tapi berjanjilah dulu kamu bakal menjawab juga. Dokter Willy pengen kamu sendiri yang cerita padaku." Reynald menghela napas panjang, lalu berikan jawaban cepat. "Tapi kamu juga janji mau temani aku ke rumah sakit rekomendasi dokter Willy, kan?" "Emang kamu sakit apa? Serius, kah?" Reynald mengangguk, tanpa berikan kalimat jawaban. Tak pernah di lihat Reynald begitu rapuh seperti ini. "Dimana Celine? Bukannya dia juga butuh kamu disana? Bagaimana dengan anaknya? Perutnya sudah besar, pasti nggak lama lagi melahirkan." Reynald diam tak menjawab, hanya berikan senyuman tipis. "Apa kanker?" tebak Talita tak menyerah, tapi di tanggapi Reynald dengan gelengan. "Jantung?" lanjutnya, tapi juga mendapatkan jawaban berupa tanda