Tujuan kedatangannya ke kota ini sebenarnya ingin mengunjungi kedua orangtuanya yang sudah lima bulan ini ia tinggalkan bertugas ke Afrika Selatan.
Sudah sejak seminggu lalu ia kembali ke Prancis dan tinggal di sebuah flat di Paris. Baru kemarin ia punya waktu untuk meninggalkan Paris, berencana ke Nice, tetapi sengaja ia mampir dulu di Cannes untuk menemui beberapa koleganya.
Ia tak menduga, keputusannya mampir ke Cannes telah berbuah pertemuannya dengan gadis Asia di hadapannya ini. Sejak awal ia melihatnya, ia sudah tertarik. Gadis ini memiliki kecantikan yang berbeda dari kecantikan gadis-gadis Prancis yang biasa ia lihat.
Wajah gadis ini nyaman sekali untuk dipandangi, membuatnya betah berlama-lama tidak berpaling dari menatap wajah oval berhias mata bulat dengan bulu mata asli yang lentik itu.
"Aku nggak akan membiarkanmu tersesat di kota ini. Sebagai pemuda yang lahir di sini, aku merasa punya tanggungjawab untuk menemanimu berkeliling Kota Nice."
Bertrand menyampaikan kesediaannya memandu Kiara, yang sebenarnya adalah alasannya agar bisa lebih lama lagi berbincang-bincang dengan gadis itu.
"Kamu serius mau menemaniku mengunjungi tempat-tempat menarik di kota Nice ini?"
Bertrand mengangguk mantap.
"Serius."
"Tapi bagaimana dengan pekerjaanmu?"
"Oh, aku datang ke sini bukan untuk bekerja. Sudah kubilang, orangtuaku tinggal di kota ini. Aku datang untuk mengunjungi mereka. Tapi itu bisa nanti saja, setelah aku mengantarmu melihat-lihat kota cantik ini. Bagaimana? Apakah kamu setuju?"
Kiara tersenyum senang, tanpa sadar ia mengangguk cepat. Berjalan-jalan menikmati keindahan Kota Nice ditemani seseorang yang sangat paham kota ini tentunya lebih menyenangkan dibanding bila harus berjalan sendirian tanpa tahu dengan pasti apa yang harus dikunjungi. Ditemani Bertrand,. Kiara tidak perlu khawatir akan tersesat.
"Baiklah, mari kita mulai perjalanan kita."
Ajakan Bertrand itu membuat senyum Kiara semakin melebar.
“Queen of Riviera, itulah julukan untuk Kota Nice ini. Kamu pasti sudah pernah mendengarnya, kan?"
"Ya, aku pernah dengar itu.”
"Paling asyik berkunjung ke kota ini saat musim panas. Udaranya menyenangkan dan suasananya lebih ramai. Tapi di bulan Mei ini, udaranya juga sudah cukup lumayan. Sudah jauh lebih hangat dibanding saat musim dingin.” Bertrand menjelaskan.
Kiara mengangguk-angguk.
"Ya, bulan depan sudah musim panas, kan?" sahut Kiara.
Ia bisa membayangkan indahnya Nice di musim panas. Sekarang pun sudah terlihat indahnya. Air laut tampak begitu bening, memantulkan cahaya mentari yang menciptakan kilauan kerlap-kerlip.
Bangunan-bangunan di kanan kiri jalan berhiaskan pohon palem yang berjejer rapi membentuk barisan dengan jarak yang teratur. Siluet bukit terlihat samar menjadi latar belakang panorama kota ini.
"Kamu tahu, apa sebutan untuk penduduk kota ini?"
Pertanyaan Bertrand itu hanya disambut dengan gelengan kepala Kiara.
“Nicois, itu sebutannya. Para 'nicois’ ini kebanyakan lebih suka tinggal di apartemen. Lebih praktis dan biayanya relatif lebih murah. Kedua orangtuaku juga memilih tinggal di sebuah apartemen di pinggiran Kota Nice. Tapi kupilihkan apartemen yang menyediakan lift tentu saja. Kasihan jika mereka harus naik turun tangga. Orangtuaku tinggal di lantai empat dan papaku seringkali malah sengaja turun lewat tangga. Katanya, sekalian olahraga.”
Bertrand menjawab pertanyaannya sendiri. Kiara tersenyum.
"Itu sikap yang sangat postif. Memanfaatkan hal sekecil apa pun untuk bisa tetap bergerak dan berolahraga. Kamu juga nicois, kan?" sahut Kiara dilanjutkan dengan pertanyaan penegasan.
"Sekarang ini aku bukan benar-benar nicois. Aku tidak menetap di kota ini. Jadi, sudah tidak bisa disebut sebagai nicois lagi," jawab Bertrand.
Kiara menganggukkan kepalanya yang indah tanda mengerti. Ini pertama kalinya Kiara menjejakkan kaki di kota ini. Selama ini, jika ia berkunjung ke Prancis, selalu saja yang didatanginya hanya Kota Paris. Baru kemarin ia berkunjung ke Cannes.
Dan saat ini, Kiara tak menyesal memutuskan mengunjungi Nice untuk menghilangkan penatnya. Kesan yang ditangkap Kiara sejak awal kakinya melangkah menyusuri jalanan kota ini, suasana Kota Nice memang menyenangkan, memberi suasana santai dan nyaman.
"Kalau kamu ingin ke Italia, mudah sekali. Nggak jauh dari sini.”
"Oh ya?"
Bertrand mengangguk.
"Jaraknya hanya tiga puluh kilometer dari sini ke Italia,” ucapnya.
"Itu kira-kira sekitar satu jam perjalanan dengan bus, kan? Wah, memang dekat sekali. Lebih cepat daripada perjalanan dari Jakarta Barat ke Jakarta Selatan,” komentar Kiara.
"Begitulah. Eh, Jakarta apa kamu bilang tadi?"
Kiara tertawa pelan.
"Jakarta itu kota tempat tinggalku di Indonesia. Kota itu dibagi menjadi lima wilayah. Sekarang ini keadaannya sangat padat sekali. Sering terjadi kemacetan lalu lintas. Membuat jarak dari satu wilayah ke wilayah lain harus ditempuh berjam-jam. Tapi di sini, dalam satu jam, kita sudah bisa sampai di negara lain. Amazing!" jawab Kiara sedikit panjang lebar.
"Wow, begitukah di kota tempat tinggalmu? Pasti ramai sekali di sana."
"Sangat ramai. Crowded."
“Andaikan kamu datang ke sini bulan depan, kamu bisa melihat karnaval dan pertunjukkan musik gratis.”
"Hm, jadi apa yang ada di kota ini di bulan ini?”
"Musim semi seperti sekarang ini, saat yang tepat untuk berjalan-jalan menyusuri kota ini. Menghirup dalam-dalam udaranya yang sejuk dan menikmati sinar matahari yang hangat menyentuh kulit."
Kiara menarik napas panjang, seolah ingin mengikuti saran Bertrand, merasakan udara musim semi yang sejuk di Kota Nice. Untuk yang ke sekian kalinya senyumnya merekah.
Tidak sia-sia ia nekat berkunjung ke Kota Nice ini sendirian. Ia melirik ke arah pemuda di sampingnya. Pertemuan yang diawali perbincangan di dalam kereta yang sama-sama mereka tumpangi, tetapi telah membuat Kiara lega, telah berhasil keluar dari rutinitas tugasnya yang mulai menjemukan.
“Promenade des anglais. Pernah mendengar istilah itu?"
"Istilah apa itu?"
"Itu adalah sebutan untuk kota ini."
"Apa artinya?" tanya Kiara seraya memiringkan wajahnya lalu setengah menoleh kepada Bertrand yang berjalan perlahan di samping kanannya.
"Tempat jalan-jalan bagi warga Inggris."
"Oh, karena banyak orang Inggris yang jalan-jalan di sini?"
"Sepertinya begitu. Dulu, bangsa Inggris yang tinggal di sekitar pantai, membangun daerah ini menjadi tempat yang nyaman untuk bersantai menikmati udara laut di sore hari. Sekarang, tempat ini masih digunakan untuk bersantai. Tapi dengan kegiatan yang lebih beragam. Trotoar lebar ini nyaman sekali bagi pejalan kaki, kan? Cukup luas untuk berlalu lalang beberapa orang dengan kegiatan berbeda."
Kiara tersenyum lebar. Bertrand benar sekali. Berjalan-jalan menyusuri trotoar di kota ini tidak perlu was-was. Tidak ada motor yang tiba-tiba mengklakson dari belakang saat sedang berjalan di trotoar seperti yang pernah dialami Kiara di Jakarta.
Oh, segala yang ada di sini memang tidak bisa dibandingkan dengan Jakarta. Kota tempatnya tinggal itu punya segudang pekerjaan rumah yang harus dibereskan. Mungkinkah Jakarta bisa seperti Nice, memiliki trotoar sepanjang tujuh kilometer yang lebarnya lima sampai lima belas meter?
Kiara menggeleng-geleng samar.
"Pertama, aku akan mengajakmu ke Place Massena.”
Ucapan Bertrand itu mengembalikan fokus Kiara pada suasana kota ini.
"Nah, tempat apa lagi itu?" tanyanya sembari menoleh sekilas pada Bertrand sebelum kembali memandang ke depan.
"Kamu lihat sendiri nanti, sebentar lagi kita sampai," jawab Bertrand seraya mempercepat langkahnya.
Halo ... lanjut lagi ya bacanya. Sambil sekalian nambah pengetahuan tentang Kota Nice di Perancis. Siapa tau suatu saat kita akan jalan-jalan ke sana. Salam Arumi
Kiara seolah dipaksa mengikuti kecepatan langkah Bertrand. Membuatnya hampir setengah berlari. Selang beberapa menit, mereka berdua lagi-lagi sampai di sebuah tempat yang juga ditumbuhi pohon palem berjejer rapi. Rupanya kota yang terletak di dekat pantai ini merasa cocok jika menghiasi kotanya dengan pohon palem. "Inilah pusat Kota Nice. Di musim panas, tempat ini lebih ramai. Apalagi saat ada pertunjukan musik gratis. Seluruh warga seolah datang semua ke sini untuk menghibur diri.” “Ah, kenapa semua pertunjukan seru adanya di musim panas?” keluh Kiara setelah berkali-kali Bertrand menyebutkan serunya musim panas di kota ini. Mereka berdua tidak lama menikmati suasana tempat ini, lima belas menit kemudian, Bertrand melanjutkan langkahnya menyusuri Avenue Jean Medecin diikuti Kiara di sisinya. Jalan ini menampilkan deretan gedung pertokoan yang masing-masing memiliki keunikan. "Kalau kamu suka membeli barang-barang dengan merk terkenal,
"Ada lagi yang lainnya yang menarik untuk didatangi di kota ini?" tanya Kiara setelah mereka selesai makan siang dan siap beranjak dari restoran ini. Bertrand tampak berpikir. "Kalau kamu berani, aku tantang kamu sekali lagi,” jawabnya beberapa menit kemudian. "Aduh, kamu mau menantangku apa lagi sih?" "Beranikah kamu kabur sedikit lebih jauh lagi?" "Kabur ke mana lagi?" tanya Kiara dengan kedua alis terangkat. "Menemaniku menikmati pemandangan senja di Monte Carlo,” jawab Bertrand santai. "Monte Carlo?' tanya Kiara lagi, kali ini membuat keningnya berkerut. “Monte Carlo tempat yang indah untuk menyaksikan matahari tenggelam. Ayolah, itu nggak jauh dari sini. Dengan kereta, kita bisa sampai dalam waktu beberapa menit. Setelah itu mungkin kita bisa makan malam sebentar, lalu kembali lagi ke Nice, dan kamu masih sempat mengejar kereta malam menuju Cannes. Aku akan memastikan kamu nggak akan terlambat," jawab Bertrand panj
Kiara sampai di depan pintu kamar hotelnya dengan tubuh letih bukan main. Ia segera menekan bel pintu. Hanya dalam hitungan detik pintu itu terbuka. Wajah Livia muncul dari balik pintu dengan kedua alis terangkat dan mulut menahan geram. Tampak jelas sekali sejak tadi Livia memang sudah menunggu kedatangan Kiara. "Akhirnya kamu pulang juga. Kirain kamu sudah menghilang dan nggak bakal balik lagi ke sini," sambut Livia, kata-katanya penuh dengan sindiran dan rasa kesal yang tertahan. Kiara tak berkomentar apa-apa menghadapi ocehan dan ekspresi wajah Livia yang merupakan paduan rasa kesal, cemas sekaligus lelah. Dengan langkah gontai, Kiara berjalan memasuki kamarnya melewati Livia begitu saja. Livia memandangi Kiara dengan kening berkernyit, tapi ia sudah tak bicara lagi. Ia biarkan Kiara mencapai sofa. Lalu artisnya itu mengempaskan tubuh lunglainya ke atas sofa itu. Livia mengunci pintu lalu berjalan mendekati Kiara. “Kamu ke mana saja, Ra? K
“Bonjour, MademoiselleLivia.”Sapaan itu mengejutkan Livia yang baru saja bangun dari tidur lelapnya. Ia sudah mendudukkan tubuhnya di atas tempat tidurnya, tetapi matanya masih belum membuka dengan sempurna.“Haduh, ini sudah jam berapa?” tanya Livia panik saat ia menyadari pagi-pagi sekali mereka harus sudah berangkat ke Paris.“Baru jam tujuh pagi,” jawab Kiara santai.Livia melirik kepada Kiara yang berdiri di depan tempat tidurnya tampak sudah rapi, bahkan dua koper mereka telah siap di kanan kirinya.“Apa? Jam tujuh? Kita harus sudah berangkat ke Paris, Ra!”“Kita masih bisa naik kereta jam delapan. Karena itu aku sudah membereskan semuanya. Kamu tinggal mandi dan ganti baju. Sarapan nanti saja di kereta,” sahut Kiara tetap terlihat tenang.“Aku nggak sempat mandi. Kiara, kenapa kamu nggak bangunin aku sih?” ujar Livia seraya segera melompat dari tempat tidur lalu bergegas ke kamar mandi membasuh wajahnya.
Beberapa menit sebelum pukul delapan pagi, kereta TGV yang akan membawa mereka ke Paris datang juga. Kiara dan Livia bergegas naik ke dalam gerbong yang sesuai dengan tiket mereka. Mereka memang sengaja tida membawa banyak barang. Masing-masing hanya travel bag berukuran sedang dan beroda, sehingga mereka masih sanggup membawanya sendiri. Sesampai di dalam gerbong dan menemukan nomor kursi mereka, mereka baru menyadari Livia telah salah memilih kursi. Nomor kursi yang tertera di tiket mereka memang berurutan, tetapi ternyata kursi itu tidak tidak berdampingan. Satu kursi di ujung kiri barisan sebelah kanan, satu kursi lagi berada di ujung kanan barisan sebelah kiri. Kedua kursi itu memang masih berdekatan dan bersebelahan, tetapi terpisah oleh selasar gerbong ini. Kiara tak berkomentar apa-apa. Ia sudah lelah mendebat Livia sejak kemarin. Livia pun enggan mengucapkan sepatah kata pun perihal kesalahannya memilih nomor kursi. Tadi ia sedikit panik dan terburu-buru, se
Pesawat yang ditumpangi Kiara dan Livia mulai lepas landas meninggalkan bandara Charles de Gaulle. Kiara menyandarkan tubuh penatnya di sandaran kursinya yang nyaman. Matanya terpejam. Perjalanan dari Paris menuju Jakarta akan memakan waktu lama dan ia berencana akan melelapkan dirinya dalam separuh perjalanan. Kunjungannya singkatnya di Perancis ini benar-benar telah membuatnya kelelahan. Kini saatnya untuk beristirahat sejenak, sebelum ia disibukkan lagi dengan tugas selanjutnya di Jakarta. “Ra, sekarang, boleh aku bertanya?” Walau matanya telah terpejam, tetapi sayangnya Kiara masih sadar. Membuatnya masih mendengar pertanyaan Livia yang juga sedang menyamankan dirinya di samping Kiara. “Nanya apa sih, Liv?” “Saat di Cannes kemarin, kamu pergi ke mana sih? Jam sembilan malam baru pulang? Aku sengaja menunggu saat ini untuk bertanya langsung ke kamu, ketika kita sudah benar-benar rileks.” Kiara menghela napas.
Gadis itu kehilangan pesonanya, lenyap dibalik penampilannya yang kusut masai. Wajahnya lelah, dengan lingkaran hitam di kedua matanya. Sudut-sudut bibirnya tertarik menciptakan lengkungan ke arah bawah.“Laki-laki sialan! Setelah bosan denganku, seenaknya saja mencampakkan aku!” ucap gadis itu dengan suara kasar.Ia meremas-remas perutnya, seolah ingin mematikan apa pun mahluk yang bersemayam di dalam perutnya itu. Kemudian emosinya ia luapkan dengan memukul-mukul tempat tidurnya sekuat tenaga.Ia beranjak dari atas tempat tidurnya yang juga berantakan. Dengan kasar pula gadis itu membuka laci meja riasnya, mengaduk-aduk isinya sampai menemukan sebuah gunting.Ia hampir saja menusukkan gunting itu ke arah perutnya, tetapi dengan sigap seorang pemuda bertubuh tegap menerjang masuk, langsung memegang erat pergelangan tangan kanannya, mencegah gunting dalam genggaman gadis itu menghujam perutnya.“Niken! Kamu mau apa? Bunuh diri?” teriak pemuda itu d
Hari masih pagi sekali. Pukul setengah tujuh. Kiara sudah bersiap dengan pakaian bersepedanya. Ia juga menyiapkan minuman. Sebelumnya ia sudah sarapan dengan setangkup roti berisi selai strawberrykesukaannya dan segelas susu non fat rasa vanilla.Ia siap menjalani olahraga rutinnya setiap hari minggu pagi. Bersepeda di trek yang alami dengan jalan berliku, terjal dan menantang.Ia sudah siap menenteng sepeda lipatnya dan menggantungkan helm di stang sepedanya, saat tiba-tiba Livia manajer pribadinya masuk ke dalam kamar apartemennya.“Kiara, aku punya berita bagus untukmu!”Kiara mengangkat wajahnya, merasa heran melihat wajah ceria manajernya itu. Jarang sekali Livia terlihat segembira itu. Gadis itu biasanya menghiasi wajahnya dengan ekspresi serius.“Berita apa? Kalau menurutmu bagus, pasti memang benar-benar bagus banget. Iya, kan?” balas Kiara.“Ada tawaran film baru untukmu,” ucap Livia, masih dengan mata ber