Kiara seolah dipaksa mengikuti kecepatan langkah Bertrand. Membuatnya hampir setengah berlari. Selang beberapa menit, mereka berdua lagi-lagi sampai di sebuah tempat yang juga ditumbuhi pohon palem berjejer rapi. Rupanya kota yang terletak di dekat pantai ini merasa cocok jika menghiasi kotanya dengan pohon palem.
"Inilah pusat Kota Nice. Di musim panas, tempat ini lebih ramai. Apalagi saat ada pertunjukan musik gratis. Seluruh warga seolah datang semua ke sini untuk menghibur diri.”
“Ah, kenapa semua pertunjukan seru adanya di musim panas?” keluh Kiara setelah berkali-kali Bertrand menyebutkan serunya musim panas di kota ini.
Mereka berdua tidak lama menikmati suasana tempat ini, lima belas menit kemudian, Bertrand melanjutkan langkahnya menyusuri Avenue Jean Medecin diikuti Kiara di sisinya.
Jalan ini menampilkan deretan gedung pertokoan yang masing-masing memiliki keunikan.
"Kalau kamu suka membeli barang-barang dengan merk terkenal, kamu bisa berbelanja di Nice Etoile, pusat pertokoan terbesar yang ada di sini. Barang apa pun tersedia di situ," kata Bertrand mulai menjelaskan apa saja yang menarik di daerah bagian ini.
"Atau mungkin kamu lebih suka melihat-lihat ke dalam butik-butik kecil? Tempatnya ada di komplek pertokoan Rue Massena.”
“Walau saat ini aku sedang nggak berminat belanja, tapi boleh juga melihat-lihat sebentar butik-butik kecil yang kamu sebutkan tadi. Aku justru lebih suka mengunjungi butik-butik yang terkesan pribadi," sahut Kiara.
Bertrand mengangguk, lalu memandu Kiara menuju daerah Rue Massena. Jalan ini terasa lengang karena mobil dilarang lewat di jalan ini.
Ada beberapa restoran di sepanjang jalan ini yang sengaja menyediakan kursi-kursi di ruang terbuka untuk pengunjung yang lebih suka menikmati hidangan dengan suasana lebih santai.
Setelah masuk ke dalam beberapa butik yang menarik perhatiannya, dan sempat membeli sebuah scarft merah cerah bermotif pemandangan Kota Nice, Kiara menyetujui ajakan Bertrand untuk beristirahat sejenak sembari menikmati secangkir kopi hangat di ruang terbuka sebuah restoran.
Kiara menikmati kopinya yang bercampur krim lembut sambil mendengarkan Bertrand bercerita dengan antusias. Pemuda Prancis itu tampak senang sekali menceritakan tentang pekerjaannya memotret objek-objek menarik.
"Hampir semua sudut kota ini pernah menjadi objek fotoku. Banyak spot-spot menarik di kota ini yang bisa menampilkan suasana artistik ke dalam sebuah foto," cerita Bertrand.
Sesekali Kiara mengangguk mengerti mendengarkan penuturan Bertrand. Selesai mereka berdua menghabiskan minuman masing-masing, Bertrand mengajak Kiara melanjutkan penjelajahan mereka di kota ini.
Beberapa menit berjalan, keduanya sampai di sebuah tempat yang dipenuhi dengan kios-kios yang menjual beraneka bunga. Membuat tempat ini semarak dengan berbagai warna alam dan tercium aroma semerbak wangi bunga.
"Ini yang namanya Cours Saleya. Pasar yang menjual bunga beraneka ragam. Coba kau hirup udara di daerah ini perlahan. Hm, wanginya segar, ya? Bunga-bunga yang dijual di sini bagaikan pengharum udara alami."
Kiara mengangguk setuju. Ia juga dapat mencium aroma segar dan wangi lembut yang menguar dari bunga-bunga yang dijajakan di sini.
"Kamu tahu, Lavendel adalah bunga khas daerah ini. Dan warga kota ini menyukai bunga lavendel untuk dibuat selai," kata Bertrand melanjutkan lagi penjelasannya mengenai tempat ini kepada Kiara.
Kiara tampak terpukau mendengar ucapan Bertrand.
"Seperti apa rasanya selai bunga?"
“Selai lavendel aku belum pernah coba. Tapi selai mawar, sudah. Mau mencoba membeli sebotol selai mawar?”
Kiara menggeleng. Ia bukan tipe orang yang berani mencoba makanan ekstrim. Walau bunga bukanlah sesuatu yang mengerikan, tetapi ia tak bisa membayangkan dirinya mengunyah bunga mawar dan melati.
"Mendengarnya saja aku sudah nggak tertarik. Bagiku selai paling enak hanya selai strawberry, coklat dan kacang," jawab Kiara.
Bertrand terkekeh.
"Berani dong, mencoba sesuatu yang ekstrim," tantang Bertrand.
Kiara menggeleng lebih keras dari yang pertama.
"Khusus untuk makanan, aku lebih suka memakan sesuatu yang rasanya aku sudah yakin enak," sanggah Kiara.
Bertrand hanya nyengir lebar.
"Sudah hampir tengah hari. Kamu ingin berhenti dulu untuk makan siang, atau masih ingin melanjutkan petualangan kita?" tanya Bertrand sembari melihat jam di pergelangan tangan kirinya.
"Aku masih sanggup mengunjungi satu tempat lagi. Setelah itu baru kita makan siang," jawab Kiara diiringi senyum.
"Nah, itu yang namanya semangat seorang petualang sejati," ujar Bertrand seraya tersenyum lebar.
Lagi-lagi Bertrand menarik pergelangan tangan Kiara. Membuat Kiara curiga, pemuda itu memanfaatkan kesempatan untuk bisa menyentuhnya.
"Aku akan membawamu ke tempat yang lebih menantang," ucap Bertrand sambil terus melangkah dan menggenggam erat pergelangan tangan Kiara.
"Aku sedang nggak berminat dengan tantangan. Aku lebih suka mengunjungi tempat yang menarik."
Kali ini Kiara menolak ajakan Bertrand. Tempat menantang bukanlah tempat yang menarik minat Kiara. Ia sedang ingin menikmati keindahan, bukan tantangan.
Ia menarik tangan kanannya dari genggaman Bertrand. Membuat Bertrand tersadar, lalu segera melepaskan genggamannya.
"Kamu nggak tertarik menaiki lebih dari seratus anak tangga di Colline de Chateau? Ada sisa-sisa kastil peninggalan jaman Louis XVI di sana."
"Sepertinya aku sedang nggak berminat naik tangga. Ada tempat yang lebih bagus?"
Bertrand menghela napas, memandangi Kiara sambil mengernyit. Seolah mencoba memperkirakan tempat apa yang akan menarik minat Kiara.
“Old Town. Kamu pasti suka. Suasananya Prancis sekali."
Bertrand membelalak dan tersenyum, seolah bahagia sekali telah mendapat sebuah ide brilian.
Kiara berpikir sebentar."Hm, sesuatu yang tua biasanya klasik. Dan aku suka dengan apa pun yang memberi kesan klasik."
Bertrand tersenyum lebar, lalu mulai melangkah diikuti Kiara di sisinya. Kali ini ia memutuskan tidak ingin menarik tangan Kiara lagi. Bertrand memandu Kiara menyusuri gang-gang berukuran kecil yang di kanan kirinya berjejer rumah-rumah tua dengan desain khas Italia.
Selain rumah, di sepanjang gang ini juga berjejer dengan manis butik-butik kecil, galeri seni, kafe dan restoran, semuanya seolah bertetangga dengan harmonis. Cukup banyak warga yang berada di wilayah ini. Beberapa juga asyik berjalan seperti Kiara dan Bertrand.
"Klasik."
Satu kata itu yang tercetus dari bibir Kiara, setelah ia menelusuri hampir separuh wilayah kota tua ini.
"Bagaimana kalau kita makan siang di salah satu restoran yang menyajikan menu khas Kota Nice? Kamu belum pernah mencobanya, kan?" ajak Bertrand.
Kiara mengangguk setuju. Sudah pukul satu siang waktu Nice. Pantas saja ia mulai merasa lapar. Bertrand mengajaknya memasuki sebuah restoran bercat kuning dengan hiasan bunga-bunga ditata didalam pot-pot kecil yang disangga kaki-kaki besi berukir.
Saat mereka masuk ke dalam restoran ini, Kiara segera saja merasakan suasana nyaman dan homy. Lukisan-lukisan pemandangan Kota Nice di masa lalu menghiasi beberapa bagian dinding restoran ini.
Lagu pop bercampur jazz dalam bahasa Prancis mengalun lembut menambah suasana santai bagi pengunjung yang sedang asyik menikmati hidangan.
Kiara menurut saat Bertrand memilihkan meja di dekat jendela. Sehingga mereka dapat melihat orang-orang yang berlalu lalang melewati restoran ini.
Saat pramusaji memberikan buku menu, Kiara meminta Bertrand memilihkan menu yang paling enak di restoran ini.
"Kamu sering makan di sini, kan? Pasti kamu tahu menu andalan di restoran ini."
"Makanan khas Nice, tentu saja ratatouille nicoise."
"Makanan seperti apa itu?"
"Campuran berbagai sayuran semacam ketimun, tomat, cabai merah, ditambah cabai hijau, membuat warnanya menjadi menarik dan berwarna-warni. Ditumis dengan minyak zaitun. Masakan ini bisa dimakan dengan kentang atau roti khas Perancis. Pilihlah sesukamu," jawab Bertrand.
Mendengar bahan-bahan yang disebutkan Bertrand, Kiara membayangkan makanan itu mirip acar. Tapi ia memutuskan percaya saja dengan menu yang disarankan Bertrand.
"Baiklah. Aku pesan itu, aku memilih memakannya dengan roti Prancis."
Setelah pesanannya itu dihidangkan dan Kiara menyantapnya, Kiara mengakui tak salah ia percaya dengan menu yang disarankan Bertrand ini. Rasanya memang lezat sekali.
Entah bagaimana cara membuatnya dan apa bumbunya. Kenyataannya, rasa masakan ini cocok di lidah Kiara.
Bab ini masih jalan-jalan di Nice. Gimana rasanya jalan-jalan berdua orang asing di kota yang baru pertama kali dikunjungi? Salam, Arumi
"Ada lagi yang lainnya yang menarik untuk didatangi di kota ini?" tanya Kiara setelah mereka selesai makan siang dan siap beranjak dari restoran ini. Bertrand tampak berpikir. "Kalau kamu berani, aku tantang kamu sekali lagi,” jawabnya beberapa menit kemudian. "Aduh, kamu mau menantangku apa lagi sih?" "Beranikah kamu kabur sedikit lebih jauh lagi?" "Kabur ke mana lagi?" tanya Kiara dengan kedua alis terangkat. "Menemaniku menikmati pemandangan senja di Monte Carlo,” jawab Bertrand santai. "Monte Carlo?' tanya Kiara lagi, kali ini membuat keningnya berkerut. “Monte Carlo tempat yang indah untuk menyaksikan matahari tenggelam. Ayolah, itu nggak jauh dari sini. Dengan kereta, kita bisa sampai dalam waktu beberapa menit. Setelah itu mungkin kita bisa makan malam sebentar, lalu kembali lagi ke Nice, dan kamu masih sempat mengejar kereta malam menuju Cannes. Aku akan memastikan kamu nggak akan terlambat," jawab Bertrand panj
Kiara sampai di depan pintu kamar hotelnya dengan tubuh letih bukan main. Ia segera menekan bel pintu. Hanya dalam hitungan detik pintu itu terbuka. Wajah Livia muncul dari balik pintu dengan kedua alis terangkat dan mulut menahan geram. Tampak jelas sekali sejak tadi Livia memang sudah menunggu kedatangan Kiara. "Akhirnya kamu pulang juga. Kirain kamu sudah menghilang dan nggak bakal balik lagi ke sini," sambut Livia, kata-katanya penuh dengan sindiran dan rasa kesal yang tertahan. Kiara tak berkomentar apa-apa menghadapi ocehan dan ekspresi wajah Livia yang merupakan paduan rasa kesal, cemas sekaligus lelah. Dengan langkah gontai, Kiara berjalan memasuki kamarnya melewati Livia begitu saja. Livia memandangi Kiara dengan kening berkernyit, tapi ia sudah tak bicara lagi. Ia biarkan Kiara mencapai sofa. Lalu artisnya itu mengempaskan tubuh lunglainya ke atas sofa itu. Livia mengunci pintu lalu berjalan mendekati Kiara. “Kamu ke mana saja, Ra? K
“Bonjour, MademoiselleLivia.”Sapaan itu mengejutkan Livia yang baru saja bangun dari tidur lelapnya. Ia sudah mendudukkan tubuhnya di atas tempat tidurnya, tetapi matanya masih belum membuka dengan sempurna.“Haduh, ini sudah jam berapa?” tanya Livia panik saat ia menyadari pagi-pagi sekali mereka harus sudah berangkat ke Paris.“Baru jam tujuh pagi,” jawab Kiara santai.Livia melirik kepada Kiara yang berdiri di depan tempat tidurnya tampak sudah rapi, bahkan dua koper mereka telah siap di kanan kirinya.“Apa? Jam tujuh? Kita harus sudah berangkat ke Paris, Ra!”“Kita masih bisa naik kereta jam delapan. Karena itu aku sudah membereskan semuanya. Kamu tinggal mandi dan ganti baju. Sarapan nanti saja di kereta,” sahut Kiara tetap terlihat tenang.“Aku nggak sempat mandi. Kiara, kenapa kamu nggak bangunin aku sih?” ujar Livia seraya segera melompat dari tempat tidur lalu bergegas ke kamar mandi membasuh wajahnya.
Beberapa menit sebelum pukul delapan pagi, kereta TGV yang akan membawa mereka ke Paris datang juga. Kiara dan Livia bergegas naik ke dalam gerbong yang sesuai dengan tiket mereka. Mereka memang sengaja tida membawa banyak barang. Masing-masing hanya travel bag berukuran sedang dan beroda, sehingga mereka masih sanggup membawanya sendiri. Sesampai di dalam gerbong dan menemukan nomor kursi mereka, mereka baru menyadari Livia telah salah memilih kursi. Nomor kursi yang tertera di tiket mereka memang berurutan, tetapi ternyata kursi itu tidak tidak berdampingan. Satu kursi di ujung kiri barisan sebelah kanan, satu kursi lagi berada di ujung kanan barisan sebelah kiri. Kedua kursi itu memang masih berdekatan dan bersebelahan, tetapi terpisah oleh selasar gerbong ini. Kiara tak berkomentar apa-apa. Ia sudah lelah mendebat Livia sejak kemarin. Livia pun enggan mengucapkan sepatah kata pun perihal kesalahannya memilih nomor kursi. Tadi ia sedikit panik dan terburu-buru, se
Pesawat yang ditumpangi Kiara dan Livia mulai lepas landas meninggalkan bandara Charles de Gaulle. Kiara menyandarkan tubuh penatnya di sandaran kursinya yang nyaman. Matanya terpejam. Perjalanan dari Paris menuju Jakarta akan memakan waktu lama dan ia berencana akan melelapkan dirinya dalam separuh perjalanan. Kunjungannya singkatnya di Perancis ini benar-benar telah membuatnya kelelahan. Kini saatnya untuk beristirahat sejenak, sebelum ia disibukkan lagi dengan tugas selanjutnya di Jakarta. “Ra, sekarang, boleh aku bertanya?” Walau matanya telah terpejam, tetapi sayangnya Kiara masih sadar. Membuatnya masih mendengar pertanyaan Livia yang juga sedang menyamankan dirinya di samping Kiara. “Nanya apa sih, Liv?” “Saat di Cannes kemarin, kamu pergi ke mana sih? Jam sembilan malam baru pulang? Aku sengaja menunggu saat ini untuk bertanya langsung ke kamu, ketika kita sudah benar-benar rileks.” Kiara menghela napas.
Gadis itu kehilangan pesonanya, lenyap dibalik penampilannya yang kusut masai. Wajahnya lelah, dengan lingkaran hitam di kedua matanya. Sudut-sudut bibirnya tertarik menciptakan lengkungan ke arah bawah.“Laki-laki sialan! Setelah bosan denganku, seenaknya saja mencampakkan aku!” ucap gadis itu dengan suara kasar.Ia meremas-remas perutnya, seolah ingin mematikan apa pun mahluk yang bersemayam di dalam perutnya itu. Kemudian emosinya ia luapkan dengan memukul-mukul tempat tidurnya sekuat tenaga.Ia beranjak dari atas tempat tidurnya yang juga berantakan. Dengan kasar pula gadis itu membuka laci meja riasnya, mengaduk-aduk isinya sampai menemukan sebuah gunting.Ia hampir saja menusukkan gunting itu ke arah perutnya, tetapi dengan sigap seorang pemuda bertubuh tegap menerjang masuk, langsung memegang erat pergelangan tangan kanannya, mencegah gunting dalam genggaman gadis itu menghujam perutnya.“Niken! Kamu mau apa? Bunuh diri?” teriak pemuda itu d
Hari masih pagi sekali. Pukul setengah tujuh. Kiara sudah bersiap dengan pakaian bersepedanya. Ia juga menyiapkan minuman. Sebelumnya ia sudah sarapan dengan setangkup roti berisi selai strawberrykesukaannya dan segelas susu non fat rasa vanilla.Ia siap menjalani olahraga rutinnya setiap hari minggu pagi. Bersepeda di trek yang alami dengan jalan berliku, terjal dan menantang.Ia sudah siap menenteng sepeda lipatnya dan menggantungkan helm di stang sepedanya, saat tiba-tiba Livia manajer pribadinya masuk ke dalam kamar apartemennya.“Kiara, aku punya berita bagus untukmu!”Kiara mengangkat wajahnya, merasa heran melihat wajah ceria manajernya itu. Jarang sekali Livia terlihat segembira itu. Gadis itu biasanya menghiasi wajahnya dengan ekspresi serius.“Berita apa? Kalau menurutmu bagus, pasti memang benar-benar bagus banget. Iya, kan?” balas Kiara.“Ada tawaran film baru untukmu,” ucap Livia, masih dengan mata ber
Kiara mengayuh sepedanya dengan kecepatan penuh, menelusuri jalan setapak dengan kondisi berbatu-batu kadang dipenuhi lumpur akibat sisa hujan semalam. Ia tak takut sedikit pun. Bersepeda gunung adalah hobinya. Satu-satunya olahraga yang disukainya untuk menjaga stamina tubuh dan menjaga kestabilan berat badannya. Sejak ia tinggal di Surabaya dahulu, ia sudah menyukai kegiatan bersepeda. Kemudian kegiatan ini tak sempat lagi ia lakukan sejak ia lulus kuliah, terutama setelah ia pindah ke Jakarta. Pertemuannya dengan Tristan Sanubari, sahabat masa SMA-nya dulu, membuatnya kembali menekuni kegiatan bersepeda di lahan terjal penuh tantangan. Sejak setahun lalu Tristan bekerja di Jakarta. Sahabat lama Kiara itu ternyata masih saja setia dengan kegiatan bersepeda. Bahkan pemuda langsing itu mengikuti komunitas “Bike to work”. Dua minggu sekali ia bersepeda dari tempat kosnya di Jakarta Selatan, menuju kantornya yang berada di wilayah Pusat Bisnis