Share

4. Akrab Dalam Waktu Singkat

Kiara seolah dipaksa mengikuti kecepatan langkah Bertrand. Membuatnya hampir setengah berlari. Selang beberapa menit, mereka berdua lagi-lagi sampai di sebuah tempat yang juga ditumbuhi pohon palem berjejer rapi. Rupanya kota yang terletak di dekat pantai ini merasa cocok jika menghiasi kotanya dengan pohon palem.

"Inilah pusat Kota Nice. Di musim panas, tempat ini lebih ramai. Apalagi saat ada pertunjukan musik gratis. Seluruh warga seolah datang semua ke sini untuk menghibur diri.”

“Ah, kenapa semua pertunjukan seru adanya di musim panas?” keluh Kiara setelah berkali-kali Bertrand menyebutkan serunya musim panas di kota ini.

Mereka berdua tidak lama menikmati suasana tempat ini, lima belas menit kemudian, Bertrand melanjutkan langkahnya menyusuri Avenue Jean Medecin diikuti Kiara di sisinya.

Jalan ini menampilkan deretan  gedung pertokoan yang masing-masing memiliki keunikan.

"Kalau kamu suka membeli barang-barang dengan merk terkenal, kamu bisa berbelanja di Nice Etoile, pusat pertokoan terbesar yang ada di sini. Barang apa pun tersedia di situ," kata Bertrand mulai menjelaskan apa saja yang menarik di daerah bagian ini. 

"Atau mungkin kamu lebih suka melihat-lihat ke dalam butik-butik kecil? Tempatnya ada di komplek pertokoan Rue Massena.”

“Walau saat ini aku sedang nggak berminat belanja, tapi boleh juga melihat-lihat sebentar butik-butik kecil yang kamu sebutkan tadi. Aku justru lebih suka mengunjungi butik-butik yang terkesan pribadi," sahut Kiara.

Bertrand mengangguk, lalu memandu Kiara menuju daerah Rue Massena. Jalan ini terasa lengang karena mobil dilarang lewat di jalan ini.

Ada beberapa restoran di sepanjang jalan ini yang sengaja menyediakan kursi-kursi di ruang terbuka untuk pengunjung yang lebih suka menikmati hidangan dengan suasana lebih santai. 

Setelah masuk ke dalam beberapa butik yang menarik perhatiannya, dan sempat membeli sebuah scarft merah cerah bermotif pemandangan Kota Nice, Kiara menyetujui ajakan Bertrand untuk beristirahat sejenak sembari menikmati secangkir kopi hangat di ruang terbuka sebuah restoran.

Kiara menikmati kopinya yang bercampur krim lembut sambil mendengarkan Bertrand bercerita dengan antusias. Pemuda Prancis itu tampak senang sekali menceritakan tentang pekerjaannya memotret objek-objek menarik.

"Hampir semua sudut kota ini pernah menjadi objek fotoku. Banyak spot-spot menarik di kota ini yang bisa menampilkan suasana artistik ke dalam sebuah foto," cerita Bertrand.

Sesekali Kiara mengangguk mengerti mendengarkan penuturan Bertrand. Selesai mereka berdua menghabiskan minuman masing-masing, Bertrand mengajak Kiara melanjutkan penjelajahan mereka di kota ini.

Beberapa menit berjalan, keduanya sampai di sebuah tempat yang dipenuhi dengan kios-kios yang menjual beraneka bunga. Membuat tempat ini semarak dengan berbagai warna alam dan tercium aroma semerbak wangi bunga.

"Ini yang namanya Cours Saleya. Pasar yang menjual bunga beraneka ragam. Coba kau hirup udara di daerah ini perlahan. Hm, wanginya segar, ya? Bunga-bunga yang dijual di sini bagaikan pengharum udara alami."

Kiara mengangguk setuju. Ia juga dapat mencium aroma segar dan wangi lembut yang menguar dari bunga-bunga yang dijajakan di sini. 

"Kamu tahu, Lavendel adalah bunga khas daerah ini. Dan warga kota ini menyukai bunga lavendel untuk dibuat selai," kata Bertrand melanjutkan lagi penjelasannya mengenai tempat ini kepada Kiara.

Kiara tampak terpukau mendengar ucapan Bertrand.

"Seperti apa rasanya selai bunga?"

“Selai lavendel aku belum pernah coba. Tapi selai mawar, sudah. Mau mencoba membeli sebotol selai mawar?”

Kiara menggeleng. Ia bukan tipe orang yang berani mencoba makanan ekstrim. Walau bunga bukanlah sesuatu yang mengerikan, tetapi ia tak bisa membayangkan dirinya mengunyah bunga mawar dan melati.

"Mendengarnya saja aku sudah nggak tertarik. Bagiku selai paling enak hanya selai strawberry, coklat dan kacang," jawab Kiara.

Bertrand terkekeh. 

"Berani dong, mencoba sesuatu yang ekstrim," tantang Bertrand.

Kiara menggeleng lebih keras dari yang pertama.

"Khusus untuk makanan, aku lebih suka memakan sesuatu yang rasanya aku sudah yakin enak," sanggah Kiara.

Bertrand hanya nyengir lebar.

"Sudah hampir tengah hari. Kamu ingin berhenti dulu untuk makan siang, atau masih ingin melanjutkan petualangan kita?" tanya Bertrand sembari melihat jam di pergelangan tangan kirinya.

"Aku masih sanggup mengunjungi satu tempat lagi. Setelah itu baru kita makan siang," jawab Kiara diiringi senyum.

"Nah, itu yang namanya semangat seorang petualang sejati," ujar Bertrand seraya tersenyum lebar.

Lagi-lagi Bertrand menarik pergelangan tangan Kiara. Membuat Kiara curiga, pemuda itu memanfaatkan kesempatan untuk bisa menyentuhnya.

"Aku akan membawamu ke tempat yang lebih menantang," ucap Bertrand sambil terus melangkah dan menggenggam erat pergelangan tangan Kiara.

"Aku sedang nggak berminat dengan tantangan. Aku lebih suka mengunjungi tempat yang menarik."

Kali ini Kiara menolak ajakan Bertrand. Tempat menantang bukanlah tempat yang menarik minat Kiara. Ia sedang ingin menikmati keindahan, bukan tantangan.

Ia menarik tangan kanannya dari genggaman Bertrand. Membuat Bertrand tersadar, lalu segera melepaskan genggamannya.

"Kamu nggak tertarik menaiki lebih dari seratus anak tangga di Colline de Chateau? Ada sisa-sisa kastil peninggalan jaman Louis XVI di sana."

"Sepertinya aku sedang nggak berminat naik tangga. Ada tempat yang lebih bagus?"

Bertrand menghela napas, memandangi Kiara sambil mengernyit. Seolah mencoba memperkirakan tempat apa yang akan menarik minat Kiara.

“Old Town. Kamu pasti suka. Suasananya Prancis sekali."

Bertrand membelalak dan tersenyum, seolah bahagia sekali telah mendapat sebuah ide brilian.

Kiara berpikir sebentar.

"Hm, sesuatu yang tua biasanya klasik. Dan aku suka dengan apa pun yang memberi kesan klasik."

Bertrand tersenyum lebar, lalu mulai melangkah diikuti Kiara di sisinya. Kali ini ia memutuskan tidak ingin menarik tangan Kiara lagi. Bertrand memandu Kiara menyusuri gang-gang berukuran kecil yang di kanan kirinya berjejer rumah-rumah tua dengan desain khas Italia.

Selain rumah, di sepanjang gang ini juga berjejer dengan manis butik-butik kecil, galeri seni, kafe dan restoran, semuanya seolah bertetangga dengan harmonis. Cukup banyak warga yang berada di wilayah ini. Beberapa juga asyik berjalan seperti Kiara dan Bertrand.

"Klasik."

Satu kata itu yang tercetus dari bibir Kiara, setelah ia menelusuri hampir separuh wilayah kota tua ini.

"Bagaimana kalau kita makan siang di salah satu restoran yang menyajikan menu khas Kota Nice? Kamu belum pernah mencobanya, kan?" ajak Bertrand.

Kiara mengangguk setuju. Sudah pukul satu siang waktu Nice. Pantas saja ia mulai merasa lapar. Bertrand mengajaknya memasuki sebuah restoran bercat kuning dengan hiasan bunga-bunga ditata didalam pot-pot kecil yang disangga kaki-kaki besi berukir.

Saat mereka masuk ke dalam restoran ini, Kiara segera saja merasakan suasana nyaman dan homy. Lukisan-lukisan pemandangan Kota Nice di masa lalu menghiasi beberapa bagian dinding restoran ini.

Lagu pop bercampur jazz dalam bahasa Prancis mengalun lembut menambah suasana santai bagi pengunjung yang sedang asyik menikmati hidangan.

Kiara menurut saat Bertrand memilihkan meja di dekat jendela. Sehingga mereka dapat melihat orang-orang yang berlalu lalang melewati restoran ini.

Saat pramusaji memberikan buku menu, Kiara meminta Bertrand memilihkan menu yang paling enak di restoran ini.

"Kamu sering makan di sini, kan? Pasti kamu tahu menu andalan di restoran ini."

"Makanan khas Nice, tentu saja ratatouille nicoise."

"Makanan seperti apa itu?"

"Campuran berbagai sayuran semacam ketimun, tomat, cabai merah, ditambah cabai hijau, membuat warnanya menjadi menarik dan berwarna-warni. Ditumis dengan minyak zaitun. Masakan ini bisa dimakan dengan kentang atau roti khas Perancis. Pilihlah sesukamu," jawab Bertrand.

Mendengar bahan-bahan yang disebutkan Bertrand, Kiara membayangkan makanan itu mirip acar. Tapi ia memutuskan percaya saja dengan menu yang disarankan Bertrand.

"Baiklah. Aku pesan itu, aku memilih memakannya dengan roti Prancis."

Setelah pesanannya itu dihidangkan dan Kiara menyantapnya, Kiara mengakui tak salah ia percaya dengan menu yang disarankan Bertrand ini. Rasanya memang lezat sekali.

Entah bagaimana cara membuatnya dan apa bumbunya. Kenyataannya, rasa masakan ini cocok di lidah Kiara.

Arumi E.

Bab ini masih jalan-jalan di Nice. Gimana rasanya jalan-jalan berdua orang asing di kota yang baru pertama kali dikunjungi? Salam, Arumi

| 1

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status