"Ada lagi yang lainnya yang menarik untuk didatangi di kota ini?" tanya Kiara setelah mereka selesai makan siang dan siap beranjak dari restoran ini.
Bertrand tampak berpikir.
"Kalau kamu berani, aku tantang kamu sekali lagi,” jawabnya beberapa menit kemudian.
"Aduh, kamu mau menantangku apa lagi sih?"
"Beranikah kamu kabur sedikit lebih jauh lagi?"
"Kabur ke mana lagi?" tanya Kiara dengan kedua alis terangkat.
"Menemaniku menikmati pemandangan senja di Monte Carlo,” jawab Bertrand santai.
"Monte Carlo?' tanya Kiara lagi, kali ini membuat keningnya berkerut.
“Monte Carlo tempat yang indah untuk menyaksikan matahari tenggelam. Ayolah, itu nggak jauh dari sini. Dengan kereta, kita bisa sampai dalam waktu beberapa menit. Setelah itu mungkin kita bisa makan malam sebentar, lalu kembali lagi ke Nice, dan kamu masih sempat mengejar kereta malam menuju Cannes. Aku akan memastikan kamu nggak akan terlambat," jawab Bertrand panjang lebar.
"Kalau aku terlambat?"
"Aku bersedia ikut denganmu ke Cannes untuk menjelaskan pada kolega-kolegamu alasan kamu terlambat sampai di sana."
Kiara berpikir sebentar, tetapi melihat raut wajah simpatik dan kesan misterius pemuda di hadapannya ini, membuat gadis itu mengangguk cepat begitu saja.
Kiara membiarkan lelaki jangkung itu meraih pergelangan tangan kanannya, menggenggamnya erat, lalu menariknya lembut mengikuti langkah agak tergesa pemuda itu.
Ia biarkan juga lelaki itu membawanya naik ke atas kereta menuju Monaco. Kembali mereka tenggelam dalam kebersamaan sekejap. Melanjutkan lagi obrolan mereka yang menarik.
Berkali-kali gadis itu mencuri pandang ke arah lelaki muda yang duduk di sampingnya itu.
Ini adalah pelarian terindah yang pertama kalinya nekat ia lakukan. Bukan adegan syuting, ini kisah nyata yang ia alami sendiri. Nekat, mengikuti seorang pemuda yang baru dikenalnya beberapa jam lalu di dalam kereta selama perjalanan dari Cannes menuju Nice.
Sesampai di stasiun Monaco-Monte Carlo, lelaki itu kembali menggandeng tangan kanan Kiara. Kiara masih membiarkan Bertrand menariknya ke arah mana saja.
Berkunjung ke Monaco adalah pengalaman baru bagi Kiara. Ia sudah beberapa kali ke Paris, sekali ke Nice. Tetapi ia belum pernah berkunjung ke Monaco. Sekarang ini sepertinya saat yang tepat untuk mampir ke kota yang terkenal mewah itu.
Bertrand membawanya ke sebuah kafe kecil bernama The Portrait yang bertengger di tepian tebing, sehingga dari terasnya yang dipagari beton baja, pengunjung kafe dapat menikmati menu yang disuguhkan sembari memandangi pesona pantai Monte Carlo yang dipenuhi kapal-kapal mewah di sepanjang dermaga.
Matahari menggelincir turun, menciptakan warna jingga keemasan yang memantul di permukaan air laut.
Kiara kembali tenggelam dalam perbincangan panjang dengan Bertrand itu. Bahkan ia setuju saat lelaki Prancis itu meminta izin untuk memotretnya.
Bertrand mengeluarkan kamera canggihnya dari dalam tas yang sepanjang perjalanan tadi ia selempangkan di bahunya.
"Ini akan menjadi kenang-kenangan. Oh, siapa tahu nanti jika kukirim ke majalah, fotomu ini akan dimuat," ucap Bertrand seraya tersenyum senang.
Kiara terbelalak.
"Jangan!" cegahnya merasa keberatan dengan rencana Bertrand itu.
"Kenapa? Lihat, fotomu menarik dan artistik. Kamu terlihat cantik berdiri di pinggir pagar dengan latar belakang Pantai Monte Carlo yang bersiram warna jingga keemasan."
"Aku nggak suka fotoku dipamerkan di media. Berjanjilah Bertrand, simpan fotoku itu untuk dirimu sendiri. Jangan dikomersilkan ya? Awas, aku akan menuntutmu kalau aku tahu kamu mengirim fotoku itu ke majalah atau media apa pun," larang Kiara lagi, kali ini dengan ekspresi wajah serius.
“Okay, baiklah. Kamu jangan panik begitu. Aku nggak akan mengirim foto ini ke media cetak tanpa seizinmu. Aku fotografer profesional."
Kiara menghela napas setengah lega, walau matanya masih mengernyit menatap curiga Bertrand.
"Kamu bisa jadi model kalau kamu mau. Kamu cukup photogenic.”
“Ah, tidak. Menjadi orang terkenal itu nggak enak. Ke mana pun kamu pergi, akan ada saja yang mengenalimu," sanggah Kiara sambil tersenyum.
Andaikan Bertrand tahu apa pekerjaannya yang sebenarnya. Bahwa dia memang model sekaligus aktris. Fotonya sudah sering menjadi cover majalah di Indonesia
Bertrand sepertinya ingin menyahut lagi, tetapi tiba-tiba ponselnya berbunyi.
"Tunggu sebentar," ucapnya pada Kiara.
Kemudian ia sibuk menerima telepon itu. Awalnya ia berbicara dengan suara perlahan, sampai kemudian ekspresi wajahnya berubah menegang. Suaranya menjadi agak keras.
Bertrand menoleh ke arah Kiara yang masih memandanginya sembari menyeruput frappuccino pesanannya.
“Maaf, Kiara, aku harus menerima telepon ini di luar. Aku keluar dulu, ya. Tunggu sebentar.
Betrand mengucapkan kalimat itu sambil memandangi wajah Kiara sekejap, lalu dengan cepat ia berbalik dan bergegas pergi keluar café. Bahkan lelaki itu tak sempat melihat Kiara mengangguk.
Kiara hanya bisa tertegun memandangi kepergian Bertrand dengan langkah tergesa. Ia melanjutkan lagi menyeruput frappucino-nya yang tinggal separuh, lalu ia memalingkan wajahnya memandangi sekali lagi hamparan di bawahnya, Pantai Monte Carlo yang dipenuhi jajaran kapal-kapal mewah. Beberapa di antara kapal mewah itu tampak berkerlip diterangi lampu karena langit mulai gelap.
Pemandangan Kota Monte Carlo semakin menakjubkan. Gedung-gedung yang berserakan di sepanjang kota ini mulai diterangi lampu menciptakan beragam warna, jingga, putih, hingga kuning terang.
Udara terasa semakin dingin seiring semakin gelapnya warna langit.Kiara merapatkan cardigannya. Sesekali ia menoleh ke bagian dalam kafe, menunggu sosok Bertrand terlihat berjalan ke arahnya.
Namun setelah sekian lama, matanya belum juga menangkap tanda-tanda kehadiran Bertrand kembali ke meja ini.
Kiara memandangi gelas di hadapannya yang telah kosong. Rasanya ia sudah menunggu terlalu lama. Kiara melirik jam tangan di pergelangan tangan kirinya. Tiga puluh menit sudah berlalu sejak Bertrand meninggalkannya sendiri di sini.
"Ke mana sih, cowok Prancis itu? Menelepon saja kok lama banget," gumam Kiara mulai terlihat tak sabar.
Sampai kemudian Kiara mulai merasa curiga. Tubuhnya menegak. Sekali lagi ia menoleh ke arah bagian dalam kafe ini.
"Aneh sekali. Jangan-jangan cowok itu nggak bakal balik ke sini lagi?"
Kiara tersentak dengan perkiraannya sendiri itu. Dia bergegas bangun. Menuju resepsionis. Dia hendak membayar makanan dan minuman yang telah dihabiskannya.
"Oh, maaf, Mademoiselle. Makanan ini sudah dibayar," kata gadis muda yang bertugas di bagian kasir itu.
"Sudah dibayar? Sama siapa ya?" tanya Kiara heran.
"Sudah dibayar oleh Monsieur yang tadi datang bersama Mademoiselle."
Alis Kiara terangkat.
"Monsieur Bertrand LaForce?" tanya Kiara ingin lebih yakin.
Gadis petugas kasir itu mengecek pembayaran pesanan Kiara melalui kartu kredit.
"Ya, benar. Dibayar oleh Monsieur Bertrand LaForce."
"Terima kasih," sahut Kiara. Lalu dia berjalan keluar restoran.
"Apa sih maksud Bertrand? Pergi begitu aja nggak pamit tapi membayarkan semua makanan dan minuman. Apa dia sengaja ngerjain aku? Atau dia mau nipu? Tapi nipu apa?"
Segala pertanyaan itu terus berkecamuk dalam kepala Kiara sepanjang perjalanan kembali ke hotelnya.
Hm, penasaran nggak, apa motif Bertrand sebenarnya? Apa rencana dia? Ikutin terus lanjutannya ya. Salam, Arumi
Kiara sampai di depan pintu kamar hotelnya dengan tubuh letih bukan main. Ia segera menekan bel pintu. Hanya dalam hitungan detik pintu itu terbuka. Wajah Livia muncul dari balik pintu dengan kedua alis terangkat dan mulut menahan geram. Tampak jelas sekali sejak tadi Livia memang sudah menunggu kedatangan Kiara. "Akhirnya kamu pulang juga. Kirain kamu sudah menghilang dan nggak bakal balik lagi ke sini," sambut Livia, kata-katanya penuh dengan sindiran dan rasa kesal yang tertahan. Kiara tak berkomentar apa-apa menghadapi ocehan dan ekspresi wajah Livia yang merupakan paduan rasa kesal, cemas sekaligus lelah. Dengan langkah gontai, Kiara berjalan memasuki kamarnya melewati Livia begitu saja. Livia memandangi Kiara dengan kening berkernyit, tapi ia sudah tak bicara lagi. Ia biarkan Kiara mencapai sofa. Lalu artisnya itu mengempaskan tubuh lunglainya ke atas sofa itu. Livia mengunci pintu lalu berjalan mendekati Kiara. “Kamu ke mana saja, Ra? K
“Bonjour, MademoiselleLivia.”Sapaan itu mengejutkan Livia yang baru saja bangun dari tidur lelapnya. Ia sudah mendudukkan tubuhnya di atas tempat tidurnya, tetapi matanya masih belum membuka dengan sempurna.“Haduh, ini sudah jam berapa?” tanya Livia panik saat ia menyadari pagi-pagi sekali mereka harus sudah berangkat ke Paris.“Baru jam tujuh pagi,” jawab Kiara santai.Livia melirik kepada Kiara yang berdiri di depan tempat tidurnya tampak sudah rapi, bahkan dua koper mereka telah siap di kanan kirinya.“Apa? Jam tujuh? Kita harus sudah berangkat ke Paris, Ra!”“Kita masih bisa naik kereta jam delapan. Karena itu aku sudah membereskan semuanya. Kamu tinggal mandi dan ganti baju. Sarapan nanti saja di kereta,” sahut Kiara tetap terlihat tenang.“Aku nggak sempat mandi. Kiara, kenapa kamu nggak bangunin aku sih?” ujar Livia seraya segera melompat dari tempat tidur lalu bergegas ke kamar mandi membasuh wajahnya.
Beberapa menit sebelum pukul delapan pagi, kereta TGV yang akan membawa mereka ke Paris datang juga. Kiara dan Livia bergegas naik ke dalam gerbong yang sesuai dengan tiket mereka. Mereka memang sengaja tida membawa banyak barang. Masing-masing hanya travel bag berukuran sedang dan beroda, sehingga mereka masih sanggup membawanya sendiri. Sesampai di dalam gerbong dan menemukan nomor kursi mereka, mereka baru menyadari Livia telah salah memilih kursi. Nomor kursi yang tertera di tiket mereka memang berurutan, tetapi ternyata kursi itu tidak tidak berdampingan. Satu kursi di ujung kiri barisan sebelah kanan, satu kursi lagi berada di ujung kanan barisan sebelah kiri. Kedua kursi itu memang masih berdekatan dan bersebelahan, tetapi terpisah oleh selasar gerbong ini. Kiara tak berkomentar apa-apa. Ia sudah lelah mendebat Livia sejak kemarin. Livia pun enggan mengucapkan sepatah kata pun perihal kesalahannya memilih nomor kursi. Tadi ia sedikit panik dan terburu-buru, se
Pesawat yang ditumpangi Kiara dan Livia mulai lepas landas meninggalkan bandara Charles de Gaulle. Kiara menyandarkan tubuh penatnya di sandaran kursinya yang nyaman. Matanya terpejam. Perjalanan dari Paris menuju Jakarta akan memakan waktu lama dan ia berencana akan melelapkan dirinya dalam separuh perjalanan. Kunjungannya singkatnya di Perancis ini benar-benar telah membuatnya kelelahan. Kini saatnya untuk beristirahat sejenak, sebelum ia disibukkan lagi dengan tugas selanjutnya di Jakarta. “Ra, sekarang, boleh aku bertanya?” Walau matanya telah terpejam, tetapi sayangnya Kiara masih sadar. Membuatnya masih mendengar pertanyaan Livia yang juga sedang menyamankan dirinya di samping Kiara. “Nanya apa sih, Liv?” “Saat di Cannes kemarin, kamu pergi ke mana sih? Jam sembilan malam baru pulang? Aku sengaja menunggu saat ini untuk bertanya langsung ke kamu, ketika kita sudah benar-benar rileks.” Kiara menghela napas.
Gadis itu kehilangan pesonanya, lenyap dibalik penampilannya yang kusut masai. Wajahnya lelah, dengan lingkaran hitam di kedua matanya. Sudut-sudut bibirnya tertarik menciptakan lengkungan ke arah bawah.“Laki-laki sialan! Setelah bosan denganku, seenaknya saja mencampakkan aku!” ucap gadis itu dengan suara kasar.Ia meremas-remas perutnya, seolah ingin mematikan apa pun mahluk yang bersemayam di dalam perutnya itu. Kemudian emosinya ia luapkan dengan memukul-mukul tempat tidurnya sekuat tenaga.Ia beranjak dari atas tempat tidurnya yang juga berantakan. Dengan kasar pula gadis itu membuka laci meja riasnya, mengaduk-aduk isinya sampai menemukan sebuah gunting.Ia hampir saja menusukkan gunting itu ke arah perutnya, tetapi dengan sigap seorang pemuda bertubuh tegap menerjang masuk, langsung memegang erat pergelangan tangan kanannya, mencegah gunting dalam genggaman gadis itu menghujam perutnya.“Niken! Kamu mau apa? Bunuh diri?” teriak pemuda itu d
Hari masih pagi sekali. Pukul setengah tujuh. Kiara sudah bersiap dengan pakaian bersepedanya. Ia juga menyiapkan minuman. Sebelumnya ia sudah sarapan dengan setangkup roti berisi selai strawberrykesukaannya dan segelas susu non fat rasa vanilla.Ia siap menjalani olahraga rutinnya setiap hari minggu pagi. Bersepeda di trek yang alami dengan jalan berliku, terjal dan menantang.Ia sudah siap menenteng sepeda lipatnya dan menggantungkan helm di stang sepedanya, saat tiba-tiba Livia manajer pribadinya masuk ke dalam kamar apartemennya.“Kiara, aku punya berita bagus untukmu!”Kiara mengangkat wajahnya, merasa heran melihat wajah ceria manajernya itu. Jarang sekali Livia terlihat segembira itu. Gadis itu biasanya menghiasi wajahnya dengan ekspresi serius.“Berita apa? Kalau menurutmu bagus, pasti memang benar-benar bagus banget. Iya, kan?” balas Kiara.“Ada tawaran film baru untukmu,” ucap Livia, masih dengan mata ber
Kiara mengayuh sepedanya dengan kecepatan penuh, menelusuri jalan setapak dengan kondisi berbatu-batu kadang dipenuhi lumpur akibat sisa hujan semalam. Ia tak takut sedikit pun. Bersepeda gunung adalah hobinya. Satu-satunya olahraga yang disukainya untuk menjaga stamina tubuh dan menjaga kestabilan berat badannya. Sejak ia tinggal di Surabaya dahulu, ia sudah menyukai kegiatan bersepeda. Kemudian kegiatan ini tak sempat lagi ia lakukan sejak ia lulus kuliah, terutama setelah ia pindah ke Jakarta. Pertemuannya dengan Tristan Sanubari, sahabat masa SMA-nya dulu, membuatnya kembali menekuni kegiatan bersepeda di lahan terjal penuh tantangan. Sejak setahun lalu Tristan bekerja di Jakarta. Sahabat lama Kiara itu ternyata masih saja setia dengan kegiatan bersepeda. Bahkan pemuda langsing itu mengikuti komunitas “Bike to work”. Dua minggu sekali ia bersepeda dari tempat kosnya di Jakarta Selatan, menuju kantornya yang berada di wilayah Pusat Bisnis
Kiara bangkit dari duduknya. Setelah berdiri, ia mengambil sepedanya yang tadi diletakkan begitu saja di atas rumput di sampingnya.“Aku pulang sekarang,” ucap Kiara, tanpa menunggu jawaban Tristan ia menuntun sepeda lipatnya menuju keluar area trek bersepeda alami itu.Tristan terburu-buru bangkit, meraih sepedanya lalu secepatnya menyusul Kiara hingga mereka berjalan bersisian. Keduanya tak saling bicara. Mendadak Kiara enggan bicara, sedangkan Tristan sadar, Kiara sedang tak ingin diganggu.Sesampainya mereka di tempat mereka memarkir mobil masing-masing, Kiara memasukkan sepeda lipatnya ke bagian belakang mobil SUV miliknya yang ia kendarai sendiri.“Aku bisa sendiri,” tolaknya, saat Tristan ingin membantunya mengangkat sepedanya untuk dimasukkan ke bagian belakang mobil Kiara.Tristan mundur teratur, menyadari Kiara masih tak ingin diganggu. Sepedanya sendiri sudah ia masukkan ke dalam mobilnya sendiri.“Ud