LOGIN"Pas sekali," Sentai Shanina saat melihat seseorang berada di kamarnya. Theo menaikkan sebelah alisnya. "Apa?" Shanina menyunggingkan senyumannya dalam sekejab, berlari menghampiri Theo dan memeluknya tanpa aba-aba. Theo sontak mendorongnya, tapi Shanina bertingkah seolah tidak ada yang terjadi. "Kau pulang sangat larut, apa kau tidak lelah?" "Jangan menggangguku." Theo melepas kemejanya, menanggalkan seluruh bajunya dan menyisakan bokser hitam yang sangat pendek. "Kenapa kau menugaskan pengawal tanpa sebab?" tanya Shanina buru-buru sebelum Theo memasuki kamar mandi. Theo berbalik, tubuh terpahatnya yang indah dan liat terpampang, tapi Shanina hanya tertarik pada jawaban yang dinantikannya. "Apa kau akan memprotes?" tanya Theo dengan suara yang mengintimidasi. Shanina berusaha tersenyum, ia menggeleng. "Bukan begitu, aku hanya ingin mengetahui alasannya." Theo diam sejenak, hanya memandangnya selama beberapa detik. "Aku menugaskannya untuk menjagamu," jeda Theo,
Sebenarnya dia bisa melaporkan polisi, tapi itu akan melalui prosedur yang rumit. Shanina tengah melamun dan tak memerhatikan sekitar kala rambu-rambu untuk pejalan kaki berubah merah. Dirinya terus melangkah. Suara klakson-lah yang pertama kali menyadarkannya, tapi saat dia menoleh, semuanya sudah sangat terlambat. Saat dia mengira hidupnya akan berakhir, lengannya ditarik oleh kekuatan yang kuat. Kepalanya terbentur sesuatu yang keras, namun berbau cologne yang memabukkan. "Anda baik-baik saja, Nona?" Shanina mendongak saat mendengar suara berat yang terdengar sopan. Matanya melebar, selama beberapa detik terhipnotis. Alisnya tebal, hidungnya tinggi dan rapi, matanya berwarna kuning gelap sebuah warna iris yang sangat langka. Matanya besar, namun tajam seperti seorang model, dan mata itu memandangnya dengan sedikit kecemasan. Bahkan dalam kegelapan di malam hari, pria itu tampak mecolok. Shanina tersadar dan melepaskan diri darinya, ternyata sejak tadi pria itu memeluk p
Theo memerhatikan wajahnya dengan intens, menyipitkan matanya sepersekian detik. "Tapi kau tidak bisa memaksaku untuk menerimanya. Aku tidak Sudi menerima apapun darimu, dan jangan bersikap agresif." Shanina mengangguk semangat, menampilkan ekspresi cerianya yang bahagia. Theo diam sejenak sambil mengamatinya, memikirkan sesuatu yang menarik. "Kau boleh tidur di sini." Kelopak mata Shanina melebar samar, rasa jijik dan marah menghantamnya, pria itu sendiri yang mengusirnya dengan keji tadi, tapi sekarang justru menyuruhnya untuk tidur di sampingnya, gila. Dia bahkan harus menahan diri untuk berbicara dengannya, tapi apa dia juga harus tidur di sampingnya. Jantungnya berdenyut ngilu atas perasaan sakit hati dan kebencian yang tidak terbendung. "Kenapa?" suara Theo tampak mengalun lembut, namun penuh arti. "Apa kau tidak mau tidur di sampingku?" Shanina kembali menaikkan senyumannya yang sedikit memudar. Dia segera berlari ke ranjang dengan penuh kegembiraan. Sambil tertaw
Shanina sudah tahu bahwa akan seperti ini. Dia tidak bisa menyalahkan Viviette. Keluarga Hayley memiliki latar belakang yang kuat, sulit jika berurusan dan membuat masalah dengan mereka. Shanina beristirahat beberapa saat di ruangan khusus. Ketika sore hari tiba, barulah dia beranjak dari tempatnya, hendak pulang ke rumah. Dia menghampiri Viviette, berpamitan dengannya, "Viviette, aku akan pulang sekarang, besok aku kesini lagi." Viviette berbalik, mengharap Shanina sepenuhnya, tau wajahnya tampak bermasalah. Shanina menaikkan alisnya, merasakan sesuatu yang tidak beres. "Ada apa?" "Nina, aku sangat minta maaf karena mengatakan ini. Aku benar-benar minta maaf." "Katakan saja." "Aku terpaksa memecatmu." Shanina terdiam selama beberapa saat. Ekspresinya menjadi kosong. Rasanya semua tidak ada yang berjalan sesuai keinginannya. Rasanya sulit untuk memiliki pilihan lain selain kembali pada Theo dan bertahan dengannya. "Aku mengerti." Viviette menatap Shanina dengan
Shanina diperbolehkan pulang setelah menginap di rumah sakit selama hampir sebulan untuk masa pemulihan fisik dan psikisnya. Kaysen bersama Helena menjemputnya, itu membuatnya heran karena dia tidak mengira Helena akan ikut. Meski beberapa kali datang ke rumah sakit untuk menjenguknya, Helena masih ketus dan menghindarinya meskipun tidak terlalu berlebihan seperti biasa. "Ayah menitipkan pesan padamu agar kau tidak terlalu stres. Dia pergi untuk urusan bisnis sekalian mengunjungi kerabat jauhnya di Chicago, mungkin hanya beberapa Minggu. Dia minta maaf karena tidak bisa menemanimu," kata Kaysen yang sedang menyetir, sesekali melihat Shanina lewat kaca spion depan. "Ayah sudah sangat sering menemaniku selama masa-masa pemulihan kemarin, aku harap dia selalu sehat dan berhati-hati dalam perjalanannya, aku baik-baik saja disini selama ada kalian," balas Shanina. Helena menghela napas kecil diam-diam. Kali ini entah apa yang di pikirkan di kepalanya. Wajah Shanina yang tampak tabah
Saat itu, Shanina melihat keberadaan Theo. Wajah kemarahan yang belum pernah dia tunjukkan muncul di wajahnya. Shanina semakin histeris, dia melepaskan diri dari pelukan David dan mulai melemparkan barang-barang Yang ada di detaknya de arah Theo. "Pembunuh! Kau membunuhnya, Theo! Kau membunuh bayiku!" Shanina melemparkan apa saja, bahkan bantal ke arah Theo. Theo tidak bergeming. Ketika barang-barang di sekitarnya sudah habis, Shanina berdiri dan mendekati Theo sambil meraih kerah bajunya. "Bayiku meninggal karena ulahmu! Kau yang mendorongku sebelum lampunya jatuh! Bayiku terluka karenamu! Aku kehilangan dia karena keegoisanmu! Apa kau senang sekarang?!" Shanina menggeram dan memukul Theo dengan penuh kemarahan. David dan Helena tidak menghentikannya karena mereka juga merasa kecewa karena Theo. "Kau senang, kan?!" Shanina luruh ke lantai, tubuhnya terkulai lemah. Air mata masih mengalir deras dari matanya, namun tangis histeris telah berubah menjadi Isak pilu. Rasa putus







