LOGINPria itu terus meracau.
Shanina berdeham. "Tuan, ini tehmu. Minumlah selagi hangat." Pria itu tidak menggubrisnya. Jakun pria itu naik turun, dari garis leher hingga turun ke dada bidangnya yang terbuka akibat kancing yang terlepas, mampu mendistraksi pikiran Shanina. "Tuan, minumlah ini agar kau lekas pulih. Um, kalau begitu aku pergi dulu." Shanina belum mengambil langkah. Ia ragu. Bagaimana jika perkataan Kaysen benar? Jika orang ini mati, yang jadi tersangka pertama adalah aku. Tapi... apa betul Theo akan mati secepat itu hanya karena hal remeh tersebut? Shanina menggelengkan kepalanya. Semakin cepat selesai, semakin baik. Ia berjalan menghampiri Theo, mengguncang pelan bahunya. "Permisi, tolong minum ini sebentar." "Hngh." "Ya Tuhan," keluh Shanina, berdecak pelan. "Aku lagi? yang harus melakukan semua ini?" gumamnya. Shanina menepuk-nepuk pipi Theo, agak kencang. Mata pria itu perlahan terbuka. "Hayley?" "Maaf." Shanina dengan kejam mendekatkan cangkir ke mulut Theo dan memaksa pria itu menelan semuanya. "Nah, sudah, 'kan?" Shanina menatap datar air teh yang membasahi dada pria itu dan yang menetes keluar dari hidung bangirnya. Theo masih terbatuk-batuk. Shanina hendak kabur dari sana. Ia telah melakukan kesalahan dengan bertindak kasar terhadap tuannya, meski teh pereda pengar tersebut akhirnya tertelan sebagian besar. Ia harus menyembunyikan diri. Theo menatap seluset Shanina yang hendak pergi, lalu tiba-tiba menarik tangan gadis itu dengar keras hingga Shanina terseret mundur dan jatuh ke pangkuannya. "Lepas! Aw!" Shanina meringis kesakitan ketika Theo mendekap tubuhnya terlalu erat, membuat perutnya tertekan dan sesak. "Hayley... aku sangat merindukanmu. Tolong jangan pergi." "Andai aku Hayley. Tapi aku bukan dia! Lepaskan aku!" "Jangan tinggalkan aku." Shanina meronta-ronta. Tenaga Theo sangatlah kuat meski tubuhnya masih setengah sadar karena alkohol. Shanina tidak bisa menjangkau apa pun atau bergerak dari cengkraman Theo. "Aku bukan Hayley, Tuan! Tolong sadarlah!" Shanina melihat Amela lewat di depan kamar. "Bibi! Tolong aku!" Tapi bibinya hanya kembali untuk menutup pintu kamar, menoleh sambil tersenyum puas, lalu pergi meninggalkannya. "Tidak! Bibi! Apa yang kau lakukan?! Tolong aku!" Shanina memang sudah menduga ada sesuatu yang tidak beres, tapi ia percaya diri bisa kabur dari rencana bibinya. Nyatanya, semuanya terbalik. Ia terjebak di dalam situasi yang menyesakkan. Tubuh Theo limbung ke samping, otomatis Shanina juga terseret. "Ah!" Shanina memekik ketakutan. "Lepaskan aku, kumohon biarkan aku pergi." Air matanya mulai jatuh deras, suaranya pecah. Cekalan Theo semakin kuat hingga ia kesakitan dan hampir tak bisa bernapas. Krisis itu membuatnya ketakutan setengah mati Theo menundukkan wajahnya, menempelkan hidungnya di tengkuk Shanina, menarik napas panjang. Gadis itu merinding hebat, merasa terancam hingga tubuhnya kaku. Theo mencengkeram lebih erat, seakan menolak kenyataan bahwa gadis itu bukan orang yang ia cari. "Hayley ... aku sangat merindukanmu." Suaranya parau, seperti orang yang kehilangan kewarasan. Shanina berusaha menjerit, tapi suaranya tenggelam di ruang besar yang sepi. Mansion itu sunyi, terlalu luas, dan tidak ada pelayan yang berjaga di malam hari. Theo mencengkeram pinggang Shanina, menindih tubuhnya dengan paksa. Shanina terperangkap. Tubuhnya gemetar hebat. Ia hanya bisa menangis ketika bibir Theo merampas bibirnya, kasar dan tak terkendali. "Hmmp!" Shanina melotot, matanya membesar ketakuta . Ia berusaha menolak, namun seluruh kekuatannya kalah di bandingkan tenaga Theo. Theo membenamkan dirinya semakin dalam, mengabaikan tangisan Shanina. Gagasan bahwa ia bisa "Memiliki" gadis ini membuat pikirannya gelap, hampir gila. Bibirnya menekan tanpa henti, seolah ingin menghancurkan pertahanan Shanina. Sementara itu, gadis itu terus menangis, suaranya seperti rengekan yang menyayat hati, tapi justru membuat Theo semakin hilang kendali. Matanya sayu, kabur oleh alkohol dan hawa panas yang mendominasi tubuhnya. Ia meraih kain Shanina, merobeknya dengan kasar. Shanina berteriak panik, kedua tangannya digenggam erat hingga tak bisa bergerak. "Tolong... jangan lakukan ini!" Shanina meratap, suara seraknya pecah di antara tangisan. Theo mendekatkan wajahnya ke leher Shanina, menciumnya dengan napas terengah. "Kau milikku malam ini," ucapnya parau, penuh hasrat yang membutakan. Shanina menjerit, tubuhnya menggeliat, berusaha kabur, tapi sia-sia. Theo membanting tubuhnya kembali ke ranjang, menindihnya sepenuhnya. Mata pria itu gelap, seperti binatang buas yang berhasil mengurung mangsanya. "Tuan'? Apa kau sedang mendongak," desisnya, dingin tapi liar. Shanina menggigil ketakutan, matanya kosong, pikirannya hancur. "Tidak, kumohon hentikan." Shanina merasakan tekanan yang membuatnya kesakitan. Tubuhnya gemetar hebat, matanya berlinang air mata. Ia sudah tidak bisa lagi berpikir jernih. Kamar itu di penuhi suara tangisan Shanina bercampur desahan berat Theo yang kehilangan kendali. Malam itu menjadi saksi dari keputusasaan seorang gadis yang terjebak dan tidak bisa melawan. Waktu terasa begitu panjang. Shanina hanya bisa menatap kosong ke langit-langit kamar, membiarkan tubuhnya kaku, tanpa daya. Hingga akhirnya, setelah segalanya reda, Theo terjatuh di sisinya, terlelap, tidak sadar dengan apa yang telah ia lakukan. Shanina masih terbaring kaku, tubuhnya gemetar, matanya kosong. Air matanya terus mengalir. Ia menatap lurus tanpa jiwa, seakan sebagian dirinya sudah hancur malam itu.Theo tidak pulang, mungkin dia menginap lagi di kantornya. Shanina tidak keberatan. Masalahnya, mereka baru saja menikah, orang-orang mungkin membicarakannya di belakang, tapi sekali lagi, Shanina sebetulnya tidak begitu peduli. Ia hanya tidak memiliki banyak pekerjaan yang harus dilakukan semenjak menikah. Siang itu Shanina mendengar pembicaraan Helena, ibu mertuanya tersebut menyuruh seseorang untuk mengantarkan makan siang ke kantor Theo. Shanina tahu kenapa wanita itu tidak menyuruhnya. Namun, ia tetap menghampirinya dan menawarkan diri, bersikap tebal muka. Alhasil, di sinilah Shanina berada, berdiri di depan sebuah gedung menjulang yang ada dihadapannya. Dia belum pernah melihat kantor kebesaran Theo secara langsung, dan ternyata itu sungguh luar biasa, mungkin gedung tersebut memiliki empat puluh laintai lebih. Dengan menenteng tas bekal berisi makanan yang disiapkannya sendiri, Shanina mulai memasuki gedung tersebut. Shanina menaiki undakan di lobi, flat shoes tanpa mere
Ia mengangguk, menelan salivanya susah payah. Shanina sungguh paham bahwa meminjam uang di hari pertama pernikahan akan sangat tidak wajar untuk pasangan yang saling membenci seperti ini. Namun, pagi-pagi sekali bibinya sudah memberi perintah untuk mentransfer mereka uang. "Kalau begitu apa aku boleh pergi keluar hari ini?" "Akan lebih baik jika kau pergi dan tidak kembali lagi." Theo berbalik, matanya segera bertubrukan dengan manik hijau cerah milik Shanina yang berkaca-kaca, wajahnya tampak tenang, tapi matanya tidak bisa berbohong. Gadis itu menelan tangisannya. Theo justru semakin ingin menghancurkan pertahanan itu. "Jangan pernah meminta izin lagi dariku untuk hal apapun itu, jangan berbicara padaku atau menyentuh barang-barangku. Kau hanya istri dalam nama, jadi urus saja urusanmu sendiri." Melihat pandangan Shanina yang sesekali tak fokus, Theo mengernyit samar. Ia berbalik lagi, memakai pakaiannya. Sementara itu Shanina menatap lantai di bawahnya dengan sorot kosong
Baru saja Shanina melangkahkan kakinya masuk ke kamar Theo, aroma musk yang menenangkan menyeruak Indra penciumannya. Suara gemericik air yang datang dari kamar mandi menarik perhatian Shanina, samar-samar tercium bau sabun yang khas. Theo sedang mandi di sana, jika pria itu keluar, ia akan mati gaya. Shanina menyeret kopernya, melangkah menuju lemari besar yang terdapat di sisi ruangan, Ia meletakkan pakaiannya yang tidak seberapa disana, bersebelahan dengan pakaian Theo yang begitu banyak. Setelah merapikan semua barangnya, ia menyiapkan pakaian santai untuk Theo. Tidak tahu lagi apa yang harus dilakukan, ia duduk di kasur, memijat kaki kanannya yang sakit dan linu. Pikirannya seperti benang kusut, apakah Theo suka minum teh sebelum tidur atau makan camilan sebelum tidur. Perintah agar membuat Theo menyukainya sungguh membebaninya. Shanina amat pesimis, ia bahkan sudah sangat bersyukur apabila Theo mau sedikit saja melunakkan sikap padanya. Tangannya yang menyentuh permukaan k
Terlepas dari pilihannya atau bukan, dekorasi pesta yang dilihatnya adalah hal yang amat menakjubkan. Siapapun akan bahagia melihat pernikahannya diadakan semegah sekaligus se-elegan ini. Kilauan lampu kristal terpasang di setiap area langit-langit yang dihiasi berbagai dekorasi yang sesuai tema, yaitu tema kastil klasik penuh keanggunan yang anehnya mengingatkannya pada Theo. Saat pandangannya mengedar kesekeliling, mendadak ia menyadari bahwa seluruh atensi tertuju padanya, membuat tubuhnya lemas seperti agar-agar. Namun, itu belum seberapa di bandingkan saat matanya bertubrukan dengan mata biru berlian yang membekukan. Pria itu berdiri di altar dengan setelan tuksedo hitam yang bernilai jutaan dolar. Postur tubuhnya tegap, sempurna bagai bangsawan. Layaknya manifestari dari Zeus, pria itu tak terjangkau, ia kuat, terhormat, dan tak bisa di tandingi oleh siapa pun. Shanina bisa membayangkan seberapa sulitnya itu bagi Theo untuk bersanding dengannya, ibarat seorang pangeran yang
Shanina menatap pantulan wajahnya di cermin. Ia hampir tidak mengenali wajahnya sendiri. Walaupun ia selalu memakai bedak setiap pergi ke sekolah, tetap saja ia tidak pernah berdandan setebal ini. Meski tebal, anehnya riasan di wajahnya terlihat natural. Keluarga Carter jelas tidak akan menyewa MUA murahan untuk pernikahan putra sulung mereka sekalipun pernikahan itu tak di inginkan. Matanya yang sedikit bengkak juga tidak terlihat lagi berkat tangan-tangan berbakat dan produk berkelas yang dibubuhi di wajahnya. Ia tidak berniat menangis semalaman, tapi memikirkan akan menikahi pria seperti Theo membuat Shanina dilanda cemas setengah mati. Belum apa-apa ia sudah menerima kebencian Theo, gagang sapu saja dibanting sampai patah, bagaimana jika ia tidak sengaja membuat Theo marah lagi nanti? "Sekarang bisakah anda berdiri? Saatnya memakai gaun." "Ah, ya. Tentu." Shanina berdiri, membiarkan mereka memasang gaun yang rumit tersebut sama sekali bukan style yang disukainya. Dalam sek
Shanina kaku, padahal bibinya-lah yang semalam menguncinya bersama Theo. Jika ia membuka mulut, dirinya juga akan terkena imbas. Belum lagi, Amela mencubitnya keras secara diam-diam untuk tutup mulut. "Mungkin saja," Potong Amela hanya untuk melihat Theo dengan pandangan menuduh, lalu memalingkan tatapannya, "Tuan Theo secara tidak sadar mengunci dan menahan Nina sehingga Nina tidak bisa berbuat apa-apa." Theo mendengus pelan. Shanina menunduk takut melihat Helena yang memelototinya, tubuhnya semakin gemetar. Ia merasa seperti orang paling bersalah disaat dirinyalah yang merupakan korban. Kepalanya pusing, Ia mual. "Itu benar." Kalimat Kaysen mengambil alih atensi semua orang. Mereka semua menatap Kaysen dengan pandangan bertanya. Kaysen melanjutkan ucapannya, "Apa yang dikatakan Shanina benar, dia hanya mengantarkan teh untukku, aku menyuruhnya untuk memberikan teh itu pada Theo sekaligus menyuruhnya mengawasi Theo, kalian tahu kalau Theo sangat menyebalkan ketika mabuk."







