Share

bab 5

Author: Tiga djati
last update Last Updated: 2025-11-25 19:21:27

"Nina!"

Shanina yang hendak memasukkan obat perangsang ke dalam gelas Kaysen, berhenti. Ia buru-buru memasukkan botol obat itu ke dalam sakunya. Tangannya gemetaran. Ia berbalik, berusaha memasang senyum naturalnya.

"Hai, Gua! Eh, kenapa kau kemari? Di mana Ron?"

"Dia sedang bersama teman-temannya. Ayo kita ke sana!" Gia menunjuk ke arah perkumpulan para gadis.

Shanina mengangguk. Gia segera menariknya ke sudut area food stall.

Mereka langsung menyambut Gia dan Shanina.

"Shanina kau cantik sekali!"

"Iya! Aku tahu kau memang cantik, tapi aku tidak pernah melihatmu memakai riasan sebelumnya! Kau terlihat seperti tuan putri!"

Shanina tersenyum pada pujian semua orang. "Terima kasih, tidak perlu berlebihan."

"Eh, tapi benar, 'kan? Shanina memang sangat cantik malam ini. Gaunmu juga cantik sekali, aku belum pernah melihat model yang seperti ini di manapun." Gadis itu menyentuh gaun Shanina dan terkagum.

Semuanya mengangguk setuju.

Shanina senang gaun buatannya dipuji, sejenak pikiran cemasnya hilang.

Shanina tersenyum tulus. "Aku sendiri yang membuat gaun ini, butuh waktu tiga bulan untuk merancang dan menyelesaikannya."

Semua orang kaget, terkagum dengan pernyataan Shanina.

"Itu bakat! Kenapa kau tidak pernah ikut ekstrakulikuler TAF, Shanina? Aku bisa merekomendasikanmu untuk menjadi duta dari sekolah kita."

Gia menyenggol lengan Fleur mantan anggota TAF tahun lalu secara diam-diam.

Shanina melihatnya, ia tersenyum sebagai respons. "Terima kasih."

Sedetik setelahnya pujian datang, "Kau bahkan berdansa dengan Kaysen,'kan? Kau pasti sangat senang!"

"Ya, meski itu sedikit sulit karena kakiku, Kaysen membimbingku dengan murah hati," balas Shanina.

Membimbing apanya, Kaysen terus mengumpat sepanjang dansa. Pria itu sudah berjanji pada ibunya untuk berdansa setidaknya sekali dengannya. Kaki kanannya masih terasa sakit sampai sekarang, hari ini ia terlalu berlebihan menggunakan kakinya.

Shanina tidak melunturkan senyumnya sedikit pun. Tangannya tak lagi gemetar, tapi telapaknya berkeringat karena gugup. Ia sedikit heran gadis-gadis itu mau berbicara dengannya. Mereka memang bukan fans Kaysen yang pernah merundungnya, tapi tetap saja mereka amat jarang berbicara dengannya selama masa sekolah.

Melihat Shanina yang pendiam, yang lain saling pandang. Kemudian salah satu gadis bernama Bonny, mengambil kedua tangan Shanina. Shanina tersentak kecil.

"Shanina, maafkan kami, kau pasti kesal dengan kami yang sok akrab denganmu. Kami tidak pernah berani melawan Kaysen, dia mengancam kami untuk tidak berteman denganmu. Itu memberatkan kami, kami tidak pernah senang menjauhiku."

Shanina tersenyum kecil. Ia tidak lupa, saat baju olahraganya hilang dicuri antek-antek perundungnya, Bonny diam-diam membawakan baju olahraga lain yang sepertinya di ambil dari koperasi, tapi setelahnya berpura-pura tidak terjadi apa-apa. Yang lainnya juga baik padanya meski harus secara diam-diam.

"Aku tahu, tidak apa-apa. Aku tahu kalian semua pernah membantuku. Terima kasih."

Di saat-saat terakhir seperti malam prom ini, mereka semua berdamai dan akhirnya bisa bercengkrama bersama. Sedikit ironis.

Saat acara selesai, Shanina belum juga menjalankan misinya. Kaysen dan dia pulang ke rumah seperti biasa. Amela memelototinya diam-diam karena ia tidak berhasil bermalam di hotel atau di mana pun itu bersama Kaysen. Ia pikir pipinya akan ditampar, tapi paman dan bibinya diam saja.

Itu aneh, Shanina justru curiga.

"Pergi ke kamar, Nina, kau pasti lelah. Besok kita akan bicara lagi," ujar Amela.

Sejenak, remasan Amela di bahunya membuatnya takut.

Shanina bergegas pergi ke kamarnya. Ia berusaha melupakan hal buruk yang terjadi pada malam ini, ia lelah, kaki kanannya masih sakit. Setelah mandi dan berganti pakaian ke piyama tidur, Shanina merebahkan diri di kasur dan menarik selimut, bersiap untuk tidur, tapi ketukan di pintunya membuatnya membuka mata.

Shanina membuka pintu.

"Bibi?"

"Bisa tolong kau antarkan ini ke kamar Kaysen? Barusan dia muntah-muntah karenaabuk, Nyonya Helena menyuruh siapa saja untuk membawakannya ini."

Shanina mengernyit, menatap nampan berisi air teh beraroma madu dan herbal tersebut dengan curiga.

"Kaysen tidak mabuk, Bi. Dia bahkan menyetir pulang bersamaku."

"Dia habis minum bersama Tuan David setelah mengobrol bersama. Cepat, bersiap dan bawakan ini ke kamarnya."

Shanina tidak bergerak, ia menatap bibinya masih dengan tatapan curiga.

"Kenapa harus aku?"

"Karena yang lain sudah tidur, aku lelah membersihkan kekacauan yang di buat Tuan Theo."

"Tuan Theo?" Kekacauan apa yang bisa di buat oleh orang pendiam dan anggun seperti Tuan Theo?

Amela berdecak. "Dia mengamuk karena Nona Hayley berselingkuh dan mendadak membatalkan pernikahan."

Itu mengejutkan.

"Sudah! Bawakan ini cepat!"

Shanina buru-buru menerima nampan tersebut dengan tergopoh saat bibinya menyerahkannya paksa secara tiba-tiba.

"Bibi!"

Amela lebih dulu pergi, wanita itu menaruh telunjuk di bibir ketika Shanina memanggilnya dengan suara keras, mengisyaratkan untuk diam.

Shanina menghela napas. Terpaksa ia mengantarnya seperti suruhan bibinya. Setelah memakai outher dari setelan piyamanya, ia menutup pintu dan mulai melangkah dari area mes pelayan menuju rumah utama. Menurutnya, ada yang aneh dari cerita bibinya, Theo mengamuk, tapi Kaysen dan ayahnya justru mengobrol sambil minum-minum santai?

Shanina hanya khawatir bertemu Theo selaku orang yang ia tahu jarang marah, tapi ternyata sekalinya marah menghancurkan barang-barang. Pria itu mungkin ada di kamarnya, kelelahan setelah mengamuk. Ia tidak pernah bertemu dengannya lagi semenjak di paviliun waktu itu karena dirinya selalu bekerja di bagian dapur atau area yang jarang di kunjungi pemilik rumah.

Ia membawa nampan kecil tersebut dengan satu tangan, dan mengangkat tangan yang lain untuk mengetuk pintu kamar Kaysen.

"Permisi, aku membawakan teh hangat!"

Shanina mengetuk pintu lagi hanya untuk di balas dengan keheningan.

"Tidak beres," gumamnya.

Ia menoleh ke kanan dan kiri, memerhatikan tidak ada siapa-siapa di sekitarnya.

Sepi.

"Kaysen, aku membawakan teh hangat madu untukmu!"

Tiba-tiba suara pintu terbuka terdengar dari ujung koridor, bukan dari kamar Kaysen di depannya.

Shanina sontak menoleh.

"Kemari, bawakan tehnya."

"Kaysen?"

Shanina bingung, alih-alih beristirahat di kamarnya, Kaysen justru ada di kamar Theo di ujung sana tempat yang pantang Shanina lewati semenjak kepulangan Theo, ia selalu teringat tatapan Theo yang membuatnya merasakan iferioritas waktu itu.

Shanina berjalan menghampirinya.

"Ini, teh madu untukmu."

"Berikan saja pada kakakku."

"Tapi katanya_" Shanina menghentikan ucapannya. "Baiklah." Tidak ingin berlama-lama.

Ia menyodorkan nampan tersebut.

"Taruh sendiri di sana." Kaysen menunjuk ke dalam kamar Theo.

"Tapi_"

Suara dering ponsel Kaysen memotong ucapannya.

Shanina memutar bola mata saat Kaysen berpaling.

"Halo?"

"Jadi ke tempat biasa? Kenapa belum sampai?"

"Ah ya. I'm on my way. Tunggu sebentar lagi."

Kaysen kembali memandang Shanina, anehnya lelaki itu segera memalingkan wajah.

Pria itu meneguk salivanya susah payah.

"Kau berikan saja pada Theo, aku mau pergi." Kaysen hendak melangkah, tapi berhenti saat melihat leher putih gadis itu, dan terus memandangnya sampai ke bawah. "Kancing kan outer-mu sampai atas."

"Hah?" Shanina menatap pakaiannya bingung.

"Pastikan dia meminum ini untuk meredakan mabuknya atau dia akan tidur telentang dan mati karena saluran napasnya yang tertutup muntahannya sendiri!"

Kaysen tahu kakaknya. Theo sangat sulit sadar ketika mabuk, ia akan tidur telentang dan kehilangan napasnya sendiri karena tertutup muntahan yang tersedak di leher, itu pernah terjadi dulu, dan ialah yang segera memiringkan posisi tidur lelaki itu, akhirnya muntahan keluar dari mulut Theo, Theo pun selamat. Sekarang karena ia sedang terburu-buru ini malam terakhir masa remajanya, maka Shanina lah yang harus mengawasi Theo.

"Eh, apa? tunggu!"

Shanina sekali lagi menghela napas lelah. Ia akan menaruhnya di atas meja, lalu langsung pergi. Ia buru-buru melangkah ke dalam. Matanya melirik Theo yang duduk bersandar di sofa dengan kepala terkulai ke belakang.

Shanina terpakau memandangnya. Hidung pria itu tinggi dan proposional, rahangnya yang tegas sekaligus tajam nampak seksi ketika mendongak seperti itu sambil memejamkan mata dengan bibir yang sedikit terbuka. Shanina yakin ia akan sulit melihat mahakarya seperti itu lagi ke depannya, tidak ada yang bisa mengimbangi wajah rupawan Theo.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Tuan Theo, Tolong Lepaskan Aku   bab 13

    Theo tidak pulang, mungkin dia menginap lagi di kantornya. Shanina tidak keberatan. Masalahnya, mereka baru saja menikah, orang-orang mungkin membicarakannya di belakang, tapi sekali lagi, Shanina sebetulnya tidak begitu peduli. Ia hanya tidak memiliki banyak pekerjaan yang harus dilakukan semenjak menikah. Siang itu Shanina mendengar pembicaraan Helena, ibu mertuanya tersebut menyuruh seseorang untuk mengantarkan makan siang ke kantor Theo. Shanina tahu kenapa wanita itu tidak menyuruhnya. Namun, ia tetap menghampirinya dan menawarkan diri, bersikap tebal muka. Alhasil, di sinilah Shanina berada, berdiri di depan sebuah gedung menjulang yang ada dihadapannya. Dia belum pernah melihat kantor kebesaran Theo secara langsung, dan ternyata itu sungguh luar biasa, mungkin gedung tersebut memiliki empat puluh laintai lebih. Dengan menenteng tas bekal berisi makanan yang disiapkannya sendiri, Shanina mulai memasuki gedung tersebut. Shanina menaiki undakan di lobi, flat shoes tanpa mere

  • Tuan Theo, Tolong Lepaskan Aku   bab 12

    Ia mengangguk, menelan salivanya susah payah. Shanina sungguh paham bahwa meminjam uang di hari pertama pernikahan akan sangat tidak wajar untuk pasangan yang saling membenci seperti ini. Namun, pagi-pagi sekali bibinya sudah memberi perintah untuk mentransfer mereka uang. "Kalau begitu apa aku boleh pergi keluar hari ini?" "Akan lebih baik jika kau pergi dan tidak kembali lagi." Theo berbalik, matanya segera bertubrukan dengan manik hijau cerah milik Shanina yang berkaca-kaca, wajahnya tampak tenang, tapi matanya tidak bisa berbohong. Gadis itu menelan tangisannya. Theo justru semakin ingin menghancurkan pertahanan itu. "Jangan pernah meminta izin lagi dariku untuk hal apapun itu, jangan berbicara padaku atau menyentuh barang-barangku. Kau hanya istri dalam nama, jadi urus saja urusanmu sendiri." Melihat pandangan Shanina yang sesekali tak fokus, Theo mengernyit samar. Ia berbalik lagi, memakai pakaiannya. Sementara itu Shanina menatap lantai di bawahnya dengan sorot kosong

  • Tuan Theo, Tolong Lepaskan Aku   bab 11

    Baru saja Shanina melangkahkan kakinya masuk ke kamar Theo, aroma musk yang menenangkan menyeruak Indra penciumannya. Suara gemericik air yang datang dari kamar mandi menarik perhatian Shanina, samar-samar tercium bau sabun yang khas. Theo sedang mandi di sana, jika pria itu keluar, ia akan mati gaya. Shanina menyeret kopernya, melangkah menuju lemari besar yang terdapat di sisi ruangan, Ia meletakkan pakaiannya yang tidak seberapa disana, bersebelahan dengan pakaian Theo yang begitu banyak. Setelah merapikan semua barangnya, ia menyiapkan pakaian santai untuk Theo. Tidak tahu lagi apa yang harus dilakukan, ia duduk di kasur, memijat kaki kanannya yang sakit dan linu. Pikirannya seperti benang kusut, apakah Theo suka minum teh sebelum tidur atau makan camilan sebelum tidur. Perintah agar membuat Theo menyukainya sungguh membebaninya. Shanina amat pesimis, ia bahkan sudah sangat bersyukur apabila Theo mau sedikit saja melunakkan sikap padanya. Tangannya yang menyentuh permukaan k

  • Tuan Theo, Tolong Lepaskan Aku   bab 10

    Terlepas dari pilihannya atau bukan, dekorasi pesta yang dilihatnya adalah hal yang amat menakjubkan. Siapapun akan bahagia melihat pernikahannya diadakan semegah sekaligus se-elegan ini. Kilauan lampu kristal terpasang di setiap area langit-langit yang dihiasi berbagai dekorasi yang sesuai tema, yaitu tema kastil klasik penuh keanggunan yang anehnya mengingatkannya pada Theo. Saat pandangannya mengedar kesekeliling, mendadak ia menyadari bahwa seluruh atensi tertuju padanya, membuat tubuhnya lemas seperti agar-agar. Namun, itu belum seberapa di bandingkan saat matanya bertubrukan dengan mata biru berlian yang membekukan. Pria itu berdiri di altar dengan setelan tuksedo hitam yang bernilai jutaan dolar. Postur tubuhnya tegap, sempurna bagai bangsawan. Layaknya manifestari dari Zeus, pria itu tak terjangkau, ia kuat, terhormat, dan tak bisa di tandingi oleh siapa pun. Shanina bisa membayangkan seberapa sulitnya itu bagi Theo untuk bersanding dengannya, ibarat seorang pangeran yang

  • Tuan Theo, Tolong Lepaskan Aku   bab 9

    Shanina menatap pantulan wajahnya di cermin. Ia hampir tidak mengenali wajahnya sendiri. Walaupun ia selalu memakai bedak setiap pergi ke sekolah, tetap saja ia tidak pernah berdandan setebal ini. Meski tebal, anehnya riasan di wajahnya terlihat natural. Keluarga Carter jelas tidak akan menyewa MUA murahan untuk pernikahan putra sulung mereka sekalipun pernikahan itu tak di inginkan. Matanya yang sedikit bengkak juga tidak terlihat lagi berkat tangan-tangan berbakat dan produk berkelas yang dibubuhi di wajahnya. Ia tidak berniat menangis semalaman, tapi memikirkan akan menikahi pria seperti Theo membuat Shanina dilanda cemas setengah mati. Belum apa-apa ia sudah menerima kebencian Theo, gagang sapu saja dibanting sampai patah, bagaimana jika ia tidak sengaja membuat Theo marah lagi nanti? "Sekarang bisakah anda berdiri? Saatnya memakai gaun." "Ah, ya. Tentu." Shanina berdiri, membiarkan mereka memasang gaun yang rumit tersebut sama sekali bukan style yang disukainya. Dalam sek

  • Tuan Theo, Tolong Lepaskan Aku   bab 8

    Shanina kaku, padahal bibinya-lah yang semalam menguncinya bersama Theo. Jika ia membuka mulut, dirinya juga akan terkena imbas. Belum lagi, Amela mencubitnya keras secara diam-diam untuk tutup mulut. "Mungkin saja," Potong Amela hanya untuk melihat Theo dengan pandangan menuduh, lalu memalingkan tatapannya, "Tuan Theo secara tidak sadar mengunci dan menahan Nina sehingga Nina tidak bisa berbuat apa-apa." Theo mendengus pelan. Shanina menunduk takut melihat Helena yang memelototinya, tubuhnya semakin gemetar. Ia merasa seperti orang paling bersalah disaat dirinyalah yang merupakan korban. Kepalanya pusing, Ia mual. "Itu benar." Kalimat Kaysen mengambil alih atensi semua orang. Mereka semua menatap Kaysen dengan pandangan bertanya. Kaysen melanjutkan ucapannya, "Apa yang dikatakan Shanina benar, dia hanya mengantarkan teh untukku, aku menyuruhnya untuk memberikan teh itu pada Theo sekaligus menyuruhnya mengawasi Theo, kalian tahu kalau Theo sangat menyebalkan ketika mabuk."

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status