Share

Tujuh Perkara Sang Ibu Sambung
Tujuh Perkara Sang Ibu Sambung
Author: Lefkilavanta

1. Skandal di Los Angeles

"Aku janji aku akan bertanggung jawab setibanya kita di Jakarta," ucap Julian Liandra. Pria itu berusaha untuk menerapkan apa yang diajarkan oleh mendiang ayahnya bahwa apa pun yang dilakukan olehnya, dia harus berani untuk bertanggung jawab. Termasuk, tindakan meniduri karyawannya yang ternyata masih perawan ini.

"Aku serius," imbuhnya lagi. 

Pria itu mengusap wajahnya frustrasi sambil menatap jendela dengan tirai yang terbuka separuhnya. 

"Aku akan menemui orang tuamu," katanya lagi pada si gadis. Sayangnya, yang diajak berbicara hanya diam sembari meremas ujung selimut dan mencoba menariknya setinggi mungkin, berharap tubuhnya tenggelam di dalam sana.

"Jenar." Pria itu menyebut nama sang perempuan, berharap mendapat jawaban.

"Aku serius dengan kalimat bahwa aku meminta maaf atas apa yang terjadi. Aku tidak sengaja ... melakukan semua itu. Kamu tahu kalau aku berada di bawah pengaruh alkohol semalam. Aku .... Ah, itu tidak perlu dibicarakan."

"Aku juga," sahutnya. Dari balik selimut, Jenar akhirnya punya keberanian untuk membuka suaranya.

Jenar tidak pernah menyangka perjalanan bisnis ke Los Angeles justru membawanya terbangun di atas ranjang kamar hotel bersama Bosnya dalam keadaan begini.

"Huh?" Pemilik Lian DeFood yang tampan itu mengerutkan keningnya. Dia menoleh dan menatap gadis yang kembali menyembulkan kepalanya keluar dari selimut.

Pria itu menatapnya dalam diam. Baginya, Jenar itu sempurna! Wajahnya cantik, terlihat muda, dan segar. Tubuhnya bagus ditambah dengan kulit putih susu yang bersih karena tak ada noda dan luka di atas tubuh ramping itu. 

“Apa yang kamu maksudkan dengan kalimat ‘aku juga’, Jenar?” tanyanya mencoba untuk memahami. Seingatnya, mereka sama-sama mabuk kemarin. Setelah itu, keduanya tidak ingat apa pun. Namun, ada fakta mengejutkan di sini. Dari pandangan mata Jenar, Julian tahu bahwa perempuan itu mengingat semuanya.

"Bicaralah. Jangan diam saja," katanya memerintah. Masih dengan frustrasi yang sama.

Jenar menelan ludahnya. Setidaknya, dia harus diberi segelas air putih dulu, tenggorokannya terasa begitu kering dan serak. Selain alkohol, semalam dia tidak minuma apapun.

"Aku yang salah." Jenar akhirnya berbicara dengan suara yang parau.

"Seharusnya, aku tidak masuk ke dalam sini," katanya pada laki-laki yang ada di sisinya. Dia perlahan-lahan duduk, bersama dengan selimut yang ditarik lebih tinggi lagi untuk menutupi batas dadanya.

"Kenapa kamu yang salah?" Pria itu menyahut.

"Aku juga seharusnya bisa menahan diri," sambung Julian.

Dia melirik Jenar lagi. Dia bisa membaca ekspresi wajah Jenar. Jenar dipenuhi dengan penyesalan yang luar biasa besarnya.

Jenar diam dan menatap dirinya sendiri dari pantulan cermin yang ada di depannya. Kacau, tentu saja. Siapa pernah menyangka kalau dia akan bermalam dengan bosnya sendiri? Dalam perjalanan bisnis di negara orang? Luar biasa!

Pada awalnya, diajak pak bos datang ke luar negeri adalah hal yang luar biasa mengasyikkan. Akan tetapi, dia tidak tahu kalau 'liburan' itu harus dibayar dengan tubuhnya. 

"Aku akan bertanggung jawab, Jenar." Kalimat itu terdengar lagi. "Aku akan berbicara dengan orang tuamu."

"Ayahku sudah meninggal lima tahun lalu," sahut Jenar. Sekarang, kalimat itu cukup bisa untuk membuat pria yang ada di depannya diam. Terkejut.

"Ibuku merantau di Malaysia. Jadi TKW setelah ayah meninggal."

Pria itu menghela nafasnya. Jenar adalah karyawannya. Namun, dia tidak tahu apa pun tentang kehidupan Jenar termasuk latar belakang keluarganya.

Julian pun mengangguk berusaha mengerti situasi ini. "Ah, begitu."

"Aku hanya tinggal dengan teman lamaku di kontrakan," sahut Jenar lagi.

"Aku akan mencoba untuk menghubungi ibumu. Jika terjadi sesuatu denganmu, maka aku langsung bertanggung jawab."  Julian berbicara lagi. Sedari tadi hanya membahas pasal tanggung jawab.

Jenar diam sejenak. Menatap paras tampan pak bos yang terlihat awet muda, membuatnya bersyukur. Setidaknya, dia menggila dengan bosnya yang tampan secara fisik—dan sehat tentunya. Bukan dengan pak bos tua yang gendut dengan ribuan penyakit yang bersarang di dalam tubuhnya karena usia yang renta.

"Pak Julian." Jenar memanggilnya dengan lirih.

"Bapak tidak perlu bertanggung jawab," tukas Jenar. Dengan berat hati, dia harus mengatakan itu walaupun dia sudah merugi atas segala-galanya.

Wajah Jenar pucat pasi, Julian tidak tega jika menganggukkan kepalanya. Sepertinya, dia menahan sesuatu, sakit barang kali. Dia masih suci kemarin—sebelum Julian menjamahnya.

"Kenapa tidak harus?" tanya Julian. Nada bicaranya begitu lembut terlihat ingin memberi rasa aman pada Jenar. Sangat berbeda dengan image-nya di kantor yang terkenal sebagai bos galak dengan pembawaan yang dingin bagi orang luar yang tidak dekat dengannya

"Kamu begini ... di sini .... karena aku. Aku akan memikirkan cara untuk--"

"Bapak punya anak," Jenar menyahut setelah memotong kalimat Julian.

Jenar, ah tidak … semua orang tahu kalau Julian Liandra, si bos hebat perusahaan makanan terbesar di Jakarta dan Surabaya ini, memiliki tiga anak dan sudah bercerai dari mantan istrinya.  Apakah mereka akan menerima Jenar nantinya?

"Aku memikirkan anak-anak Pak Julian," imbuhnya. Melirih. Nada bicaranya semakin habis saja. Dia berusaha untuk tenang, meskipun itu sulit dilakukan. Di dalam hatinya, bergejolak banyak hal. Termasuk, fakta bahwa dia bukan gadis suci lagi.

"Lalu kamu tidak memikirkan diri kamu sendiri?" tanyanya pada Jenar. "Bagaimana dengan kamu?"

Jenar diam sejenak, memandang ke arah lain. Menyembunyikan kesedihannya yang tiba-tiba datang.

"Aku akan menutupinya. Tidak ada yang tahu kalau kita melakukan itu semalam, jadi aku akan menutupinya dari semua orang. Aku tidak bisa merusak kebahagiaan keluargamu, Pak Julian," putus Jenar pada akhirnya.

Julian memutar tubuhnya serong. "Kemarilah," titahnya. Menarik lengan Jenar.

Gadis itu terkejut kala disentuh olehnya. Padahal, semalam dia menikmatinya.

"Kemarilah, Jenar!" Pria itu menariknya lagi. Membuat Jenar dekat dengannya setelah duduk berjarak cukup jauh.

Julian memeluk Jenar. Aneh! Padahal, tidak seharusnya mereka merayakan kesalahan ini dengan berpelukan dalam keadaan telanjang dada.

"Aku akan bertanggung jawab jika terjadi sesuatu padamu. Jangan khawatirkan soal anak-anakku. Aku yang berbicara dengan mereka."

Jenar diam di dalam pelukannya. Gadis itu mendengarkan semua yang dikatakan oleh Julian. Rasanya mirip seperti obat bius yang menghilangkan sejenak kekhawatiran di dalam dirinya. Jujur saja, dia menyukai aroma tubuh pria ini. Namun—dengan segala kewarasannya yang telah kembali—dia tidak boleh menyukainya.

Bagaimana bisa Jenar menyukai Julian?

Selain duda kaya dan tampan beranak tiga, Julian adalah bosnya di kantor. Mereka juga baru saja mengenal. Ditambah lagi, sebenarnya Jenar adalah karyawan baru yang kebetulan diakui kehebatannya dengan ide-ide yang menarik, itulah sebabnya dia diboyong ke Los Angeles untuk menemui seorang klien.

"Pak Julian?" Jenar tiba-tiba saja mengingat sesuatu. "Aku ingin bilang sesuatu padamu."

Pria itu melepaskan pelukan. "Ada apa?"

"Kemarin, ada yang melihat kita masuk ke dalam kamar." Binar matanya seakan ikut berbicara, kekhawatirannya mulai kembali lagi. 

Julian diam sejenak. "Siapa?" tanyanya pada akhirnya. Mengusir rasa penasaran.

"Mr Nico, klien kita."

"Huh? Kamu yakin?"

Jenar mengangguk. "Hm .... Aku baru ingat."

“Itu biar jadi urusanku. Kamu tidak perlu khawatir.”

... Next ...

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status