Jakarta, Indonesia.
"Menikah dengan Pak Julian?" Dia tertawa meledek Jenar. "Jenar!" Dia menatapnya kemudian berjalan mendekat membawa dua mangkuk mie kuah dengan potongan cabai di atasnya.
"Hal yang paling lebih mengejutkan untukku bukan fakta bahwa kamu dan Pak Julian tidur dalam satu ranjang dan bermalam bersama dalam keadaan mabuk," ucapnya sembari tertawa. Dia duduk tepat di depan Jenar. "Fakta bahwa kamu berangan-angan untuk menikah dengannya dan menjadi bagian dari Lian DeFood adalah hal yang paling mengejutkan dan paling gila, Jenar."
Jenar manggut-manggut. "Kamu benar ... aku sudah gila rupanya," sahut Jenar. Nada bicaranya mengisyaratkan kalau dia putus asa. Tak pernah menyangka kalau dirinya akan terjebak dalam situasi seperti ini.
Jenar adalah pemimpi. Di dalam kepalanya hanya berisi tentang mimpi dan ambisi untuk menaklukan kota besar ini. Kalau ditanya pasal fisik, Jenar itu 'kembang desa' yang tinggal di tengah metropolitan. Kulitnya kuning langsat dengan tubuh jenjang yang kalau dibandingkan dengan wanita lainnya, dia cukup tinggi. Namun, kalau bersanding dengan beberapa pria termasuk Pak Julian, dia adalah si kurcaci imut yang cantik.
"Ngomong-ngomong." Gadis itu menatap Jenar untuk memastikan kalau temannya masih waras. "Kalau misalnya kamu benar-benar hamil gimana?" tanyanya. To the point.
Jenar memuntahkan lagi mie yang baru saja masuk ke dalam mulutnya sebab terkejut.
"Kenapa kaget begitu? Itu adalah kemungkinan yang wajar," sahutnya tertawa ringan. "Kamu saja tidak ingat seluruhnya, jadi kemungkinan itu pasti ada." Dia menegaskan. Menatap Jenar yang hanya mengaduk-aduk mienya.
"Aku hanya bermalam," katanya. Mengelak. Itu yang dia ingat.
"Kalian mabuk!" Dia menimpali. "Apapun bisa terjadi, Jenar."
"Aku harus membunuh bayinya?" sambung Jenar tiba-tiba. Kalimat itu tentu saja membuat temannya terkejut. Pasalnya Jenar adalah gadis yang baik, lugu, dan penuh kasih sayang.
"Mengaborsi." Dia menatap gadis yang ada di depannya. "Sepertinya itu keputusan yang paling tepat," imbuh Jenar seraya menganggukkan kepalanya.
Sarah—gadis yang duduk di depan Jenar—tersenyum tipis. Jenar terlihat kacau sejak kepulangannya dari Los Angeles Senin lalu. Dia sudah mengambil cuti cukup lama. Besok dia harus datang ke kantor, bertemu dengan banyak orang dan tentunya juga Pak Julian.
"Dia sudah punya keluarga," tukasnya lagi. Menggelengkan kepalanya. "Aku gak bisa menghancurkan itu. Sepertinya anak-anaknya juga tidak ingin ibu baru."
"Tau dari mana?" tanya Sarah menyahut. Terkekeh. Mengaduk mienya lalu memutar dengan ujung garpu. "Kamu bahkan belum pernah bertemu mereka. Belum pernah berbicara, apalagi bertatap muka."
"Lantas?" tanya Jenar. Dia menatap gusar. "Kesempatan jadi ibu sambung hanya ada di drama-drama saja."
"Jenar!" Sarah menyela. Dia mencoba untuk menyakinkan Jenar. "Jika hamil, maka bayi itu tidak bersalah. Kamu harus minta pertanggungjawaban dari Pak Julian."
"Aku tidak akan melahirkan bayinya kalau aku hamil. Lagian aku tidak mungkin hamil." Jenar kembali menukas. "Kalau memang aku hamil, aku yang salah dan anakku nanti tidak boleh menanggung kesalahanku. Akan lebih baik jika dia tidak dilahirkan," timpal Jenar lagi. Memberi 'tembakan' di bagian akhir kalimat.
"Aku akan periksa kalau waktu luang." Dia menyerah pada dirinya sendiri. "Aku yakin kalau aku tidak hamil," ucap Jenar bernada sedih.
"Dasar wanita jahat," ujarnya. Dia menatap Jenar penuh kekesalan. "Kamu mau dicap sebagai pembunuh?"
Jenar mengerutkan keningnya. Tiba-tiba saja ada perasaan yang bergejolak hebat di dalam dirinya sekarang ini. "Diam saja! Kamu gak tahu apapun. Jangan bikin kesal."
"Kalau begitu periksa sana! Ajukan dana pertanggungjawaban pada Julian!" Sarah benar-benar kesal dengan temannya itu. "Jangan melampiaskan semuanya pada bayimu nanti!"
~*~
Sementara itu, setibanya di Jakarta, Julian sedang pusing menghadapi putrinya, Jasmine.
"Aku, bikin kesal papa?" Jasmine tertawa ringan lalu cekikikan.
"Aku hanya minta uang buat pergi jalan-jalan sama teman, salahnya di mana?" Gadis muda itu menaikkan kedua sisi bahunya. "Kalau tidak minta papa, aku harus minta siapa?"
"Jasmine!" Julian sedikit membentak. Meletakkan koran yang ada di dalam genggamannya.
Ditatapnya Jasmine. Julian mulai melipat tangan di atas perutnya. "Papa bukannya gak mau memberi kamu uang. Jika uangnya untuk hal yang benar, papa akan memberikan berapa pun itu," ucapnya.
"Papa harap kamu bisa mengerti dengan apa yang papa maksud." Kalimat itu diutarakan menggunakan nada bicaranya semakin halus. "Jangan keras kepala seperti mamamu." Julian memohon dengan pandangan matanya.
"Jasmine bilang hanya untuk jalan-jalan. Ada film baru yang baru saja rilis!" Dia merengek.
"Teman-teman semuanya sudah menontonnya. Hanya aku yang belum menonton itu!" Jasmine mengerutkan keningnya. Mencoba untuk membujuk papanya. "Jasmine ini anaknya orang kaya! Papa punya perusahaan besar dan beberapa anak cabang. Hanya memberi uang 300 ribu itu susah?" tanyanya lalu menghela nafas. "Papa benar-benar pelit!"
"Sudah papa bilang ... tidak. Itu tidak susah sama sekali. Bahkan kamu minta uang lebih dari itupun papa akan kasih." Dia tersenyum miring. "Akan tetapi, papa tidak mau," imbuhnya. Berjalan mendekati putrinya.
Wajah Jasmine jelas-jelas memendam kekesalan. Ditolak mentah-mentah padahal dia sudah bersiap-siap untuk pergi hari ini.
"Kenapa?" tanya Jasmine. Memandang wajah Julian.
Hanya Julian yang dia punya setelah ibu kandungnya pergi menghilang ke luar negeri. Julian tidak pernah mau menjawab atau membahas pasal mantan istrinya jika ketiga anaknya bertanya. Seiring berjalannya waktu, usia yang bertambah dewasa membuat anak-anaknya tidak pernah bertanya tentang ibu kandung mereka. Hingga pada akhirnya, sosok ibu dilupakan di rumah ini.
"Karena papa tahu ... kamu akan pergi ke mana." Julian meraih pundak Jasmine dan menatapnya. "Lebih baik pergi les sebab kamu akan lulus tahun depan. Kakak kamu sudah tidak benar, jangan kamu juga begitu." Setelah menyelesaikan kalimatnya Julian melangkah pergi.
"Aku bilang hanya mau nonton bioskop dan nongkrong di kafe! Itu wajar untuk anak muda." Jasmine menghentikan langkah kaki Julian.
"Dan pergi clubbing?" Julian menyahut. Kembali memutar tubuhnya. Menatap Jasmine.
"Papa tahu itu, Jasmine." Dia mencoba untuk memahami emosi Jasmine. "Papa akan memaafkan dan melupakan sekali saja. Namun, tidak untuk kedua kali dan seterusnya."
Jasmine menghela nafas. Membuang pandangan matanya. Tidak bisa memberi jawaban apapun. Dia sudah tertangkap basah sekarang.
"Jadi pakai uang sisanya untuk pergi jalan-jalan. Kalau hanya benar-benar nongkrong di kafe, uang 50.000 saja cukup untuk itu." Julian tersenyum manis pada putrinya. "Papa mau istirahat. Cari papa di kamar jika kamu membutuhkan bantuan papa," pungkasnya. Julian mengakhiri perdebatannya dengan Jasmine.
"Papa!" Jasmine merengek lagi. "Aku mohon! Teman-teman sudah menunggu di luar!"
"Tidak," katanya tanpa mau menoleh.
"Papa! Bagaimana dengan seratus ribu saja?"
Sayangnya Julian tidak memperdulikan itu.
Julian pergi meninggalkan putrinya yang berdecak kesal dan mengumpat habis-habisan. Semuanya gagal padahal bersusah payah untuk menutupi pakaian seksinya sore ini. Itu semua demi mengelabuhi sang ayah.
"Siapa yang mengadukannya?" gumam Jasmine. Berbicara seorang diri. "Awas saja!" Dia menggerutu. Siapapun itu ... Jasmine pasti akan memakinya habis-habisan jika bertemu.
... Next ...
"Jenar!" Seseorang memanggilnya saat dirinya baru saja masuk ke bangunan Lian DeFood yang cukup ramai oleh para pekerja. Hal itu membuat Jenar menoleh pada sumber suara. "Ah ... dia lagi!" Jenar bergumam pada dirinya sendiri. "Akhirnya kamu masuk juga!" Dia menepuk pundak Jenar. Baginya, mereka adalah rekan kerja yang akrab, tetapi tidak untuk Jenar. Jenar tidak suka bergaul dengan orang yang suka nyablak kalau berbicara seperti Wulan. Wulan berjalan mengekori Jenar kemudian. Dia adalah biangnya gosip di tengah anak-anak magang dan karyawan baru. Jenar selalu saja terseret arus yang dia gosipkan. "Memangnya kenapa kalau aku nggak masuk?" Jenar melanjutkan langkah kakinya. "Pak Julian bilang kalau kamu demam karena udara dingin di Los Angeles. Katanya juga kamu flu berat dan alergi. Jadi mengambil cuti sampai hari Kamis kemarin." Dia mendesah panjang. Menatap Jenar yang diam. Jenar adalah tipe pendiam, jauh berbeda darinya. Wulan adalah tipikal yang akan mengatakan apapun yang a
Jenar masih memikirkan ucapan Wulan dan merasa ingin menjauh dari bosnya itu. Namun, di sinilah dia-- berada di ruangan yang sama dengan Julian karena ide proposal yang dia ajukan. "Ada ide tambahan untuk proposal kamu?" tanya Julian, "Idenya perlu disempurnakan." Jenar tidak memberi jawaban. Dia memilih menundukkan pandangan untuk menghindari kontak mata dengan Julian. Julian mengerti kesalahan di Los Angeles membuat Jenar begitu canggung padanya. Gadis itu sudah menghindari dirinya selama satu minggu. Dia mengabaikan panggilan suara dan pesan dari Julian. Ditambah lagi, keberadaan mantan istrinya--Luce Wileen di sudut ruangan. "Kalau tidak ada, aku kembalikan proposalmu." Julian mendorong tumpukan kertas ke arah Jenar. "Temui aku lagi jika sudah menyempurnakan isi proposalmu." Dia menambahkan lagi. "Di dalam sana aku sudah memberikan beberapa catatan penting untuk membantu," pungkasnya.Jenar mengangguk sekali. "Baik, Pak." Suaranya sangat lirih. "Terima kasih." "Kirimkan pro
Di sela langkah kakinya saat perjalanan pulang, entah mengapa Jenar masih memikirkan tentang hubungan Luce dan Julian. Tanpa sadar, gadis itu bergumam, "Kenapa dia menceraikan Nyonya Luce?" Jenar masih memiliki pendapat yang sama: Luce adalah wanita sempurna! Dia tidak mengerti mengapa Julian menceraikan Luce."Dia cantik. Berwibawa, pintar dan kaya raya. Dia adalah wanita karier yang mapan. Dia pasti jadi istri yang sempurna dan ibu yang pantas untuk ketiga anak-anaknya. Lalu kenapa dia malah menceraikannya?" Jenar mencoba untuk mendalami peran Julian sebagai seorang suami dan ayah. "Mungkinkan karena Pak Julian punya wanita simpanan?" Jenar tak sengaja menunjuk dirinya sendiri. "Seperti diriku sekarang?" Gadis itu menggelengkan kepalanya. "Apa yang aku pikirkan!" Faktanya, hubungan singkat satu malam tidak cukup untuk bisa mengenal Julian. Byur! Tiba-tiba saja genangan air yang ada di sisi trotoar—sisa hujan kemarin malam— menyembur mengenai baju dan wajahnya. "Sialan!" umpa
"Ya ampun, Mbak Jenar!" Seseorang berteriak menyambut Jenar kembali. Dia bahkan melemparkan sekop yang ada di tangannya, melepas sarung tangan, dan meninggalkan aktivitas berkebunnya sore ini."Mbak ini kenapa?" Dia melihat Jenar dari atas ke bawah. Penampilan Jenar kotor dan basah penuh bercak lumpur. Padahal pagi tadi dia berpamitan hanya untuk pergi bekerja."Ada pemuda rese," katanya. Menyahut seadanya. Berjalan masuk ke dalam rumah. Di sinilah Jenar tinggal selama di Jakarta.Tentang kedua orang tuanyar. Ayah Jenar meninggal karena sebuah penyakit lima tahun lalu. Ibunya merantau ke luar negeri untuk menghasilkan uang lebih. Dia tinggal bersama teman lamanya yang kadang-kadang datang. Di samping kanan, seorang remaja yang baru saja masuk bangku perkuliahan tinggal bersama ayahnya seorang kuli bangunan serabutan yang kadang pulang kadang tidak."Terus gimana?" tanyanya pada Jenar. Mengikuti langkah Jenar masuk ke dalam rumah setelah membuka pintu yang terkunci.Jenar menghela nafa
"Siapa dia?" Alif berbisik-bisik sembari mengintip ke dalam. "Teman atau pacar Mbak Jenar?" Pertanyaannya sedikit memaksa. "Bosnya Mbak Jenar?" Dia menggelengkan kepalanya. "Tidak mungkin kalau bos dari perusahaan besar datang berkunjung tanpa alasan begini." Pandangan Alif tertuju pada Jenar. "Ada masalah di kantor, Mbak?" "Udah, pulang aja." Jenar kokoh untuk mengusir Alif. "Urusi kebun kamu itu dulu, nanti malam aku jelaskan." Dia mendorong tubuh Alif menjauh dari rumahnya. "Sekarang aku harus menemui tamuku." Dia menoleh ke belakang. "Kamu lihat sendiri, dia orang berada. Aku gak mau kalau terkesan mengabaikan dan tidak menghormati kedatangannya." Alif menyerah. "Oke!" Dia meraih kedua tangan Jenar. "Janji jelaskan, oke?" Jenar menghela nafas. "Hm, sekarang pulang dulu. Jangan merepotkan diriku." Jenar menggerutu. Kembali mendorong tubuh pemuda itu agar menjauh darinya. Alif pasrah dan pergi. Rasa penasaran disimpan dalam hatinya. Sesuai janji Jenar, dia akan datang malam na
"Pokoknya aku gak bisa menikah sama dia!" Jenar berbicara tanpa celah dan jeda. "Apapun alasannya aku nggak bisa menikah sama dia!" Sekarang Jenar memutar tubuhnya, menatap Sarah.Sarah sedang salah fokus sekarang. "Wah! Lihatlah barang-barang mewah ini," gumamnya melirik Jenar. "Ini luar biasa, Jenar! Mana bisa kamu membeli semua ini dengan sisa uang gaji yang tidak seberapa!" Dia meremehkan Jenar. Tertawa kecil lalu. Semuanya berasal dari satu pria yang sama. Julian."Sarah aku serius!" Jenar merengek layaknya bayi. "Apa pentingnya semua itu?" Dia berjalan mendekati Sarah. "Yang paling penting adalah perasaan aku!" Jenar menepuk-nepuk dadanya."Kamu nggak mau nikah sama dia, kenapa?" Sarah mengerutkan keningnya."Tentu saja banyak pertimbangan untuk menikah dengan seorang duda yang punya tiga anak dari pernikahan sebelumnya. Ditambah lagi itu adalah bosmu sendiri," imbuh Sarah. "Namun, pertimbangkan juga kekayaannya." "Haruskah aku menjelaskannya padahal kamu selalu dapat cerita te
Malam ini Jenar memutuskan untuk datang ke kediaman mewah Julian Liandra. Dia ingin mengembalikan semuanya agar tidak ada kesalahpahaman di antara mereka. "Jadi kenapa kamu membawa semuanya datang ke sini?" Julian menatap semua hadiah yang awalnya dia tinggalkan di rumah Jenar. "Aku sudah bilang kalau itu semua untuk kamu," katanya. Mendorong salah satu hadiah pada Jenar. Jenar menggelengkan kepalanya. "Aku tidak bisa menerima itu semua." "Aku tidak tahu alasan mengapa aku harus menerima semua ini, Pak?" Dia tersenyum dengan rasa canggung di dalam hatinya. "Jika ini semua hanya untuk mengapresiasi ide dari proposal yang aku berikan, aku rasa cukup satu hadiah saja. Tidak perlu ...." "Sudah kukatakan juga kalau aku melamar kamu," sambung Julian. Dia mengatakan itu dengan keseriusan. "Kamu bilang kamu butuh waktu untuk memikirkan semua ini. Jadi seharusnya kamu tidak perlu datang hari ini," cetus Julian sembari memandangi wajah Jenar. "Aku akan menunggu." Jenar menarik nafasnya.
"Kamu mendekati papaku hanya karena uang?" Julio sarkas. Pertemuan buruk dengan Jenar lah yang membuat dia begini sekarang. "Kalau memang kamu berhubungan dengan ayahku karena uang, aku akan memberikan apa yang kamu minta. Berapa pun!" Dia menatap dengan kemarahan. "Berapa yang kamu inginkan?" Julio memberi penekanan. "Sepuluh juta? Seratus juta?" Pemuda itu mulai menghitung ngawur. "Atau satu miliar?" Jenar diam dan menatap Julio. "Katakan berapa yang kamu mau?" Dia sedikit meninggikan nada bicaranya. Pada awalnya, Julio berkata pada ayahnya bahwa dia yang akan menghantarkan Jenar ke depan pintu gerbang sebagai bentuk permintaan maaf Julio atas ketidaksopanannya. Namun, ternyata inilah tujuan yang sebenarnya. "Jenar!" Dia membentaknya. "Jangan membisu! itu membuatku semakin marah saja." Dia menghela nafas kasar. Membuang pandangan mata. "Memangnya kamu bisa memberikan aku berapa?" Jenar malah menantangnya. "Kamu mau beri pakai uang dari mana?" Dia menyeringai. "Kamu saja b