Share

2. Pasca Skandal

Author: Lefkilavanta
last update Last Updated: 2022-08-11 14:58:57

Jakarta, Indonesia.

"Menikah dengan Pak Julian?" Dia tertawa meledek Jenar. "Jenar!" Dia menatapnya kemudian berjalan mendekat membawa dua mangkuk mie kuah dengan potongan cabai di atasnya. 

"Hal yang paling lebih mengejutkan untukku bukan fakta bahwa kamu dan Pak Julian tidur dalam satu ranjang dan bermalam bersama dalam keadaan mabuk," ucapnya sembari tertawa. Dia duduk tepat di depan Jenar. "Fakta bahwa kamu berangan-angan untuk menikah dengannya dan menjadi bagian dari Lian DeFood adalah hal yang paling mengejutkan dan paling gila, Jenar."

Jenar manggut-manggut. "Kamu benar ... aku sudah gila rupanya," sahut Jenar. Nada bicaranya mengisyaratkan kalau dia putus asa. Tak pernah menyangka kalau dirinya akan terjebak dalam situasi seperti ini.

Jenar adalah pemimpi. Di dalam kepalanya hanya berisi tentang mimpi dan ambisi untuk menaklukan kota besar ini. Kalau ditanya pasal fisik, Jenar itu 'kembang desa' yang tinggal di tengah metropolitan. Kulitnya kuning langsat dengan tubuh jenjang yang kalau dibandingkan dengan wanita lainnya, dia cukup tinggi. Namun, kalau bersanding dengan beberapa pria termasuk Pak Julian, dia adalah si kurcaci imut yang cantik.

"Ngomong-ngomong."  Gadis itu menatap Jenar untuk memastikan kalau temannya masih waras. "Kalau misalnya kamu benar-benar hamil gimana?" tanyanya. To the point.

Jenar memuntahkan lagi mie yang baru saja masuk ke dalam mulutnya sebab terkejut.

"Kenapa kaget begitu? Itu adalah kemungkinan yang wajar," sahutnya tertawa ringan. "Kamu saja tidak ingat seluruhnya, jadi kemungkinan itu pasti ada." Dia menegaskan. Menatap Jenar yang hanya mengaduk-aduk mienya.

"Aku hanya bermalam," katanya. Mengelak. Itu yang dia ingat.

"Kalian mabuk!" Dia menimpali. "Apapun bisa terjadi, Jenar."

"Aku harus membunuh bayinya?" sambung Jenar tiba-tiba. Kalimat itu tentu saja membuat temannya terkejut. Pasalnya Jenar adalah gadis yang baik, lugu, dan penuh kasih sayang.

"Mengaborsi." Dia menatap gadis yang ada di depannya. "Sepertinya itu keputusan yang paling tepat," imbuh Jenar seraya menganggukkan kepalanya.

Sarah—gadis yang duduk di depan Jenar—tersenyum tipis. Jenar terlihat kacau sejak kepulangannya dari Los Angeles Senin lalu. Dia sudah mengambil cuti cukup lama. Besok dia harus datang ke kantor, bertemu dengan banyak orang dan tentunya juga Pak Julian.

"Dia sudah punya keluarga," tukasnya lagi. Menggelengkan kepalanya. "Aku gak bisa menghancurkan itu. Sepertinya anak-anaknya juga tidak ingin ibu baru."

"Tau dari mana?" tanya Sarah menyahut. Terkekeh. Mengaduk mienya lalu memutar dengan ujung garpu. "Kamu bahkan belum pernah bertemu mereka. Belum pernah berbicara, apalagi bertatap muka."

"Lantas?" tanya Jenar. Dia menatap gusar. "Kesempatan jadi ibu sambung hanya ada di drama-drama saja."

"Jenar!" Sarah menyela. Dia mencoba untuk menyakinkan Jenar. "Jika hamil, maka bayi itu tidak bersalah. Kamu harus minta pertanggungjawaban dari Pak Julian."

"Aku tidak akan melahirkan bayinya kalau aku hamil. Lagian aku tidak mungkin hamil." Jenar kembali menukas. "Kalau memang aku hamil, aku yang salah dan anakku nanti tidak boleh menanggung kesalahanku. Akan lebih baik jika dia tidak dilahirkan," timpal Jenar lagi. Memberi 'tembakan' di bagian akhir kalimat.

"Aku akan periksa kalau waktu luang." Dia menyerah pada dirinya sendiri. "Aku yakin kalau aku tidak hamil," ucap Jenar bernada sedih.

"Dasar wanita jahat," ujarnya. Dia menatap Jenar penuh kekesalan. "Kamu mau dicap sebagai pembunuh?"

Jenar mengerutkan keningnya. Tiba-tiba saja ada perasaan yang bergejolak hebat di dalam dirinya sekarang ini.  "Diam saja! Kamu gak tahu apapun. Jangan bikin kesal."

"Kalau begitu periksa sana! Ajukan dana pertanggungjawaban pada Julian!" Sarah benar-benar kesal dengan temannya itu. "Jangan melampiaskan semuanya pada bayimu nanti!"

~*~

 Sementara itu, setibanya di Jakarta, Julian sedang pusing menghadapi putrinya, Jasmine.

"Aku, bikin kesal papa?" Jasmine tertawa ringan lalu cekikikan.

"Aku hanya minta uang buat pergi jalan-jalan sama teman, salahnya di mana?" Gadis muda itu menaikkan kedua sisi bahunya. "Kalau tidak minta papa, aku harus minta siapa?"

"Jasmine!" Julian sedikit membentak. Meletakkan koran yang ada di dalam genggamannya.

Ditatapnya Jasmine. Julian mulai melipat tangan di atas perutnya. "Papa bukannya gak mau memberi kamu uang. Jika uangnya untuk hal yang benar, papa akan memberikan berapa pun itu," ucapnya.

"Papa harap kamu bisa mengerti dengan apa yang papa maksud." Kalimat itu diutarakan menggunakan nada bicaranya semakin halus. "Jangan keras kepala seperti mamamu." Julian memohon dengan pandangan matanya.

"Jasmine bilang hanya untuk jalan-jalan. Ada film baru yang baru saja rilis!" Dia merengek.

"Teman-teman semuanya sudah menontonnya. Hanya aku yang belum menonton itu!" Jasmine mengerutkan keningnya. Mencoba untuk membujuk papanya. "Jasmine ini anaknya orang kaya! Papa punya perusahaan besar dan beberapa anak cabang. Hanya memberi uang 300 ribu itu susah?" tanyanya lalu menghela nafas. "Papa benar-benar pelit!"

"Sudah papa bilang ... tidak. Itu tidak susah sama sekali. Bahkan kamu minta uang lebih dari itupun papa akan kasih." Dia tersenyum miring. "Akan tetapi, papa tidak mau," imbuhnya. Berjalan mendekati putrinya.

Wajah Jasmine jelas-jelas memendam kekesalan. Ditolak mentah-mentah padahal dia sudah bersiap-siap untuk pergi hari ini.

"Kenapa?" tanya Jasmine. Memandang wajah Julian.

Hanya Julian yang dia punya setelah ibu kandungnya pergi menghilang ke luar negeri. Julian tidak pernah mau menjawab atau membahas pasal mantan istrinya jika ketiga anaknya bertanya. Seiring berjalannya waktu, usia yang bertambah dewasa membuat anak-anaknya tidak pernah bertanya tentang ibu kandung mereka. Hingga pada akhirnya, sosok ibu dilupakan di rumah ini.

"Karena papa tahu ... kamu akan pergi ke mana." Julian meraih pundak Jasmine dan menatapnya. "Lebih baik pergi les sebab kamu akan lulus tahun depan. Kakak kamu sudah tidak benar, jangan kamu juga begitu." Setelah menyelesaikan kalimatnya Julian melangkah pergi.

"Aku bilang hanya mau nonton bioskop dan nongkrong di kafe! Itu wajar untuk anak muda." Jasmine menghentikan langkah kaki Julian.

"Dan pergi clubbing?" Julian menyahut. Kembali memutar tubuhnya. Menatap Jasmine.

"Papa tahu itu, Jasmine." Dia mencoba untuk memahami emosi Jasmine. "Papa akan memaafkan dan melupakan sekali saja. Namun, tidak untuk kedua kali dan seterusnya."

Jasmine menghela nafas. Membuang pandangan matanya. Tidak bisa memberi jawaban apapun. Dia sudah tertangkap basah sekarang.

"Jadi pakai uang sisanya untuk pergi jalan-jalan. Kalau hanya benar-benar nongkrong di kafe, uang 50.000 saja cukup untuk itu." Julian tersenyum manis pada putrinya. "Papa mau istirahat. Cari papa di kamar jika kamu membutuhkan bantuan papa," pungkasnya. Julian mengakhiri perdebatannya dengan Jasmine.

"Papa!" Jasmine merengek lagi. "Aku mohon! Teman-teman sudah menunggu di luar!"

"Tidak," katanya tanpa mau menoleh.

"Papa! Bagaimana dengan seratus ribu saja?"

Sayangnya Julian tidak memperdulikan itu.

Julian pergi meninggalkan putrinya yang berdecak kesal dan mengumpat habis-habisan. Semuanya gagal padahal bersusah payah untuk menutupi pakaian seksinya sore ini. Itu semua demi mengelabuhi sang ayah.

"Siapa yang mengadukannya?" gumam Jasmine. Berbicara seorang diri. "Awas saja!" Dia menggerutu. Siapapun itu ... Jasmine pasti akan memakinya habis-habisan jika bertemu.

... Next ...

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (2)
goodnovel comment avatar
littletitleally
Sejauh ini masih menikmati
goodnovel comment avatar
Gadis Cantik
lanjuttttt
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Tujuh Perkara Sang Ibu Sambung   154. Ending : Keputusan Akhir

    Dua cangkir teh menemani diamnya mereka. Jenar tiba-tiba ingin berbicara serius, padahal kedatangan Julio hanya ingin melihat putranya. "Aku membelikan mainan baru," kata Julio mencoba untuk menghilangkan rasa canggung itu. "Aku tahu kalau putra kita belum bisa bermain, aku hanya ingin membelikannya saja."Julio seakan takut penolakan dari Jenar. "Aku juga merindukan putraku. Aku kebetulan lewat sini, jadi aku langsung mampir," ucapnya lagi. Jenar tersenyum. "Kamu baru datang kemarin. Bagaimana bisa merindukannya secepat itu? Kamu baru pulang dari rumah ini kemarin malam, belum ada satu hari."Julio manggut-manggut. "Rasanya sudah lama sekali tidak melihatnya," celetuknya."Julio, aku ingin ....""Aku tahu kalau aku berlebihan." Julio tiba-tiba memotong kalimat Jenar. "Aku tahu kalau tidak seharusnya aku datang setiap hari dan memberikan itu semua."Julio menghela napas. "Namun, seberapa kuat kamu menolak, itu tetap putraku.""Aku tetap punya hak untuk datang dan melihatnya. Member

  • Tujuh Perkara Sang Ibu Sambung   153. Bimbang

    Luce's N Property, Jakarta.Jenar duduk sembari memandang keadaan sekitarnya. Suasana begitu asing ketika dia memutuskan untuk masuk ke dalam tempat ini. "Jadi, kamu datang untuk apa?" Luce menyambutnya dengan sedikit aneh, tatapan mata tidak suka melihat Jenar datang tiba-tiba. "Kebetulan aku sibuk hari ini."Jenar tersenyum seadanya. Kepalanya manggut-manggut ringan. "Maaf, karena aku mengganggumu hari ini, Nyonya Luce.""Jadi?" Luce mendesak Jenar untuk segera berbicara. Jujur saja, dia juga penasaran.Jenar menundukkan pandangan mata. Keraguan menyerbu dirinya. Sekarang, Jenar menyesali keputusannya datang kemari tanpa keyakinan dalam hatinya. "Kenapa malah diam?" Luce memecah keheningan. "Sudah aku bilang kalau aku sibuk hari ini. Jika kamu memang tidak ....""Ini tentang Julio." Jenar memberanikan diri untuk menatap Luce. "Sudah sejak beberapa hari yang lalu ketika dia memutuskan untuk pulang ke Indonesia."Luce mengangguk sekali. "Lantas?""Aku yang menyuruhnya untuk pulang k

  • Tujuh Perkara Sang Ibu Sambung   152. Pertimbangkan!

    Jenar dikejutkan dengan kedatangan Jasmine pagi ini. Gadis itu membawa setumpuk buku yang tebal dan terlihat begitu berat. Jasmine meletakkannya di atas meja, lalu tersenyum pada Jenar."Kamu bisa membaca ini." Jasmine duduk di tengah sofa. Memberi perintah Jenar untuk duduk bersamanya.Jenar hendak pergi, sebenarnya. Sayang sekali, gadis ini membuatnya tertahan. Dia harus menunda kepergiannya, mungkin untuk beberapa menit hingga jam ke depan."Ayo duduk." Jasmine memberi perintah lagi sembari mengetuk meja di depannya. "Aku yakin ini akan menjawab keraguanmu."Jenar memandangnya tak mengerti. Namun, dia tidak punya pilihan lain untuk menurutinya. Jenar terpaksa duduk dan meladeni Jasmine hari ini. "Apa yang kamu maksudkan?" Jenar membuka salah satu buku di depannya. Alangkah terkejutnya Jenar, ketika dia melihat biodata Julio yang membuka halaman pertama. Jenar memandang Jasmine lagi. "Apa-apaan ini?" tanyanya. "Kenapa kamu memberi buku seperti ini padaku?""Bukan hanya satu, di ba

  • Tujuh Perkara Sang Ibu Sambung   151 Lamaran

    Jenar ingin sekali mengusirnya, tetapi dia tidak tega melakukan itu. Bukan soal Julio, tetapi bagaimana perasaan putranya? "Dia tampan sekali," gumam Julio sembari mengusap lembut pipi putranya dengan ujung jarinya. "Dia mirip denganmu."Jenar hanya berdiri di ambang pintu. Kepalanya sesekali menunduk, padahal dia tidak salah apapun. "Sudah memberi nama?" tanyanya. Julio menoleh ke arah Jenar. Jenar menggelengkan kepalanya. "Aku tidak tahu nama yang bagus untuk dia."Julio terkekeh. "Lalu selama ini kamu memanggilnya bagaimana?"Jenar lagi-lagi menggelengkan kepalanya. Sekarang dia tidak berucap sepatah kata pun. Julio menatap putranya lagi. "Bolehkah aku yang memberi nama? Aku sudah memikirkannya sejak turun dari pesawat.""Perjalanan kemari aku menyusun nama panjang untuknya," kata Julio lagi. Keduanya saling memandang.Jenar manggut-manggut. "Itu adalah putramu juga.""Bayu Kalandra Joe." Julian menoleh pada Jenar lagi. "Kita bisa memanggilnya Bayu."Jenar langsung mengembangkan

  • Tujuh Perkara Sang Ibu Sambung   150. Dia Kembali!

    Hari demi hari berlalu begitu saja. Jenar hanya berharap keadaan jauh lebih baik. Dia hanya ingin membesarkan putranya tanpa harus memberi penderitaan pada bayi kecil tak bersalah itu. "Jenar!" Jasmine memanggilnya. Jenar yang hendak masuk ke dalam rumah, harus kembali terhenti. Dia menyambut kedatangan Jasmine dengan senyuman."Baru pulang sekolah?" Jenar menatap penampilan gadis itu. Seragam sekolah masih rapi membungkus tubuhnya. Jasmine menganggukkan kepala. "Begitulah." Sekarang dia lebih lunak pada Jenar. Toh juga tidak ada yang perlu ditutupi, dia mulai mengakui segalanya. "Aku tadi lewat toko kue, aku beli satu buat kamu." Jasmine menyodorkan kue dalam kantung plastik hitam. "Kamu suka keju kan?"Jenar mengembangkan senyum di atas bibirnya. "Makasih banyak.""Kalau kamu belum makan siang, kamu bisa makan di sini dulu." Jenar menawarkan. "Aku buat ayam tepung."Jasmine menganggukkan kepala. "Bolehkah?" "Tentu saja. Kamu boleh menghabiskan semuanya." Jenar tertawa kecil semb

  • Tujuh Perkara Sang Ibu Sambung   149. Negosiasi Tanpa Akhir

    "Aku tidak bisa menemui Julio." Jenar menundukkan pandangan mata. Rasa bersalah masih menguasai dirinya acap kali melihat Julian. Julian tersenyum dan menyeruput teh yang dibuatkan Jenar untuknya. Kepalanya mengangguk, bukan berarti dia menyetujui kalimat Jenar. Julian hanya berusaha memahami perasaannya. "Lebih tepatnya kamu tidak mau, kan?" tanya Julian. "Benar kata Jasmine, ternyata kamu berusaha kabur dari kesalahanmu."Jenar tidak menyangka akan mendengar kalimat seperti itu dari mulut Julian. Julian meletakkan cangkir teh di atas meja. "Katanya kamu mau pergi keluar Jakarta. Kamu tidak akan kembali dan kamu meminta Jasmine untuk membantu kepergianmu secara diam-diam."Jenar tidak bisa menjawab. Dia mengaku salah."Apa yang kamu inginkan dari keputusan itu?" tanya Julian. "Kamu menginginkan ketenangan?"Jenar menggelengkan kepalanya tak yakin. "Jangan-jangan kamu berpikir, kalau kamu akan terbebas dari dosa jika pergi dari Jakarta," kekeh Julian pelan. "Aku pikir kamu tidak s

  • Tujuh Perkara Sang Ibu Sambung   148. Masih Peduli

    Beberapa hari kemudian. Jenar meletakkan tas jinjing di atas meja, sedangkan Sarah sibuk menurunkan barang-barang dari taksi yang mengantar mereka pulang ke rumah. Jenar lega, akhirnya dia kembali mencium aroma rumah. Suasana rumah sakit benar-benar membosankan untuk dirinya."Aku harus kembali kerja setelah makan siang," ucap Sarah. "Aku sudah libur beberapa hari untuk menunggu kamu di rumah sakit. Aku tidak bisa libur lagi."Jenar menganggukkan kepalanya paham. "Maaf, karena aku jadi merepotkan kamu."Jenar menggelengkan kepalanya. "Kamu seharusnya bisa fokus pada pekerjaan kamu.""Tidak masalah." Sarah meliriknya. "Aku juga tidak akan bisa fokus kerja kalau meninggalkan kamu sendirian.""Sekarang aku jadi bisa lebih fokus, kamu sudah pulang." Sarah menutup kalimatnya. Dia menata barang-barang itu di sudut ruangan.Jenar tersenyum manis. "Makasih, Sar." "Sama-sama." Sarah menyelesaikan aktivitasnya. Dia berjalan mendekati Jenar. Jari jemarinya mengusap wajah tampan bayi di atas g

  • Tujuh Perkara Sang Ibu Sambung   147. Tentang Ayah Kandung

    Rumah sakit persalinan, Jakarta.Tidak ada yang berani berbicara. Sarah melirik Jenar sesekali, kembali menunduk dan bermain dengan jari jemarinya. Helaan napas sesekali terdengar begitu berat dan penuh beban. Kenyatannya, tidak ada yang berani menghadapi keadaan yang ada. "Haruskah aku mengabari Julio?" Sarah memberanikan diri. Pandangan matanya tak lepas dari Jenar. "Aku akan ....""Bisakah besok kita pulang ke rumah?" Jenar memotongnya kalimat Sarah. Membalas tatapan temannya itu dengan sendu. "Aku ingin pulang."Sarah meraih tangan Jenar. "Jika karena biaya, kamu tidak perlu khawatir. Pak Julian memasukkan semua tagihan atas nama perusahaannya.""Dia memang pria yang bisa diandalkan." Sarah tersenyum mantap sembari mengacungkan jempolnya. Semangatnya seakan diisi ulang. Jenar memandangnya dengan begitu iba. Seakan mengetahui maksud dari perubahan raut wajah temannya, Sarah langsung menurunkan jempolnya."Sorry," gumam Sarah. Jenar menghela napas panjang. "Aku berpikir untuk kem

  • Tujuh Perkara Sang Ibu Sambung   146. Dialog Malam : Bukan Anakku

    Malam, kediaman Julian. Jasmine melirik Julian yang baru saja turun dari lantai atas. Pakaiannya sudah diganti dengan kaos seadanya dipadukan celana panjang kain berwarna cokelat muda. "Papa nggak menunggu Jenar di rumah sakit?" Jasmine bertanya, menyela dengan memasukkan sesuap nasi ke dalam mulutnya. Julian menarik kursi di depan Jasmine. "Kamu makan jam segini, tidak takut gendut?" kekehnya. "Umumnya gadis seusia kamu menjaga pola makan di jam begini."Pria itu menatap piring yang penuh dengan nasi. "Sepertinya kamu lain.""Jangan coba-coba mengalihkan pembicaraan," jawab Jasmine. Dipandanginya Julian dengan saksama. "Papa hanya akan mengalihkan pembicaraan jika tidak suka dengan topiknya."Julian hanya tersenyum miring, sembari mengambil nasi di depannya."Aku kira Papa peduli dengannya." Jasmine berucap lagi. "Papa bahkan berlari dari luar kota kembali ke Jakarta, setelah mendengar Jenar melahirkan hari ini."Julian manggut-manggut. "Memang. Momen melahirkan hanya sekali kan?

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status