Share

2. Pasca Skandal

Jakarta, Indonesia.

"Menikah dengan Pak Julian?" Dia tertawa meledek Jenar. "Jenar!" Dia menatapnya kemudian berjalan mendekat membawa dua mangkuk mie kuah dengan potongan cabai di atasnya. 

"Hal yang paling lebih mengejutkan untukku bukan fakta bahwa kamu dan Pak Julian tidur dalam satu ranjang dan bermalam bersama dalam keadaan mabuk," ucapnya sembari tertawa. Dia duduk tepat di depan Jenar. "Fakta bahwa kamu berangan-angan untuk menikah dengannya dan menjadi bagian dari Lian DeFood adalah hal yang paling mengejutkan dan paling gila, Jenar."

Jenar manggut-manggut. "Kamu benar ... aku sudah gila rupanya," sahut Jenar. Nada bicaranya mengisyaratkan kalau dia putus asa. Tak pernah menyangka kalau dirinya akan terjebak dalam situasi seperti ini.

Jenar adalah pemimpi. Di dalam kepalanya hanya berisi tentang mimpi dan ambisi untuk menaklukan kota besar ini. Kalau ditanya pasal fisik, Jenar itu 'kembang desa' yang tinggal di tengah metropolitan. Kulitnya kuning langsat dengan tubuh jenjang yang kalau dibandingkan dengan wanita lainnya, dia cukup tinggi. Namun, kalau bersanding dengan beberapa pria termasuk Pak Julian, dia adalah si kurcaci imut yang cantik.

"Ngomong-ngomong."  Gadis itu menatap Jenar untuk memastikan kalau temannya masih waras. "Kalau misalnya kamu benar-benar hamil gimana?" tanyanya. To the point.

Jenar memuntahkan lagi mie yang baru saja masuk ke dalam mulutnya sebab terkejut.

"Kenapa kaget begitu? Itu adalah kemungkinan yang wajar," sahutnya tertawa ringan. "Kamu saja tidak ingat seluruhnya, jadi kemungkinan itu pasti ada." Dia menegaskan. Menatap Jenar yang hanya mengaduk-aduk mienya.

"Aku hanya bermalam," katanya. Mengelak. Itu yang dia ingat.

"Kalian mabuk!" Dia menimpali. "Apapun bisa terjadi, Jenar."

"Aku harus membunuh bayinya?" sambung Jenar tiba-tiba. Kalimat itu tentu saja membuat temannya terkejut. Pasalnya Jenar adalah gadis yang baik, lugu, dan penuh kasih sayang.

"Mengaborsi." Dia menatap gadis yang ada di depannya. "Sepertinya itu keputusan yang paling tepat," imbuh Jenar seraya menganggukkan kepalanya.

Sarah—gadis yang duduk di depan Jenar—tersenyum tipis. Jenar terlihat kacau sejak kepulangannya dari Los Angeles Senin lalu. Dia sudah mengambil cuti cukup lama. Besok dia harus datang ke kantor, bertemu dengan banyak orang dan tentunya juga Pak Julian.

"Dia sudah punya keluarga," tukasnya lagi. Menggelengkan kepalanya. "Aku gak bisa menghancurkan itu. Sepertinya anak-anaknya juga tidak ingin ibu baru."

"Tau dari mana?" tanya Sarah menyahut. Terkekeh. Mengaduk mienya lalu memutar dengan ujung garpu. "Kamu bahkan belum pernah bertemu mereka. Belum pernah berbicara, apalagi bertatap muka."

"Lantas?" tanya Jenar. Dia menatap gusar. "Kesempatan jadi ibu sambung hanya ada di drama-drama saja."

"Jenar!" Sarah menyela. Dia mencoba untuk menyakinkan Jenar. "Jika hamil, maka bayi itu tidak bersalah. Kamu harus minta pertanggungjawaban dari Pak Julian."

"Aku tidak akan melahirkan bayinya kalau aku hamil. Lagian aku tidak mungkin hamil." Jenar kembali menukas. "Kalau memang aku hamil, aku yang salah dan anakku nanti tidak boleh menanggung kesalahanku. Akan lebih baik jika dia tidak dilahirkan," timpal Jenar lagi. Memberi 'tembakan' di bagian akhir kalimat.

"Aku akan periksa kalau waktu luang." Dia menyerah pada dirinya sendiri. "Aku yakin kalau aku tidak hamil," ucap Jenar bernada sedih.

"Dasar wanita jahat," ujarnya. Dia menatap Jenar penuh kekesalan. "Kamu mau dicap sebagai pembunuh?"

Jenar mengerutkan keningnya. Tiba-tiba saja ada perasaan yang bergejolak hebat di dalam dirinya sekarang ini.  "Diam saja! Kamu gak tahu apapun. Jangan bikin kesal."

"Kalau begitu periksa sana! Ajukan dana pertanggungjawaban pada Julian!" Sarah benar-benar kesal dengan temannya itu. "Jangan melampiaskan semuanya pada bayimu nanti!"

~*~

 Sementara itu, setibanya di Jakarta, Julian sedang pusing menghadapi putrinya, Jasmine.

"Aku, bikin kesal papa?" Jasmine tertawa ringan lalu cekikikan.

"Aku hanya minta uang buat pergi jalan-jalan sama teman, salahnya di mana?" Gadis muda itu menaikkan kedua sisi bahunya. "Kalau tidak minta papa, aku harus minta siapa?"

"Jasmine!" Julian sedikit membentak. Meletakkan koran yang ada di dalam genggamannya.

Ditatapnya Jasmine. Julian mulai melipat tangan di atas perutnya. "Papa bukannya gak mau memberi kamu uang. Jika uangnya untuk hal yang benar, papa akan memberikan berapa pun itu," ucapnya.

"Papa harap kamu bisa mengerti dengan apa yang papa maksud." Kalimat itu diutarakan menggunakan nada bicaranya semakin halus. "Jangan keras kepala seperti mamamu." Julian memohon dengan pandangan matanya.

"Jasmine bilang hanya untuk jalan-jalan. Ada film baru yang baru saja rilis!" Dia merengek.

"Teman-teman semuanya sudah menontonnya. Hanya aku yang belum menonton itu!" Jasmine mengerutkan keningnya. Mencoba untuk membujuk papanya. "Jasmine ini anaknya orang kaya! Papa punya perusahaan besar dan beberapa anak cabang. Hanya memberi uang 300 ribu itu susah?" tanyanya lalu menghela nafas. "Papa benar-benar pelit!"

"Sudah papa bilang ... tidak. Itu tidak susah sama sekali. Bahkan kamu minta uang lebih dari itupun papa akan kasih." Dia tersenyum miring. "Akan tetapi, papa tidak mau," imbuhnya. Berjalan mendekati putrinya.

Wajah Jasmine jelas-jelas memendam kekesalan. Ditolak mentah-mentah padahal dia sudah bersiap-siap untuk pergi hari ini.

"Kenapa?" tanya Jasmine. Memandang wajah Julian.

Hanya Julian yang dia punya setelah ibu kandungnya pergi menghilang ke luar negeri. Julian tidak pernah mau menjawab atau membahas pasal mantan istrinya jika ketiga anaknya bertanya. Seiring berjalannya waktu, usia yang bertambah dewasa membuat anak-anaknya tidak pernah bertanya tentang ibu kandung mereka. Hingga pada akhirnya, sosok ibu dilupakan di rumah ini.

"Karena papa tahu ... kamu akan pergi ke mana." Julian meraih pundak Jasmine dan menatapnya. "Lebih baik pergi les sebab kamu akan lulus tahun depan. Kakak kamu sudah tidak benar, jangan kamu juga begitu." Setelah menyelesaikan kalimatnya Julian melangkah pergi.

"Aku bilang hanya mau nonton bioskop dan nongkrong di kafe! Itu wajar untuk anak muda." Jasmine menghentikan langkah kaki Julian.

"Dan pergi clubbing?" Julian menyahut. Kembali memutar tubuhnya. Menatap Jasmine.

"Papa tahu itu, Jasmine." Dia mencoba untuk memahami emosi Jasmine. "Papa akan memaafkan dan melupakan sekali saja. Namun, tidak untuk kedua kali dan seterusnya."

Jasmine menghela nafas. Membuang pandangan matanya. Tidak bisa memberi jawaban apapun. Dia sudah tertangkap basah sekarang.

"Jadi pakai uang sisanya untuk pergi jalan-jalan. Kalau hanya benar-benar nongkrong di kafe, uang 50.000 saja cukup untuk itu." Julian tersenyum manis pada putrinya. "Papa mau istirahat. Cari papa di kamar jika kamu membutuhkan bantuan papa," pungkasnya. Julian mengakhiri perdebatannya dengan Jasmine.

"Papa!" Jasmine merengek lagi. "Aku mohon! Teman-teman sudah menunggu di luar!"

"Tidak," katanya tanpa mau menoleh.

"Papa! Bagaimana dengan seratus ribu saja?"

Sayangnya Julian tidak memperdulikan itu.

Julian pergi meninggalkan putrinya yang berdecak kesal dan mengumpat habis-habisan. Semuanya gagal padahal bersusah payah untuk menutupi pakaian seksinya sore ini. Itu semua demi mengelabuhi sang ayah.

"Siapa yang mengadukannya?" gumam Jasmine. Berbicara seorang diri. "Awas saja!" Dia menggerutu. Siapapun itu ... Jasmine pasti akan memakinya habis-habisan jika bertemu.

... Next ...

Comments (2)
goodnovel comment avatar
littletitleally
Sejauh ini masih menikmati
goodnovel comment avatar
Gadis Cantik
lanjuttttt
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status