Jasmine tersenyum seringai ketika melihat Jenar tampak gelisah di depannya. Tanpa dia memberikan penyerangan, Jenar sudah merasa terintimidasi."Katakan saja apa yang kalian lakukan." Jasmine bersedekap di depannya. "Aku rasa pertanyaanku sederhana, kamu tidak perlu menjelaskan detail jika memang kamu tidak melakukan sesuatu yang salah."Jenar memalingkan wajahnya. Sekuat tenaga dia berusaha menyembunyikan kecemasan yang tiba-tiba datang, nyatanya dia tidak bisa membohongi gadis cerdik seperti Jasmine."Kenapa diam saja?" Jasmine mengubah nada bicaranya. "Aku melihat kalian masuk ke kamar tamu, tetapi aku tidak melihat kalian keluar setelah itu.""Awalnya aku berpikir mungkin saja kak Julio keluar setelah memastikan kamu tidur di sana," ucap Jasmine. Dia mulai mengintimidasi posisi Jenar.Jasmine tertawa kecil tiba-tiba. "Anehnya aku melihat kamu keluar dari kamar itu besok paginya, tapi aku tidak melihat Kak Julio di kamarnya."Jenar hanya bisa diam ketika Jasmine mengutarakan isi ke
"Luce?" Julian sedikit terkejut ketika melihat mantan istrinya berdiri di ambang pintu ruang kerjanya. "Kenapa kemari?" tanyanya. Luce tak memberi jawaban, dia tersenyum lalu memeluk Julian. Julian tak punya pilihan lain selain membalas Luce, akan aneh jika memarahinya dan menyuruh Luce pergi begitu saja. Kenyatannya Julian berhutang banyak pada mantan istrinya ini.Luce melepas pelukan. "Aku ada kabar baik untuk kamu, Julian," ucap Luce penuh perhatian. Dari caranya tersenyum, Julian menebak itu adalah kabar baik tentang kunjung mereka kemarin malam. "Tentang Mr. Pratt?" tanya Julian menelisik. Harapannya begitu besar pada pria berkebangsaan Amerika-Indonesia itu. Luce manggut-manggut. "Aku rasa kita harus membicarakan ini di luar kantor. Aku akan cari tempat yang nyaman, Julian."Julian terdiam sesaat. Dia punya banyak pertimbangan di sini. Lelaki itu terlalu jauh melangkah bersama Luce. Sejenak melupakan kenyataan tentang Luce dan dirinya yang tidak seharusnya bermalam bersama
Julian membisu. Dia bahkan tidak berani memandang perempuan yang jauh lebih muda darinya yaitu. Sarah menangkap basah dirinya, meskipun Julian tidak yakin dia sedang berselingkuh."Aku tidak akan mengadukannya pada Jenar." Sarah membuat pembicaraan. "Itu pemikiranku sebelumnya."Alis Julian pun terangkat, melihat bagaimana Sarah mempermainkan pendiriannya."Tapi setelah mendengar kalimat dari wanita itu, aku jadi berpikir ulang untuk mengatakannya," imbuh Sarah. Senyumnya menghina keresahan Julian.Julian mengerti persahabatan mereka jauh lebih penting dari apapun. Dia tersenyum tipis pada Sarah. "Biarkan aku yang bilang sendiri padanya."Sarah yang awalnya diam tiba-tiba tertawa. Baginya, kalimat Julian menggelitik perutnya. "Aku harap kamu mengerti apa maksudnya." Julian berusaha berbicara dengan lembut. "Ini masalah rumah tanggaku. Dia sudah menjadi istriku sekarang, bukan lagi teman dekatmu."Sarah menganggukkan kepalanya. "Pak Julian berpikir kalau dia sudah menikah itu artinya
Bagi Julian dia baru saja diselamatkan dari bahaya yang besar. Sarah benar-benar mempermalukan dan mempermainkan dirinya, sepertinya memang itulah tujuannya. "Jenar. Aku ingin tanya sesuatu sama kamu," ucap Julian. Dia menghentikan Jenar yang hampir melepaskan jaketnya.Jenar memandang Julian dengan polos, seperti tidak pernah terjadi apapun sebelumnya. "Kenapa kamu datang di cafe itu tadi?" Julian sedikit gagap dalam berbicara. Rasa takut mengusir kenyamanannya. Julian berharap penuh pada Jenar saat ini. "Kamu tidak seharusnya datang, karena di sana tidak ada apa-apa."Jenar yang awalnya terdiam kini perlahan-lahan melengkungkan senyum. "Karena Sarah mengirimi aku pesan, jadi aku datang ke sana."Julian masih belum dilegakan. Rasa was-was masih bergemuruh di dalam hatinya. "Emangnya dia mengirim pesan apa sama kamu, sampai-sampai kamu jauh datang ke sana dan meninggalkan rumah?"Jenar berusaha untuk terlihat biasa saja, meskipun ada pertanyaan besar di dalam kepalanya. "Sarah yan
Jenar membawa banyak makanan, kiranya dia ingin menghibur Julio yang duduk sendiri di taman belakang rumah."Tumben tidak main ke luar?" Jenar duduk tak jauh dari Julio. "Kamu jarang di rumah kalau jam segini."Julia tidak mau menggubrisnya, berusaha untuk mengabaikan Jenar saat ini. "Kamu akan segera lulus, jadi pastikan kamu melakukan semuanya dengan maksimal." Jenar berbicara sembari sibuk menata piring buang di depan Julio. "Jangan menyesali apapun.""Kenapa berpura-pura?" Julio mengubah topik. Mata elangnya berusaha membuat tatapan intens. Jenar memandang ke arahnya. Sekarang dia berpikir ulang untuk melanjutkan pembicaraan mereka. "Kamu bersikap seolah-olah tidak ada apapun di antara kita?" Julio tidak mau mengalah. "Aku yakin kamu ingat semua yang terjadi malam itu."Jenar hanya memandangnya, berdebat dengan Julio pun tidak akan ada untungnya. "Jenar, berhenti berpura-pura!" Julio kesal di tempatnya. "Aku tahu kamu menahan sesuatu dalam hatimu.""Julio, aku adalah ibumu." J
Pagi menyambut Jenar. Kembali pada rutinitas yang mulai membosankan untuknya, tetapi anehnya dia tidak mau berhenti atau lari dari hidupnya sekarang.Setelah menyelesaikan semua tugasnya di rumah, memastikan suami dan anak-anaknya memulai aktivitas mereka masing-masing, Jenar memutuskan untuk mencari udara segar. Taman kota yang tak jauh dari rumah adalah pilihannya sekarang. Memandang orang-orang adalah caranya untuk menyembuhkan keresahan sekaligus kesepian dalam hatinya."Aku meneleponmu sejak tadi, ternyata kamu ada di sini." Suara Luce tidak hanya ada dalam imajinasinya, tetapi Jenar melihat perawakannya sekarang.Luce tersenyum miring ketika pandangan mata mereka bertemu. "Kamu juga sedang menggenggam ponselmu, tetapi kamu mengabaikan panggilan dariku?""Aku tidak punya alasan untuk menjawabnya." Jenar berbicara dengan ketus. "Kita tidak ada urusan sebelumnya, jadi aku rasa akan sedikit aneh jika aku berbicara banyak denganmu."Luce hanya tertawa ringan. Dia mengeluarkan sesuat
Suara pintu diketuk, Jenar menyambut siapa yang datang. Itu adalah Sarah."Aku mengganggu soremu?" Sarah tersenyum kuda ketika Jenar menyambutnya dengan pelukan. "Aku harap tidak mengganggu."Jenar menggelengkan kepalanya yakin. "Tentu saja tidak mengganggu. Aku memang sedang tidak punya teman hari ini."Senar mempersilahkan Sarah masuk ke dalam rumahnya. Ini bukan kali pertamanya Sarah datang, jadi suasananya sama sekali tidak asing untuk dirinya. "Tidak ada orang di rumah?" tanya Sarah. Dia duduk di atas sofa. "Anakmu yang paling kecil?"Jenar menggelengkan kepalanya. "Mau aku buatkan teh?" Dia berusaha mengacaukan tutup pembicaraan. "Sepertinya kamu baru dari cafe. Kamu pasti lelah bekerja.""Cih, kamu itu kebiasaan kalau ditanya apa jawabnya apa!" Sarah mendegus pelan. "Di mana putrimu yang paling kecil?"Jenar tak menjawab, dia memandang Sarah penuh pertanyaan, berharap Sarah menjawab pertanyaannya yang tadi."Nggak usah buatkan minum. Aku tidak bisa lama, aku ada urusan lain s
"Lalu kenapa kamu bilang dan mengakuinya?"Sarah menghela nafasnya panjang. "Aku terus memikirkannya. Aku bahkan tidak bisa tidur dengan tenang.""Aku berusaha untuk meyakinkan diriku bahwa apa yang aku lakukan itu sudah benar, tetapi aku tidak bisa menghilangkan kecemasan karena sudah membohongi." Sarah memasang wajah sedih di depan Jenar. "Aku muak dengan diriku sendiri ketika mulai merasa bersalah padamu."Dalam hati, Jenar menaruh iba pada temannya ini. Ingin memeluk Sarah dan mengatakan bahwa dia tidak seharusnya memohon kata maaf, berbicara tentang kerasnya hidup yang sedang dialami oleh teman masa kecilnya itu. Akan tetapi, Jenar saja sedang mencoba melawan permasalahannya sendiri. "Aku akan terjaga di malam hari, aku terus memikirkan bagaimana perasaanmu Jika kamu tahu ini dari orang lain," imbuh sarah. Dia melirihkan nada bicara. "Itu sebabnya aku bicara langsung padamu.""Jenar, Aku tahu kamu marah dan kecewa sama aku." Sarah berusaha mendekatinya perlahan-lahan, dia mengen