Sepulang dari cafe tempat Sarah bekerja, Jenar tidak langsung pulang ke rumah. Dia hanya mengabari pembantunya kalau dia akan pulang terlambat. Di tengah jalan, Jenar melihat seorang pria yang tidak asing untuknya. "Pria itu ...." Jenar menunjuk ke arahnya. Kedua matanya menyipit, mencoba untuk memastikan kalau yang dia lihat itu tidak salah. "Benar! Dia!" Jenar mempercepat langkah kakinya. Buru-buru dia menyeberang jalan, untuk sampai ke warung yang ada di sudut jalan. "Dua puluh ribu?" Suara pria itu terdengar ketika Jenar mendekat. "Katanya ada promo hari ini, aku hanya bawa lima belas ribu," jawabnya pada penjual.Jenar tak pikir panjang. Dia langsung merogoh aku jaket dan mengeluarkan uang untuk membantunya."Aku yang akan bayar," ucap Jenar.Hank terkejut. Dia mau menolak, tetapi penjual sudah mengambil uang Jenar. "Kamu istrinya Julian kan?" tanya Hank. Jenar menganggukkan kepalanya. Dia sedikit lega karena Hank ternyata masih mengingat dirinya. Jenar tersenyum. "Lam
"Kamu teman baru sampai ke rumah?" Julio menegur kedatangan Jenar. Jenar awalnya tak acuh. Dia melanjutkan langkah kaki tanpa mau menatap keberadaan Julio."Jenar!" Julio memanggilnya dengan tegas. Berharap kalau sekarang dia akan diperhatikan.Sayang sekali, Jenar masih saja melangkah untuk pergi ke kamar Jean. "Kamu tidak mendengarkan apa yang aku katakan?" tanya Julio. "Aku sedang menanyaimu sekarang."Jenar berhenti di depan kamar Jean. Dia hampir membuka pintu, tetapi benar mengurungkan niatnya.Jenar memandang Julio. Dia diam sejenak, sebelum akhirnya membuka suara. "Jean sudah tidur?" Julio tidak menjawab. Dia hanya memandang raut wajah Jenar yang terlihat begitu asing hari ini. Sepertinya Jenar sedang menyembunyikan permasalahan di dalam matanya. "Kalau tidak menjawab ya sudah, aku akan memeriksa sendiri." Jenar berbalik badan, dia tak acuh dengan Julio yang jelas-jelas penasaran akan apa yang terjadi padanya hari ini.Julio tidak melarangnya untuk memeriksa Jean, jadi dia
Jenar mulai muak dengan Julio. "Apa aku tanya tentang itu padamu?" tanya Jenar.Jenar mendengus kesal. "Aku tidak peduli apa yang sebenarnya terjadi. Permasalahanku terlalu banyak hari ini."Jenar menutup kalimatnya. Setelah itu dia langsung pergi dari hadapan Julio. Jenar peduli. Itulah permasalahan dalam dirinya sekarang."Aku yakin kamu membutuhkan informasi itu." Julio kembali menghentikan langkah kaki Jenar. Jenar berbalik dan menatapnya. "Kenapa kamu ini?" tanyanya sembari mengerutkan."Kenapa kamu jadi tiba-tiba peduli apa yang aku rasakan dan apa yang terjadi padaku?" Jenar terus mendesaknya. "Bersikaplah seperti Julio biasanya. Kamu tidak perlu berusaha keras untuk membalas kebaikanku."Julio mendekatinya. "Kamu tidak bisa berbohong padaku, Jenar.""Emangnya aku berbohong tentang apa padamu?" Jenar harus terlibat perkelahian dengan Julio sekarang. Jenar tersenyum tipis. "Tolong tinggalkan aku sendiri. Aku sedang tidak mau berdebat dengan siapa pun termasuk kamu.""Papa per
Jasmine membuat kekacauan lagi. Jenar kembali dipanggil ke kantor polisi, kali ini permasalahan serius sebab Jenar harus menghadapi keluarga korban."Aku menuntutnya!" Kalimat itu membuat seluruh tubuh Jenar merinding. Jenar tidak tahu dia harus berbicara apa. Membuat pembelaan saja dia tidak bisa."Dia mengancam putriku dengan video yang diharapkan milih galih dalam hp-nya!" Wanita tua itu berteriak. "Bagaimana bisa aku membiarkan dia lolos begitu saja?"Jenar hanya menunduk. Sesekali dia melirik ke arah Jasmine yang duduk di sudut ruangan. Jasmine bukannya menyesal, tatapan matanya dipenuhi kemarahan."Sekali lagi maafkan putri saya," ucap Jenar merendah. "Saya akan memarahinya ketika sampai di rumah, Bu."Wanita itu menyeringai pada Jenar. "Aku dengar dia anaknya orang kaya. Papanya pemilik perusahaan makanan terkenal di Jakarta, aku juga dengar kalau papanya bercerai dari mamanya."Jenar hanya diam ketika dia mendapat pandangan mata aneh dari wanita di depannya. Dia tahu kalau d
Jenar mempercepat langkah kaki. Dalam benaknya, dia segera ingin menemukan tempat yang paling nyaman untuk menangis sejadi-jadinya. Namun, kota tidak memberikan dia ruang yang cukup untuk meluapkan semua sesaknya. "Jenar?" Seseorang tiba-tiba saja memanggilnya dan menghentikan langkah kakinya. "Itu kamu?"Suaranya tidak asing untuk Jenar. Ketika Jenar menoleh dia mendapati mantan kekasihnya berdiri tak jauh darinya. "Adam?" Jenar bergumam pada dirinya sendiri.Adam tersenyum tipis. Dia berjalan mendekati Jenar. Tidak ada pembicaraan, keduanya saling memandang. Hingga akhirnya Adam mendapati raut wajah Jenar yang tak biasa. "Kamu baik-baik saja?" Adam berusaha menerka-nerka apa yang kiranya ada di dalam kepala Jenar. Raut wajahnya seakan berbicara sebaliknya. Jenar tidak menjawab. Dia hanya menggelengkan kepalanya. Jenar kembali melanjutkan langkah kakinya begitu saja.Adam juga kukuh. "Ada masalah?" Adam menarik tangan Jenar."Raut wajah kamu sepertinya berbicara seperti itu." Ada
Suara dentuman menyita fokus Julio. Pemuda itu lekas datang ke sumber suara. Dia menemukan Jenar yang terkapar di sisi pintu masuk, keadaannya begitu kacau dengan wajahnya yang sembab dan hidungnya yang memerah."Jenar?"Julio berusaha berjongkok dan mendekatinya. "Kamu nggak apa-apa?" Jenar tidak menjawab. Dia hanya mendongak dan tersenyum pada Julio.Julio terperangah melihat penampilan Jenar malam ini. Dia menghilang sejak sore tadi, sekarang pulang dalam keadaan begini. Aroma alkohol menyeruak masuk ke dalam hidungnya."Kamu mabuk rupanya." Julio langsung menyimpulkan begitu aroma yang tak asing untuknya datang menyela, mengalahkan parfum wangi semerbak milik Jenar biasanya.Julio menghela nafas. "Kalau sampai Papa tahu kamu pulang hampir tengah malam dalam keadaan mabuk, kamu bisa dimarahi habis-habisan!" gerutunya. "Aku antar ke kamarmu," ucap Julio. Dia menarik tubuh Jenar agar bangun dari tempatnya.Sayangnya alkohol mempengaruhi kemarasan Jenar. Perempuan itu malah tertawa d
Jenar menghela nafasnya. Dia tahu kalau mengeluh dalam bentuk apapun tidak akan pernah mengubah semua keadaan yang sudah berjalan. Meskipun begitu, Jenar masih ingin mengeluh sejadi-jadinya."Aku hanya penasaran, apa yang dilakukan papamu di sana?" Jenar berandai-andai. Berhalusinasi, seakan semuanya ada di depan pandangan matanya. "Aku selalu bertanya-tanya, kenapa akhirnya dia melakukan itu?" Jenar memandang Julio yang ada di sisinya. "Jika dia memang tidak mencintaiku dari awal, seharusnya dia menyetuju ketika aku menolak pernikahannya."Jenar tersenyum kecut. "Aku tidak pernah memaksa dia untuk bertanggung jawab.""Faktanya memang aku tidak pernah hamil anaknya." Jenar menutup kalimat.Julio ikut menghela nafas panjang. Seakan dia punya rasa sakit tersendiri di sini, Julio bisa merasakan apa yang Jenar rasakan."Kamu berniat untuk meninggalkannya?" Julio malah memancing Jenar untuk berpikir semakin buruk. "Secara tidak langsung kamu mengetahui perselingkuhannya."Jenar menoleh pa
Dering alarm ponsel membuat Julio kembali pada kesadarannya. Sepasang mata elang itu terbuka, lensanya berusaha menerima cahaya lampu dari langit-langit ruang kamar. "Argh—" Julio mengerang ringan. Dia merasakan nyeri luar biasa di kepalanya, lehernya sedikit sakit sebab posisi bantal yang salah. Julio jelas kebingungan saat mendapati dia bangun dalam keadaan telanjang. Yang membuat dia bingung, bukan apa yang dia lakukan semalam. Julio mengingat semua yang dia lakukan. Julio segera bangun, memakai kembali pakaiannya sebelum hari semakin siang. "Aku harus menemui Jenar." Julio bergumam pada dirinya sendiri. "Kenapa dia tidak membangunkanku?" Julio memandang dirinya sendiri dari pantulan cermin di depannya. Jelas-jelas keadaannya kacau. Dia tak ingin menghabiskan waktunya di sini tetap tujuannya adalah menemui Jenar...."Maaf karena tidak memberi kabar sejak kemarin." Julian menatap punggung istrinya. "Aku tidak bisa men