Langit pagi masih berwarna abu-abu susu, menyisakan embun pagi yang menggantung di daun pisang dekat pintu kos. Juned menekan “pesan ojek” di aplikasinya, jari-jarinya gemetar seperti baru memegang kabel listrik yang terkelupas. “Bang, tujuan sudah sesuai yang tertera di aplikasi,” ucapnya pada pengendara ojek yang helmnya dipenuhi stiker band metal. Si pengendara mengangguk, sambil matanya menyapu tubuh Juned yang masih kusut—baju tak rapi, bau campuran keringat dan lavender. “Habis begadang, Bang?” tanyanya sambil menyodorkan helm, suaranya serak seperti gergaji tua. Juned mengabaikan pertanyaan itu, tubuhnya meringkuk di jok motor yang masih terasa dingin.Kota mulai bangun: tukang bubur dorong gerobaknya, ibu-ibu dengan tas belanja menyerbu pasar pagi, sekelompok anak SMA tertawa di halte.“Apa abang mengantuk?” teriak pengendara sambil menyerobot lampu merah, “kalau mengantuk pegangan yang kencang.” Angin pagi menerpa wajah Juned, membawa aroma khas yang menyegarkan.
Juned menutup mata, tapi jemarinya terpaku pada kulit Dinda yang hangat, bergerak pelan seperti pena yang menari di atas perkamen. Setiap lekuk tubuhnya adalah kaligrafi: bahu yang keras namun lembut di ujung sentuhan, pinggul yang bergelombang laksana bukit pasir di tengah gurun sunyi. “Kau tahu cara menyembuhkan,” desis Dinda, melengkungkan punggung saat jemari Juned menyentuh bekas luka di pinggangnya, “tapi malam ini, aku akan memberimu kesembuhan dengan hiburan.” Bibir mereka hampir bertaut—napas saling menjajaki, menggantung di ruang sempit antara keinginan dan penyesalan. Dinda merekah seperti bunga teratai di tengah rawa gelap, tangannya meraih leher Juned dan menariknya ke dalam pusaran yang tak terhindarkan. “Rasakan bagaimana ciuman seorang penghibur sepertiku,” geramnya di sela ciuman pertama yang menggigit, pahit dan manis seperti kopi tanpa gula. Pakaian yang tersisa luruh bagai dedaunan musim gugur, menyingkapkan dua tubuh yang tak lagi mengenal kata “milik”.
Bayangan Tania, tiba-tiba terlintas di pikiran Juned—wanita yang selalu terlihat tegas dengan seragam polisi dan rambut pendek sebahu. Tapi di sini, dalam gelap dan desau nafas Dinda yang pendek, ingatan itu terasa seperti asap.“Dulu, waktu kamu pijat Tante Yuni yang punya kos itu,” Dinda tiba-tiba bercerita, jarinya tak sengaja menyentuh leher Juned saat meraih botol minyak, “Aku liat kalian saat berada di dalam kamar Mbak Yuni. Bergairah banget. Aku mikir… pasti enak jadi klienmu.” Juned menelan ludah. “Dinda…” “Aku pernah bayangin,” sambung Dinda, suaranya parau, “Kalau suatu hari, kamu yang pijat aku. Bukan pijat biasa. Yang… pelan. Detail. Kayak kamu selalu lakuin ke klien cewek cantik.” Juned menghela napas. “Kita nggak boleh—” “Kenapa?” Dinda memotong. Tangannya sekarang berada di atas paha Juned, hangat dan tegas. “Karena kamu punya pacar? Atau karena takut ketahuan tetangga?” Di luar, tiba-tiba petir menggelegar. Juned menutup mata, berusaha mengingat wajah Tani
“Pastinya, tidak.” Juned menoleh ke arah Dinda sejenak.Dinda tersenyum melihat Juned yang salah tingkah. Dia mendahului Juned, berjalan di depannya.“Aku jamin kamu pasti kerasan dengan kamar kosku yang baru.”Dinda dan Juned menyusuri jalan perumahan yang tak jauh dari warung bakso tempat mereka makan.Hanya beberapa menit mereka sudah tiba di sebuah bangunan tingkat tiga. Pintu pagar warna hitam menjulang tinggi di hadapan mereka.Dinda membuka gembok pagar yang menggantung di sisi dalam, senyum tipis mengembang. “Selamat datang di istanaku,” bisiknya, menggeser pagar begitu mudah karena memang bangunan baru. Baru saja masuk terlihat sebuah basemen yang digunakan sebagai parkiran motor dan mobil, dua vespa matic warna pastel terparkir rapi. “Modelnya seperti hotel saja.” Celetuk Juned yang baru tahu ada kost yang fasilitasnya hampir mirip seperti hotel.Juned mengikuti Dinda melewati koridor berpendingin udara, aroma lavender dan desinfektan menggantikan bau pengap yang
Juned bersikap tenang sambil menatap ke jalan raya. “Maksudmu Pak Slamet? Dia tak akan berani macam-macam setelah ini.”Raut wajah Dinda tiba-tiba cemas. “Apa kau yakin akan hal itu?”Juned menepuk bahu Dinda dengan lembut, “kamu tenang saja. Pak Kepala Desa adalah orang yang penakut jika kita berani.” “Aku berharap semua masalahmu segera selesai.” Dinda tersenyum memandang Juned. “Aku juga akan berusaha membantumu sebisa mungkin.”Juned menggandeng tangan Dinda, “Sekarang kita makan dulu.”Mereka berdua berdua menuju ke warung bakso yang berada di seberang jalan. Warung itu terlihat sepi tak ada satu pun pengunjung di warung bakso itu.Spanduk kumal bertuliskan “Bakso mercon Pak Samad” terpasang miring, hampir robek diterpa angin.Dinda langsung memesan dengan semangat. “Bakso mercon 3 porsi! , es teh manis 3 gelas.” Juned mengangkat alis, menatap Dinda yang sedang mengatur saus sambal di meja. “Mau makan buat satu keluarga?” “Aku benar-benar lapar!” Dinda menyeringai. “T
Pak Slamet berusaha meronta dengan keras melepas ikatan. Namun Dinda yang berdiri di sebelahnya justru menempelkan pisau ke belakang lehernya.“Beginikan cara kalian mengancam orang-orang yang tak berdaya melawan kalian?” Ujar Dinda dengan tegas.Hal itu membuat Pak Slamet langsung berhenti meronta dan terdiam dalam ikatan tali.Dinda mengangkat pisau. “Diam dan nikmati saja pertunjukan istrimu.”Sementara itu, Bu Ningsih yang tak kuasa mendapat perlakuan Juned yang menggairahkan. Akhirnya ikut menikmati setiap sentuhan dan belaian Juned pada tubuhnya.Juned tersenyum puas, “Ini yang kau inginkan tadi. Aku akan memberikannya tepat di hadapan suamimu.”Hasrat Bu Ningsih mulai muncul, seorang istri kepala desa yang elegan berubah menjadi seperti wanita yang haus belaian di depan suaminya sendiri.“Aku ingin kau puaskan aku.” Rintih Bu Ningsih dengan pelan.Juned menoleh ke arah Pak Slamet sambil tersenyum. Kamar hotel 404 kini dipenuhi oleh suara desahan dan rintihan seorang i