Adit kini tidak sendirian di kantor polisi itu. Di halaman parkir yang sepi, sebuah mobil minivan hitam terparkir dengan santai. Di dalamnya, Kobra dan dua anak buah Pak Darmawan lainnya standby, mengawasi setiap pergerakan. Mereka adalah mata dan telinga Adit di luar. Sesekali, mereka turun dari mobil dan menengok ke dalam, memastikan Adit baik-baik saja. Keberadaan mereka adalah sinyal jelas bagi para polisi di sana bahwa Adit bukanlah tahanan biasa yang bisa diperlakukan sembarangan.Adit juga mendapatkan kembali ponselnya. Ponsel yang tadinya ia titipkan di kafe, kini sudah berada di tangannya, diantar oleh salah satu anak buah Darmawan. Adit tersenyum tipis. Setidaknya, ia memiliki hiburan dan bisa berkomunikasi dengan dunia luar. Ia tahu, ia berhak mendapatkan hak-haknya karena statusnya di situ masih abu-abu. Tidak ada bukti kuat bahwa ia telah menganiaya Sandi, meski hal itu memang benar adanya.Jadi, ketika pengacara kepercayaan Darmawan datang, ia memastikan hak-hak Adit kep
Kapolsek itu kembali ke depan setelah selesai menelepon seseorang yang merupakan ajudan Sang Jenderal ayahnya Sandi. Wajahnya yang tadinya tegas, kini terlihat lebih tegang dan penuh perhitungan.Sebenarnya, sejak subuh tadi, ia sudah dikabari pula secara langsung tentang Adit dan apa yang harus ia lakukan. Pesan dari seberang telepon saat ini sangat jelas: ia dimarahi karena dianggap tidak punya wibawa. Seharusnya polisi tak boleh kehilangan marwah dengan takut kepada preman. Tahanan tak bisa dilepaskan begitu saja. Semua ada prosedurnya. Dan Kapolsek itu tahu, atas permintaan Sandi, demi kepuasan batin anak itu, sudah pasti Adit akan masuk penjara dengan tuduhan penganiayaan."Bagaimana?" kata Pak Darmawan, suaranya sarat akan ketidaksabaran setelah ia menunggu dengan penuh emosi.Kapolsek itu menarik napas dalam, berusaha mengumpulkan keberaniannya. "Anak buah Bapak itu seorang tahanan. Baru bisa bebas setelah terbukti tak bersalah di persidangan!""Anak buahku tak bersalah! Kami p
Hari masih pagi ketika jalanan belum dipadati kendaraan dan riuh oleh bising knalpot. Pak Darmawan yang masih sangat cemas dengan anak buah kesayangannya kini sudah sibuk saja dengan para anak buahnya. Mereka telah berkumpul, lalu kemudian berangkat untuk menjemput Adit.Di sebuah polsek kecil di pinggiran kota dengan suasana yang masih terasa tenang, beberapa polisi yang piket sejak semalam sedang asik menyeruput kopi, bersantai menunggu pergantian jadwal. Namun, ketenangan itu seketika pecah ketika empat mobil, yang sebagian besar berwarna hitam, datang dan memenuhi halaman kantor.Pintu mobil depan terbuka. Pak Darmawan keluar dengan aura intimidatif, mengenakan jaket kulit hitam yang membuatnya terlihat semakin berwibawa. Di belakangnya, sekitar dua puluh anak buahnya, termasuk Rudi dan Kobra, ikut turun. Wajah-wajah mereka terlihat tak bersahabat, penuh dengan tato dan bekas luka."Selamat pagi... ini ada apa ramai-ramai sekali? Ada yang bisa kami bantu?" kata salah satu polisi,
Pak Darmawan dan anak buahnya telah mengunjungi beberapa kantor polisi mulai dari polsek, polres hingga polda, namun tak menemukan keberadaan Adit. Dengan nama besarnya di dunia hitam, dan kenalan-kenalannya di jajaran para pejabat tinggi, kedatangannya pun cukup diperhitungkan.Masalahnya, saat Pak Darmawan datang, para polisi di kantor-kantor tersebut memang tak tahu menahu tentang penangkapan Adit.Hal itu membuat pak Darmawan sangat geram. Masalahnya, Ranu tak bisa dihubungi sebab ponselnya ditinggal di café, dititipkan kepada Pak Bayu. Ia sengaja sebab sebelumnya ia sudah punya firasat buruk dan ia tak mau kehilangan ponsel pemberian Renata itu.Hingga jam 1 malam, Pak Darmawan tak mendapatkan kabar apa-apa. Namun kemudian di pagi hari, ia mendapatkan telefon dari salah satu anak buahnya yang mengatakan bahwa Adit berada di polsek pinggiran kota itu. Saat itu juga, Pak Darmawan segera ke sana.***Sejak semalam setelah dihajar, Adit memang diserahkan di polsek kecil itu. Ia ditit
Adit duduk di kursi belakang mobil patroli, diborgol dan dikawal oleh dua polisi yang duduk di sampingnya. Ia melirik ke luar jendela. Jalanan kota mulai sepi, hanya sesekali dilewati mobil lain. Ia berpikir, sebentar lagi ia akan tiba di kantor polisi, lalu Pak Darmawan bisa dengan mudah menemukannya. Keyakinan itu membuatnya tetap tenang, meski ia sadar situasinya sangat buruk.Namun, beberapa saat kemudian, ia menyadari ada yang tidak beres. Mobil polisi itu berbelok dari jalan utama, masuk ke sebuah jalan kecil yang gelap. Jalanan itu dipenuhi lubang, dan kanan-kirinya hanya ada bangunan tua dan pepohonan rimbun. Ia mencoba melihat ke depan, dan ternyata mobil itu menuju sebuah gudang tua yang remang-remang."Ini bukan jalan ke kantor polisi," kata Adit, suaranya tenang namun penuh pertanyaan.Salah satu polisi yang duduk di sampingnya hanya terkekeh sinis. "Kami punya wewenang untuk itu. Diam saja!"Adit merasa firasat buruknya menjadi kenyataan. Ia tidak dibawa ke kantor polisi,
Ruangan itu masih terasa tegang mencekam. Pistol masih ditodongkan. Adit dan yang lain diam tak bergerak.Semua orang tak berdaya. Amarah di dada Adit bergolak, namun ia tahu ini bukan waktunya untuk bertindak gegabah. Ia bisa saja mengalahkan puluhan preman, tapi ia tak punya kapasitas untuk melawan peluru. Sebuah peluru bisa mengakhiri segalanya dalam sekejap.Kompol Ananta mengarahkan pistolnya ke arah Adit, memberi isyarat kepada salah satu anggotanya. "Borgol dia!"Polisi lain segera melangkah maju, mengeluarkan borgol dari sabuknya. Adit hanya bisa pasrah. Ia menghela napas panjang, mengendurkan kepalan tangannya, dan membiarkan polisi itu memborgol pergelangan tangannya. Kunci dingin itu berbunyi 'klik' saat mengunci tangannya di belakang punggung.Sebelum Adit dibawa pergi, ia menatap Pak Bayu. "Pak Bayu, tolong hubungi Pak Darmawan," bisik Adit, suaranya pelan namun tegas.Pak Bayu mengangguk, matanya menunjukkan rasa takut namun juga tekad. Ia tahu, permintaan Adit adalah ha