Home / Urban / Tukang Pijat Tampan / Pak Rudi Terus Mencari Celah

Share

Pak Rudi Terus Mencari Celah

Author: Black Jack
last update Last Updated: 2025-03-06 16:35:25

Adit kembali ke tempat kerja dengan perasaan campur aduk. Setelah semua kejadian yang dialaminya bersama Larasati, pikirannya masih penuh tanda tanya.

Sentuhan Larasati tadi menciptakan suatu reaksinya aneh; seolah ada sesuatu yang bangkit dalam dirinya. Namun, belum sempat ia merenungkan lebih jauh, langkahnya terhenti saat melihat sosok Pak Rudi berdiri di depan pintu klinik dengan tangan terlipat di dada.

"Akhirnya muncul juga," suara Pak Rudi terdengar tajam, matanya menyipit penuh kecurigaan. "Kamu pikir tempat ini warung kopi yang bisa keluar masuk seenaknya?"

Adit menarik napas, menahan kesal. Ia tahu ia salah juga karena yang tadi itu bisa dibilang ia membolos kerja. Namun sikap Pak Rudi sungguh tak menyenangkan. "Saya tadi ada urusan mendadak, Pak."

Pak Rudi mendengus. "Urusan? Saya lihat sendiri kamu pergi sama perempuan cantik naik mobil mewah. Enak ya, baru kerja sebentar sudah bisa keluyuran. Jangan-jangan kamu jadi gigolo, ya?"

Ucapan itu membuat Adit merasa malu. Tak pernah ia berpikir untuk menjadi seperti apa yang dituduhkan oleh Pak Rudi. Ia hanya ingin bekerja baik-baik.

Beberapa pegawai yang masih ada di klinik mulai berbisik-bisik. Tatapan mereka penuh rasa ingin tahu dan, beberapa di antaranya, iri. Adit mengepalkan tangan, tapi ia tahu harus tetap tenang.

"Pak, saya nggak melakukan hal yang melanggar aturan. Kalau Bapak mau tahu, perempuan itu yang menarik saya pergi tanpa sempat saya menolak," jawabnya dengan nada datar.

"Alasan!" Pak Rudi membentak. "Saya sudah mencatat ini. Besok pagi saya akan laporkan ke Ibu Celina. Kita lihat apakah dia masih mau mempertahankan pegawai yang tidak disiplin seperti kamu!"

Adit menghela napas panjang. Ia tahu Pak Rudi memang mencari-cari celah untuk menyingkirkannya. Namun, belum sempat ia membalas, suara seorang pegawai perempuan menyela.

"Pak Rudi, mungkin lebih baik dengar penjelasan dari Adit dulu," ujar seorang pegawai bernama Tia, seorang resepsionis yang selalu tampak ramah padanya. "Selama ini dia bekerja dengan baik. Lagipula, kalau benar-benar pergi tanpa izin, kenapa Ibu Celina tidak langsung menegurnya?"

Pak Rudi menoleh tajam ke arah Tia. "Kamu membela anak ini? Kamu pikir kamu siapa di sini?" bentaknya.

Tia menunduk, tapi beberapa pegawai lain tampak setuju dengannya. Adit hanya diam, tak ingin memperpanjang masalah dengan perdebatan yang sia-sia.

***

Adit sampai di rumah. Rasanya lelah sekali, padahal seharian tadi, bisa dibilang, tak ada klien yang ia pijit. Tapi ia membantu menjadi asisten terapis senior lain. Kebanyakan klien yang datang maunya dilayani perempuan.

Terapis di tempat itu kadang memang menganggur jika memang tak ada klien. Namun kadang, mereka harus mengerjakan hal lain di luar urusan memijit. Ada banyak hal yang harud dikerjakan; membersihkan ruangan, loundry handuk dan lain-lain, mengurusi peralatan dan pokoknya banyak.

Pak Rudi juga tak akan rela melihat bawahannya bersantai saat tempat itu sepi. Jadi, pasti selalu ada hal yang harus dikerjakan.

Adit segera mandi, lalu membuat mie rebus. Tadi ia terlalu malas mampir untuk membeli makanan di jalan.

Kini setelah makan, ia berbaring di kasurnya. Rumah terasa sepi. Sejak dulu memang sepi. Tapi setidaknya, jika dulu kakeknya masih hidup, rasanya juga tak sesepi itu.

Kini sambil mencoba tidur, Adit mengingat kembali kejadian yang ia alami. Sungguh sial. Baru kali ini ia mengalami hal gila di mana ia berada satu mobil dengan seorang wanita yang dikejar sekelompok orang. Dan peliknya, ada tembakan pula. Untung masih selamat.

Yang membuat Adit heran, dalam situasi seperti itu, meski ia panik dan bingung, namun ia masih juga merasa tenang. Ia tak mengerti kenapa. Dan saat ia menggenggam tangan Larasati, ia merasakan ketenangan. Di saat yang sama, ia merasa seolah energinya mengalir masuk ke dalam tubuh Larasati, lalu juga sebaliknya, ia seolah merasakan ada getaran energi yang masuk ke dalam tubuhnya. Itu adalah sesuatu yang baginya sulit ia pahami.

Kini ia memandangi lingkaran hitam di jarinya itu.

“Kakek, sebenarnya apa yang terjadi padaku?” ucap Adit lirih.

Kemudian Adit terlelap.

Pagi harinya, seperti yang dijanjikan, Pak Rudi membawa masalah ini ke hadapan Ibu Celina. Adit dipanggil ke ruangannya, sementara Pak Rudi berdiri di samping dengan ekspresi penuh kemenangan.

Adit benar-benar tak habis pikir. Hari masih pagi dan ia baru saja datang. Tiba-tiba saja, Pak Rudi yang seolah sudah menunggunya, segera menghadangnya.

Kini mereka berada di ruangan Ibu Celina.

"Jadi, Adit," suara Ibu Celina terdengar tenang, tapi matanya tajam menatapnya. "Pak Rudi melaporkan bahwa kemarin kamu pergi meninggalkan tempat kerja tanpa izin. Bisa kamu jelaskan?"

Adit menatap lurus ke arah Ibu Celina. "Saya tidak pergi dengan sengaja, Bu. Seorang klien tiba-tiba datang dan menarik saya ke mobilnya. Saya sendiri kaget, tapi saat itu saya tak bisa langsung menolak karena situasinya mendadak."

Pak Rudi tertawa kecil dengan nada mengejek. "Oh, jadi alasanmu karena perempuan? Alasan klasik. Klien apaan! Tak boleh ada klien dilayani di luar klinik ini. Lantas mereka harus membayarnya bagaimana? Ke kamu secara langsung begitu? Ini menyalahi aturan dan kamu layak dipecat!"

Namun, sebelum Pak Rudi bisa melanjutkan serangannya, Ibu Celina menatapnya tajam. "Pak Rudi, saya yang bertanya di sini."

Pak Rudi langsung diam, meskipun wajahnya memerah karena kesal.

"Adit, siapa perempuan itu?" tanya Ibu Celina lagi.

Adit ragu sejenak. "Namanya Larasati, Bu. Saya juga tidak tahu kenapa dia menarik saya seperti itu. Tapi sepertinya dia dalam masalah."

Mata Ibu Celina menyipit. "Larasati?" gumamnya, seolah nama itu tidak asing baginya.

Adit menunggu tanggapannya, tapi alih-alih marah, Ibu Celina justru tersenyum kecil. "Baiklah, saya akan mencari tahu lebih lanjut. Untuk saat ini, saya anggap kamu tidak bersalah. Tapi lain kali, kalau ada hal seperti ini lagi, segera lapor ke saya atau supervisor yang bertugas. Mengerti?"

"Baik, Bu. Terima kasih."

Pak Rudi tampak tidak percaya dengan keputusan itu. Wajahnya merah padam, dan begitu Adit keluar dari ruangan, ia langsung mengejarnya.

"Jangan pikir kamu bisa lolos terus, anak baru," geram Pak Rudi. "Aku akan pastikan kamu jatuh. Ini belum selesai."

Adit hanya tersenyum tipis. Ia sudah tahu kalau Pak Rudi tidak akan berhenti begitu saja. Tapi yang lebih mengusik pikirannya sekarang bukan ancaman Pak Rudi, melainkan reaksi aneh Ibu Celina saat mendengar nama Larasati.

Siapa sebenarnya Larasati? Dan kenapa ia seolah punya hubungan dengan tempat ini?

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Tukang Pijat Tampan   Membereskan Semuanya Dengan Mudah

    Para preman itu menerjang Adit dengan ganasnya menggunakan segenap kemarahan atas sikap Adit yang tak mau tunduk. Dua puluh orang, berbadan kekar dan beringas, menghunuskan tinju, tendangan, bahkan beberapa di antaranya mengeluarkan pisau lipat dan juga potongan kayu yang mereka bawa dari tadi. Suasana mendadak dipenuhi suara gaduh, raungan, dan benturan sepatu di aspal.Adit tidak panik. Matanya bergerak cepat, memindai setiap pergerakan. Instingnya, yang terasah dari pengalamannya serta kekuatan gaib yang ia miliki mengambil alih kediriannya.Ketika tiga orang melancarkan pukulan bersamaan, Adit bergerak merunduk, menghindari tinju pertama yang mengarah ke kepalanya. Dalam gerakan lanjutan yang mulus, ia memutar tubuhnya, siku kirinya menghantam sisi rahang salah satu penyerang. Suara benturan tumpul terdengar merdu, dan orang itu langsung limbung, matanya berkedip bingung menatap ribuan kunang-kunang yang tiba-tiba muncul begitu saja.Tanpa jeda, Adit melancarkan tendangan rendah k

  • Tukang Pijat Tampan   Para Preman Minta Jatah

    Siapa yang datang mencari Adit itu sebetulnya adalah sebuah bagian dari rencana Jarwo. Sejak awal, ia sudah menghubungi teman-temannya dari masa lalu. Jumlahnya dua puluhan orang lebih yang kini sudah berjejer di depan kafe, sebagian besar berbadan tegap, tato memenuhi lengan, dan sorot mata mengancam.Sebagian dari anak buah Adit, yang kenal dekat dengan Jarwo, tahu soal rencana busuk itu. Namun memang tidak semua setuju dengan hal itu, kecuali Tegar, yang terlihat menyeringai tipis di belakang Jarwo.Hanya saja, mereka yang mengetahui rencana Jarwo itu memilih diam saja. Mereka tahu, Jarwo yang menjadi kepala keamanan sebelum Adit, dulu pun adalah preman yang sudah punya reputasi sangar di jalanan, bahkan sudah pernah dipenjara sampai dua kali. Aura dan masa lalunya cukup untuk membungkam siapa pun yang ingin protes.Adit melihat orang-orang itu begitu ia sampai di depan. Gerombolan preman dengan pakaian serba hitam dan wajah sangar itu memenuhi area parkir kafe. Tanpa ragu, Adit la

  • Tukang Pijat Tampan   'Tamu' Mencari Adit

    Pukul dua lewat dan hampir setengah tiga sore, hawa sejuk dari pendingin ruangan masih menusuk kulit. Renata dan Adit sudah siap untuk berangkat setelah selesai mandi dan berpakaian.Celina masih terlelap pulas, napasnya teratur, bibirnya sedikit terbuka, menunjukkan betapa lelap tidurnya. Dia tetap harus dibangunkan, meskipun tak perlu kembali ke tempat kerja."Bangun Cel, kami mau balik!" Renata mengguncang pelan bahu Celina, nada suaranya sedikit malas namun ada gurat geli."Eh... hoh... jam berapa ini?" Celina menggeliat, kelopak matanya berkedut sebelum terbuka perlahan. Matanya mengerjap-ngerjap, berusaha menyesuaikan diri dengan cahaya remang ruangan."Kamu tidur aja. Kami naik taksi!" Renata bersiap meraih tasnya."Aduh... masak naik taksi..." Celina mencoba bangkit, mengusap wajahnya yang masih terasa lengket dan lelah. Setiap otot di tubuhnya serasa ditarik ulur, lemas tak bertenaga. "Duh maaf ya... pegel banget kakiku. Lemes... kok bisa capek kayak gini ya... kamu nggak cap

  • Tukang Pijat Tampan   Harapan Renata

    Betapa cepat Celina sampai di puncak kebahagiaannya. Tentu hal itu bukan karena sesuatu yang masuk ke dalam tubuhnya itu saja, namun juga Adit yang sengaja kembali mengaktifkan tangan ajaibnya, di mana sentuhan di bagian tubuh manapun pada diri Celina akan membuatnya semakin menggila.Kurang dari lima menit ia bergerak di atas tubuh Adit, sungai kenikmatan itu mengalir deras. Energinya terkuras habis-habisan dan ia sudah tak sanggup lagi untuk bergerak."Gila... ini enak banget, Ren..." ucap Celina yang ambruk di tubuh Adit, belum melepaskan penyatuannya. Napasnya terengah-engah, suaranya tercekat karena desahan sisa gairah."Baru sebentar... aku bisa main lama loh sama Adit..." kata Renata, nada suaranya penuh percaya diri."Gantian kamu... aku butuh rebahan... nggak kuat... ouch..." tubuh Celina bergetar sedemikian rupa saat ia melepaskan diri dari Adit. Ia pun rebah begitu saja di samping Adit, memejamkan mata, menghirup udara sebanyak-banyaknya dan tak memedulikan apapun lagi. Jej

  • Tukang Pijat Tampan   Hal Baru Yang Berbeda

    Adit semakin bersemangat untuk menyenangkan kedua wanita itu. Kedua tangannya kini tak hanya mengusap dan memijat tipis-tipis di bagian punggung, namun juga sudah turun ke bawah, menelusup melewati celah celana dalam yang sudah basah itu.Celina dan Renata terus menjerit menyuarakan kebahagiaan yang dahsyat itu. Adit merasakan jari-jarinya terjepit kehangatan yang licin itu. Ombak kebahagiaan menerobos keluar, mengucur deras bersamaan dengan geliat tubuh kedua wanita itu yang tak terkendali seperti cacing yang ditetesi air jeruk.Mungkin sudah 10 menitan Adit melancarkan aksinya yang membuat Renata dan Celina menggila. Kini ia menyudahinya. Ia tak mau kedua wanita itu malah ketiduran dan dia tak mendapatkan apa-apa.Adit merebahkan tubuhnya di antara mereka berdua yang masih tengkurap dengan nafas memburu menikmati sisa kebahagiaan yang berangsur menipis itu, mengumpulkan tenaga yang baru saja terkuras.Celina lebih awal bangkit dari posisinya. Ia duduk dengan wajah memerah dan dengan

  • Tukang Pijat Tampan   Menghadapi Renata dan Celina

    Celina bangkit dari sofa, berjalan anggun menuju pemutar piringan hitam di sudut ruangan. Ia memilih sebuah cakram vinil, lalu meletakkannya dengan hati-hati. Tak lama, alunan musik jazz lembut mengisi ruangan. Atmosfer yang sudah hangat kini terasa makin intim.Renata kemudian bergeser duduk mendekat ke Adit, menyingkirkan bantal di antara mereka. “Kamu akan main sama kita berdua. Nggak keberatan kan?” bisiknya.Adit menelan ludah. Jantungnya berdebar kencang, namun ada desiran gairah yang tak dapat ia pungkiri. "Terserah Kakak berdua saja," jawabnya, mencoba menjaga suaranya tetap tenang.Namun di satu sisi, sesungguhnya Adit merasa lega. Jika hal itu terjadi, maka ia bisa lepas dari Renata. Dalam artian, selama ini, yang mereka lakukan memang tak melibatkan perasaan.Adit sempat khawatir, dengan sikap Renata terakhir mereka bertemu, ada sesuatu yang mengisyaratkan bahwa hubungan mereka lebih dari sekadar nafsu.Tapi kini, Renata malah menawarkan sebuah permainan mendebarkan. Demi a

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status