Adit kembali ke tempat kerja dengan perasaan campur aduk. Setelah semua kejadian yang dialaminya bersama Larasati, pikirannya masih penuh tanda tanya.
Sentuhan Larasati tadi menciptakan suatu reaksinya aneh; seolah ada sesuatu yang bangkit dalam dirinya. Namun, belum sempat ia merenungkan lebih jauh, langkahnya terhenti saat melihat sosok Pak Rudi berdiri di depan pintu klinik dengan tangan terlipat di dada.
"Akhirnya muncul juga," suara Pak Rudi terdengar tajam, matanya menyipit penuh kecurigaan. "Kamu pikir tempat ini warung kopi yang bisa keluar masuk seenaknya?"
Adit menarik napas, menahan kesal. Ia tahu ia salah juga karena yang tadi itu bisa dibilang ia membolos kerja. Namun sikap Pak Rudi sungguh tak menyenangkan. "Saya tadi ada urusan mendadak, Pak."
Pak Rudi mendengus. "Urusan? Saya lihat sendiri kamu pergi sama perempuan cantik naik mobil mewah. Enak ya, baru kerja sebentar sudah bisa keluyuran. Jangan-jangan kamu jadi gigolo, ya?"
Ucapan itu membuat Adit merasa malu. Tak pernah ia berpikir untuk menjadi seperti apa yang dituduhkan oleh Pak Rudi. Ia hanya ingin bekerja baik-baik.
Beberapa pegawai yang masih ada di klinik mulai berbisik-bisik. Tatapan mereka penuh rasa ingin tahu dan, beberapa di antaranya, iri. Adit mengepalkan tangan, tapi ia tahu harus tetap tenang.
"Pak, saya nggak melakukan hal yang melanggar aturan. Kalau Bapak mau tahu, perempuan itu yang menarik saya pergi tanpa sempat saya menolak," jawabnya dengan nada datar.
"Alasan!" Pak Rudi membentak. "Saya sudah mencatat ini. Besok pagi saya akan laporkan ke Ibu Celina. Kita lihat apakah dia masih mau mempertahankan pegawai yang tidak disiplin seperti kamu!"
Adit menghela napas panjang. Ia tahu Pak Rudi memang mencari-cari celah untuk menyingkirkannya. Namun, belum sempat ia membalas, suara seorang pegawai perempuan menyela.
"Pak Rudi, mungkin lebih baik dengar penjelasan dari Adit dulu," ujar seorang pegawai bernama Tia, seorang resepsionis yang selalu tampak ramah padanya. "Selama ini dia bekerja dengan baik. Lagipula, kalau benar-benar pergi tanpa izin, kenapa Ibu Celina tidak langsung menegurnya?"
Pak Rudi menoleh tajam ke arah Tia. "Kamu membela anak ini? Kamu pikir kamu siapa di sini?" bentaknya.
Tia menunduk, tapi beberapa pegawai lain tampak setuju dengannya. Adit hanya diam, tak ingin memperpanjang masalah dengan perdebatan yang sia-sia.
***
Adit sampai di rumah. Rasanya lelah sekali, padahal seharian tadi, bisa dibilang, tak ada klien yang ia pijit. Tapi ia membantu menjadi asisten terapis senior lain. Kebanyakan klien yang datang maunya dilayani perempuan.
Terapis di tempat itu kadang memang menganggur jika memang tak ada klien. Namun kadang, mereka harus mengerjakan hal lain di luar urusan memijit. Ada banyak hal yang harud dikerjakan; membersihkan ruangan, loundry handuk dan lain-lain, mengurusi peralatan dan pokoknya banyak.
Pak Rudi juga tak akan rela melihat bawahannya bersantai saat tempat itu sepi. Jadi, pasti selalu ada hal yang harus dikerjakan.
Adit segera mandi, lalu membuat mie rebus. Tadi ia terlalu malas mampir untuk membeli makanan di jalan.
Kini setelah makan, ia berbaring di kasurnya. Rumah terasa sepi. Sejak dulu memang sepi. Tapi setidaknya, jika dulu kakeknya masih hidup, rasanya juga tak sesepi itu.
Kini sambil mencoba tidur, Adit mengingat kembali kejadian yang ia alami. Sungguh sial. Baru kali ini ia mengalami hal gila di mana ia berada satu mobil dengan seorang wanita yang dikejar sekelompok orang. Dan peliknya, ada tembakan pula. Untung masih selamat.
Yang membuat Adit heran, dalam situasi seperti itu, meski ia panik dan bingung, namun ia masih juga merasa tenang. Ia tak mengerti kenapa. Dan saat ia menggenggam tangan Larasati, ia merasakan ketenangan. Di saat yang sama, ia merasa seolah energinya mengalir masuk ke dalam tubuh Larasati, lalu juga sebaliknya, ia seolah merasakan ada getaran energi yang masuk ke dalam tubuhnya. Itu adalah sesuatu yang baginya sulit ia pahami.
Kini ia memandangi lingkaran hitam di jarinya itu.
“Kakek, sebenarnya apa yang terjadi padaku?” ucap Adit lirih.
Kemudian Adit terlelap.
Pagi harinya, seperti yang dijanjikan, Pak Rudi membawa masalah ini ke hadapan Ibu Celina. Adit dipanggil ke ruangannya, sementara Pak Rudi berdiri di samping dengan ekspresi penuh kemenangan.
Adit benar-benar tak habis pikir. Hari masih pagi dan ia baru saja datang. Tiba-tiba saja, Pak Rudi yang seolah sudah menunggunya, segera menghadangnya.
Kini mereka berada di ruangan Ibu Celina.
"Jadi, Adit," suara Ibu Celina terdengar tenang, tapi matanya tajam menatapnya. "Pak Rudi melaporkan bahwa kemarin kamu pergi meninggalkan tempat kerja tanpa izin. Bisa kamu jelaskan?"
Adit menatap lurus ke arah Ibu Celina. "Saya tidak pergi dengan sengaja, Bu. Seorang klien tiba-tiba datang dan menarik saya ke mobilnya. Saya sendiri kaget, tapi saat itu saya tak bisa langsung menolak karena situasinya mendadak."
Pak Rudi tertawa kecil dengan nada mengejek. "Oh, jadi alasanmu karena perempuan? Alasan klasik. Klien apaan! Tak boleh ada klien dilayani di luar klinik ini. Lantas mereka harus membayarnya bagaimana? Ke kamu secara langsung begitu? Ini menyalahi aturan dan kamu layak dipecat!"
Namun, sebelum Pak Rudi bisa melanjutkan serangannya, Ibu Celina menatapnya tajam. "Pak Rudi, saya yang bertanya di sini."
Pak Rudi langsung diam, meskipun wajahnya memerah karena kesal.
"Adit, siapa perempuan itu?" tanya Ibu Celina lagi.
Adit ragu sejenak. "Namanya Larasati, Bu. Saya juga tidak tahu kenapa dia menarik saya seperti itu. Tapi sepertinya dia dalam masalah."
Mata Ibu Celina menyipit. "Larasati?" gumamnya, seolah nama itu tidak asing baginya.
Adit menunggu tanggapannya, tapi alih-alih marah, Ibu Celina justru tersenyum kecil. "Baiklah, saya akan mencari tahu lebih lanjut. Untuk saat ini, saya anggap kamu tidak bersalah. Tapi lain kali, kalau ada hal seperti ini lagi, segera lapor ke saya atau supervisor yang bertugas. Mengerti?"
"Baik, Bu. Terima kasih."
Pak Rudi tampak tidak percaya dengan keputusan itu. Wajahnya merah padam, dan begitu Adit keluar dari ruangan, ia langsung mengejarnya.
"Jangan pikir kamu bisa lolos terus, anak baru," geram Pak Rudi. "Aku akan pastikan kamu jatuh. Ini belum selesai."
Adit hanya tersenyum tipis. Ia sudah tahu kalau Pak Rudi tidak akan berhenti begitu saja. Tapi yang lebih mengusik pikirannya sekarang bukan ancaman Pak Rudi, melainkan reaksi aneh Ibu Celina saat mendengar nama Larasati.
Siapa sebenarnya Larasati? Dan kenapa ia seolah punya hubungan dengan tempat ini?
Keesokan harinya, langit terlihat mendung seolah turut berduka. Pak Darmawan dimakamkan di sebuah pemakaman mewah di kota itu, tempat para orang-orang berpengaruh dikuburkan. Banyak sekali yang datang melayat. Orang-orang memadati area pemakaman. Ada pengusaha berbaju hitam mahal, pejabat yang datang tanpa pengawalan resmi, hingga preman-preman jalanan yang berdiri di pinggir dengan tatapan hormat. Mereka semua pernah berhubungan dengan Pak Darmawan, entah sebagai mitra bisnis, rekan, atau orang yang pernah ia bantu.Semua anak Pak Darmawan datang. Mereka berdiri terpisah berdasarkan kelompok ibu mereka, jarang saling menyapa, hanya sesekali bertukar pandang dengan tatapan yang sulit dibaca. Semua istri Pak Darmawan juga datang, mengenakan pakaian hitam yang elegan. Termasuk Renata, yang berdiri dengan tenang sendirian dengan memegangi payung hitam. Wajahnya terlihat datar tanpa ekspresi berlebihan.Adit berdiri agak jauh di belakang kerumunan, di antara para anak buah yang lain. Mata
Pagi itu terasa berbeda. Matahari bersinar cerah, tapi ada sesuatu dalam udara yang terasa... keliru. Adit tidak bisa menjelaskannya dengan kata-kata; hanya perasaan aneh yang mengganjal di dadanya sejak ia membuka mata.Ia baru saja selesai sarapan ketika Pak Darmawan muncul di ruang makan, sudah berpakaian rapi dengan kemeja golf berwarna krem dan celana bahan hitam. Wajah lelaki tua itu terlihat lebih segar dari biasanya, mungkin karena ia akan melakukan aktivitas favoritnya."Pagi, Dit," sapa Pak Darmawan sambil menyeruput kopi yang disiapkan Bi Inem."Pagi, Pak," jawab Adit. "Mau kemana?""Ah, ada rekan bisnis yang menelefon tadi malam. Ada hal penting yang harus dibicarakan." Pak Darmawan meletakkan cangkirnya. "Kita janjian ketemu sambil main golf."Adit mengangguk pelan, tapi perasaan tidak enak itu semakin menguat. Seperti ada yang mencengkeram ususnya."Pak..." Adit menimbang-nimbang kata-katanya. "Kalau boleh, saya ikut saja. Biar saya bantu jaga."Pak Darmawan tersenyum, m
Telefon masih tersambung. Suara napas Larasati terdengar lembut di ujung sana, menciptakan kehangatan yang justru membuat dada Adit sesak. Adit bukannya tidak senang Larasati menelefon. Justru setiap kali ponselnya bergetar dan nama wanita itu muncul di layar, jantungnya selalu berdegup lebih kencang; campuran antara rindu dan rasa bersalah yang mencekik. Wanita itu, terlalu berharga baginya. Terlalu murni untuk terseret dalam dunia gelap yang kini menyelimutinya.Tanpa Larasati, Adit pun tahu, ia tak akan menjadi sekuat ini. Dialah yang pertama kali membantunya memahami kekuatan aneh yang mengalir dalam tubuhnya. Paling-paling, tanpa Larasati, ia hanya akan memiliki kekuatan sentuhan yang membuat wanita terbuai kenikmatan yang unik; kemampuan dangkal yang mungkin hanya akan ia gunakan untuk kesenangan sesaat. TDan karena itulah, sebetulnya, Adit ingin menghindari Larasati. Ia tak ingin membuat wanita itu masuk lebih dalam lagi ke dalam kehidupannya yang penuh masalah, yang kini tera
Dua sedan hitam melaju membelah jalanan yang mulai lengang. Lampu-lampu jalan menerangi interior mobil dengan cahaya kuning yang redup. Adit duduk di kursi belakang, menatap kosong ke luar jendela. Pikirannya melayang; rumah yang hangus, abu yang masih mengepul, kenangan yang lenyap dalam sekejap.Pak Darmawan duduk di sampingnya, sesekali menghisap cerutu sambil memandang ke depan. Keheningan menggantung di antara mereka, bukan yang canggung, tapi yang penuh pemikiran.Akhirnya, Pak Darmawan memecah kesunyian."Aku tahu rasanya, Dit," katanya pelan, suaranya lebih lembut dari biasanya. "Kehilangan. Rumah bukan hanya soal bangunan, tapi itu kenangan, tempat kamu merasa aman, tempat orang-orang yang kamu sayangi masih terasa ada."Adit menoleh, sedikit terkejut mendengar nada suara Pak Darmawan yang jarang sekali terdengar seperti itu."Dan rumah baru memang tak akan bisa menggantikan kenangan," lanjut Pak Darmawan sambil menghembuskan asap tipis. "Tapi setidaknya bisa jadi awal yang b
Adit berjalan kembali ke tempat duduknya, langkahnya sedikit berat. Keringat masih membasahi wajah dan lehernya. Begitu sampai, Pak Darmawan sudah berdiri menyambutnya dengan senyum lebar; ekspresi yang jarang terlihat di wajah bosnya yang biasanya datar itu."Bagus, Dit! Bagus sekali!" Pak Darmawan menepuk bahu Adit dengan antusias. "Kamu tahu? Tadi aku menang banyak. Kau pun akan mendapatkan bagianmu! Sombat itu favorit banyak orang, odds-nya menguntungkan sekali untukmu."Adit hanya mengangguk pelan, masih mengatur napas. Dia mengambil handuk kecil dari kursi dan mengusap wajahnya.Pak Darmawan menatapnya sejenak, lalu bertanya dengan nada lebih serius, "Kondisimu bagaimana? Masih bisa bertarung lagi malam ini? Ada satu pertarungan lagi yang mungkin bisa kamu ambil. Lawannya tidak seberat Sombat."Adit menarik napas panjang, merasakan tubuhnya. Tidak ada yang serius; beberapa memar, sedikit pegal, tapi itu biasa. Kekuatan gaibnya membuat pemulihan tubuhnya jauh lebih cepat dari ora
Lampu sorot menyapu arena yang dikelilingi barisan kursi kulit mewah. Asap tipis dari cerutu para bos mengepul ke langit-langit tinggi gudang yang telah disulap menjadi arena underground yang sangat eksklusif. MC, seorang pria paruh baya berjas mengkilap, melangkah ke tengah arena sambil memegang mikrofon."Ladies and gentlemen!" suaranya menggema. "Pertarungan berikutnya malam ini akan mempertemukan dua fighter dengan latar belakang yang sangat berbeda!"Tepuk tangan riuh dari para penonton. Pak Darmawan duduk di barisan depan, menghisap cerutunya dengan tenang. Di beberapa kursi lainnya, bos lain berbisik-bisik sambil melihat catatan taruhan mereka."Dari Bangkok, Thailand! Dengan rekor delapan belas kemenangan, tiga belas di antaranya KO! Mantan juara underground Patpong! Sombat Ruangsak!"Seorang pria bertubuh atletis melangkah masuk dengan percaya diri. Sombat tingginya sekitar 175 cm, tubuhnya kering berotot seperti kabel baja terpilin. Kulitnya cokelat gelap, rambutnya dicukur