Home / Urban / Tukang Pijat Tampan / Kejadian Di Sore Hari

Share

Kejadian Di Sore Hari

Author: Black Jack
last update Last Updated: 2025-03-05 15:49:17

Adit bersandar di jok mobil, mencoba mencerna situasi. Cincin itu memang tidak terlihat bentuk fisiknya. Hanya seperti tatto di jari tangan adit. Namun demikian, Adit merasakannya saat merabanya.

Dan kini, dekat dengan Larasati, ia tak mengerti kenapa jemarinya itu terasa hangat.

Larasati mengemudi dengan ekspresi tegang, matanya sesekali melirik ke kaca spion seakan-akan sedang memastikan sesuatu. Di luar, matahari mulai condong ke barat, lampu-lampu jalanan mulai menyala, menciptakan bayangan panjang di kota yang masih cukup ramai.

"Kamu bilang ada yang mengejarmu?" Adit akhirnya membuka suara.

Larasati menggigit bibirnya, lalu mengangguk. "Ya, dan aku tidak tahu harus lari ke mana lagi."

Adit menghela napas. "Tapi kenapa aku? Kenapa kamu tiba-tiba menyeretku ke dalam masalah ini?"

Larasati tidak langsung menjawab. Ia membelokkan mobil ke sebuah jalan kecil yang lebih sepi, lalu mematikan mesin. Di bawah cahaya senja yang mulai meredup, wajahnya tampak sedikit pucat.

"Karena aku yakin kamu bisa melindungiku. Dan... ada hal aneh yang terjadi sejak aku bersentuhan denganmu," ucapnya lirih.

Adit mengepalkan tangan. Ia sangat yakin, itu pasti karena cincin tinggalan kakeknya dan hal itu membuatnya terseret dalam situasi yang semakin rumit. Masalahnya, Adit tak tahu bagaimana melepaskannya; cincin itu sudah berubah menjadi tatto.

Namun, sebelum ia sempat berkata apa-apa, suara deru mobil mendekat dengan cepat. Larasati tampak panik, segera menyalakan kembali mesin mobil.

"Mereka menemukan kita! Pegangan!" seru Larasati. Ia menginjak pedal gas dalam-dalam.

Mobil melaju kencang di jalanan sempit, suara klakson dan ban berdecit terdengar dari belakang. Adit menoleh dan melihat sebuah sedan hitam mengejar mereka dengan kecepatan tinggi. Jantungnya berdetak lebih cepat.

"Siapa mereka?" tanya Adit.

"Orang-orang yang ingin mengambil sesuatu dariku," jawab Larasati singkat.

Tiba-tiba, suara tembakan terdengar! Kaca belakang mobil retak, Larasati berteriak tertahan. Adit langsung merunduk refleks.

"Sial! Mereka benar-benar serius!" Adit meraih sabuk pengaman dan mengencangkannya. "Kita nggak bisa terus lari begini. Kamu tahu tempat aman?"

"Ada," jawab Larasati. "Tapi kita harus sempat sampai ke sana dulu!"

Mobil berbelok tajam, hampir kehilangan kendali, tapi Larasati tetap memegang kemudi dengan kuat. Adit merasakan cincin di jarinya mulai hangat, seolah merespons ketegangan situasi. Ada sesuatu yang mengalir dalam tubuhnya, perasaan aneh yang sulit dijelaskan.

"Laras!" seru Adit tiba-tiba. "Ke kiri!"

Tanpa bertanya, Larasati membanting setir ke kiri. Sedan hitam yang mengejar mereka tidak siap dengan manuver mendadak itu dan melaju lurus, kehilangan jejak sesaat.

Larasati tidak menyia-nyiakan kesempatan. Ia menekan gas lebih dalam, membawa mereka menjauh. Setelah beberapa menit, ia akhirnya memperlambat mobil dan memasuki sebuah gang tersembunyi di belakang bangunan tua.

Mereka berdua terengah-engah. Suasana di dalam mobil terasa sunyi, hanya suara napas mereka yang terdengar.

"Aku rasa kita aman untuk sementara," bisik Larasati.

Adit menatapnya. "Sekarang kamu bisa jelaskan? Siapa yang mengejarmu dan kenapa?"

Larasati diam beberapa saat, lalu menarik napas dalam. "Mereka orang-orang yang dulu berurusan dengan keluargaku. Ada sesuatu yang mereka inginkan, dan aku satu-satunya yang tahu di mana itu berada."

Adit mengernyit. "Sesuatu? Apa maksudmu?"

“Aku belum bisa bercerita sekarang,” kata Larasati.

Adit duduk bersandar di jok mobil, masih mencoba mengatur napasnya. Sementara itu, Larasati mengintip dari celah jendela, memastikan tidak ada yang mengikuti mereka lagi. Matahari mulai tenggelam di ufuk barat, langit berubah menjadi oranye kemerahan yang kontras dengan ketegangan yang masih menggantung di antara mereka.

"Sepertinya kita sudah aman," ucap Adit, meski di dalam hatinya ia masih waspada.

Larasati menarik napas panjang, lalu menatap Adit. "Aku tahu kamu pasti punya banyak pertanyaan." Matanya terlihat sedikit lelah, tetapi sorotnya tetap tajam.

Adit mengangguk. "Ya, dan aku rasa ini waktunya kamu menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi. Siapa orang-orang itu? Kenapa mereka mengejarmu?"

Larasati menunduk, jemarinya saling menggenggam di pangkuannya. "Aku nggak bisa menjelaskan semuanya sekarang. Tapi yang jelas, ini berhubungan dengan keluargaku. Dengan sesuatu yang berharga yang mereka inginkan dariku."

Adit menatapnya tajam. "Sesuatu? Apa itu?"

Larasati menggeleng. "Aku nggak bisa memberitahumu sekarang. Tapi satu hal yang aku tahu pasti… sejak bersentuhan denganmu, ada sesuatu yang berubah."

Adit mengernyit. "Berubah bagaimana?"

Larasati menggigit bibirnya, lalu mengangkat telapak tangannya, memperlihatkan punggung tangan yang tadi sempat bersentuhan dengan Adit.  “Genggam tanganku…”

Tanpa bertanya, Adit melakukannya.

"Aku tidak bisa menjelaskan dengan kata-kata. Tapi ada rasa… hangat, dan sesuatu seperti getaran yang aneh di tubuhku sejak saat itu."

Adit menatap tangannya, lalu merasakan cincin di jarinya sedikit berdenyut. Ia mulai menyadari bahwa cincinnya tidak hanya sekadar memberikan efek biasa. Ada hal lain yang lebih dalam yang belum ia pahami sepenuhnya.

Keduanya sama-sama diam. Tangan Adit masih menggenggam tangan Larasati. Ia melihat wajah sosok yang cantik itu bersemu kemerahan. Dan ada tanda-tanda serupa dengan orang yang pernah ia pijat, meski Laras tak seekstrim itu menunjukkannya.

“Cukup…” kata Larasati.

Adit melepaskan genggaman tangannya.

Sebelum Adit sempat bertanya lebih jauh, Larasati kembali berbicara, kali ini suaranya lebih tegas. "Kita harus berpisah untuk sementara. Aku nggak ingin kamu terseret lebih jauh ke dalam masalah ini."

Adit mengerutkan dahi. "Kamu pikir aku bisa lepas begitu saja setelah apa yang terjadi? Aku sudah terlibat, Laras. Dan aku juga nggak bisa membiarkanmu menghadapi ini sendirian."

Larasati terdiam beberapa saat, lalu akhirnya mengangguk pelan. "Kalau begitu… kita akan bertemu lagi. Aku yang akan menghubungimu. Untuk sementara, jangan cari aku. Jangan ikut campur sebelum aku siap menjelaskan semuanya."

Adit tahu ada banyak hal yang masih disembunyikan Larasati, tetapi ia juga sadar bahwa memaksanya sekarang hanya akan membuat keadaan semakin rumit. Akhirnya, ia mengangguk setuju. Toh ia juga tak tahu bagaimana harus mencari wanita kaya itu.

Larasati menyalakan kembali mobilnya dan mengantarkan Adit kembali ke tempat kerjanya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Related chapters

  • Tukang Pijat Tampan   Pak Rudi Terus Mencari Celah

    Adit kembali ke tempat kerja dengan perasaan campur aduk. Setelah semua kejadian yang dialaminya bersama Larasati, pikirannya masih penuh tanda tanya.Sentuhan Larasati tadi menciptakan suatu reaksinya aneh; seolah ada sesuatu yang bangkit dalam dirinya. Namun, belum sempat ia merenungkan lebih jauh, langkahnya terhenti saat melihat sosok Pak Rudi berdiri di depan pintu klinik dengan tangan terlipat di dada."Akhirnya muncul juga," suara Pak Rudi terdengar tajam, matanya menyipit penuh kecurigaan. "Kamu pikir tempat ini warung kopi yang bisa keluar masuk seenaknya?"Adit menarik napas, menahan kesal. Ia tahu ia salah juga karena yang tadi itu bisa dibilang ia membolos kerja. Namun sikap Pak Rudi sungguh tak menyenangkan. "Saya tadi ada urusan mendadak, Pak."Pak Rudi mendengus. "Urusan? Saya lihat sendiri kamu pergi sama perempuan cantik naik mobil mewah. Enak ya, baru kerja sebentar sudah bisa keluyuran. Jangan-jangan kamu jadi gigolo, ya?"Ucapan itu membuat Adit merasa malu. Tak pe

    Last Updated : 2025-03-06
  • Tukang Pijat Tampan   Diajak Makan Malam Klien

    Dari ruangan Ibu Celina, dan lolos dari Pak Rudi, Adit kembali bekerja seperti biasa. Belum ada klien yang datang. Ia memilih untuk mengobrol bersama terapis lain. Namun sesungguhnya, ia tidak fokus juga diajak mengobrol teman-temannya.Setelah kejadian dengan Larasati dan perdebatan panjang dengan Pak Rudi, ia merasa butuh angin segar sebetulnya. Mengobrol bersama yang lain bisa menjadi sebuah solusi. Namun, entah kenapa, pikirannya masih melayang ke kejadian-kejadian aneh yang dialaminya belakangan ini.Waktu berjalan dan satu demi satu para terapis senior itu sudah mendapatkan klien. Tinggal adit seorang di ruangan itu. Sendirian menunggu. Namun tak lama kemudian, ia mendengar seseorang memanggil namanya."Adit, kamu ada klien baru. Dia minta dipijat oleh terapis pria. Hanya kamu yang kosong kan!" ujar Tia, si resepsionis yang kemarin sore membelanya saat Pak Rudi marah-marah.“E, iya...” Adir segera berdiri. “Ruangan mana?”“Ruang 18,” balas Tia. Ia mendekat dan berkata pelan, “Ya

    Last Updated : 2025-03-07
  • Tukang Pijat Tampan   Ajakan Ke Hotel

    Adit menatap uang lima lembar seratus ribuan di tangannya. Rasanya masih sulit percaya kalau ia baru saja menerima tip sebesar itu hanya dari satu sesi pijat. Seumur-umur bekerja di tempat ini, belum pernah ada klien yang memberinya uang sebanyak ini sebagai bonus."Kamu layak mendapatkannya," kata Ratna tadi sebelum keluar dari ruangan. "Aku harap kamu tidak keberatan aku mengajakmu makan malam nanti."Adit tidak tahu harus menjawab apa saat itu. Namun, melihat cara Ratna tersenyum, caranya menggenggam tangannya sesaat sebelum pergi, ia tahu bahwa ajakan itu bukan sekadar basa-basi.Maka, ia pun mengangguk dan menerima ajakan tersebut. Adit sendiri tak tahu kenapa ia tak bisa menolak. Mereka sempat bertukar nomor telepon sebelum Ratna meninggalkan tempat pijat dengan langkah ringan.Ia menyimpan uang itu dengan hati-hati ke dalam dompetnya yang sudah mulai usang. Lima ratus ribu—jumlah yang sangat berarti bagi Adit yang selama ini hidup pas-pasan. Apalagi ia masih harus membayar cici

    Last Updated : 2025-03-08
  • Tukang Pijat Tampan   Malam Penuh Godaan

    Suasana kamar hotel terasa nyaman dengan pencahayaan temaram dari lampu gantung berwarna keemasan. Ruangan itu cukup luas, dengan sofa empuk berwarna krem, meja kaca kecil di tengah, dan ranjang besar di ujung ruangan. Pendingin ruangan menyebarkan hawa sejuk yang kontras dengan kehangatan wine yang mulai mengalir dalam tubuh Adit.Ratna duduk menyilangkan kakinya di sofa, tampak begitu santai, sementara Adit masih duduk kaku di ujung sofa lainnya, menggenggam gelas wine yang belum habis diminumnya. Kepalanya terasa sedikit ringan, tetapi kesadarannya masih cukup terjaga. Ia belum terbiasa dengan minuman keras, berbeda dengan Ratna yang tampak begitu terbiasa menenggaknya.“Sudah kubilang, minumlah pelan-pelan.” Ratna tersenyum, matanya sedikit menyipit, entah karena efek alkohol atau sesuatu yang lain.Adit tersenyum kecil. “Aku memang nggak biasa minum, Mbak... baru kali ini malah.”“Bagus, berarti kamu masih polos.” Ratna tertawa kecil, lalu mendekatkan tubuhnya ke arah Adit. Wangi

    Last Updated : 2025-03-09
  • Tukang Pijat Tampan   Masalah Dengan Geng Motor

    Udara malam terasa dingin saat Adit mengendarai motornya meninggalkan hotel. Tubuhnya masih terasa ringan akibat pengaruh wine, dan pikirannya melayang ke kejadian tadi. Ratna, godaan-godaan yang nyaris menggoyahkannya, dan kejadian aneh yang baru saja ia alami. Ada sesuatu yang tidak beres dengan dirinya, tetapi ia belum bisa memahami kenapa hal itu bisa terjadi.‘Apa iya ini gara-gara minuman? Ituku tak bisa berdiri. Padahal... aku pun tergoda...’ ucap Adit dalam hati.Lampu-lampu jalan menyinari aspal yang sedikit basah setelah gerimis sore tadi. Adit berusaha menjaga keseimbangan, tapi matanya terasa berat. Sesekali, ia menggelengkan kepala untuk mengusir rasa kantuk dan efek alkohol yang masih menguasainya. Kadang motornya sedikit oleng.Tiba-tiba, suara raungan knalpot pecah di udara. Sekelompok motor melaju kencang dari belakang, menyalip kendaraan-kendaraan lain dengan ugal-ugalan. Adit refleks menoleh ke kaca spion. Sebuah geng motor dengan jaket kulit hitam dan logo tengkora

    Last Updated : 2025-03-10
  • Tukang Pijat Tampan   Bersama Tia

    Adit menyadari bahwa ia harus lebih berhati-hati dengan tangannya. Sejak insiden-insiden sebelumnya, ia tak ingin sembarangan menyentuh orang. Karena itu, ke mana pun ia pergi, kini ia selalu mengenakan sarung tangan. Ia hanya akan melepasnya untuk keperluan tertentu, terutama saat memijat kliennya.Hari itu, di tempat kerja, suasana terasa lengang baginya. Seperti sebelumnya, Pak Rudi sengaja tak mengoperkan klien untuknya. Waktu terasa berjalan lambat, dan Adit hanya bisa duduk menunggu tanpa kepastian.Ketika jam makan siang tiba, Adit bangkit dari kursinya, bermaksud mencari makan di luar. Namun, sebelum ia sempat melangkah keluar, Tia, yang bekerja sebagai penerima tamu di bagian depan, menemui dan tersenyum ke arahnya."Adit, kamu mau makan siang bareng nggak? Aku juga lagi mau keluar cari makan," kata Tia sambil menepuk ringan lengan Adit.Adit menatapnya sejenak, lalu mengangguk. "Boleh. Kita makan di mana?""Ada warung enak di dekat sini. Nggak jauh kok, jalan kaki juga bisa,

    Last Updated : 2025-03-11
  • Tukang Pijat Tampan   Curhatan Tia

    Setelah insiden di warung makan, suasana di antara Adit dan Tia menjadi sedikit canggung. Tia tampak gelisah, beberapa kali melirik ke belakang, seolah takut Dewa masih mengikutinya. Adit, yang sejak tadi memperhatikan gerak-geriknya, akhirnya membuka suara."Tia, kamu baik-baik saja?" tanyanya sambil tetap fokus mengendarai motornya.Tia terdiam sejenak sebelum akhirnya menghela napas panjang. "Aku nggak tahu, Dit. Rasanya aku capek banget." Suaranya lirih, nyaris tenggelam di antara deru kendaraan yang melintas.Mereka terus melaju di jalanan yang mulai lengang, lampu-lampu jalan menerangi trotoar yang kosong. Beberapa menit kemudian, Adit membelokkan motornya ke arah kos-kosan Tia. Ia memarkir kendaraan di depan pagar, lalu menoleh ke arah gadis itu yang masih duduk diam di boncengan."Mau ngobrol sebentar?" tawar Adit.Tia menatapnya, ragu-ragu sejenak, sebelum akhirnya mengangguk. "Di depan aja, ya. Aku nggak mau teman-teman kos lihat aku kayak gini."Mereka pun duduk di bangku k

    Last Updated : 2025-03-12
  • Tukang Pijat Tampan   Klien Muda Bernama Mira

    Adit baru saja menyelesaikan pijatannya untuk Mira, dan ia bisa melihat betapa puasnya wanita itu. Mira berbaring beberapa saat, menikmati efek pijatan yang masih terasa di tubuhnya.Setelah sesi pijat selesai, Mira duduk di tepi ranjang dengan wajah masih sedikit memerah. Tubuhnya terasa ringan, nyaris seperti melayang. Ia merapikan rambutnya sambil tersenyum puas, lalu menatap Adit dengan sorot mata yang sulit dijelaskan."Adit, kamu benar-benar luar biasa. Aku belum pernah merasakan pijatan seperti ini sebelumnya," katanya, suara lembutnya mengandung kekaguman yang tulus. "Kamu harus jadi terapis pribadi buatku. Ya nggak Cel, ia menoleh ke arah lain.Adit ikut menoleh, ke belakang dan sedikit terkejut, “Eh, sejak Kapan Ibu ada di sana?”“Belum lama!” balas Celina sambil tersenyum. “Kamu sih, fokus banget sampai nggak sadar aku masuk ruangan ini dan duduk di sini!”"Gila, Dit... tanganku sampai kesemutan saking rileksnya," kata Mira sambil tertawa kecil. Ia perlahan bangkit dan dudu

    Last Updated : 2025-03-13

Latest chapter

  • Tukang Pijat Tampan   Menyembunyikan Dan Mengendalikan Kekuatan

    Setelah pertarungan itu, Mbah Joyo membimbing mereka kembali ke dalam pondoknya. Tubuh Adit masih gemetar akibat penggunaan kekuatan yang besar, sementara Larasati nampak cemas melihat kondisi sahabatnya barunya itu.Mbah Joyo mengambil beberapa daun kering dan rempah-rempah dari toples yang tersimpan di rak dapurnya, lalu menyeduhnya dengan air panas."Minumlah," kata Mbah Joyo, menyodorkan secangkir ramuan herbal kepada Adit. "Ini akan memulihkan tubuhmu."Adit menerima cangkir itu dan meminumnya perlahan. Rasa pahit yang diikuti kehangatan menjalar ke seluruh tubuhnya, memberikan sensasi tenang yang aneh."Terima kasih," ucap Adit, merasakan kekuatannya berangsur pulih. "Sebenarnya itu tadi... apa yang saya lakukan? Saya merasa kadang tidak berpikir saat melawan dua orang itu. Seolah, tubuh ini bergerak sendiri…"Mbah Joyo duduk bersila di hadapan mereka, wajahnya yang berkeriput menyiratkan keseriusan. "Kau baru saja menunjukkan potensi kekuatan yang kau miliki. Tapi menggunakanny

  • Tukang Pijat Tampan   Dua Orang Asing Datang

    Larasati menutup matanya sejenak, mencoba memperdalam konsentrasinya. Ia bisa merasakan getaran energi yang semakin mendekat, seperti gelombang yang merambat melalui tanah di bawah kaki mereka."Dua orang," gumamnya pelan. "Seorang laki-laki dan perempuan. Mereka... berbeda. Energi mereka terasa dingin, seperti kabut di pegunungan yang menusuk tulang."Mbah Joyo mengangguk perlahan. Garis-garis di wajahnya yang sudah menua semakin dalam saat ia memejamkan mata, membuka indera keenamnya."Benar. Mereka bukan orang biasa. Mereka sudah terlatih, tapi berbahaya. Mereka pasti bagian dari sekte itu."Adit yang sedari tadi hanya mendengarkan, bangkit dari duduknya. Rahangnya mengeras dan tangannya terkepal. " Kalau mereka mencari masalah, biar aku yang hadapi. Hanya dua kan. Mungkin aku bisa melawannya. Kita tak bisa terus lari, Laras…"Mbah Joyo menatap Adit dengan senyuman tipis yang misterius. "Kau berani, Nak. Itu bagus. Dan kau benar, kadang-kadang kita memang harus berhenti lari dan me

  • Tukang Pijat Tampan   Di Kaki Gunung

    Sementara Adit bergegas ke kamarnya untuk berkemas, Laras berdiri di dekat jendela, matanya menyapu jalanan di depan rumah Adit. Entah kenapa, ia merasa sedang diawasi. Kemampuan barunya untuk membaca aura dan energi memberikan perasaan tidak nyaman; seperti ada kehadiran asing di sekitar mereka.Di kamar, Adit segera berganti pakaian dan membawa apa saja yang perlu dibawa."Sudah siap?" tanya Laras saat Adit keluar dari kamar dengan tas kecilnya."Sudah," jawab Adit, meski dalam hatinya ia merasa sama sekali tidak siap untuk apa pun yang akan mereka hadapi.Mereka berjalan ke mobil Laras. Sebelum masuk, Adit menoleh ke rumah kecilnya. Entah kenapa, ia merasa mungkin tidak akan kembali dalam waktu dekat."Tenang saja," Laras seolah bisa membaca kekhawatirannya. "Kita akan kembali. Tapi kita perlu belajar mengendalikan ini dulu," ia mengangkat tangannya yang sempat berpendar dengan cahaya ungu.Adit mengangguk dan masuk ke mobil. Saat mesin dihidupkan dan mobil mulai bergerak, ia meras

  • Tukang Pijat Tampan   Mencari Guru

    Di rumahnya yang megah, Larasati berbaring di ranjang king size-nya, menatap langit-langit kamar yang tinggi. Rumah besar ini terasa lebih sunyi dan dingin setelah menghabiskan waktu di rumah kecil Adit yang hangat.Ia menutup mata, mencoba merasakan sisa-sisa energi Adit yang masih terasa di tubuhnya. Seperti bekas sentuhan yang tidak bisa dihapus, energi itu masih berdenyut lembut di bawah kulitnya, mengingatkannya pada sensasi luar biasa yang ia rasakan di bawah sentuhan pria itu."Kenapa kamu tidak menahanku, Adit?" bisiknya pada keheningan kamar.Ponselnya berbunyi sekali lagi. Ia membaca pesan dari Adit dan tersenyum. Ada banyak yang tidak terucap di antara mereka, banyak perasaan yang tertahan. Tapi mungkin ini memang belum waktunya. Mereka baru saja memulai perjalanan untuk memahami kekuatan mereka, untuk memahami ikatan aneh yang menghubungkan mereka.Laras bangkit dan berjalan ke jendela besar yang menghadap ke taman belakang rumahnya. Langit malam bertabur bintang, bulan se

  • Tukang Pijat Tampan   Saling Menunggu

    Mereka keluar dari kamar dengan perasaan yang campur aduk. Adit berjalan lebih dulu, berusaha menenangkan detak jantungnya yang masih berpacu cepat. Ia merapikan rambutnya yang berantakan dengan jari, mencoba terlihat normal meski pikirannya masih berkecamuk dengan apa yang baru saja terjadi.Larasati mengikuti di belakangnya, wajahnya masih merona. Tatapannya terus tertuju pada punggung Adit, seolah menunggu pria itu berbalik dan melanjutkan apa yang tadi terhenti. Namun Adit tidak berani; atau mungkin tidak menyadari tatapan itu."Kamu mau minum sesuatu?" tanya Adit, suaranya terdengar serak. Ia berdeham, berusaha menormalkan nada bicaranya."Air putih saja," jawab Laras, duduk di sofa ruang tamu. Tangannya masih sedikit gemetar.Adit mengambil dua gelas air dari dapur. Saat kembali, ia melihat Laras sedang memejamkan mata, seperti menikmati sensasi yang masih tersisa di tubuhnya. Pemandangan itu membuat tenggorokannya mengering. Ada dorongan kuat untuk kembali menyentuh gadis itu,

  • Tukang Pijat Tampan   Efek Lebih Kuat Dari Sebelumnya

    Kamar Adit sama sederhananya dengan bagian rumah lainnya; sebuah ranjang single dengan sprei putih bersih, lemari kayu kecil, dan meja kerja sederhana di sudut ruangan. Ada rak buku di dinding yang dipenuhi berbagai buku sekolahnya dulu, novel silat, dan buku-buku tua milik kakeknya.Larasati masuk dengan langkah ringan, matanya menjelajahi ruangan pribadi Adit dengan penuh ketertarikan. "Kamar yang nyaman," komentarnya sambil duduk di tepi ranjang.Adit berdiri canggung di ambang pintu, jantungnya berdegup kencang. Ini pertama kalinya ada wanita yang masuk ke kamarnya."Jadi... kamu mau kupijit bagian mana?" tanya Adit, berusaha terdengar profesional meski tangannya mulai berkeringat."Bahuku dan punggungku terasa kaku setelah semua kejadian hari ini," jawab Laras sambil menggerakkan bahunya yang terasa tegang. "Mungkin kamu bisa mulai dari situ?"Adit mengangguk. "Baiklah. Kamu bisa berbaring tengkurap."Laras melepas sweaternya, menyisakan kaos tipis berwarna putih yang memperlihat

  • Tukang Pijat Tampan   Larasati Minta Dipijit

    Rumah Adit memang kecil, hanya berukuran 6x8 meter dengan satu kamar tidur dan ruang tamu yang menyatu dengan dapur sederhana. Dindingnya berwarna putih kusam yang mulai mengelupas di beberapa bagian. Perabotan di dalamnya minimalis; sebuah kursi kayu tua berwarna cokelat, meja kayu, dan lemari kecil tempat beberapa buku tersusun rapi.Laras duduk di kursi kayu tua yang berderit pelan ketika ia menyamankan posisinya. Matanya menjelajahi setiap sudut ruangan dengan penuh minat. Meski sederhana, rumah ini terasa hidup dan hangat; sangat berbeda dengan rumah megahnya yang sering terasa dingin dan kosong."Maaf ya, rumahku hanya seperti ini,” kata Adit sambil membawa dua cangkir kopi dari dapur kecilnya.Laras menggeleng. "Justru aku suka di sini. Rumahku terlalu besar untuk ditinggali sendirian.""Kamu sendirian di rumah?" tanya Adit sambil meletakkan cangkir di atas meja."Ayah dan Ibu jarang pulang. Kamu tahu sendiri, ayahku pejabat. Waktunya di kantor dan entah apa itu jauh lebih bany

  • Tukang Pijat Tampan   Kekuatan Baru Adit

    Larasati menoleh ke belakang. Iris matanya membesar melihat gerombolan motor yang mendekati mereka dengan kecepatan tinggi."Sepertinya mereka mengarah ke kita," bisik Laras, suaranya tertahan. Tangannya secara naluriah mencengkeram dashboard mobil.Adit mengencangkan pegangannya pada kemudi. "Tenang saja. Mungkin mereka cuma mau lewat."Tapi kalimat Adit tidak sesuai dengan tindakannya. Ia mempercepat laju mobil, matanya terus melirik spion. Gerombolan pemuda itu semakin mendekat, beberapa di antaranya memukul-mukul tongkat ke aspal sambil memacu kendaraan mereka."Adit, mereka semakin dekat," kata Laras, berusaha terdengar tenang meski jantungnya berdegup kencang."Aku tahu," jawab Adit pendek. Keningnya berkerut, mencari jalan keluar dari situasi ini. "Laras menggeleng. "Sepertinya mereka preman kampung sini—" Kata-katanya terpotong saat sebuah motor menyalip dan memepet di samping mobil mereka. Pengendaranya, seorang pemuda dengan tato di lengan, menatap tajam ke arah mereka."Mi

  • Tukang Pijat Tampan   Setelah Dari Candi

    Langit mulai menghangat, menjelang siang, ketika Adit dan Larasati melangkah meninggalkan reruntuhan candi tua itu. Semuanya terasa hening, terlalu hening. Tak ada suara burung, bahkan angin pun enggan bergerak. Daun-daun hanya bergeming, seolah menahan napas.Mereka melintasi pelataran kecil yang dipenuhi lumut. Di ujung jalan setapak berbatu itu, berdiri seorang lelaki tua. Pakaiannya serba putih, lusuh tapi bersih, wajahnya tirus namun tidak menyeramkan; justru teduh, dengan tatapan yang terasa menembus jauh ke dalam dada.Langkah Adit terhenti. Larasati pun ikut berhenti di sampingnya. Lelaki itu bukan penjaga kompleks candi yang di awal menyambut mereka. Pakaian putih yang dia kenakan itu pun terlihat kuno, seperti apakain brahmana jaman dulu, yang mereka lihat di film-film silat.“Kalian telah membuka pintu yang tak seharusnya dibuka. Ada yang kalian dapatkan saat ini, namun juga akan ada yang datang menghampiri kalian berdua. Bersiaplah. Segala sesuatunya, akan dimulai dari sek

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status