LOGINAdit bersandar di jok mobil, mencoba mencerna situasi. Cincin itu memang tidak terlihat bentuk fisiknya. Hanya seperti tatto di jari tangan adit. Namun demikian, Adit merasakannya saat merabanya.
Dan kini, dekat dengan Larasati, ia tak mengerti kenapa jemarinya itu terasa hangat.
Larasati mengemudi dengan ekspresi tegang, matanya sesekali melirik ke kaca spion seakan-akan sedang memastikan sesuatu. Di luar, matahari mulai condong ke barat, lampu-lampu jalanan mulai menyala, menciptakan bayangan panjang di kota yang masih cukup ramai.
"Kamu bilang ada yang mengejarmu?" Adit akhirnya membuka suara.
Larasati menggigit bibirnya, lalu mengangguk. "Ya, dan aku tidak tahu harus lari ke mana lagi."
Adit menghela napas. "Tapi kenapa aku? Kenapa kamu tiba-tiba menyeretku ke dalam masalah ini?"
Larasati tidak langsung menjawab. Ia membelokkan mobil ke sebuah jalan kecil yang lebih sepi, lalu mematikan mesin. Di bawah cahaya senja yang mulai meredup, wajahnya tampak sedikit pucat.
"Karena aku yakin kamu bisa melindungiku. Dan... ada hal aneh yang terjadi sejak aku bersentuhan denganmu," ucapnya lirih.
Adit mengepalkan tangan. Ia sangat yakin, itu pasti karena cincin tinggalan kakeknya dan hal itu membuatnya terseret dalam situasi yang semakin rumit. Masalahnya, Adit tak tahu bagaimana melepaskannya; cincin itu sudah berubah menjadi tatto.
Namun, sebelum ia sempat berkata apa-apa, suara deru mobil mendekat dengan cepat. Larasati tampak panik, segera menyalakan kembali mesin mobil.
"Mereka menemukan kita! Pegangan!" seru Larasati. Ia menginjak pedal gas dalam-dalam.
Mobil melaju kencang di jalanan sempit, suara klakson dan ban berdecit terdengar dari belakang. Adit menoleh dan melihat sebuah sedan hitam mengejar mereka dengan kecepatan tinggi. Jantungnya berdetak lebih cepat.
"Siapa mereka?" tanya Adit.
"Orang-orang yang ingin mengambil sesuatu dariku," jawab Larasati singkat.
Tiba-tiba, suara tembakan terdengar! Kaca belakang mobil retak, Larasati berteriak tertahan. Adit langsung merunduk refleks.
"Sial! Mereka benar-benar serius!" Adit meraih sabuk pengaman dan mengencangkannya. "Kita nggak bisa terus lari begini. Kamu tahu tempat aman?"
"Ada," jawab Larasati. "Tapi kita harus sempat sampai ke sana dulu!"
Mobil berbelok tajam, hampir kehilangan kendali, tapi Larasati tetap memegang kemudi dengan kuat. Adit merasakan cincin di jarinya mulai hangat, seolah merespons ketegangan situasi. Ada sesuatu yang mengalir dalam tubuhnya, perasaan aneh yang sulit dijelaskan.
"Laras!" seru Adit tiba-tiba. "Ke kiri!"
Tanpa bertanya, Larasati membanting setir ke kiri. Sedan hitam yang mengejar mereka tidak siap dengan manuver mendadak itu dan melaju lurus, kehilangan jejak sesaat.
Larasati tidak menyia-nyiakan kesempatan. Ia menekan gas lebih dalam, membawa mereka menjauh. Setelah beberapa menit, ia akhirnya memperlambat mobil dan memasuki sebuah gang tersembunyi di belakang bangunan tua.
Mereka berdua terengah-engah. Suasana di dalam mobil terasa sunyi, hanya suara napas mereka yang terdengar.
"Aku rasa kita aman untuk sementara," bisik Larasati.
Adit menatapnya. "Sekarang kamu bisa jelaskan? Siapa yang mengejarmu dan kenapa?"
Larasati diam beberapa saat, lalu menarik napas dalam. "Mereka orang-orang yang dulu berurusan dengan keluargaku. Ada sesuatu yang mereka inginkan, dan aku satu-satunya yang tahu di mana itu berada."
Adit mengernyit. "Sesuatu? Apa maksudmu?"
“Aku belum bisa bercerita sekarang,” kata Larasati.
Adit duduk bersandar di jok mobil, masih mencoba mengatur napasnya. Sementara itu, Larasati mengintip dari celah jendela, memastikan tidak ada yang mengikuti mereka lagi. Matahari mulai tenggelam di ufuk barat, langit berubah menjadi oranye kemerahan yang kontras dengan ketegangan yang masih menggantung di antara mereka.
"Sepertinya kita sudah aman," ucap Adit, meski di dalam hatinya ia masih waspada.
Larasati menarik napas panjang, lalu menatap Adit. "Aku tahu kamu pasti punya banyak pertanyaan." Matanya terlihat sedikit lelah, tetapi sorotnya tetap tajam.
Adit mengangguk. "Ya, dan aku rasa ini waktunya kamu menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi. Siapa orang-orang itu? Kenapa mereka mengejarmu?"
Larasati menunduk, jemarinya saling menggenggam di pangkuannya. "Aku nggak bisa menjelaskan semuanya sekarang. Tapi yang jelas, ini berhubungan dengan keluargaku. Dengan sesuatu yang berharga yang mereka inginkan dariku."
Adit menatapnya tajam. "Sesuatu? Apa itu?"
Larasati menggeleng. "Aku nggak bisa memberitahumu sekarang. Tapi satu hal yang aku tahu pasti… sejak bersentuhan denganmu, ada sesuatu yang berubah."
Adit mengernyit. "Berubah bagaimana?"
Larasati menggigit bibirnya, lalu mengangkat telapak tangannya, memperlihatkan punggung tangan yang tadi sempat bersentuhan dengan Adit. “Genggam tanganku…”
Tanpa bertanya, Adit melakukannya.
"Aku tidak bisa menjelaskan dengan kata-kata. Tapi ada rasa… hangat, dan sesuatu seperti getaran yang aneh di tubuhku sejak saat itu."
Adit menatap tangannya, lalu merasakan cincin di jarinya sedikit berdenyut. Ia mulai menyadari bahwa cincinnya tidak hanya sekadar memberikan efek biasa. Ada hal lain yang lebih dalam yang belum ia pahami sepenuhnya.
Keduanya sama-sama diam. Tangan Adit masih menggenggam tangan Larasati. Ia melihat wajah sosok yang cantik itu bersemu kemerahan. Dan ada tanda-tanda serupa dengan orang yang pernah ia pijat, meski Laras tak seekstrim itu menunjukkannya.
“Cukup…” kata Larasati.
Adit melepaskan genggaman tangannya.
Sebelum Adit sempat bertanya lebih jauh, Larasati kembali berbicara, kali ini suaranya lebih tegas. "Kita harus berpisah untuk sementara. Aku nggak ingin kamu terseret lebih jauh ke dalam masalah ini."
Adit mengerutkan dahi. "Kamu pikir aku bisa lepas begitu saja setelah apa yang terjadi? Aku sudah terlibat, Laras. Dan aku juga nggak bisa membiarkanmu menghadapi ini sendirian."
Larasati terdiam beberapa saat, lalu akhirnya mengangguk pelan. "Kalau begitu… kita akan bertemu lagi. Aku yang akan menghubungimu. Untuk sementara, jangan cari aku. Jangan ikut campur sebelum aku siap menjelaskan semuanya."
Adit tahu ada banyak hal yang masih disembunyikan Larasati, tetapi ia juga sadar bahwa memaksanya sekarang hanya akan membuat keadaan semakin rumit. Akhirnya, ia mengangguk setuju. Toh ia juga tak tahu bagaimana harus mencari wanita kaya itu.
Larasati menyalakan kembali mobilnya dan mengantarkan Adit kembali ke tempat kerjanya.
Vera masih berada dalam situasi antara percaya dan tidak percaya. Ia duduk di tepi ranjang rumah sakit, kaki-kakinya menjuntai ke bawah, tangan-tangannya meraba-raba dadanya sendiri dengan gerakan hati-hati; mencari rasa sakit yang seharusnya ada, tapi tidak lagi ia temukan.Matanya menatap Adit yang kini sedang duduk di sofa, memangku kaki Larasati yang berbaring dengan posisi setengah meringkuk. Tangan Adit bergerak lembut, memijit pergelangan kaki gadis itu dengan gerakan memutar yang teratur, sambil mengalirkan tenaga dalamnya.Pemandangan itu terasa intim. Vera merasa seperti pengganggu di ruangannya sendiri.Ia menarik napas panjang, dalam, sangat dalam, sesuatu yang tidak bisa ia lakukan dengan nyaman sejak kemarin malam. Tapi sekarang, paru-parunya mengembang penuh tanpa rasa sakit. Tidak ada tusukan tajam di dada. Tidak ada sensasi tulang yang bergeser saat ia bernapas. Semuanya normal. Sempurna, bahkan."Dit... ini, aku kan udah sehat..." Vera berbicara, suaranya ragu-ragu,
Adit yang melihat ini langsung mundur beberapa langkah, memberi ruang. Matanya berbinar; ia tahu apa yang akan terjadi. Ia pernah merasakan sendiri sentuhan penyembuhan dari Larasati.Larasati memusatkan konsentrasinya. Matanya terpejam. Napasnya semakin dalam dan teratur. Di dalam tubuhnya, energi mulai bergerak; mengalir dari pusat, dari dantian, melalui meridian, menuju ke kedua telapak tangannya. Dan tak lama kemudian, di kedua tangannya terlihat pendaran cahaya.Cahaya itu berwarna biru keunguan, seperti aurora yang terperangkap dalam kepalan tangan. Cahaya itu bergerak, berputar, membentuk pola-pola yang rumit dan indah. Hangat namun tidak membakar. Lembut namun kuat.Vera terperangah. Matanya membulat sempurna, menatap kedua tangan Larasati yang bercahaya dengan ekspresi tidak percaya. Mulutnya terbuka sedikit, kata-kata tersendat di tenggorokan. Ia tak mengira, tidak pernah menduga, Larasati ternyata memiliki kemampuan. Dan dari intensitas cahaya itu, dari kepadatan energi yan
Adit tahu Larasati pasti menyimpan banyak pertanyaan saat itu juga. Perubahan ekspresinya sangat kentara; dari tatapan ragu saat pertama masuk, kini menjadi tatapan yang lebih tajam, menyelidik. Matanya sesekali melirik ke Vera, lalu kembali ke Adit, seolah mencoba menyusun puzzle dari kepingan-kepingan informasi yang belum lengkap.Vera sendiri juga bertanya-tanya; siapa wanita itu? Apa hubungannya dengan Adit? Dari cara Adit tersenyum saat menyebut namanya, dari cara gadis itu melangkah masuk dengan ekspresi posesif yang tipis namun jelas; Vera bisa menebak. Tapi ia memilih diam, menunggu penjelasan."Laras, kenalin, ini Vera yang belakangan ini sering aku repotin. Nanti aku ceritain semuanya..." kata Adit, suaranya sedikit terburu-buru. Ia melangkah ke samping, memberi ruang untuk Larasati mendekat.Sebelum Adit mengatakan hal lain, Larasati sudah bergerak maju. Langkahnya tegas, penuh percaya diri. Ia mendekat ke tempat tidur dan mengulurkan tangan, menyapa dengan senyum yang rama
Saat Adit masuk, Vera sedang duduk setengah berbaring di tempat tidur, memegang mangkuk bubur rumah sakit dengan tangan yang gemetar. Sendok stainless silver di tangannya hampir terjatuh beberapa kali. Wajahnya meringis setiap kali bergerak; rusuk yang patah membuat setiap gerakan menjadi siksaan."Bentar... aku bantu..." Adit buru-buru mendekat, mengambil alih mangkuk dan sendok dari tangan Vera. Ia menarik kursi yang ada di samping tempat tidur, duduk, lalu mulai menyuapi dengan gerakan hati-hati. "Tadi teman-temanmu sampai jam berapa?""Siang tadi mereka sudah pulang..." jawab Vera di sela suapan. Suaranya pelan, sedikit serak. "Samson sama beberapa petarung lain datang pagi. Mereka bawain buah. Itu, di meja."Adit menoleh sebentar ke meja kecil di sudut ruangan. Ada keranjang buah, apel, jeruk, anggur, terbungkus plastik bening dengan pita merah. Khas parsel orang jenguk."Terus kamu..." Adit kembali menyuapi, nada suaranya terdengar khawatir. "Dari siang sampai sekarang sendirian
Rehearsal berjalan lancar. Ruangan studio yang biasanya dipenuhi ketegangan kini terasa ringan dan bergairah. Hari itu terasa mulus dan luwes. Adit mendapatkan berkali-kali pujian dari sutradara dan pelatih akting. Pujian itu menderu, mengubah keraguan dalam dirinya menjadi energi positif. Bahkan Clara, aktris senior yang terkenal perfeksionis; dia sampai dibuat heran. Ia menyandarkan punggung ke kursi, menatap Adit dengan mata menyipit.“Wow, Adit. Hari ini kamu beda banget! Bukan hanya acting-mu, tapi auramu juga! Semalam latihan naskah kah?” tanya Clara di akhir sesi itu, sambil menyesap air mineral dari botolnya.“Nggak sempat, Kak. Managerku malah sakit. Semalam nemenin dia di rumah sakit…” jawab Adit, sambil membereskan tasnya. Dia sedikit menunduk, menghindari tatapan intens Clara.“Manager kamu yang mana sih?” tanya Clara memasang wajah heran. Dalam hati ia sempat berpikir, lebih baik Adit dikelola managernya; yang jelas lebih profesional dan berpengalaman. Bisa mengantarkan A
Meridian, jalur energi vital dalam tubuh yang menjadi dasar praktik tenaga dalam, biasanya mengalir seperti sungai dalam tubuh manusia. Pada petarung yang terlatih seperti Vera, aliran itu kuat dan teratur, seperti sungai yang deras namun terkendali.Ini karena pukulan Maria, pikir Adit, rahangnya mengeras. Dia tidak hanya memukul dengan tenaga fisik. Dia memasukkan chi gelap ke dalam tubuh Vera, merusak jalur energi dari dalam.Adit tahu apa artinya ini. Dengan meridian yang rusak seperti ini, Vera tidak akan bisa menggunakan tenaga dalam dengan maksimal lagi. Mungkin masih bisa sedikit, tapi tidak seperti dulu. Untuk petarung seperti Vera yang mengandalkan kombinasi keterampilan fisik dan tenaga dalam, ini adalah pukulan berat. Hampir seperti atlet kehilangan setengah kemampuannya.Adit menghela napas panjang, perasaan bersalah dan marah bercampur dalam dadanya. Marah pada Maria. Marah pada dirinya sendiri meski ia tak bersalah.Tapi ia tidak bisa berbuat apa-apa sekarang selain ter







