Home / Urban / Tukang Pijat Tampan / Diajak Makan Malam Klien

Share

Diajak Makan Malam Klien

Author: Black Jack
last update Huling Na-update: 2025-03-07 23:21:37

Dari ruangan Ibu Celina, dan lolos dari Pak Rudi, Adit kembali bekerja seperti biasa. Belum ada klien yang datang. Ia memilih untuk mengobrol bersama terapis lain. Namun sesungguhnya, ia tidak fokus juga diajak mengobrol teman-temannya.

Setelah kejadian dengan Larasati dan perdebatan panjang dengan Pak Rudi, ia merasa butuh angin segar sebetulnya. Mengobrol bersama yang lain bisa menjadi sebuah solusi. Namun, entah kenapa, pikirannya masih melayang ke kejadian-kejadian aneh yang dialaminya belakangan ini.

Waktu berjalan dan satu demi satu para terapis senior itu sudah mendapatkan klien. Tinggal adit seorang di ruangan itu. Sendirian menunggu. Namun tak lama kemudian, ia mendengar seseorang memanggil namanya.

"Adit, kamu ada klien baru. Dia minta dipijat oleh terapis pria. Hanya kamu yang kosong kan!" ujar Tia, si resepsionis yang kemarin sore membelanya saat Pak Rudi marah-marah.

“E, iya...” Adir segera berdiri. “Ruangan mana?”

“Ruang 18,” balas Tia. Ia mendekat dan berkata pelan, “Yang sabar ya. Rejeki nggak akan kemana kok...”

“Ada apa memangnya?”

“Pak Rudi sengaja nggak kasih kamu klien. Tapi ini tadi ada satu klien lain yang nggak mau dilayani terapis cewek. Dan hanya kamu terapis cowok yang tersisa. Kalau kamu nggak layani mereka kan nggak ada tips...” kata Tia.

“Hehehe. Nggak apa-apa. Masih ada gaji pokok. Aku cukup beryukur kok. Kebutuhanku juga nggak banyak...” kata Adit.

“Ya sudah sana. Semoga beruntung!” kata Tia.

“Makasih ya Tia. Juga buat kemarin sore. Kamu jadi ikutan kena marah...” kata Adit.

“Santai! Sudah biasa kok!” Tia tersenyum cantik. Ia pun kembali ke ruang depan.

Adit mengangguk. Tanpa banyak berpikir, ia langsung menuju ke kamar pijat nomor 18. Begitu ia masuk, matanya langsung bertemu dengan sosok wanita yang duduk di kursi menghadap ke cermin besar di sebelah ranjang itu.

Wanita itu tidak muda, namun juga belum bisa dikatakan tua. Usianya mungkin sekitar empat puluhan. Meski begitu, ia masih tampak cantik dengan riasan yang tidak berlebihan. Rambutnya yang sedikit bergelombang tergerai rapi, dan ia memakai gaun santai yang menunjukkan bahwa ia berasal dari kalangan berada.

“Selamat pagi menjelang siang. Maaf telah menunggu!” Adit menyapa dengan ramah.

"Kamu yang akan memijat saya?" tanyanya dengan suara lembut, namun ada nada penasaran dalam suaranya.

"Ya, Bu. Saya Adit, terapis Anda hari ini," jawab Adit sopan.

Wanita itu tersenyum tipis, lalu menghela napas panjang. "Akhirnya, ada juga terapis pria yang bisa saya coba. Saya sudah sering datang ke sini, tapi selalu dapat yang wanita."

Adit hanya membalas dengan anggukan kecil.

“Aku akan ganti pakaian sebentar...” kata wanita itu.

“Akan saya siapkan pakaian untuk pijit terlebih dahulu,” kata Adit. Ia segera menuju ke lemari dan mengambil semua yang dibutuhkan. Wanita itu mengambil baju ganti untuk pijat, lalu segera ke ruang ganti.

Adit menyiapkan minyak. Tak lama kemudian, wanita itu kembali. Pakaian khusus pijit yang ia kenakan itu tampak ketat dan pas. Pikiran aneh-aneh mulai menyerang Adit. Namun ia segera menepiskannya agar tetap bisa fokus dan profesional.

Wanita itu berbaring tengkurap di ranjang. Adit menelan ludah, “bisa dimulai, Ibu?”

"Nama saya Ratna," katanya. Ia menolehkan kepalanya dan menatap Adit dengan ekspresi yang sulit dibaca. "Saya sebenarnya datang ke sini bukan hanya karena ingin dipijat, tapi juga karena saya butuh seseorang untuk diajak bicara."

Adit tetap mempertahankan senyum profesionalnya. "Kalau saya bisa membantu, saya akan mendengarkan, Bu."

Ratna tertawa kecil. "Jangan terlalu formal begitu. Panggil saja saya Mbak Ratna. Saya belum setua itu."

Adit tersenyum, lalu mengangguk. "Baik, Mbak Ratna. Jadi, ada yang ingin diceritakan?"

Wanita itu menghela napas panjang, lalu mulai berbicara. "Suami saya bekerja di pelayaran. Dia jarang pulang. Kadang berbulan-bulan, bahkan hampir setahun baru kembali ke rumah. Awalnya, saya pikir saya bisa menerima itu. Tapi semakin lama, semakin terasa sepi. Rumah besar, uang berlimpah, tapi tidak ada yang bisa diajak bicara."

Adit mendengarkan dengan tenang. Meski tidak memiliki pengalaman dalam hubungan rumah tangga, ia bisa merasakan kesepian yang dirasakan wanita itu. Namun, ia juga tahu bahwa dirinya bukan orang yang tepat untuk memberikan saran.

"Saya rasa itu sulit, Mbak Ratna. Mungkin bisa coba mencari kesibukan lain? Seperti komunitas, atau hobi yang menyenangkan?" Adit mencoba memberikan saran seadanya.

Ratna tersenyum kecil. "Aku sudah mencoba. Tapi tetap saja, rasa sepi itu tidak hilang."

Adit tidak tahu harus menanggapi seperti apa, maka ia memutuskan untuk mulai memijat. Ia tuangkan minyak di bagian kaki, lalu tangannya mulai bekerja, memberikan tekanan yang tepat di titik-titik tertentu yang terasa keras dan kaku.

Dalam beberapa menit, napas Ratna mulai berubah. "Astaga..." gumamnya pelan. "Ini luar biasa..."

Adit tetap fokus, tidak menanggapi reaksi itu. Namun, ia tahu betul bahwa efek cincinnya kembali bekerja. Tubuh Ratna tampak lebih rileks, bahkan suara desahannya semakin terdengar jelas.

"Adit..." suara Ratna terdengar berat. "Sentuhanmu... ini... lebih nikmat dari apa pun yang pernah kurasakan."

Adit tetap menjaga ekspresi profesionalnya, walau ia tahu betul apa yang sedang terjadi. Efek pijatan ini bukan sekadar relaksasi biasa. Wanita itu benar-benar tenggelam dalam sensasi yang diciptakan oleh cincin mistis di jarinya.

Demi apa, adit sendiri merasa bingung. Stres juga rasanya melihat wanita itu menggeliat sedemikian rupa diiringi dengan desahan merdu yang lolos dari bibirnya.

Setelah sesi berakhir, Ratna masih berbaring di tempat tidur pijat, matanya terpejam seolah tak ingin kehilangan rasa nyaman yang masih tersisa.

Saat ia akhirnya duduk kembali, ekspresinya telah berubah. Ada tatapan berbeda di matanya saat menatap Adit. Tatapan yang penuh keinginan.

“Sesi sudah selesai Mbak. Apakah ada lagi yang kira-kira belum nyaman?” tanya Adit.

"Adit," katanya dengan suara pelan. "Malam ini... kamu sudah ada rencana?"

Adit mengernyit, merasa ada sesuatu di balik pertanyaan itu. "Belum, Mbak Ratna. Kenapa?"

Ratna tersenyum tipis. "Kalau begitu, temani aku makan malam. Aku tahu restoran yang enak dan aku butuh teman bicara yang menyenangkan seperti kamu."

Adit terdiam sejenak. Tawaran ini jelas lebih dari sekadar makan malam biasa. Ia bisa melihat sesuatu di mata Ratna; sesuatu yang lebih dalam dari sekadar kesepian.

Namun, pertanyaannya sekarang, haruskah ia menerimanya?

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Tukang Pijat Tampan   Pemakaman Pak Darmawan

    Keesokan harinya, langit terlihat mendung seolah turut berduka. Pak Darmawan dimakamkan di sebuah pemakaman mewah di kota itu, tempat para orang-orang berpengaruh dikuburkan. Banyak sekali yang datang melayat. Orang-orang memadati area pemakaman. Ada pengusaha berbaju hitam mahal, pejabat yang datang tanpa pengawalan resmi, hingga preman-preman jalanan yang berdiri di pinggir dengan tatapan hormat. Mereka semua pernah berhubungan dengan Pak Darmawan, entah sebagai mitra bisnis, rekan, atau orang yang pernah ia bantu.Semua anak Pak Darmawan datang. Mereka berdiri terpisah berdasarkan kelompok ibu mereka, jarang saling menyapa, hanya sesekali bertukar pandang dengan tatapan yang sulit dibaca. Semua istri Pak Darmawan juga datang, mengenakan pakaian hitam yang elegan. Termasuk Renata, yang berdiri dengan tenang sendirian dengan memegangi payung hitam. Wajahnya terlihat datar tanpa ekspresi berlebihan.Adit berdiri agak jauh di belakang kerumunan, di antara para anak buah yang lain. Mata

  • Tukang Pijat Tampan   Kecelakaan

    Pagi itu terasa berbeda. Matahari bersinar cerah, tapi ada sesuatu dalam udara yang terasa... keliru. Adit tidak bisa menjelaskannya dengan kata-kata; hanya perasaan aneh yang mengganjal di dadanya sejak ia membuka mata.Ia baru saja selesai sarapan ketika Pak Darmawan muncul di ruang makan, sudah berpakaian rapi dengan kemeja golf berwarna krem dan celana bahan hitam. Wajah lelaki tua itu terlihat lebih segar dari biasanya, mungkin karena ia akan melakukan aktivitas favoritnya."Pagi, Dit," sapa Pak Darmawan sambil menyeruput kopi yang disiapkan Bi Inem."Pagi, Pak," jawab Adit. "Mau kemana?""Ah, ada rekan bisnis yang menelefon tadi malam. Ada hal penting yang harus dibicarakan." Pak Darmawan meletakkan cangkirnya. "Kita janjian ketemu sambil main golf."Adit mengangguk pelan, tapi perasaan tidak enak itu semakin menguat. Seperti ada yang mencengkeram ususnya."Pak..." Adit menimbang-nimbang kata-katanya. "Kalau boleh, saya ikut saja. Biar saya bantu jaga."Pak Darmawan tersenyum, m

  • Tukang Pijat Tampan   Pak Darmawan Pun Terancam

    Telefon masih tersambung. Suara napas Larasati terdengar lembut di ujung sana, menciptakan kehangatan yang justru membuat dada Adit sesak. Adit bukannya tidak senang Larasati menelefon. Justru setiap kali ponselnya bergetar dan nama wanita itu muncul di layar, jantungnya selalu berdegup lebih kencang; campuran antara rindu dan rasa bersalah yang mencekik. Wanita itu, terlalu berharga baginya. Terlalu murni untuk terseret dalam dunia gelap yang kini menyelimutinya.Tanpa Larasati, Adit pun tahu, ia tak akan menjadi sekuat ini. Dialah yang pertama kali membantunya memahami kekuatan aneh yang mengalir dalam tubuhnya. Paling-paling, tanpa Larasati, ia hanya akan memiliki kekuatan sentuhan yang membuat wanita terbuai kenikmatan yang unik; kemampuan dangkal yang mungkin hanya akan ia gunakan untuk kesenangan sesaat. TDan karena itulah, sebetulnya, Adit ingin menghindari Larasati. Ia tak ingin membuat wanita itu masuk lebih dalam lagi ke dalam kehidupannya yang penuh masalah, yang kini tera

  • Tukang Pijat Tampan   Yakin Jika Guntur Pelakunya

    Dua sedan hitam melaju membelah jalanan yang mulai lengang. Lampu-lampu jalan menerangi interior mobil dengan cahaya kuning yang redup. Adit duduk di kursi belakang, menatap kosong ke luar jendela. Pikirannya melayang; rumah yang hangus, abu yang masih mengepul, kenangan yang lenyap dalam sekejap.Pak Darmawan duduk di sampingnya, sesekali menghisap cerutu sambil memandang ke depan. Keheningan menggantung di antara mereka, bukan yang canggung, tapi yang penuh pemikiran.Akhirnya, Pak Darmawan memecah kesunyian."Aku tahu rasanya, Dit," katanya pelan, suaranya lebih lembut dari biasanya. "Kehilangan. Rumah bukan hanya soal bangunan, tapi itu kenangan, tempat kamu merasa aman, tempat orang-orang yang kamu sayangi masih terasa ada."Adit menoleh, sedikit terkejut mendengar nada suara Pak Darmawan yang jarang sekali terdengar seperti itu."Dan rumah baru memang tak akan bisa menggantikan kenangan," lanjut Pak Darmawan sambil menghembuskan asap tipis. "Tapi setidaknya bisa jadi awal yang b

  • Tukang Pijat Tampan   Rumah Habis Terbakar

    Adit berjalan kembali ke tempat duduknya, langkahnya sedikit berat. Keringat masih membasahi wajah dan lehernya. Begitu sampai, Pak Darmawan sudah berdiri menyambutnya dengan senyum lebar; ekspresi yang jarang terlihat di wajah bosnya yang biasanya datar itu."Bagus, Dit! Bagus sekali!" Pak Darmawan menepuk bahu Adit dengan antusias. "Kamu tahu? Tadi aku menang banyak. Kau pun akan mendapatkan bagianmu! Sombat itu favorit banyak orang, odds-nya menguntungkan sekali untukmu."Adit hanya mengangguk pelan, masih mengatur napas. Dia mengambil handuk kecil dari kursi dan mengusap wajahnya.Pak Darmawan menatapnya sejenak, lalu bertanya dengan nada lebih serius, "Kondisimu bagaimana? Masih bisa bertarung lagi malam ini? Ada satu pertarungan lagi yang mungkin bisa kamu ambil. Lawannya tidak seberat Sombat."Adit menarik napas panjang, merasakan tubuhnya. Tidak ada yang serius; beberapa memar, sedikit pegal, tapi itu biasa. Kekuatan gaibnya membuat pemulihan tubuhnya jauh lebih cepat dari ora

  • Tukang Pijat Tampan   MasalahYang Belum Disadari

    Lampu sorot menyapu arena yang dikelilingi barisan kursi kulit mewah. Asap tipis dari cerutu para bos mengepul ke langit-langit tinggi gudang yang telah disulap menjadi arena underground yang sangat eksklusif. MC, seorang pria paruh baya berjas mengkilap, melangkah ke tengah arena sambil memegang mikrofon."Ladies and gentlemen!" suaranya menggema. "Pertarungan berikutnya malam ini akan mempertemukan dua fighter dengan latar belakang yang sangat berbeda!"Tepuk tangan riuh dari para penonton. Pak Darmawan duduk di barisan depan, menghisap cerutunya dengan tenang. Di beberapa kursi lainnya, bos lain berbisik-bisik sambil melihat catatan taruhan mereka."Dari Bangkok, Thailand! Dengan rekor delapan belas kemenangan, tiga belas di antaranya KO! Mantan juara underground Patpong! Sombat Ruangsak!"Seorang pria bertubuh atletis melangkah masuk dengan percaya diri. Sombat tingginya sekitar 175 cm, tubuhnya kering berotot seperti kabel baja terpilin. Kulitnya cokelat gelap, rambutnya dicukur

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status