Siapa yang datang mencari Adit itu sebetulnya adalah sebuah bagian dari rencana Jarwo. Sejak awal, ia sudah menghubungi teman-temannya dari masa lalu. Jumlahnya dua puluhan orang lebih yang kini sudah berjejer di depan kafe, sebagian besar berbadan tegap, tato memenuhi lengan, dan sorot mata mengancam.Sebagian dari anak buah Adit, yang kenal dekat dengan Jarwo, tahu soal rencana busuk itu. Namun memang tidak semua setuju dengan hal itu, kecuali Tegar, yang terlihat menyeringai tipis di belakang Jarwo.Hanya saja, mereka yang mengetahui rencana Jarwo itu memilih diam saja. Mereka tahu, Jarwo yang menjadi kepala keamanan sebelum Adit, dulu pun adalah preman yang sudah punya reputasi sangar di jalanan, bahkan sudah pernah dipenjara sampai dua kali. Aura dan masa lalunya cukup untuk membungkam siapa pun yang ingin protes.Adit melihat orang-orang itu begitu ia sampai di depan. Gerombolan preman dengan pakaian serba hitam dan wajah sangar itu memenuhi area parkir kafe. Tanpa ragu, Adit la
Pukul dua lewat dan hampir setengah tiga sore, hawa sejuk dari pendingin ruangan masih menusuk kulit. Renata dan Adit sudah siap untuk berangkat setelah selesai mandi dan berpakaian.Celina masih terlelap pulas, napasnya teratur, bibirnya sedikit terbuka, menunjukkan betapa lelap tidurnya. Dia tetap harus dibangunkan, meskipun tak perlu kembali ke tempat kerja."Bangun Cel, kami mau balik!" Renata mengguncang pelan bahu Celina, nada suaranya sedikit malas namun ada gurat geli."Eh... hoh... jam berapa ini?" Celina menggeliat, kelopak matanya berkedut sebelum terbuka perlahan. Matanya mengerjap-ngerjap, berusaha menyesuaikan diri dengan cahaya remang ruangan."Kamu tidur aja. Kami naik taksi!" Renata bersiap meraih tasnya."Aduh... masak naik taksi..." Celina mencoba bangkit, mengusap wajahnya yang masih terasa lengket dan lelah. Setiap otot di tubuhnya serasa ditarik ulur, lemas tak bertenaga. "Duh maaf ya... pegel banget kakiku. Lemes... kok bisa capek kayak gini ya... kamu nggak cap
Betapa cepat Celina sampai di puncak kebahagiaannya. Tentu hal itu bukan karena sesuatu yang masuk ke dalam tubuhnya itu saja, namun juga Adit yang sengaja kembali mengaktifkan tangan ajaibnya, di mana sentuhan di bagian tubuh manapun pada diri Celina akan membuatnya semakin menggila.Kurang dari lima menit ia bergerak di atas tubuh Adit, sungai kenikmatan itu mengalir deras. Energinya terkuras habis-habisan dan ia sudah tak sanggup lagi untuk bergerak."Gila... ini enak banget, Ren..." ucap Celina yang ambruk di tubuh Adit, belum melepaskan penyatuannya. Napasnya terengah-engah, suaranya tercekat karena desahan sisa gairah."Baru sebentar... aku bisa main lama loh sama Adit..." kata Renata, nada suaranya penuh percaya diri."Gantian kamu... aku butuh rebahan... nggak kuat... ouch..." tubuh Celina bergetar sedemikian rupa saat ia melepaskan diri dari Adit. Ia pun rebah begitu saja di samping Adit, memejamkan mata, menghirup udara sebanyak-banyaknya dan tak memedulikan apapun lagi. Jej
Adit semakin bersemangat untuk menyenangkan kedua wanita itu. Kedua tangannya kini tak hanya mengusap dan memijat tipis-tipis di bagian punggung, namun juga sudah turun ke bawah, menelusup melewati celah celana dalam yang sudah basah itu.Celina dan Renata terus menjerit menyuarakan kebahagiaan yang dahsyat itu. Adit merasakan jari-jarinya terjepit kehangatan yang licin itu. Ombak kebahagiaan menerobos keluar, mengucur deras bersamaan dengan geliat tubuh kedua wanita itu yang tak terkendali seperti cacing yang ditetesi air jeruk.Mungkin sudah 10 menitan Adit melancarkan aksinya yang membuat Renata dan Celina menggila. Kini ia menyudahinya. Ia tak mau kedua wanita itu malah ketiduran dan dia tak mendapatkan apa-apa.Adit merebahkan tubuhnya di antara mereka berdua yang masih tengkurap dengan nafas memburu menikmati sisa kebahagiaan yang berangsur menipis itu, mengumpulkan tenaga yang baru saja terkuras.Celina lebih awal bangkit dari posisinya. Ia duduk dengan wajah memerah dan dengan
Celina bangkit dari sofa, berjalan anggun menuju pemutar piringan hitam di sudut ruangan. Ia memilih sebuah cakram vinil, lalu meletakkannya dengan hati-hati. Tak lama, alunan musik jazz lembut mengisi ruangan. Atmosfer yang sudah hangat kini terasa makin intim.Renata kemudian bergeser duduk mendekat ke Adit, menyingkirkan bantal di antara mereka. “Kamu akan main sama kita berdua. Nggak keberatan kan?” bisiknya.Adit menelan ludah. Jantungnya berdebar kencang, namun ada desiran gairah yang tak dapat ia pungkiri. "Terserah Kakak berdua saja," jawabnya, mencoba menjaga suaranya tetap tenang.Namun di satu sisi, sesungguhnya Adit merasa lega. Jika hal itu terjadi, maka ia bisa lepas dari Renata. Dalam artian, selama ini, yang mereka lakukan memang tak melibatkan perasaan.Adit sempat khawatir, dengan sikap Renata terakhir mereka bertemu, ada sesuatu yang mengisyaratkan bahwa hubungan mereka lebih dari sekadar nafsu.Tapi kini, Renata malah menawarkan sebuah permainan mendebarkan. Demi a
Sepanjang perjalanan, Adit hanya bisa memejamkan mata. Sesekali tubuhnya menegang saat Renata mempermainkan dirinya sedemikian rupa.“Huff… pegel juga. Nggak keluar-keluar. Nanti kita lanjutkan lagi…” kata Renata sambil membetulkan celana Adit, menyimpan kembali boneka tongkat yang menggemaskan itu.Nafas Adit terengah. Ia membuka mata dengan perasaan sangat malu serta kacau. Belum pernah ia mengalami situasi itu. Pikirannya terus berperang; ia tahu bahwa apa yang terjadi itu sungguh tidak benar. Namun nyatanya ia tak menolak dan tak memungkiri bahwa ia mendapatkan kenyamanan dan kenikmatan.Kini mereka sudah sampai di retoran. Adit berjalan canggung mengikuti dua wanita itu. Pikirannya masih kacau karena apa yang terjadi di dalam mobil, dan tidak tuntas pula. Bahkan rasanya masih tegang, berdenyut serta sesak di celana, membuat ia merasa tak nyaman untuk berjalan kaki. Namun malu untuk membetulkan posisinya dengan benar.Adit, Renata, dan Celina melangkah masuk ke dalam Restoran Maho