Iwan masih duduk di meja bersama Anton dan Cindy, sesekali menyeruput es teh manisnya sambil melontarkan keluhan tentang Adit. Ia masih kesal karena Tia menolak tawarannya untuk diantar pulang kemarin sore."Gue nggak ngerti, kenapa Tia lebih milih Adit daripada gue?" Iwan menggerutu, mengaduk es teh di depannya dengan kasar.Anton terkekeh. "Bro, lo terlalu serius. Siapa tahu dia cuma kasihan sama Adit.""Iya, kan. Aku juga mikir gitu. Tia itu ramah dan baik orangnya. Apalagi Adit selalu ditindas Pak Rudi! Semua juga tahu soal itu. Dan nggak ada yang mau dekat dengan Adit karena takut sama Pak Rudy!” tambah Cindy, setengah bercanda. "Mungkin dia cuma baik doang."Iwan mendengus. "Kasihan gimana? Jelas-jelas beda! Kalau cuma kasihan, kenapa dia nolak gue buat anterin pulang? Nggak masuk akal, kan?"Namun, sebelum ada yang sempat menjawab, terdengar suara yang tidak asing.Iwan menoleh, dan seketika wajahnya menegang. Tia masuk bersama Adit. Mereka terlihat akrab, berbincang ringan sam
Adit berjalan santai ke luar klinik setelah jam kerja berakhir. Hari itu cukup melelahkan, lebih tepatnya lelah di pikiran sebab ia tak mendapatkan klien selama seharian itu.Tetapi ia tetap merasa tenang. Ia hanya tak mendapatkan tips mungkin. Atau bonus yang hanya diperoleh dari banyaknya klien yang ia tangani. Namun tetap mendapatkan gaji tetap.Di titik itu, sebetulnya Ranu kepikiran saran Larasati; pindah tempat kerja, menjadi terapis di klinik lain. Namun ia tak mau menyerah begitu saja. Lagipula, ia belum lama bekerja. Jika tiba-tiba keluar, pengalaman kerjanya di tempat itu masih belum cukup valid untuk digunakan melamar di tempat lain.Di dekat pintu keluar, Tia sudah berdiri dengan senyum cerahnya."Adit! Pulang bareng, yuk?" sapanya riang.Adit tersenyum tipis. "Aku naik ojek, motorku masih di bengkel. Tadi pagi aku tinggal gitu aja!""Oh iya, aku lupa. Ya sudah, ayo kita pesan ojol aja!” kata Tia.“Kamu kenapa nggak bawa motor sendiri, Tia? Kayaknya sebelum ini kamu bawa m
Adit berdiri di tepi jalan, menatap layar ponselnya, hendak memesan ojek baru. Ia menghela napas panjang. Sial juga, baru separuh perjalanan dan kini ia harus keluar uang lagi untuk sampai ke rumah. Tapi sebelum sempat menekan tombol pemesanan, suara deru mesin mobil menarik perhatiannya.Sebuah mobil merah cerah melambat dan berhenti tepat di depannya. Adit mengerutkan kening, merasa tak asing dengan kendaraan itu. Benar saja, saat jendela sisi pengemudi terbuka, wajah Ratna muncul dengan senyum lebar."Lho, Adit? Kok bisa di sini?" sapa Ratna dengan nada riang.Adit mendekat ke jendela, masih sedikit terkejut. "Eh, Kak Ratna? Kebetulan sekali. Aku baru mau pesan ojek."Ratna tertawa kecil. "Kebetulan apanya? Jangan-jangan ini takdir? Mau ke mana malam-malam begini?""Pulang, Kak. Tadi ada urusan sedikit." Adit menggaruk kepalanya yang tidak gatal."Hmm... kalau begitu, ikut aku saja. Aku juga lagi cari teman makan malam. Kamu lapar, kan?"Adit menatap Ratna sejenak, lalu melirik per
Ratna menatap Adit dengan sorot mata penuh godaan. Bibirnya membentuk senyum menggoda, sementara jari-jari lentiknya berputar-putar di sekitar gelas minumannya.Pemuda itu, sungguh ajaib; Ratna masih terngiang dengan sensasi sentuhan Adit, sebuah rasa yang langka dan tak terlupakan. Ia menginginkannya lagi, dan ia ingin tahu lebih banyak dengan melewatkan malam panas dan basah bersama lelaki itu.Suami yang jauh, dan kebutuhan biologis yang tak terbendung, kadang membuat Ratna serasa gila."Jadi, gimana? Kita ke hotel aja? Aku janji, nggak bakal bikin kamu nyesel," ucapnya dengan suara rendah, nyaris berbisik.Adit terkekeh kecil, mengusap tengkuknya dengan canggung, menyembunyikan rasa paniknya, dan juga harga dirinya. Sejujurnya, sebagai seorang lelaki, seorang pemuda, ia pun juga penasaran ingin tahu seperti apa itu bercinta."Aku sebenarnya pengen, kak Ratna. Tapi hari ini capek banget. Seharian aku mijat banyak klien, rasanya tenaga udah terkuras habis. Aku takut malah nggak bisa
Pak Rudy dan klien gadungan itu mengajak Adit ke ruang manager. Ada dua terapis lain yang ikut-ikutan.Celina menatap heran kedatangan orang-orang itu.“Anda manager di sini?” kata si klien sewaan itu.“Benar. Ada apa ini?” tanya Celina mencoba tetap bersikap tenang dan profesional.“Terapis Anda ini sungguh bodoh! Dia hampir mencelakaiku. Pijitannya membuat kakiku terasa sakit dan hampir patah!” ucapnya menggebu-gebu.“Saya bahkan baru memijitnya, ibu...” Adit langsung menyela membela diri.“Hei diam kau!” Pak Rudi menghardik Adit.Keributan di ruang manajer semakin memanas. Celina duduk di belakang meja kerjanya dengan ekspresi tegang, sementara di depannya, seorang pria setengah baya dengan wajah merah padam terus mengoceh. Dialah klien yang mengaku mengalami cedera akibat pijatan Adit. Di sebelahnya, Pak Rudi berdiri dengan wajah penuh kepuasan."Saya tidak peduli! Saya akan menuntut klinik ini jika pemuda itu tidak dipecat!" bentak si klien, suaranya menggema di seluruh ruangan.
Pak Rudi merasa galau. Tadinya, ia berpikir ingin mencari surat medis palsu untuk menyingkirkan Adit. Tapi setelah mendengar ucapan Celina, ia berpikir keras. Gawat juga jika sampai Adit disukai oleh bosnya.‘Brengsek. Bagaimana caranya menyingkirkan anak itu! Sial! Sebenarnya apa yang ia lakukan? Kenapa klien-klien selalu senang dan puas dengan pelayanannya?’ Pak Rudi tak habis pikir.Ia segera menemui orang sewaannya tadi, memberikan bayaran dan menyuruhnya pergi begitu saja. Tak ada kelanjutan dari sandiwara itu. Lagipula, ia juga tak mau keluar uang terlalu banyak. Tadinya ia berpikir, hanya dengan peristiwa itu saja, Adit bisa dipecat. Namun ternyata tidak juga. Celina masih berpihak kepada Adit. Ia sangat tahu hal itu.Jadi kegelisahan Pak Rudi kali ini adalah ingin mencari tahu, apa rahasia Adit; kenapa kliennya bisa puas.Sementara itu, usai berbicara dengan Pak Rudi, Celina memanggil Adit yang saat itu gelisah menunggu keputusan.Sesungguhnya ia sangat kesal. Ia tahu ia dijeb
Adit sungguh malas jika ia harus kembali ke tempat istirahat. Ia tahu, di sana ada beberapa terapis cowok yang sudah pasti paham apa masalah yang menimpanya hari itu. Mungkin di sana juga ada Pak Rudi. Tapi Bu Celina meminta ia untuk menunggu di ruang istirahat. Jadilah ia ke sana.Adit melangkah malas menuju ruang istirahat, menghela napas panjang sebelum membuka pintu. Ia tahu betul siapa saja yang mungkin ada di dalam. Dan benar saja, begitu ia masuk, tatapan beberapa orang langsung tertuju padanya.Pak Rudi duduk di sudut ruangan dengan ekspresi puas, sementara Iwan dan beberapa terapis lain yang tidak menyukainya tampak saling berbisik sebelum akhirnya bersuara."Lho, kok balik lagi?" suara Iwan yang penuh sindiran langsung menyambut Adit."Bukannya tadi sudah diusir?" tambah salah satu terapis lain sambil terkekeh.Adit mengabaikan mereka dan berjalan ke salah satu kursi kosong. "Bu Celina menyuruhku menunggu. Aku nggak bisa pulang dulu."Pak Rudi yang sejak tadi diam akhirnya b
“Silakan masuk dulu, Ibu Renata. Saya akan memanggilkan Bu Celina dan Adit,” kata Pak Rudi dengan senyum tak ikhlas mengembang di wajahnya. Ia menemanik Renata pergi ke ruang tamu khusus yang biasanya digunakan oleh sang pemilik tempat itu saat berkunjung.Dengan perasaan tak nyaman, Pak Rudi pertama-tama ingin mencari Celina. Namun ia melihat anak buahnya, Toni, sedang mengernyit kesakitan lengannya dipijit oleh Iwan.“Ada apa ini?”“E, tangan Toni terkilir, pak...” balas Iwan.“Tadi dipelintir Adit...” sambung Hendra. Ia tak sadar jika telah mengucapkan kalimat yang salah sampai Iwan dan Toni menoleh dan melotot ke arahnya.Pak Rudi mengernyitkan dahinya, “Adit? Kau berkelahi dengannya?” Pak Rudi langsung curiga.“E, maaf Pak... tadinya, saya hanya ingin memberi dia pelajaran...”“Astaga... apakah Ibu Celina tahu kalian berkelahi?”“T-tidak Pak. Tak sampai ramai kok...”Mendengar hal itu, Pak Rudi bisa langsung membayangkan apa yang terjadi, “Kau kalah, Ton?”Wajah Toni terlihat bur
Matahari mulai tenggelam ketika Adit menghentikan mobil Laras di depan rumahnya. Sedari tadi, ponsel Adit sering berbunyi. Namun ia tak mengangkatnya; dan ia tahu, yang menelefon adalah Renata.Larasati pun juga mengetahui jika ponsel Adit berbunyi. Saat Laras bertanya, Adit menjelaskan; bahwa ia sudah ditunggu bosnya."Maaf ya Laras… aku buru-buru harus kembali…”Larasati mengangguk meski ia tak ikhlas harus berpisah lagi dengan Adit, "Kapan kita bisa bertemu lagi?""Mungkin akhir pekan nanti? Lima atau enam hari lagi?" jawab Adit ragu.Larasati tersenyum tipis, meski matanya menyiratkan kekecewaan. "Baiklah. Jaga dirimu, ya. Dan ingat apa yang diajarkan Mbah Joyo.""Tentu," Adit mengangguk. "Kamu juga. Tetap berlatih, dan... berhati-hatilah."Mereka berdiri canggung selama beberapa detik. Ada banyak hal yang ingin mereka bicarakan; tentang kekuatan baru mereka, tentang bahaya yang mengintai, tentang perubahan besar dalam hidup mereka. Tapi waktu tidak berpihak pada mereka saat ini.
Setelah pertarungan itu, Mbah Joyo membimbing mereka kembali ke dalam pondoknya. Tubuh Adit masih gemetar akibat penggunaan kekuatan yang besar, sementara Larasati nampak cemas melihat kondisi sahabatnya barunya itu.Mbah Joyo mengambil beberapa daun kering dan rempah-rempah dari toples yang tersimpan di rak dapurnya, lalu menyeduhnya dengan air panas."Minumlah," kata Mbah Joyo, menyodorkan secangkir ramuan herbal kepada Adit. "Ini akan memulihkan tubuhmu."Adit menerima cangkir itu dan meminumnya perlahan. Rasa pahit yang diikuti kehangatan menjalar ke seluruh tubuhnya, memberikan sensasi tenang yang aneh."Terima kasih," ucap Adit, merasakan kekuatannya berangsur pulih. "Sebenarnya itu tadi... apa yang saya lakukan? Saya merasa kadang tidak berpikir saat melawan dua orang itu. Seolah, tubuh ini bergerak sendiri…"Mbah Joyo duduk bersila di hadapan mereka, wajahnya yang berkeriput menyiratkan keseriusan. "Kau baru saja menunjukkan potensi kekuatan yang kau miliki. Tapi menggunakanny
Larasati menutup matanya sejenak, mencoba memperdalam konsentrasinya. Ia bisa merasakan getaran energi yang semakin mendekat, seperti gelombang yang merambat melalui tanah di bawah kaki mereka."Dua orang," gumamnya pelan. "Seorang laki-laki dan perempuan. Mereka... berbeda. Energi mereka terasa dingin, seperti kabut di pegunungan yang menusuk tulang."Mbah Joyo mengangguk perlahan. Garis-garis di wajahnya yang sudah menua semakin dalam saat ia memejamkan mata, membuka indera keenamnya."Benar. Mereka bukan orang biasa. Mereka sudah terlatih, tapi berbahaya. Mereka pasti bagian dari sekte itu."Adit yang sedari tadi hanya mendengarkan, bangkit dari duduknya. Rahangnya mengeras dan tangannya terkepal. " Kalau mereka mencari masalah, biar aku yang hadapi. Hanya dua kan. Mungkin aku bisa melawannya. Kita tak bisa terus lari, Laras…"Mbah Joyo menatap Adit dengan senyuman tipis yang misterius. "Kau berani, Nak. Itu bagus. Dan kau benar, kadang-kadang kita memang harus berhenti lari dan me
Sementara Adit bergegas ke kamarnya untuk berkemas, Laras berdiri di dekat jendela, matanya menyapu jalanan di depan rumah Adit. Entah kenapa, ia merasa sedang diawasi. Kemampuan barunya untuk membaca aura dan energi memberikan perasaan tidak nyaman; seperti ada kehadiran asing di sekitar mereka.Di kamar, Adit segera berganti pakaian dan membawa apa saja yang perlu dibawa."Sudah siap?" tanya Laras saat Adit keluar dari kamar dengan tas kecilnya."Sudah," jawab Adit, meski dalam hatinya ia merasa sama sekali tidak siap untuk apa pun yang akan mereka hadapi.Mereka berjalan ke mobil Laras. Sebelum masuk, Adit menoleh ke rumah kecilnya. Entah kenapa, ia merasa mungkin tidak akan kembali dalam waktu dekat."Tenang saja," Laras seolah bisa membaca kekhawatirannya. "Kita akan kembali. Tapi kita perlu belajar mengendalikan ini dulu," ia mengangkat tangannya yang sempat berpendar dengan cahaya ungu.Adit mengangguk dan masuk ke mobil. Saat mesin dihidupkan dan mobil mulai bergerak, ia meras
Di rumahnya yang megah, Larasati berbaring di ranjang king size-nya, menatap langit-langit kamar yang tinggi. Rumah besar ini terasa lebih sunyi dan dingin setelah menghabiskan waktu di rumah kecil Adit yang hangat.Ia menutup mata, mencoba merasakan sisa-sisa energi Adit yang masih terasa di tubuhnya. Seperti bekas sentuhan yang tidak bisa dihapus, energi itu masih berdenyut lembut di bawah kulitnya, mengingatkannya pada sensasi luar biasa yang ia rasakan di bawah sentuhan pria itu."Kenapa kamu tidak menahanku, Adit?" bisiknya pada keheningan kamar.Ponselnya berbunyi sekali lagi. Ia membaca pesan dari Adit dan tersenyum. Ada banyak yang tidak terucap di antara mereka, banyak perasaan yang tertahan. Tapi mungkin ini memang belum waktunya. Mereka baru saja memulai perjalanan untuk memahami kekuatan mereka, untuk memahami ikatan aneh yang menghubungkan mereka.Laras bangkit dan berjalan ke jendela besar yang menghadap ke taman belakang rumahnya. Langit malam bertabur bintang, bulan se
Mereka keluar dari kamar dengan perasaan yang campur aduk. Adit berjalan lebih dulu, berusaha menenangkan detak jantungnya yang masih berpacu cepat. Ia merapikan rambutnya yang berantakan dengan jari, mencoba terlihat normal meski pikirannya masih berkecamuk dengan apa yang baru saja terjadi.Larasati mengikuti di belakangnya, wajahnya masih merona. Tatapannya terus tertuju pada punggung Adit, seolah menunggu pria itu berbalik dan melanjutkan apa yang tadi terhenti. Namun Adit tidak berani; atau mungkin tidak menyadari tatapan itu."Kamu mau minum sesuatu?" tanya Adit, suaranya terdengar serak. Ia berdeham, berusaha menormalkan nada bicaranya."Air putih saja," jawab Laras, duduk di sofa ruang tamu. Tangannya masih sedikit gemetar.Adit mengambil dua gelas air dari dapur. Saat kembali, ia melihat Laras sedang memejamkan mata, seperti menikmati sensasi yang masih tersisa di tubuhnya. Pemandangan itu membuat tenggorokannya mengering. Ada dorongan kuat untuk kembali menyentuh gadis itu,
Kamar Adit sama sederhananya dengan bagian rumah lainnya; sebuah ranjang single dengan sprei putih bersih, lemari kayu kecil, dan meja kerja sederhana di sudut ruangan. Ada rak buku di dinding yang dipenuhi berbagai buku sekolahnya dulu, novel silat, dan buku-buku tua milik kakeknya.Larasati masuk dengan langkah ringan, matanya menjelajahi ruangan pribadi Adit dengan penuh ketertarikan. "Kamar yang nyaman," komentarnya sambil duduk di tepi ranjang.Adit berdiri canggung di ambang pintu, jantungnya berdegup kencang. Ini pertama kalinya ada wanita yang masuk ke kamarnya."Jadi... kamu mau kupijit bagian mana?" tanya Adit, berusaha terdengar profesional meski tangannya mulai berkeringat."Bahuku dan punggungku terasa kaku setelah semua kejadian hari ini," jawab Laras sambil menggerakkan bahunya yang terasa tegang. "Mungkin kamu bisa mulai dari situ?"Adit mengangguk. "Baiklah. Kamu bisa berbaring tengkurap."Laras melepas sweaternya, menyisakan kaos tipis berwarna putih yang memperlihat
Rumah Adit memang kecil, hanya berukuran 6x8 meter dengan satu kamar tidur dan ruang tamu yang menyatu dengan dapur sederhana. Dindingnya berwarna putih kusam yang mulai mengelupas di beberapa bagian. Perabotan di dalamnya minimalis; sebuah kursi kayu tua berwarna cokelat, meja kayu, dan lemari kecil tempat beberapa buku tersusun rapi.Laras duduk di kursi kayu tua yang berderit pelan ketika ia menyamankan posisinya. Matanya menjelajahi setiap sudut ruangan dengan penuh minat. Meski sederhana, rumah ini terasa hidup dan hangat; sangat berbeda dengan rumah megahnya yang sering terasa dingin dan kosong."Maaf ya, rumahku hanya seperti ini,” kata Adit sambil membawa dua cangkir kopi dari dapur kecilnya.Laras menggeleng. "Justru aku suka di sini. Rumahku terlalu besar untuk ditinggali sendirian.""Kamu sendirian di rumah?" tanya Adit sambil meletakkan cangkir di atas meja."Ayah dan Ibu jarang pulang. Kamu tahu sendiri, ayahku pejabat. Waktunya di kantor dan entah apa itu jauh lebih bany
Larasati menoleh ke belakang. Iris matanya membesar melihat gerombolan motor yang mendekati mereka dengan kecepatan tinggi."Sepertinya mereka mengarah ke kita," bisik Laras, suaranya tertahan. Tangannya secara naluriah mencengkeram dashboard mobil.Adit mengencangkan pegangannya pada kemudi. "Tenang saja. Mungkin mereka cuma mau lewat."Tapi kalimat Adit tidak sesuai dengan tindakannya. Ia mempercepat laju mobil, matanya terus melirik spion. Gerombolan pemuda itu semakin mendekat, beberapa di antaranya memukul-mukul tongkat ke aspal sambil memacu kendaraan mereka."Adit, mereka semakin dekat," kata Laras, berusaha terdengar tenang meski jantungnya berdegup kencang."Aku tahu," jawab Adit pendek. Keningnya berkerut, mencari jalan keluar dari situasi ini. "Laras menggeleng. "Sepertinya mereka preman kampung sini—" Kata-katanya terpotong saat sebuah motor menyalip dan memepet di samping mobil mereka. Pengendaranya, seorang pemuda dengan tato di lengan, menatap tajam ke arah mereka."Mi