"Mba, Mba Sri," panggil Bu Rani yang masih belum menyadari penampilan Mba Sri. Matanya masih mengelana ke tempat di mana Mas Pai berdiri tadi.
"Istri si pemilik rumah yang mana orangnya?" tanya Bu Rani.Mba Sri yang bingung mendengar pertanyaan dari Mba Sri, sontak tertawa, membuat pandangan Bu Rani langsung beralih ke arahnya.Bu Rani sedikit memicingkan matanya. Bola mata hitamnya seketika membulat saat menyadari penampilan Mba Sri yang kini mengenakan pakaian mahal dengan perhiasan bertahtakan berlian dua kerat di jarinya. Lehernya juga dihiasi dengan kalung mutiara berliontin huruf s."Itu semua ... dipinjamkan sama si pemilik rumah?" tanya Bu Rani seraya tangannya menunjuk baju, leher dan jari Mba Sri."Oh, bukan Bu. Ini semua milik saya sendiri. Perkenalkan Bu, saya istri dari Mas Pai, pemilik baru rumah ini," jawab Mba Sri seraya mengulurkan tangannya.Bu Rani hening sesaat, lalu tiba-tiba ia tertawa geli. "Aduh Mba Sri, sampeyan ki, bikin perut saya sakit aja. Pinter banget lho, aktingnya," ucap Bu Rani sambil menutup mulutnya dengan tangan. Ia seakan tidak bisa menghentikan tawanya."Eh, ibu-ibu, sini-sini! Masak ni, Mba Sri bilang kalau dia adalah pemilik baru rumah ini." Bu Rani tertawa lagi, kali ini diikuti oleh tawa dari ibu-ibu yang lain.Mba Sri yang masih bersikap santai jadi ikut tertawa, "Beneran Ibu-ibu, Saya pemilik baru rumah ini. Itu suami saya, yang barusan ngomong di depan."Tawa Ibu-ibu langsung berhenti. "Beneran Mba Sri?" Bu Dwi menatap Mba Sri dari atas ke bawah. "Eh iya lho, Bu-ibu. coba liat, deh, penampilan Mba Sri. Keren. Ck, ck, ck.""Halah, paling juga semuanya pinjeman, Bu! Iya, kan, Mba Sri?" Bu Rani mencebik. "Maaf Ibu-ibu, saya pinjem istri saya sebentar. Mah, Itu Pak RW dan Pak RT mau pamit duluan, masih ada yang harus dikerjakan katanya." Mas Pai tiba-tiba muncul. Ia langsung menggandeng tangan Mba Sri dan merangkul mesra pinggangnya."Saya tinggal sebentar ya Ibu-ibu. Silakan, lho, dinikmati hidangannya. Maaf kalau kurang sesuai dengan selera Ibu-ibu semua," ucap Mba Sri lalu tersenyum hangat. Ia kemudian menuju meja di mana Pak RW dan Pak RT berada, meninggalkan rombongan Ibu-ibu.Malam ini Mba Sri begitu bahagia, karena berhasil membuat Bu Rani dan yang lain terkejut dengan ucapan terakhirnya tadi. Apalagi melihat ekspresi Bu Rani yang begitu lucu, hingga sampai menjatuhkan piring yang masih berisi banyak makanan di tangannya. Membuat senyum Mba Sri tak bisa berhenti.***Keesokan harinya, Mba Sri sengaja datang agak siang ke warung sayurnya, karena acara semalam membuatnya sedikit kelelahan. Ia segera menuju garasi tempat mobilnya berada, siap-siap berangkat. Namun, saat baru saja keluar dari pagar rumah, tiba-tiba ia dikejutkan dengan kehadiran Bu Rani dan rombongan yang berdiri di pinggir jalan dekat dengan rumahnya seraya melambaikan tangan. Mereka semua tampak memegang sebuah spanduk panjang yang bertuliskan'Selamat datang di komunitas Ibu-ibu KECAP MANIS Mba Sri. Selamat bergabung!'Mba Sri mengeryitkan dahi. "Komunitas Ibu-ibu kecap manis? Perasaan nggak pernah daftar di komunitas itu. Lagian apa pula itu, komunitas kecap manis? Baru dengar."Mba Sri menepikan mobilnya tak jauh dari tempat Ibu-ibu berdiri."Bu Rani, lagi ngapain di sini?" tanya Mba Sri dengan raut wajah heran.Bu Rani langsung menghampiri Mba Sri. Mencium pipi kiri dan kanan selayaknya sahabat dekat."Jeng Sri, gimana, si, masa orang kaya ke mana-mana masih pakai daster begitu?" ucap Bu Rani yang kini tidak lagi memanggil Mba seperti biasa. Ia masih terlihat risih dengan pakaian yang dikenakan oleh Mba Sri.Mba Sri hanya tersenyum, "Kan, saya mau jualan, Bu, bukan mau kondangan."Bu Rani tersenyum masam. "Ya, sudah. Ini lho, Jeng. Saya di sini sama Ibu-ibu yang lain, lagi mengadakan sambutan khusus untuk Jeng Sri, sebagai anggota kehormatan komunitas Ibu-ibu kecap manis.""Komunitas Ibu-ibu kecap manis?""Iya, Jeng. Masak Jeng Sri belum tahu, di lingkungan kita ini ada komunitas Ibu-ibu terhits sekomplek. Komunitas Ibu-ibu keren, cantik, paling menjadi idaman suami, disingkat KECAP MANIS. Saya ketuanya," jelas Bu Rani bangga."Tapi, saya merasa ga pernah daftar ke komunitas itu kok, Bu.""Nggak usah daftar, Jeng. Jeng Sri langsung saya terima sebagai anggota kehormatan! Gimana, seneng, kan?""Seneng apanya, Bu? Pusing iya!" batin Mba Sri."Oh iya, nanti siang jam dua akan ada rapat untuk kegiatan bakti sosial. Tempatnya di rumah saya. Jeng Sri harus datang, lho. Dan sebagai anggota kehormatan yang baru bergabung, wajib menyediakan konsumsi untuk semua anggota yang hadir. Satu lagi, jangan pakai daster!"Bersambung.Selamat membaca. Semoga suka, ya."Rumah ini, kan, terlalu besar jika hanya saya tinggali bersama suami, sedangkan anak-anak, semuanya sudah pada kuliah ke luar negeri. Jadi rencananya, selain mau saya jadikan rumah tinggal untuk saya, suami dan para karyawan, di sini juga mau saya jadikan rumah singgah untuk anak-anak jalanan di sekitar kompleks, Bu. Menurut Bu Dian, bagaimana?" tanya Mba Sri. Hari ini ia sengaja mengundang Bu Dian ke rumahnya."Wah, bagus itu, Mba. Saya setuju sekali. Nanti Mba Sri tinggal menghubungi Pak RT saja untuk masalah perizinannya, biar tidak bermasalah ke depannya," saran Bu Dian. "Jangan lupa juga kalau anak-anak jalanan yang nanti akan tinggal disini, di data Bu, untuk di laporkan juga sekalian.""Nanti saya bisa minta tolong Bu Dian untuk mengelola rumah singgah? InsyaAllah akan ada bayaran yang sesuai. Saya, kan, orang baru di sini, jadi masih bingung mau minta tolong ke siapa lagi," pinta Mba Sri."Mba Sri nggak usah khawatir, nanti kita kelola sama-
Setelah pindah ke perumahan elit dan menempati rumah terbesar di sana, keseharian Mba Sri tetap berjalan seperti biasa. Ia tetaplah seorang penjual sayur yang ramah dan suka berpenampilan sederhana. Setiap hari, Mba Sri selalu bangun pukul dua pagi, waktu yang dianggapnya cukup panjang untuk melakukan banyak hal sebelum waktu subuh tiba. Setelah selesai melakukan aktivitas pribadinya, sebelum subuh ia sudah sibuk membantu Kasman dan para karyawan yang lain untuk memuat berbagai jenis sayuran segar yang akan dikirim dan dijual pada hari itu. Mba Sri sendirilah yang turun tangan untuk memeriksa kualitas dari semua barang dagangannya. Mereka sengaja menjual khusus sayur dan buah organik karena memenuhi permintaan pasar yang kian tinggi. Mereka yang biasanya mengerti akan pentingnya menjaga kesehatan untuk jangka panjang, pasti tidak akan ragu lagi untuk mengkonsumsi jenis organik. Walaupun yang bisa mengkonsumsinya memang dari kalangan yang cukup berada. Mas Pai dan Mba Sri sudah memul
"Mah, Papah berangkat dulu, ya, mau mengecek stock sayuran yang akan dikirim ke Australia," pamit Mas Pai pada Mba Sri yang sedang sibuk di gudang utama mereka. Mba Sri langsung menghampiri suaminya, meraih tangan Mas Pai dan menciumnya takzim. "Hati-hati, ya, Pah." Mas Pai yang usianya seumuran dengan Mba Sri, baru saja menyelesaikan kuliahnya di jurusan bisnis dan manajemen di salah satu universitas di Bandung, walaupun status pendidikan terakhir yang tercantum di kartu identitasnya masih tertulis SMA. Karena baik Mba Sri dan Mas Pai, keduanya memang hanya lulusan SMA. Setelah mendapat dorongan dari ketiga anaknya, maka Mas Pai memutuskan untuk mendaftar kuliah, hanya semata-mata untuk menunjang keberlangsungan bisnisnya.Sedangkan Mba Sri memutuskan untuk belajar sendiri di rumah dengan banyak membaca buku dan mengambil ilmu langsung dari pedagang sukses lainnya. Sambil berjualan produk organik, Mba Sri juga mengedukasi para pelanggan mengenai apa itu tanaman organik, sehingga sem
"Nah, Coki, ini Tante Sri. Dia pemilik kios sayur yang ada di perumahan ini. Selain itu, dia juga pengusaha sayur-mayur, lho. Kamu nanti bisa belajar banyak dari dia," ucap Bu Rani seraya memperkenalkan kemenakannya kepada Mba Sri. Mereka baru saja tiba di kediaman Mba Sri dan saat ini berada di ruang tamu rumah itu."Hai, Coki. Gimana, betah tinggal di Jakarta? Anak tante juga ada lho, yang seumuran sama kamu. Namanya, Salsa," sapa Mba Sri dengan ramah. "Itu, anaknya, yang ada di paling kiri." Mba Sri menunjuk foto keluarga yang terpasang di dinding dengan dagunya."Lumayan Tante. Panasnya Jakarta nggak jauh beda, kok, sama panasnya Medan," ujar Coki. "Umm, sekarang, Salsanya ke mana Tante?" Mata Coki melirik jahil ke arah foto Salsa, anak bungsu Mba Sri dan Mas Pai yang wajah cantiknya menurun dari sang mama.Mba Sri yang memang senang dengan kehadiran Coki, menjawab sambil tertawa, "Salsa sekarang tinggal di London. Dia sedang kuliah di sana.""Lho, memangnya usia Jeng Sri berapa,
Selamat membaca-----Malam kemarin sebelum Coki mulai bekerja di rumah Mba Sri, Bu Rani meminta Coki untuk memata-matai setiap pergerakan dari Mba Sri. Apakah ada yang mencurigakan, apakah di rumah itu ada benda yang tak lazim, apakah ada ruangan khusus yang tidak boleh dimasuki, dan lain-lain.Coki yang masih belum mengerti apa maksud dari permintaan tantenya itu, hanya mengiyakan saja."Paling cuma laporan kerjaan biasa aja," pikir Coki.Maklumlah pikirannya masih polos, belum bisa mengendus niat buruk tantenya. Padahal sebenarnya bisa saja Bu Rani meminta Pak Ishak, suaminya untuk memberikan pekerjaan kepada Coki. Jabatan Pak Ishak di kantor kontraktor tempatnya bekerja, kan, sudah tinggi.Akhirnya, Coki hanya membuat laporan kegiatan seperti biasa, apa saja yang dilakukan dan dilihat selama dia bekerja hari itu, seperti harus mengantar sayuran jam berapa, catatan alamat pelanggan, dan lain-lain, yang jelas tidak ada hubungan sama sekali dengan apa yang tantenya inginkan.Sontak, h
"Alhamdulillah, kemarin sore makin ramai Bu yang datang. Mereka banyak yang antusias dengan program rumah singgah kita," ucap Mba Sri saat Bu Dian sedang berbelanja sayur esok paginya. "Wah, Alhamdulillah kalau gitu, Mba Sri. Saya ikut senang. Kira-kira kapan rumah singgahnya mau diresmikan, Mba?" Jawab Bu Dian, seraya memilah-milah sayuran hijau di depannya."Kalau itu, masih saya bicarakan sama Mas Pai dan Pak Rt, Bu. Soalnya minggu-minggu ini Mas Pai masih harus ke luar kota, jadi belum bisa. InsyaAllah minggu depan, saat sudah luang waktunya."Oh iya, kalau untuk pengajarnya bagaimana, Bu? Bu Dian sudah jadi menghubungi mereka?""Oh, sudah Mba. Mereka juga insyaAllah siap membantu. Nanti tinggal diinfokan saja waktunya.""Alhamdulillah . Makasi Bu Dian.""Sama-sama, Mba. Saya sudah selesai belanjanya, Mba. Tolong dihitung ya."Mba Sri memasukkan semua belanjaan Bu Dian ke tas belanja, lalu menghitung semuanya dengan menggunakan bantuan alat hitung."Assalamualaikum. Met pagi semua
Mendengar penuturan Kasman, Mba Sri malah tertawa geli, "Oalah, jadi selama ini yang mereka kira jadi penadah anak jalanan itu, Aku, tho?" Kedua Alis Kasman bertaut, "Kok, Ibu malah ketawa, si? Jadi, Saya harus gimana, Bu?""Maaf, maaf, Man." Mba Sri masih menutup mulutnya, mencoba menghentikan tawanya."Ya sudah, biarkan mereka masuk, ya. Tolong nanti langsung Kamu antarkan mereka ke paviliun, ok Man?""Siap, Bu."Mba Sri sudah memberi tahukan pada Bu Dian mengenai kedatangan rombongan Ibu-ibu ke rumahnya, termasuk saat Mba Sri yang tidak bisa menghubungi nomor Bu Rani sedari tadi."Ya Allah, Ada-ada aja Bu Rani, itu." Bu Dian geleng-geleng kepala. "Mbok ya kalau mau tau, tanya langsung ke Mba Sri, kan gampang tinggal telepon," gemasnya.Rombongan Ibu-ibu sudah dipersilakan masuk oleh Kasman, dan kini mereka sedang menuju ke paviliun sesuai perintah Mba Sri.Di Paviliun, bersama sekitar lima belas-an orang anak jalanan, Mba Sri, Bu Dian dan seorang wanita yang merupakan kenalan Bu Di
"Jadi begini Ibu-ibu, Saya, memang sengaja menyediakan tempat khusus di rumah, buat anak-anak ini," Mba Sri melihat ke arah para anak jalanan yang duduk di sebelah kirinya."Tuh, kan. Benar apa yang saya bilang, di rumah ini tu memang dijadikan markas anak-anak jalanan." seru Bu Rani memotong kalimat Mba Sri.Rombongan Ibu-ibu yang lain tetap terdiam, mereka masih bingung mengambil sikap. Jangan-jangan, yang sebenarnya terjadi tidak seperti apa yang Bu Rani sampaikan ke mereka.***"Bu Rani, ni, gimana, si? Kalau mau ngajakin gerebek, pastiin dulu dong kalau beritanya bener. Kita kan jadi, malu, udah teriak-teriak di rumah Mba Sri tadi!" Semprot Bu Jihan. "Untung tadi Mba Sri nyediain makanan enak, jadi penggerebekan kita ga sia-sia." Mereka sedang dalam perjalanan pulang, kembali ke rumah masing-masing."Iya, ni, Bu Rani. Kita, kan jadi ga enak sama Mba Sri, mana tadi di sana ada Bu Dian dan Pak Rt lagi," tambah Bu Dwi."Yeee, siapa suruh mereka bikin program rumah singgah ga ngasi