Selamat membaca. Semoga suka, ya.
"Rumah ini, kan, terlalu besar jika hanya saya tinggali bersama suami, sedangkan anak-anak, semuanya sudah pada kuliah ke luar negeri. Jadi rencananya, selain mau saya jadikan rumah tinggal untuk saya, suami dan para karyawan, di sini juga mau saya jadikan rumah singgah untuk anak-anak jalanan di sekitar kompleks, Bu. Menurut Bu Dian, bagaimana?" tanya Mba Sri. Hari ini ia sengaja mengundang Bu Dian ke rumahnya."Wah, bagus itu, Mba. Saya setuju sekali. Nanti Mba Sri tinggal menghubungi Pak RT saja untuk masalah perizinannya, biar tidak bermasalah ke depannya," saran Bu Dian. "Jangan lupa juga kalau anak-anak jalanan yang nanti akan tinggal disini, di data Bu, untuk di laporkan juga sekalian.""Nanti saya bisa minta tolong Bu Dian untuk mengelola rumah singgah? InsyaAllah akan ada bayaran yang sesuai. Saya, kan, orang baru di sini, jadi masih bingung mau minta tolong ke siapa lagi," pinta Mba Sri."Mba Sri nggak usah khawatir, nanti kita kelola sama-sama, ya. Nanti saya minta bantuan juga dengan beberapa kenalan yang biasa mengajar di rumah singgah. Tidak usah mikirin soal bayaran dan semacamnya, saya senang, kok,bisa membantu Mba Sri.""Makasi banyak, ya, Bu Dian. Oh, iya, kalau ibu-ibu kompleks yang lain, kira-kira perlu diberitahu nggak ya, Bu Dian?""Umm, kalau menurut saya si, nanti saja, Mba. Kalau program rumah singgahnya sudah jalan. Bisa juga kita libatkan mereka soal pendanaan. Barangkali ada di antara mereka yang berminat untuk jadi orang tua asuh salah satu anak jalanan nanti."***"Bu-Ibu, tau, nggak? Tetangga baru kita itu, si tukang sayur, semalam saya lihat rumahnya banyak di datangi anak-anak jalanan gitu. Aduh Bu, penampilannya serem-serem, deh, mana dekil-dekil lagi. Apa Jeng Sri nggak takut, ya, rumah mewahnya jadi kotor karena kedatangan mereka?" Bu Rani membuka cerita sambil bergidik. Ibu-ibu yang sedari tadi sedang asik dengan ponsel mereka masing-masing, langsung mendekat ke Bu Rani."Apa iya, Jeng? Kok, bisa? Komplek sini, kan, nggak boleh dimasukin orang sembarangan," sahut Bu Susi."Iya betul, tu. Bisa nggak aman nanti komplek kita. Apa nggak dilarang masuk, ya, sama Pak Satpam? Coba nanti saya aduin ke Pak Rt." Bu Jihan menanggapi."Eh, eh, mereka sudah datang. Ssst!" seru Bu Dwi. Seketika ibu-ibu yang tadi sedang berkumpul membicarakan Mba Sri bubar, mencari posisi duduk masing-masing."Assalammualaikum. Selamat siang, ibu-ibu," sapa Bu Dian yang diikuti oleh Mba Sri di belakangnya."Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh," jawab Ibu-ibu bersamaan.Bu Dian langsung berbaur bersama dengan Ibu-ibu yang lain. Sedangkan Mba Sri masih berdiri di muka pintu rumah Bu Rani.Melihat Mba Sri menarik trolly yang berisi beberapa kotak makanan, Bu Rani langsung menghampiri Mba Sri. "Jeng Sri, sini biar saya bantu bawakan konsumsinya."Makasi, ya, Bu Rani. Maaf tadi saya bingung mau bawain apa buat acara ibu-ibu hari ini, jadi saya cuma kepikiran bawa ini aja," ucap Mba Sri kemudian tersenyum."Mana-mana coba tak buka," ujar Bu Rani. Sedari tadi penciumannya sudah dihinggapi wangi lezat makanan yang ada di depannya."Harumnyaaa, pasti enak, ni. Kotaknya aja mewah begini," batinnya.Perlahan ia membuka kotak hitam di tangan. Seketika mata minimalisnya membulat sempurna. "Wow, mini beef wellington. Harga yang ukuran normalnya saja sudah sampai satu jutaan. Kalau yang ukuran kecil ini bisa sampai 200 ribuanlah harganya. Belum lagi nasi box yang juga tadi Mba Sri bawa," ucap Bu Rani dalam hati. Berkali-kali ia menelan liur.***"Pak, kamu itu, ya, masak kalah sama suaminya Mba Sri, tetangga baru yang punya warung sayur di depan sana?" ucap Bu Rani pada sang suami."Kalah gimana, Bu? Kalah ganteng? Ah, ya jelas masih ganteng akulah. Jauh.""Huh, Bapak, ni!" Bu Rani mencubit pinggang suaminya. "Buat apa ganteng doang kalau nggak kaya? Memang bisa kita pamer cuma modal ganteng? Usaha dong, Pak. Usaha! Apalagi bapak, kan, kerja di kantor kontraktor. Jabatannya saja sudah kepala divisi keuangan. Jauhlah kalau dibandingin sama Mas Pai yang cuma dagang sayur. Masa dia bisa beli rumah semewah itu. Belum lagi mobil istrinya, itu, kan, mobil impian Ibu banget," rengek Bu Rani tidak rela."Lha, berarti rezekinya mereka, Bu. Sudah nggak usah nangis begitu," goda Pak Ishak, suami Bu Rani."Lagian rumah kita kurang mewah apalagi? Rumah segini saja, ibu sudah ngeluh setiap hari. Ya capeklah, beres-beresnya, males turun naik tanggalah. Apa lagi kalau rumah kita sebesar rumah mereka. Eh iya, Mba Sri pakai mobil apa memang, Bu? Nanti bapak belikan kalo Ibu mau.""Serius, Pak?" Bu Rani langsung memijat-mijat lengan suaminya. "Bapak Ishak memang cowok yang paling ganteng sedunia.""Iya, mobilnya emang merek apa?""Mini cooper, Pak," jawab Bu Rani yang langsung mendapat semburan dari Pak Ishak, mengeluarkan sebagian air kopi yang masih hangat dalam mulutnya, hingga tak sengaja mengenai wajah Bu Rani."Bapaaak!" Bu Rani memukul-mukul lengan suaminya, lalu langsung mengelapi wajahnya yang terkena tumpahan kopi."Serius, Bu?" Bola mata Pak Ishak membulat, tidak percaya dengan apa yang istrinya katakan."Bapak pikir ibu bohong apa! Ya, serius, lha!" sewot Bu Rani."Eh, tapi, Pak, kok, mereka bisa sekaya itu, ya? Curiga aku. Masak cuma dagang sayur aja, mereka bisa beli rumah puluhan milliar. Belum lagi kendaraan dan harta bendanya yang lain. Tadi waktu arisan aja, Mba Sri membawa makanan mahal. Usia mereka, kan, kelihatannya masih pada muda.""Apa jangan-jangan, mereka punya piaraan kali, Pak?""Maksud ibu?""Ya, piaraan, Pak. Piaraan yang bikin mereka jadi kaya raya dan usaha mereka selalu laris!""Tuyul maksud Ibu?" Bu Rani mengangguk mengiyakan."Hush! Nggak boleh nuduh orang begitu, Bu! Kita, kan, nggak, tahu benar atau tidak. Jadi fitnah nanti," omel Pak Ishak."Tapi, apa, iya? Kok, Bapak jadi ikut curiga, ya. Gara-gara Ibu, ni." Pak Ishak menepuk pelan lengan istrinya."Umm, ibu punya rencana, Pak. Pokoknya sebentar lagi ibu akan tahu darimana asal muasal kekayaan Mba Sri itu!"Bersambung.Selamat membaca, jangan lupa subs, rate, love dan komen di setiap babnya ya kak. Makasi udah mampir. Semoga suka. Alhamdulillah end ...! **Dua orang pemuda yang kini berada di taman belakang rumah Mba Sri hanya saling terdiam memandang pemandangan kolam renang di depan mereka. Sudah sejak lima belas menit berlalu, tapi tidak satupun yang memulai pembicaraan. Sang pria sedang berpikir apa yang sebaiknya ia katakan. Sedangkan sang wanita sedang menunggu kalimat apa yang akan keluar dari mulut sang pria. "Sebenarnya Pak Dika mau bicara apa?" tanya Askia memberanikan diri. Ia mencoba bertanya, agar degup jantungnya yang sedari tadi mulai berdentum tidak sampai terdengar oleh pria di sampingnya. "Gak, gak mau ngomong apa-apa," jawab Dika, yang akhirnya merutuki dirinya sendiri. "B*g*, kenapa gue malah ngomong gitu," batinnya.Alis Askia bertaut, lalu perlahan ia mulai bangkit dari duduknya. "Eh, kamu mau ke mana?" tanya Dika yang tiba-tiba juga ikut berdiri. "Mau ke dalem lagi, Pak.
Malam itu, Mba Sri sengaja mengundang Askia dan keluarganya untuk makan malam bersama keluarga mereka. Tak lupa pula Mba Sri juga mengundang keluarga Coki dan Bu Rani. Tapi karena Bu Rani dan Pak Ishak sedang ada acara lain, mereka tidak bisa hadir. "Mari Bu, mari kita langsung ke ruang makan saja," ajak Mba Sri pada Ibu Askia. "Askia kamu ajak adik-adikmu makan, ya.""I-i, ya, Bu," jawab Askia sambil terbata. Ia masih merasa malu dan canggung berada di tengah-tengah keluarga Dika. Pagi itu, saat Dika memberitahu kalau Mba Sri mengundang ibu dan ketiga adiknya untuk makan malam di rumah mereka, Askia sempat bingung. Ia tidak tahu harus menjawab apa, sedangkan untuk menolaknya Askia juga tidak berani, karena yang mengundangnya langsung adalah Dika. ***"Makasi banyak, ya, Pak, udah mau mengundang Ibu dan adik-adik saya untuk makan malam di sini," ungkap Askia. "Hmm. Mama yang nyuruh saya untuk ngundang kamu! Saya juga ga tau maksudnya apa!" Dika menjawab ketus. Raut wajah Askia
"Gimana, Dik, hasil kunjungan kamu kemarin ke rumah Askia? Benar kondisi keluarganya seperti yang kemarin kamun ceritakan?" tanya Mba Sri di tengah aktivitasnya membaca laporan hasil penjualan perusahaan sayur milik mereka per hari ini. Ia sibuk menaik turunkan mouse yang ada di tangan. Matanya menatap lekat ke layar datar di hadapan, sambil sesekali menautkan alis.Saat ini, Mba Sri dan Dika sedang berada di ruang kerja Mba Sri. Mba Sri duduk di kursi kulit berwarna hitam yang terletak tepat di sisi jendela, sedangkan Dika duduk di sofa panjang yang ada di tengah ruangan, yang jaraknya sekitar satu meter dari meja kerja Mba Sri. "Bener, kok, Ma. Kemarin waktu Dika kasih beasiswa itu untuk Askia dan ketiga adiknya, Ibu mereka menangis, ia sampai memeluk Dika kenceng banget,"jawab Dika yang juga sedang asik membaca surat kabar di tangan. Mba Sri tidak merespon jawaban Dika tadi, ia masih serius memperhatikan layar laptop di depannya. Dika yang sudah selesai membaca koran, lalu men
"Eh, Pak. Bukan, bukan siapa-siapa, kok? Saya tadi cuma lagi ngomongin aktor Korea aja." Alis Kasman bertaut. "Lee Min Ho. Iya, Lee Min Ho. Dia itu kan ganteng, tapi sayang, galak."Askia berusaha untuk meyakinkan Kasman. Kasman menggeleng pelan. "Kamu itu ada-ada aja, ngapain pake jauh-jauh mikirin aktor Korea yang ga kamu kenal sama sekali. Sudah sana cepat kerja, kamu udah hampir telat!"Askia menghela napas lega, senang kalau Kasman tidak mencurigai sikapnya tadi. Tapi di wajahnya masih menampakkan senyum bahagia karena masih terus teringat akan ulah Dika tadi. ***Sementara itu, Dika di dalam kantornya berusaha untuk mencari tahu informasi lebih lanjut mengenai gadis bernama Askia yang sejak semalam suka menabraknya itu. Ia ingin tahu se-menyedihkan apa kehidupan sehari-hari karyawati yang belum lama ini bergabung di perusahaan sayuran milik kedua orangtuanya. Akhirnya lembaran yang ia cari sudah berada di tangan, "Jadi dia sudah tidak punya ayah. Anak pertama dari empat ber
Sebelum membaca mohon bantuannya untuk vote ya Kak. Makasi***Acara pertunangan Salsa dan Coki semalam, menyisakan sedikit gerimis di hati Dika, sang kakak tertua. Ia merasa kalau adik yang selama ini dimanjakan akan segera mempunyai orang lain yang bisa lebih diandalkan dibanding dengan dirinya. Berbeda dengan saat Salsa dulu bertunangan dengan Ardan, pertunangan Salsa dengan Coki kali ini justru membuat Dika yakin, kalau Coki memang adalah jodoh Salsa dan secara pribadi ia sudah memberikan restunya kepada Coki."Pas ntar Salsa nikah, yah, jadi kesepian deh, Gue. Siapa lagi cewek yang mau gue pamerin ke temen-temen kalau ada undangan acara ngumpul-ngumpul? Masa iya ngajak Mama," batin Dika. "Maaf, maaf, Mas. Saya ga sengaja."Seorang gadis tiba-tiba menabrak tubuh Dika, saat itu Dika memang sedang merenung sendirian di taman samping rumah, memikirkan nasibnya jika nanti Salsa menikah. Dika sempat terhuyung sebentar. Untung saja saat itu ia tidak sedang membawa minuman seperti sema
"Sekali lagi saya minta maaf, Pak. Saya benar-benar tidak sengaja," ucap Askia lagi seraya menangkup kedua tangan di depan dada. "Maaf, maaf! Kamu pikir dengan minta maaf baju saya bisa bersih lagi? Mana bentar lagi tamu udah pada dateng." Dika menjeda kalimatnya. "Siapa nama Kamu? Karyawan di bagian apa? Mulai besok, kamu ga usah datang lagi untuk bekerja! Kamu di pecat!"Tangis Askia seketika pecah, tubuhnya sampai melorot ke bawah."Dika, ada apa, Nak? Kenapa kamu teriak-teriak begitu?"Mba Sri dan Kasman yang mendengar suara keras Dika seketika datang menghampiri. Kasman bahkan segera menyuruh Askia untuk segera berdiri. "Ini lihat, Ma. Baju Dika sampai kotor begini gara-gara dia!" Tunjuk Dika pada Askia yang masih menangis."Maaf, Bu. Tadi saya ga sengaja menabrak Pak Dika. Saya sedang terburu-buru."Mba Sri menghela napas. "Ya sudah, Dika. Dia, kan, sudah minta maaf. Ga enak didengar banyak orang kalau kamu marah-marah begitu. Sekarang, cepat ganti bajumu sebelum para tamu da