"Mah, Papah berangkat dulu, ya, mau mengecek stock sayuran yang akan dikirim ke Australia," pamit Mas Pai pada Mba Sri yang sedang sibuk di gudang utama mereka. Mba Sri langsung menghampiri suaminya, meraih tangan Mas Pai dan menciumnya takzim. "Hati-hati, ya, Pah." Mas Pai yang usianya seumuran dengan Mba Sri, baru saja menyelesaikan kuliahnya di jurusan bisnis dan manajemen di salah satu universitas di Bandung, walaupun status pendidikan terakhir yang tercantum di kartu identitasnya masih tertulis SMA. Karena baik Mba Sri dan Mas Pai, keduanya memang hanya lulusan SMA. Setelah mendapat dorongan dari ketiga anaknya, maka Mas Pai memutuskan untuk mendaftar kuliah, hanya semata-mata untuk menunjang keberlangsungan bisnisnya.Sedangkan Mba Sri memutuskan untuk belajar sendiri di rumah dengan banyak membaca buku dan mengambil ilmu langsung dari pedagang sukses lainnya. Sambil berjualan produk organik, Mba Sri juga mengedukasi para pelanggan mengenai apa itu tanaman organik, sehingga sem
"Nah, Coki, ini Tante Sri. Dia pemilik kios sayur yang ada di perumahan ini. Selain itu, dia juga pengusaha sayur-mayur, lho. Kamu nanti bisa belajar banyak dari dia," ucap Bu Rani seraya memperkenalkan kemenakannya kepada Mba Sri. Mereka baru saja tiba di kediaman Mba Sri dan saat ini berada di ruang tamu rumah itu."Hai, Coki. Gimana, betah tinggal di Jakarta? Anak tante juga ada lho, yang seumuran sama kamu. Namanya, Salsa," sapa Mba Sri dengan ramah. "Itu, anaknya, yang ada di paling kiri." Mba Sri menunjuk foto keluarga yang terpasang di dinding dengan dagunya."Lumayan Tante. Panasnya Jakarta nggak jauh beda, kok, sama panasnya Medan," ujar Coki. "Umm, sekarang, Salsanya ke mana Tante?" Mata Coki melirik jahil ke arah foto Salsa, anak bungsu Mba Sri dan Mas Pai yang wajah cantiknya menurun dari sang mama.Mba Sri yang memang senang dengan kehadiran Coki, menjawab sambil tertawa, "Salsa sekarang tinggal di London. Dia sedang kuliah di sana.""Lho, memangnya usia Jeng Sri berapa,
Selamat membaca-----Malam kemarin sebelum Coki mulai bekerja di rumah Mba Sri, Bu Rani meminta Coki untuk memata-matai setiap pergerakan dari Mba Sri. Apakah ada yang mencurigakan, apakah di rumah itu ada benda yang tak lazim, apakah ada ruangan khusus yang tidak boleh dimasuki, dan lain-lain.Coki yang masih belum mengerti apa maksud dari permintaan tantenya itu, hanya mengiyakan saja."Paling cuma laporan kerjaan biasa aja," pikir Coki.Maklumlah pikirannya masih polos, belum bisa mengendus niat buruk tantenya. Padahal sebenarnya bisa saja Bu Rani meminta Pak Ishak, suaminya untuk memberikan pekerjaan kepada Coki. Jabatan Pak Ishak di kantor kontraktor tempatnya bekerja, kan, sudah tinggi.Akhirnya, Coki hanya membuat laporan kegiatan seperti biasa, apa saja yang dilakukan dan dilihat selama dia bekerja hari itu, seperti harus mengantar sayuran jam berapa, catatan alamat pelanggan, dan lain-lain, yang jelas tidak ada hubungan sama sekali dengan apa yang tantenya inginkan.Sontak, h
"Alhamdulillah, kemarin sore makin ramai Bu yang datang. Mereka banyak yang antusias dengan program rumah singgah kita," ucap Mba Sri saat Bu Dian sedang berbelanja sayur esok paginya. "Wah, Alhamdulillah kalau gitu, Mba Sri. Saya ikut senang. Kira-kira kapan rumah singgahnya mau diresmikan, Mba?" Jawab Bu Dian, seraya memilah-milah sayuran hijau di depannya."Kalau itu, masih saya bicarakan sama Mas Pai dan Pak Rt, Bu. Soalnya minggu-minggu ini Mas Pai masih harus ke luar kota, jadi belum bisa. InsyaAllah minggu depan, saat sudah luang waktunya."Oh iya, kalau untuk pengajarnya bagaimana, Bu? Bu Dian sudah jadi menghubungi mereka?""Oh, sudah Mba. Mereka juga insyaAllah siap membantu. Nanti tinggal diinfokan saja waktunya.""Alhamdulillah . Makasi Bu Dian.""Sama-sama, Mba. Saya sudah selesai belanjanya, Mba. Tolong dihitung ya."Mba Sri memasukkan semua belanjaan Bu Dian ke tas belanja, lalu menghitung semuanya dengan menggunakan bantuan alat hitung."Assalamualaikum. Met pagi semua
Mendengar penuturan Kasman, Mba Sri malah tertawa geli, "Oalah, jadi selama ini yang mereka kira jadi penadah anak jalanan itu, Aku, tho?" Kedua Alis Kasman bertaut, "Kok, Ibu malah ketawa, si? Jadi, Saya harus gimana, Bu?""Maaf, maaf, Man." Mba Sri masih menutup mulutnya, mencoba menghentikan tawanya."Ya sudah, biarkan mereka masuk, ya. Tolong nanti langsung Kamu antarkan mereka ke paviliun, ok Man?""Siap, Bu."Mba Sri sudah memberi tahukan pada Bu Dian mengenai kedatangan rombongan Ibu-ibu ke rumahnya, termasuk saat Mba Sri yang tidak bisa menghubungi nomor Bu Rani sedari tadi."Ya Allah, Ada-ada aja Bu Rani, itu." Bu Dian geleng-geleng kepala. "Mbok ya kalau mau tau, tanya langsung ke Mba Sri, kan gampang tinggal telepon," gemasnya.Rombongan Ibu-ibu sudah dipersilakan masuk oleh Kasman, dan kini mereka sedang menuju ke paviliun sesuai perintah Mba Sri.Di Paviliun, bersama sekitar lima belas-an orang anak jalanan, Mba Sri, Bu Dian dan seorang wanita yang merupakan kenalan Bu Di
"Jadi begini Ibu-ibu, Saya, memang sengaja menyediakan tempat khusus di rumah, buat anak-anak ini," Mba Sri melihat ke arah para anak jalanan yang duduk di sebelah kirinya."Tuh, kan. Benar apa yang saya bilang, di rumah ini tu memang dijadikan markas anak-anak jalanan." seru Bu Rani memotong kalimat Mba Sri.Rombongan Ibu-ibu yang lain tetap terdiam, mereka masih bingung mengambil sikap. Jangan-jangan, yang sebenarnya terjadi tidak seperti apa yang Bu Rani sampaikan ke mereka.***"Bu Rani, ni, gimana, si? Kalau mau ngajakin gerebek, pastiin dulu dong kalau beritanya bener. Kita kan jadi, malu, udah teriak-teriak di rumah Mba Sri tadi!" Semprot Bu Jihan. "Untung tadi Mba Sri nyediain makanan enak, jadi penggerebekan kita ga sia-sia." Mereka sedang dalam perjalanan pulang, kembali ke rumah masing-masing."Iya, ni, Bu Rani. Kita, kan jadi ga enak sama Mba Sri, mana tadi di sana ada Bu Dian dan Pak Rt lagi," tambah Bu Dwi."Yeee, siapa suruh mereka bikin program rumah singgah ga ngasi
"Pah, Mamah denger dari si Coki, katanya Bu Rani ada rencana mau buka warung sayur juga.""Masa, si, Mah? Bu Rani yang gengsinya gede itu mau jualan sayur?" tanya Mas Pai disambung tertawa."Hush, Papah nggak boleh begitu, ah." Mba Sri ikut tertawa."Kata Coki, si, begitu. Nah, rencana Mamah, mau nawarin warung sayur kita yang di perumahan ini ke Bu Rani, Pah.""Maksud Mamah gimana?""Iya, nantinya biar Bu Rani aja yang ngelola. Daripada kebanyakan warung sayur kan, mending sekalian gedein satu tempat aja. Lagian tujuan Mamah ikut jaga warung, kan, cuma biar bisa kenal sama Ibu-ibu kompleks sini. Sekarang Mamah udah kenal semua. Mamah rasa, Mamah ga perlu lagi ikut bantu Kasman jaga warung sayur di sana. Menurut Papah gimana?""Memang Bu Raninya mau, Mah?""Belum tahu, si. Nanti baru mau mama tanyain. Tapi papah setuju kan, sama rencana mamah? Mas Pai mengangguk sambil tersenyum. Dalam hati ia merasa sangat beruntung karena dikaruniai seorang istri yang berhati mulia seperti Mba Sri.
"Bukan begitu Bu Rani. Cuma nggak enak aja. Kan, Mba Sri duluan yang buka warung sayur di sini. Lagian Mba Sri juga, kan, baru jadi tetangga kita. Masa tiba-tiba Bu Rani mau ikutan buka warung sayur? Kalau buka toko yang lain, selain yang menjual sayuran, gimana, Bu?""Bu Dian ini gimana, si? Kok, malah membela Jeng Sri yang baru Bu Dian kenal! Saya, kan, kenal Bu Dian duluan daripada Jeng Sri. Harusnya dukung saya dong! Lagian rezeki itu, kan, udah ada yang ngatur, Bu. Ga usah terlalu khawatirlah kalo warung sayurnya Jeng Sri bakalan sepi. Wong, Jeng Srinya saja juga nggak keberatan kok.]"Ya, sudah kalau begitu. Sebagai tetangga saya cuma mau mengingatkan Bu Rani aja, kok. Nggak ada maksud apa-apa.]***"Man, besok warung ini kita tutup aja, ya, Man?" ucap Mba Sri saat ia dan Kasman baru saja selesai jualan dan sedang bersiap untuk menutup warung."Lho, kenapa, Bu?" tanya Kasman heran."Besok, kan, ada acara pembukaan warung sayurnya Bu Rani, Man. Biar Ibu-ibu sini belanjanya ke sana