Share

Tingkah Polah Bu Rani

"Mba Sri, Saya sudah selesai belanjanya, tolong dihitung," ujar Bu Jihan. 

Mba Sri langsung memasukkan barang belanjaan Bu Jihan ke kantong besar, kemudian menghitungnya. "Semua jadi 175 ribu, Bu." 

"Kok, mahal? Saya, kan, cuma beli sayuran, ikan Kembung, sama buah nanas aja."

"Iya, Bu, harganya memang segitu." Mba Sri menjawab sambil tersenyum.

"160 ribu aja ya, Mba. Boleh ga?" tawar Bu Jihan.

"Iya nggak pa-pa Bu, bol ...." 

"Lho, Jeng Jihan ini bagaimana, tho. Kasihan, kan Mba Sri kalau ditawar segitu, bisa rugi nanti. Masa suaminya ASN kok, belanjanya nawar!" ejek Bu Rani seraya memotong ucapan Mba Sri. 

Muka Bu Jihan memerah, terlihat jelas kalau ia kesal atas perkataan Bu Rani barusan. "Ya sudah, ini 175 ribu, Mba." 

"Nah, gitu dong, sedekah untung sama orang kismin, kan, dapet pahala," ucap Bu Rani lagi.

Bu Jihan terlihat menarik napas dalam, mencoba menenangkan dirinya. "Yo wis, Saya duluan ya, ibu-ibu." 

"Saya juga pamit, deh!" ucap Bu Dwi. Sambil jalan, ia mengusap pelan pundak Bu Jihan, berusaha menenangkan. "Sabar ya, Bu." lirihnya.

 

Bu Susi yang juga sudah selesai belanja ikut beranjak dari duduknya dan berjalan pulang.

Sekarang tinggal Bu Rani seorang yang ada di warungnya Mba Sri. "Mba, usia jenengan berapa, tho?" tangannya mengambil tiga buah kue talam yang ada di meja depan, meja khusus tempat menyajikan kue-kue dan semacamnya.

"Wah, Saya, mah, sudah tu ...."

Bu Rani memandang Mba Sri dari atas kepala  sampai ujung kaki, matanya mendelik saat melihat Mba Sri hanya memakai daster yang warnanya sudah agak pudar. 

"Paling baru dua puluhan kan?" Ia memotong ucapan Mba Sri lagi.

"Tapi itu, kok, muka udah kayak umur tiga puluh, Mba? Eh, Mba tak kasi tahu, ya. Jenengan, ni, harus rajin minum jeruk nipis peras hangat tiap pagi, terus olahraga. Biar awet muda kayak saya gini, lho, walaupun sudah kepala empat, tapi kayak masih remaja, kan?" puji Bu Rani pada dirinya sendiri. 

Mba Sri hanya senyum-senyum, malas menanggapi, "Bu Rani nggak tahu aja, selesai jaga warung, saya juga mau ke salon. Mau creambath, facial, laser wajah, luluran, meni pedi, scrub dan lain-lain," batin Mba Sri.

"Iya, Bu Rani. Makasi, ya, sarannya." 

"Sudah, Mba. Saya mau pulang, tolong belanjaan saya dihitung."

Mba Sri menekan angka-angka di kalkulatornya, "Semua jadi empat ratus lima belas, Bu." 

"Apa? Empat ratus lima belas?" ucap Bu Rani terkejut. Kue talam yang sedang dimakannya sedikit tersembur keluar. Untungnya di sana sudah sepi, tidak ada ibu-ibu lain. 

"Iya, Bu. Ikan tenggiri, ayam sama dagingnya saja sudah tiga ratus ribuan sendiri. Oh iya, kue talam yang Bu Rani makan juga belum saya hitung. Tapi nggak pa-pa, saya gratisin saja buat Bu Rani."

Bu Rani membuka dompet kecil di tangan, "Uang cash saya cuma dua ratus ribu ni, Mba Sri. Maaf, saya nggak biasa bawa cash banyak-banyak, takut banyak bakterinya," ucap Bu Rani sombong. 

"Lebih senang pakai kartu debit kalau untuk beli ini-itu, lebih aman dan praktis. Tapi, di sini pasti nggak ada, kan, alat geseknya?"

"Ada, kok, Bu Rani. Sebentar saya ambilkan,  ya!"

"Eh, eh, tunggu, tunggu, Mba, Sri!" panggil Bu Rani.

"Iya, kenapa lagi, Bu?" 

"Ternyata kartu debit saya juga  ketinggalan," ucap Bu Rani lalu menampakkan deret giginya yang rapi dan putih. "Gini saja, Mba Sri. Daging sama ayamnya, saya belinya besok saja. Sekarang saya beli ikan tenggiri, sayuran sama buah semangkanya aja, deh. Berapa jadinya?"

"Jadi dua ratus tiga puluh ribu, Bu."

"Dua ratus ribu saja ya, Mba Sri? Sama langganan ini. Nanti saya promosiin, deh,warung sayur Mba Sri ke Ibu-ibu arisan saya, dijamin nanti warungnya tambah rame," rayu Bu Rani.

"Iya, Bu Rani. Nggak pa-pa." jawab Mba Sri seraya menutup mulutnya dengan tangan. Ia berusaha menahan tawa. Melihat tingkah polah Bu Rani merupakan hiburan tersendiri baginya.

"Nih, ya, uangnya."  Bu Rani menyerahkan empat lembar uang berwarna biru.

"Oh iya, Mba Sri. Nanti malam jenengan diundang nggak sama tetangga baru itu? Yang di Blok E, lho." tanya Bu Rani sebelum mengendarai sepedanya kembali, 

"Eh. Saya mah ...." 

"Sudah pasti nggak diundang lha ya, Mba. Maaf, maaf Mba Sri, pertanyaan saya jadi ngawur begini. Sudah, ya, saya pulang dulu. makasi, lho."

"Bu Rani, Bu Rani, siap-siap, ya, nanti malam kita bakal ketemu di rumah saya," gumam Mba Sri.

"Kas, Kasman!" Mba Sri memanggil Kasman karyawannya. Sedari tadi, Kasman sibuk di belakang, menata bahan-bahan sayuran yang akan dikirim ke minimarket sebelah.

"Kas, kamu sudah sarapan belum?" 

"Sudah, Bu. Tadi di belakang, Saya nyambi makan gorengan."

"Oh, oke deh. Kalau gitu, Saya pulang dulu, ya, mau buru-buru ke salon. Terus mau nyiap-nyiapin acara buat nanti malam. Kamu lanjutin jaga warung bisa, kan? Nanti jam sebelas tutup saja, ya."

"Baik, Bu. Insyaallah."

"Oh iya, jangan lupa, abis dari sini kamu ke rumah ya, Kas. Bantu-bantu yang lain." 

"Siap, Bu."

Mba Sri melangkah keluar dari warung, menuju tempat ia memarkirkan mobil, lalu meninggalkan warung dengan mengendarai minicooper merah miliknya.

Bersambung.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status