"Mba Sri, bayam seiket berapa?" tanya Bu Dian sembari tangannya sibuk memilah beberapa ikat sayuran hijau di depannya.
"Empat ribu, Bu. Kalau ambil dua jadi tujuh ribu saja," jawab Mba Sri si penjaga warung sayur."Lho, jangan gitu, Mba Sri. Nanti gara-gara saya belanja, untung jualan Jenengan jadi berkurang. Saya ambil empat aja, Mba. Jadi enam belas ribu, ya." Bu Dian menyerahkan selembar uang berwarna hijau. "Kembaliannya bawang putih ya, Mba," ucap Bu Dian lagi.Tangan Mba Sri gesit memasukkan empat ikat bayam dan dua bulatan bawang putih ke dalam tas belanja Bu Dian. "Apa lagi, Bu?""Sudah ini saja dulu, Mba Sri. Makasih, ya."Rumah Bu Dian terletak di deretan paling ujung kompleks, yang paling jauh jaraknya dengan warung sayur milik Mba Sri. Setiap kali belanja, Bu Dian selalu menggunakan motor matiknya .Bu Dian juga terkenal yang paling dermawan di antara ibu-ibu kompleks langganan warung sayur Mba Sri. Orangnya juga ramah dan menyenangkan. Hampir setiap hari beliau belanja di sana, selalu tidak pernah menawar. Berapa pun harga yang Mbak Sri sebutkan, pasti langsung dibayarnya. Makanya kalau Bu Dian tidak belanja sehari saja, Mbak Sri merasa kehilangan. Bukan karena takut kehilangan untung banyak, tapi kehilangan sosok wanita yang setiap harinya bisa memberinya banyak pelajaran.Kadang selain belanja, Bu Dian sering menanyakan kabar Mba Sri dan keluarganya. Tidak lupa pula Bu Dian selalu mengucap syukur karena masih diberikan rezeki untuk belanja di warung Mba Sri.Bu Dian yang usianya berada lima tahun di atas Mba Sri itu, selalu datang lebih pagi daripada ibu-ibu yang lain. Setengah jam setelah subuh ia sudah ada di sana. Sengaja katanya, menghindari berlama-lama di warung sayur, karena kalau agak siangan sudah bisa dipastikan akan banyak ibu-ibu lain yang juga berbelanja. Tentu saja sudah menjadi kekhasan tersendiri kalau ibu-ibu sudah ngumpul, pasti ada saja yang jadi bahan omongan.Awalnya, si, masih membicarakan harga-harga sayur yang makin hari kian mahal. Setelah itu mulai menanyakan kabar jika ada sosok ibu yang tidak pernah kelihatan batang hidungnya. Bu Dian termasuk yang cukup sering dijadikan objek pembicaraan, tapi karena Bu Dian pernah menjelaskan alasan kenapa belanjanya selalu pagi, akhirnya ibu-ibu itu capek sendiri dan mulai mencari objek lain buat dijadikan bahan obrolan.Selepas Bu Dian pergi dengan sepeda motornya, satu persatu mulai berdatangan ibu-ibu kompleks langganan warung sayur Mba Sri. Orang pertama yang datang adalah Bu Susi. Biasanya ia datang dengan berjalan kaki bersama anak bungsunya yang masih berusia lima tahun, tapi pagi ini ia datang sendiri. Rumahnya hanya berjarak lima rumah dari warung. Setiap belanja, Bu Susi selalu memborong tahu tempe, katanya keluarganya setiap hari paling senang ngemil gorengan tahu tempe. Keluarganya adalah keluarga besar, selain Bu Susi, suami dan kelima anaknya, juga tinggal ayah dan ibu mertua, adik ipar dan seorang asisten rumah tangga. Bisa dibayangkan betapa besarnya kebutuhan makan dalam sehari di rumah Bu Susi, belum lagi kebutuhan yang lain. Jadi kalau tidak ingin kehabisan tahu tempe, harus datang sebelum atau bersamaan dengan Bu Susi."Mba, cabe merah sekilo, ya, yang keriting aja, ga usah campur rawit," pinta Bu Susi. "Nanti rawitnya dua puluh ribu aja.""Siap, Bu." Tangan Mba Sri segera meraup beberapa cabe merah yang masih segar, ditimbang, lalu langsung dimasukkan ke kantung plastik."Tomatnya juga sekilo, ya, Mba, sama sawi hijau lima ikat." Kemudian Bu Susi beralih ke bagian ikan, ayam dan daging."Ayam sekilo berapa, Mba?""Sekilo tiga puluh lima ribu, Bu.""Saya mau dua ekor, Mba.""Ayamnya jadi 2,75 kilo Bu, dipotong biasa, kan?" tanya Mba Sri setelah menimbang ayam, kemudian memotongnya menjadi beberapa bagian."Iya. Sudah Mba Sri, itu saja. Jadi berapa semuanya?""Semua jadi dua ratus lima belas, Bu."Bu Susi menyerahkan dua lembar uang berwarna merah dan satu lembar uang berwarna hijau.Selesai Bu Susi belanja, datang Bu Rani dengan sepeda lipat merek Drombon, kemudian menyusul Bu Jihan dan Bu Dwi."Eh, Bu Susi udah duluan, waduh, nggak kebagian tempe tahu dong, saya," ucap Bu Rani yang langsung masuk ke bagian ikan, ayam dan daging."Mba Sri, aku dagingnya sekilo, ayamnya sama ikan tenggirinya dua ekor, ya," pinta Bu Rani seraya mengambil kantong kresek besar, lalu ia memasukkan beberapa jenis sayuran hijau. "Tolong buatkan sop-sopan lima ribu ya, Mba. Jangan lupa wortelnya yang banyak dan segar, jangan yang kayak kemarin. Terus pengganti gorengannya aku mau jagung aja, deh, lima, mau dibuat bakwan aja."Bu Rani kemudian menghampiri Bu Jihan dan Bu Dwi yang sedang memilih sayuran,"Eh, Jeng, jeng, semalem pada dapet undangan nggak?" tanya Bu Rani."Undangan apa, Jeng?" Bu Susi menanggapi. Ia yang sedari tadi sudah selesai belanja biasanya memang urung pulang lebih dulu jika suasana sedang ramai seperti sekarang, biar ga ketinggalan informasi katanya."Itu, lho, rumah paling besar yang ada di blok sebelah ternyata udah laku.""Oh, ya?" tanya Bu Dwi."Iya. Nah, nanti malam, penghuni barunya mengundang kita syukuran di sana."Mba Sri yang mendengar perkataan Bu Rani barusan seketika menahan senyum."Oh, orang mana yang beli, Jeng Ran?" kali ini Bu Jihan yang bertanya."Nggak tahu, denger-denger, sih, pengusaha sayur-mayur gitu, deh. Aneh, memang ada, ya, pengusaha sayur-mayur?" Bu Rani tertawa."Lho, Bu, ini Mba Sri buktinya, kan, pengusaha sayur-mayur juga." Bu Dwi yang bicara, ibu muda yang belum lama pindah ke kompleks ini."Mba Sri, mah, bukan pengusaha, wong cuma jaga warung gini, kok. Oh iya, Mba Sri, ini warung sayur punyanya siapa, tho? Bukan punya jenengan, kan?""Eh, bukan Bu Rani. Saya, mah, cuma jagain warung aja," jawab Mba Sri sambil tersenyum, "Yang punya suami saya," sambung Mba Sri dalam hati."Tuh, kan, Ibu-ibu, apa saya bilang. Mba Sri itu cuma yang jaga," ucap Bu Rani seraya meneruskan kesibukannya memilih buah-buahan."Nanti kalau Ibu-ibu dapat undangan, kita berangkat bareng, ya. Saya mau tahu siapa, si, penghuni baru rumah itu. Siapa tau bisa jadi anggota geng baru kita." Bu Rani tertawa, ekspresinya itu persis seperti Bu Tejo di film Tilik. Mba Sri hanya geleng-geleng kepala saja melihatnya. Ia sudah terbiasa dengan perilaku Bu Rani.Tiba-tiba ponsel di saku Mba Sri berbunyi. "Sebentar, ya, Ibu-ibu.""Assalamualaikum, Pah," jawab Mba Sri sambil berbisik."Waalaikumsalam. Mah, gimana persiapan syukuran rumah kita nanti malam?""Insyaallah sudah siap, Pah. Papah tenang aja. Undangan juga udah mamah bagi-bagikan ke tetangga semalam. Maaf, Pah, sudah dulu, ya. Lagi banyak pelanggan di sini, nggak enak. Assalammualaikum."Mba Sri memutus panggilan.Bersambung."Mba Sri, Saya sudah selesai belanjanya, tolong dihitung," ujar Bu Jihan. Mba Sri langsung memasukkan barang belanjaan Bu Jihan ke kantong besar, kemudian menghitungnya. "Semua jadi 175 ribu, Bu." "Kok, mahal? Saya, kan, cuma beli sayuran, ikan Kembung, sama buah nanas aja.""Iya, Bu, harganya memang segitu." Mba Sri menjawab sambil tersenyum."160 ribu aja ya, Mba. Boleh ga?" tawar Bu Jihan."Iya nggak pa-pa Bu, bol ...." "Lho, Jeng Jihan ini bagaimana, tho. Kasihan, kan Mba Sri kalau ditawar segitu, bisa rugi nanti. Masa suaminya ASN kok, belanjanya nawar!" ejek Bu Rani seraya memotong ucapan Mba Sri. Muka Bu Jihan memerah, terlihat jelas kalau ia kesal atas perkataan Bu Rani barusan. "Ya sudah, ini 175 ribu, Mba." "Nah, gitu dong, sedekah untung sama orang kismin, kan, dapet pahala," ucap Bu Rani lagi.Bu Jihan terlihat menarik napas dalam, mencoba menenangkan dirinya. "Yo wis, Saya duluan ya, ibu-ibu." "Saya juga pamit, deh!" ucap Bu Dwi. Sambil jalan, ia mengusap pelan pund
Malam ini rumah Mba Sri dan Mas Pai sudah dihiasi beraneka lampu kecil warna-warni. Rencananya acara syukuran akan diadakan di taman belakang. Tempat yang terbuka, cukup luas dan ada kolam renang, sehingga tanpa dekorasi yang berlebihan pun lokasi sudah cukup sesuai. Kasman diminta Mba Sri untuk menyambut tamu di pintu depan. Tidak lupa pula ia didandani bak pemuda kaya raya, berpenampilan perlente, menggunakan baju dari designer terkenal, sepatu bermerek, dan ditambah dengan arloji mahal ditangannya, yang kesemuanya tentu saja diberikan oleh Mba Sri.Acara akan berlangsung pukul tujuh malam. Tamu-tamu yang berasal dari para tetangga kompleks rumah Mba Sri, satu-persatu sudah mulai berdatangan. Pak Amran dan Pak Isman, ketua Rukun Warga dan Rukun Tetangga yang baru saja tiba menjadi salah satu tamu kehormatan yang akan diberikan tempat khusus oleh tuan rumah. Mereka langsung diantar ke meja terdepan di pinggir kolam renang. Di belakangnya, tibalah rombongan ibu-ibu langganan warung
"Udah, yuk, Bu, masuk. Acaranya sebentar lagi mau dimulai." Bu Dian menggandeng tangan Bu Rani. "Makasi ya, Man," bisik Bu Dian kepada Kasman. Ternyata hanya Bu Dian seorang yang mengenali Kasman walaupun penampilannya sangat jauh berbeda.Melihat rombongan Ibu-ibu akan segera menuju taman belakang, Mba Sri yang masih mengenakan baju daster lusuh siap-siap berdiri menyambut."Silakan ibu-ibu, lewat sini. Silakan langsung menempati meja yang telah disediakan," sambut Mba Sri dengan senyum terpasang di wajahnya."Ealah Mba Sri, ternyata jenengan juga diundang tho, ke sini." Bu Rani langsung memulai. Ia melihat Mba Sri dari atas kepala sampai ujung kaki. "Tapi kok, yo, cuma diundang sebagai pelayan," ejeknya kemudian tertawa. Ibu-ibu yang lain ikut tertawa. Sedangkan Bu Dian hanya geleng-geleng kepala mendengar perkataan Bu Rani. Mba Sri yang diejek malah terlihat santai.Seketika Bu Rani teringat dengan perkataan penjaga di depan tadi, "Eh iya, Mba Sri. Jenengan diminta bantu-bantu di
"Mba, Mba Sri," panggil Bu Rani yang masih belum menyadari penampilan Mba Sri. Matanya masih mengelana ke tempat di mana Mas Pai berdiri tadi."Istri si pemilik rumah yang mana orangnya?" tanya Bu Rani.Mba Sri yang bingung mendengar pertanyaan dari Mba Sri, sontak tertawa, membuat pandangan Bu Rani langsung beralih ke arahnya.Bu Rani sedikit memicingkan matanya. Bola mata hitamnya seketika membulat saat menyadari penampilan Mba Sri yang kini mengenakan pakaian mahal dengan perhiasan bertahtakan berlian dua kerat di jarinya. Lehernya juga dihiasi dengan kalung mutiara berliontin huruf s."Itu semua ... dipinjamkan sama si pemilik rumah?" tanya Bu Rani seraya tangannya menunjuk baju, leher dan jari Mba Sri."Oh, bukan Bu. Ini semua milik saya sendiri. Perkenalkan Bu, saya istri dari Mas Pai, pemilik baru rumah ini," jawab Mba Sri seraya mengulurkan tangannya.Bu Rani hening sesaat, lalu tiba-tiba ia tertawa geli. "Aduh Mba Sri, sampeyan ki, bikin perut saya sakit aja. Pinter banget l
Selamat membaca. Semoga suka, ya."Rumah ini, kan, terlalu besar jika hanya saya tinggali bersama suami, sedangkan anak-anak, semuanya sudah pada kuliah ke luar negeri. Jadi rencananya, selain mau saya jadikan rumah tinggal untuk saya, suami dan para karyawan, di sini juga mau saya jadikan rumah singgah untuk anak-anak jalanan di sekitar kompleks, Bu. Menurut Bu Dian, bagaimana?" tanya Mba Sri. Hari ini ia sengaja mengundang Bu Dian ke rumahnya."Wah, bagus itu, Mba. Saya setuju sekali. Nanti Mba Sri tinggal menghubungi Pak RT saja untuk masalah perizinannya, biar tidak bermasalah ke depannya," saran Bu Dian. "Jangan lupa juga kalau anak-anak jalanan yang nanti akan tinggal disini, di data Bu, untuk di laporkan juga sekalian.""Nanti saya bisa minta tolong Bu Dian untuk mengelola rumah singgah? InsyaAllah akan ada bayaran yang sesuai. Saya, kan, orang baru di sini, jadi masih bingung mau minta tolong ke siapa lagi," pinta Mba Sri."Mba Sri nggak usah khawatir, nanti kita kelola sama-
Setelah pindah ke perumahan elit dan menempati rumah terbesar di sana, keseharian Mba Sri tetap berjalan seperti biasa. Ia tetaplah seorang penjual sayur yang ramah dan suka berpenampilan sederhana. Setiap hari, Mba Sri selalu bangun pukul dua pagi, waktu yang dianggapnya cukup panjang untuk melakukan banyak hal sebelum waktu subuh tiba. Setelah selesai melakukan aktivitas pribadinya, sebelum subuh ia sudah sibuk membantu Kasman dan para karyawan yang lain untuk memuat berbagai jenis sayuran segar yang akan dikirim dan dijual pada hari itu. Mba Sri sendirilah yang turun tangan untuk memeriksa kualitas dari semua barang dagangannya. Mereka sengaja menjual khusus sayur dan buah organik karena memenuhi permintaan pasar yang kian tinggi. Mereka yang biasanya mengerti akan pentingnya menjaga kesehatan untuk jangka panjang, pasti tidak akan ragu lagi untuk mengkonsumsi jenis organik. Walaupun yang bisa mengkonsumsinya memang dari kalangan yang cukup berada. Mas Pai dan Mba Sri sudah memul
"Mah, Papah berangkat dulu, ya, mau mengecek stock sayuran yang akan dikirim ke Australia," pamit Mas Pai pada Mba Sri yang sedang sibuk di gudang utama mereka. Mba Sri langsung menghampiri suaminya, meraih tangan Mas Pai dan menciumnya takzim. "Hati-hati, ya, Pah." Mas Pai yang usianya seumuran dengan Mba Sri, baru saja menyelesaikan kuliahnya di jurusan bisnis dan manajemen di salah satu universitas di Bandung, walaupun status pendidikan terakhir yang tercantum di kartu identitasnya masih tertulis SMA. Karena baik Mba Sri dan Mas Pai, keduanya memang hanya lulusan SMA. Setelah mendapat dorongan dari ketiga anaknya, maka Mas Pai memutuskan untuk mendaftar kuliah, hanya semata-mata untuk menunjang keberlangsungan bisnisnya.Sedangkan Mba Sri memutuskan untuk belajar sendiri di rumah dengan banyak membaca buku dan mengambil ilmu langsung dari pedagang sukses lainnya. Sambil berjualan produk organik, Mba Sri juga mengedukasi para pelanggan mengenai apa itu tanaman organik, sehingga sem
"Nah, Coki, ini Tante Sri. Dia pemilik kios sayur yang ada di perumahan ini. Selain itu, dia juga pengusaha sayur-mayur, lho. Kamu nanti bisa belajar banyak dari dia," ucap Bu Rani seraya memperkenalkan kemenakannya kepada Mba Sri. Mereka baru saja tiba di kediaman Mba Sri dan saat ini berada di ruang tamu rumah itu."Hai, Coki. Gimana, betah tinggal di Jakarta? Anak tante juga ada lho, yang seumuran sama kamu. Namanya, Salsa," sapa Mba Sri dengan ramah. "Itu, anaknya, yang ada di paling kiri." Mba Sri menunjuk foto keluarga yang terpasang di dinding dengan dagunya."Lumayan Tante. Panasnya Jakarta nggak jauh beda, kok, sama panasnya Medan," ujar Coki. "Umm, sekarang, Salsanya ke mana Tante?" Mata Coki melirik jahil ke arah foto Salsa, anak bungsu Mba Sri dan Mas Pai yang wajah cantiknya menurun dari sang mama.Mba Sri yang memang senang dengan kehadiran Coki, menjawab sambil tertawa, "Salsa sekarang tinggal di London. Dia sedang kuliah di sana.""Lho, memangnya usia Jeng Sri berapa,