Share

Bab 8 Itu Bukan Aku

Dengan perasaan cemas dan bercampur gelisah, Shanaz berlari untuk masuk ke dalam rumah. "Bukan aku kan yang meninggal kan?" Pertanyaan itu terus berkelebat di kepala Shanaz. Ia juga khawatir dengan nasib Nabila nantinya jika benar dirinya yang sebenarnya dinyatakan meninggal.

Sampai pada akhirnya Shanaz bertemu dengan kepala pelayanan yang lama, karena dia akan tetap di rumah itu sampai Nabila bisa menjalankan pekerjaannya dengan baik. "Si–siapa yang meninggal Bu?" Shanaz menunjuk ke arah jenazah. Suaranya bergetar karena tak dapat menutupi kegugupannya.

"Nyonya Shanaz yang meninggal, dia adalah istri tuan Fernando yang kemarin kecelakaan," jawab kepala pelayan yang lama. Nyonya Shanaz orang yang sangat baik sekali, tidak seharusnya dia pergi secepat ini." Air mata tanpa sadar mulai membasahi pipi kepala pelayan yang lama.

Setelah berita pernikahan suaminya, ini kali keduanya Shanaz merasa bumi yang dipijaknya seakan runtuh. Bukan, bukan. Ini lebih mirip tsunami yang langsung menghantam tubuhnya hingga tak berbentuk. Wajah Shanaz berubah langsung menjadi pucat pasi. Nadinya pun seperti berhenti berdenyut.

"Itu tidak mungkin. Aku tidak bisa mati dengan cara seperti ini," lirih Shanaz.

Kepala pelayan yang lama mengibas-ibaskan tangannya di depan wajah Shanaz, membuat lamunannya menjadi buyar. "Apa yang terjadi padamu? Kamu terlihat pucat, apa kamu sedang sakit?" tanyanya dengan nada cemas.

Shanaz menggelengkan kepalanya. Bukannya menjawab pertanyaan dari Tami, ia malah melangkahkan kakinya mendekat ke arah jenazah. Dengan tangan yang mulai gemetar Shanaz membuka kain putih penutup wajah jenazah tersebut secara pelan. Wajah jenazah tidak bisa dikenali. Dan sama seperti Lorenzo, Shanaz juga tidak yakin bahwa dirinya sudah meninggal.  

"Itu bukan aku," lirih Shanaz. Satu tetes air mata mengalir dan membasahi pipi Shanaz.

Tami penasaran dengan tindakan yang dilakukan oleh penggantinya sebagai kepala pelayan itu. Ia kemudian bertanya kepada Shanaz. "Apa yang sedang kamu lakukan? Untuk apa kamu ikut melihat wajah jenazah Nyonya Shanaz?" Karena Tami merasa Nabila tak mengenal majikannya itu sebelumnya.

Belum sempat menjawab, Shanaz yang sedang shock terduduk lemas di lantai, dengan wajah yang sudah pucat pasi. Ia tak mampu menahan perasaannya yang telah hancur berkeping-keping, kini Shanaz malah jatuh pingsan. Beruntung suasana masih sepi pelayat. Bahkan Fernando dan Lita juga tidak ada di sana. Orang tua Fernando juga tidak ada. Hanya Tami dan Lorenzo yang melihatnya kejadian itu. 

Lorenzo membulatkan matanya. Secepat kilat ia langsung berlari menghampiri Nabila, lalu membopongnya menuju kamar Tami. Si pemilik kamar mengekor di belakangnya. "Bi Tami, bantu saya Bi," pinta Lorenzo. 

Tami mengangguk. "Baik Tuan," sahut Tami dengan patuh.

Dengan hati-hati Lorenzo membaringkan tubuh Nabila di atas kasur. Sementara itu Tami sibuk mencari minyak kayu putih, lalu mengoleskannya di bawah hidung Nabila agar Shanaz segera sadar. Tak lama Shanaz tersadar, perlahan ia membuka matanya. Sesekali ia memijat pelipisnya yang masih terasa pusing.

"Kamu kenapa? Kamu sakit?" tanya Lorenzo. Kamu bisa bekerja besok kalau kondisi kesehatanmu sedang tidak baik."

"Tidak Tuan. Saya baik-baik saja. Dan saya juga bisa bekerja hari ini juga," jawab Shanaz berbohong. Ia berusaha menguatkan diri. Semua itu ia lakukan demi mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Apakah semua ini rencana busuk Fernando atau kita? Yang jelas Shanaz harus memastikannya. Bertahan dengan kondisi badan dan mental yang sedang tidak baik-baik saja.

Lorenzo mengerutkan keningnya. "Kamu yakin kamu bisa bekerja hari ini?" tanya Lorenzo. Sebab jika melihat kondisi wanita muda yang ada di depannya saat ini, Lorenzo menjadi tidak yakin.

"Saya yakin Tuan," jawab Shanaz pura-pura tegar.

"Baiklah kalau itu maumu," ucap Lorenzo.

"Lalu kalau kamu baik-baik saja kenapa kamu pingsan tadi?" tanya Tami penasaran.

"Saya tadi hanya merasa sedikit pusing," jawab Shanaz. Tapi sekarang sudah tidak apa-apa," imbuhnya. Apapun yang terjadi dia harus bisa bertahan di rumah ini.

Lorenzo mengangguk, ia salut dengan sikap profesional yang ditunjukkan oleh kepala pelayan yang baru itu. "Baiklah kalau begitu. Bi Tami tolong ajarkan apa-apa saja yang menjadi tugasnya," suruh Lorenzo.

Tami membungkukkan badannya sedikit. "Baik Tuan Lorenzo."

Siapa namamu?" Lorenzo menunjuk ke arah Nabila.

"Sha-maksud saya, Nabila. Nama saya Nabila." Shanaz hampir saja keceplosan menyebutkan namanya. "Dan saya juga berterima pada Tuan dan Bu Tami, karena tadi telah menolong saya," ucap Shanaz diakhiri dengan senyumannya.

"Tidak masalah," sahut Lorenzo, sembari berjalan keluar dari kamar Tami. Beruntung Lorenzo dan Tami tak merasa curiga kepada Shanaz. Tetapi siapa juga yang akan percaya bahwa dirinya saat ini adalah Shanaz, karena ia tinggal di tubuh Nabila saat ini? 

Shanaz menurunkan kakinya dari ranjang. Dia kemudian mendengar seseorang berteriak sambil menangis terisak. 

"Shanaz!" 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status