“Lho, Bu. Kok tumben Ibu ke toko. Pak Erlang memangnya ke mana?” tanya salah seorang karyawan ketika melihat aku keluar dari mobil.
“Mulai hari ini sampai sebulan ke depan saya yang akan mengelola toko,” jawabku seraya mengayunkan kaki masuk ke dalam.Sang karyawan mengangguk mengerti.Duduk di kursi kebesaran suami, rasanya nyaman sekali berada di tempat ini. Tidak ada suara bising anak-anak, tidak ada suara tangisan dan bisa berleha-leha sambil mengawasi para pegawai bekerja.Enak sekali hidup kamu, Mas. Bisa santai seperti ini setiap hari. Sedangkan aku?Ah, sudahlah. Nikmati saja waktu ini. Siapa tahu besok suami sudah menyerah dan mengibarkan bendera perdamaian.Ting!Sebuah pesan masuk ke aplikasi berwarna hijau. Dari suami.Apa? Sudah nyerah? Tidak sanggup?[Dek, cara bikin susu bagaimana?]Aku menghela napas membaca isi pesan tersebut.[Lihat saja di kalengnya, Mas. Di situ ada cara pembuatannya.] Send, Suami.[Bagaimana cara menghangatkan ASI.][Sari tau caranya.][Ok.]Kembali kuletakkan gawai di atas meja, membuka laptop melihat laporan keuangan bulan ini.Mataku menyipit ketika melihat ada beberapa kali transferan keluar ke nomore rekening adik-adik suami juga ke salah satu nama yang tidak dikenal. Syarlina Maulinda.Siapa Syarlina? Apa jangan-jangan ucapan Bu Hilmie selama ini benar. Mas Erlangga berpaling dariku karena aku jelek dan berpenampilan acak-acakan.Duh! Jangan sampai, Tuhan. Walaupun rumah tanggaku terasa amburadul tapi, aku tidak mau sampai ada orang ketiga masuk dan menjadi duri.Melirik arloji rose gold yang menghiasi pergelangan tangan, sudah pukul lima sore. Hati rasanya sudah sangat merindukan anak-anak karena tidak biasa berjauh-jauhan dengan mereka. Beberapa kali kuhubungi nomor Sari, hanya ingin memastikan kalau ketiga putriku baik-baik saja.“Kacau, Bu. Pak Erlang tadi ikutan nangis ampe jambak-jambak rambut sendiri pas dedek nangis dan kak Danisa rebutan mainan sama Kak Mikayla,” kata Sari saat aku menghubungi lewat sambungan telepon.“Ingat, kamu boleh membantu Bapak tapi jangan keseringan. Pokoknya biarkan dia merasakan repotnya menjadi seorang ibu.” Aku memperingatkan.“Siap, Bu.”“Ya sudah. Kalau ada apa-apa segera telepon. Pantau terus anak-anak tapi jangan dibantuin. Kalau kamu bantuin Bapak, saya potong gaji kamu lima puluh persen!”“Si Ibu hobi ngancem. Iya, Bos. Siap!”Aku memutuskan sambungan telepon secara sepihak kemudian kembali mengecek barang-barang di gudang.Ponsel dalam genggaman tiba-tiba berbunyi nyaring. Ada panggilan masuk dari suami, akan tetapi sengaja kuabaikan karena biasanya dia juga mengabaikan panggilanku jika sedang bekerja.Yang penting aku sudah tahu keadaan anak-anak di rumah dari Sari.*Pukul tujuh malah aku menyuruh toko segera tutup karena sudah waktunya para karyawan serta karyawati berkumpul dengan keluarga. Sebab tidak enak jika pasangan kita bekerja hingga terlalu larut dan pulang sudah dalam keadaan lelah. Nggak bisa menikmati momen kebersamaan dengan keluarga. Dan itu yang sering aku rasakan setelah menikah dengan suami.“Lho, Bu. Biasanya toko tutup jam sembilan,” protes Herman salah seorang karyawan teladan di toko.“Itu dulu. Sekarang tidak. Besok masih ada hari. Nggak usah terlalu ngoyo cari duit!” jawabku lugas. “Jangan lupa matikan AC dan kunci rolling door-nya,” perintahku kemudian.Sebelum pulang kusempatkan diri mampir ke sebuah salon kecantikan, ingin manicure pedicure memanjakan tubuh barang sejenak. Sambil dipijat kepalanya mengambil pompa ASI, memerahnya karena rasanya sudah mau tumpah.Lagi dan lagi, ponsel yang tergeletak di sebelahku duduk berdering. Mas Erlangga kembali menghubungi. Ah, pasti dia pusing sekali mengurus dua batita yang sedang aktif-aktifnya dan seorang bayi yang harus diberi ASI secara berkala.Makanya jangan suka meremehkan pekerjaan perempuan, Mas.Memang dia tidak terlihat melakukan apa-apa. Semua pekerjaannya tidak terlihat, semua yang dilakukan tidak diakui sebagai pekerjaan dan hanya dianggap leha-leha saja.Padahal, kami di rumah sudah seperti ninja yang jungkir sana jungkir sini, sampe mengeluarkan jurus kamehame.Menyambar ponsel yang sejak tadi berdering nyaring, tidak enak karena mengganggu waktu santai pengunjung salon yang lainnya.Lekas kugeser ikon hijau, meletakkan benda pipih persegi berukuran lebih dari enam inci di dekat telinga menyapa seseorang di ujung sambungan telepon sana.“Kenapa, Mas? Lelah? Nyerah? Capek ‘kan ngurus anak?” berondongku panjang lebar.“E—enggak. Anak-anak malah anteng sama Mas. Nggak nangis sama sekali seharian. Berarti selama ini kamu bohong ya sama Mas? Kata kamu anak-anak suka rewel, nangis, rebutan mainan dan apalah! Bohong banget kamu, Dek!” jawabnya sombong. Padahal sekarang ini Sari tengah melakukan panggilan video denganku lewat nomorku yang satunya dan memperlihatkan keadaan rumah yang begitu kacau. Mas Erlangga sedang didandani anak-anak, dipakaikan lipstik di bibir dan pipi sudah seperti badut. Luar biasa anak-ankku semua.“Oke, Mas. Selamat menikmati waktu istirahat kamu. Enakkan di rumah ‘kan? Bisa santai liatin anak sambil main hape, bisa tidur siang. Pokoknya mantap betul!”“Tutup toko langsung pulang, Dek.”“Kenapa? Aku mau nyalon dulu.”“Dek, please ....”“Ya sudah. Aku nanti pulang jam sembilan!”Aku tersenyum senang melihat ekspresi suami yang tengah menangis di dekat anak-anak. Ditambah lagi dia harus menuruti permintaan kedua putrinya untuk dipakaikan jepit di rambut, membuat dia terlihat imut serta menggemaskan.Cekrek!Ku-screenshoot layar gawai dan menyimpan foto Mas Erlangga untuk jaga-jaga jika suatu saat dia hendak berbuat macam-macam. Foto ini akan kuhadikan senjata, apalagi selama ini Mas Erlangga itu terkenal maco dengan bodi sixpack dan otot menonjol. Rasanya nggak lucu ‘kan kalau tiba-tiba foto ini tersebar di grup keluarga apalagi sosial media.*Sebelum pukul sembilan malam aku lekas kembali ke rumah karena tubuh juga sudah terasa lelah. Rumah dalam keadaan sepi ketika mobil yang dikemudikan menepi, tidak ada suara anak-anak bahkan lampu rumah juga sudah dimatikan.Sambil mengulum senyum mengayunkan kaki masuk ke dalam, kebetulan kami memegang kunci satu persatu jadi tidak perlu merepotkan orang lain jika diantara kami pulang sedikit terlambat.Kamar Sari sudah terlihat gelap. Pun dengan ruang tengah dan ruang tamu. Hanya lampu dapur saja yang masih menyala, karena aku memang selalu melarang penghuni rumah mematikan lampu di ruang favorit asisten rumah tanggaku.Aku menajamkan telinga ketika sampai di depan kamar dan mendengar suara aneh di dalam sana. Seperti ada orang sedang mendesah kepedesan, tapi, ah, kenapa dada ini tiba-tiba bergemuruh hebat. Kepalaku panas apalagi ketika membuka pintu dan melihat apa yang tengah terjadi di atas ranjang.“Mas Erlang! Kamu?” pekikku seraya menghampiri suami, memunguti beberapa kosmetik mahal milikku sudah berserakan di atas ranjang, membuat seprei limited edition yang dibeli melalui jastip yang terpasang di ranjang dipenuhi bercak merah lipstik serta blush on.“Ini perbuatan anak-anak, Dek. Bukan aku yang melakukannya!” Wajah suami sudah terlihat kelelahan.“Pokoknya kamu ganti semua kosmetik aku yang dirusak anak-anak!”“Tinggal beli yang baru. Jangan kaya orang susah, deh! Lagian kamu sering beli kosmetik juga nggak pernah dipake. Sayang kalo ngegeletak terus.”“Boro-boro mau pake kosmetik. Ngurus anak saja sudah kerepotan. Mana sempet aku pegang lipstik seperti dulu.”“Halah, orang ngurus anak nggak repot kok, kamu saja yang terlalu mendramatisir.”Aku mendengkus kesal.“Kamu juga, kenapa makan mie instan di dalam kamar dan kasih izin Danisa sama Mikayla makan makanan seperti ini?!” sentakku meradang.“Daripada anak-anak nangis terus, Dek.” “Masa diemin anak nangis saja nggak bisa?
Sambil menahan nyeri di sanubari kutinggalkan ibu dan anak yang tengah berbicara di dapur, tidak mau mendengar ucapan Mama yang begitu menusuk serta mengoyak perasaan.Apa kurangnya aku selama ini kepada mereka? Bahkan ketika pertama menikah dan keluarga Mas Erlangga sedang terlilit hutang, akulah orang yang menyelamatkan mereka dari jeratan rentenir sampai rela menjual perhiasan serta menguras tabungan yang aku punya. Pun ketika toko elektronik suami hampir saja bangkrut, tanpa memikirkan harga diri meminjam uang kepada Papi dengan jaminan rumah yang kutinggali. Namun semuanya tidak pernah dianggap. Tetap saja salah di mata mama mertua.Tanpa dikomando buliran-buliran air bening lolos begitu saja membasahi pipi, dan aku segera menghapusnya dengan punggung tangan. Mas Erlangga nggak boleh liat aku nangis. Bisa besar kepala dia nantinya."Dek." Berjingkat kaget ketika tiba-tiba tangan suami mengusap lembut bahu ini. Aku menoleh menatap wajah tampan yang membuat semua wanita jadi tergi
“Kita mau ke mana, Mas?” tanyaku sambil menatap suami yang masih fokus mengemudi. Apalagi gelagat suami terlihat aneh, senyum-senyum sendiri seperti orang sedang ketempelan.“Ke suatu tempat!” jawabnya singkat. Matanya terus menatap lurus tanpa menoleh walau hanya sedetik saja.“Mas, terima kasih, ya.”“Untuk apa?”“Yang tadi. Aku pikir kamu akan menerima perjodohan kamu sama Risma, ternyata kamu menolaknya. Maaf juga karena aku sudah marah-marah dan minta cerai sama kamu.”“Aku nggak minat punya dua istri, Dek. Satu saja kepala aku sudah pusing, apalagi kalo lagi ngomel!” “Ish! Jahat banget mulut kamu, Mas. Tadinya aku udah terharu dan melayang karena aku pikir kamu begitu mencintai aku tapi ternyata hanya karena malas dicereweti istri. Memangnya aku bawel banget ya, Ma”“Menurut kamu?”“Iya. Aku cerewet, nyebelin, nggak bisa apa-apa, Cuma ibu beranak tiga yang bisanya leha-leha di rumah tanpa bisa membantu suami cari duit. Aku Cuma perempuan boros, doyan soping berburu barang limit
Mas Erlangga menghela napas sambil menggeleng kepala, tidak terlihat panik sama sekali melihat aksi nekat ibunya.“Dek, kita sarapan dulu. Mas lapar,” ajak suami seraya melangkahkan kaki menuju meja makan.“Erlang, Mama mau bunuh diri malah kamu cuekin. Kamu itu sebenarnya masih sayang sama Mama nggak sih?!” omel mertua seraya mengikuti Mas Erlangga ke meja makan, dengan mode masih sama seperti tadi. Menautkan pisau di pergelangan tangan.“Lha, terus, aku harus bagaimana, Ma? Kalau aku melarang nanti dikira nggak sayang juga karena menolak keinginan Mama. Kalo Mama sudah siap masuk Neraka ya silakan Mama bunuh diri. Memangnya yakin sudah siap dijemput malaikat Izroil?”“Erlang, Mama serius. Mama hitung sampe tiga, kalau kamu nggak bilang bersedia menikahi Risma Mama bu-nuh di-ri!”Laki-laki dengan garis wajah tegas itu beranjak dari duduknya dan berjalan menuju dapur, membuka kitchen set mengambil pisau oleh-oleh dari Mami saat dia jalan-jalan ke Filipina.“Nih, Ma. Kalau mau bunuh di
Aku melungguh lemas di sofa tidak jauh dari perempuan tersebut duduk, mencoba menata perasaan serta menepis prasangka buruk terhadap Mas Erlangga. Insya Allah dia laki-laki setia dan tidak suka mempermainkan hati wanita.“Mbak, bisa teleponin Mas Erlang sekarang nggak? Saya lagi butuh uang banget soalnya!” ucap perempuan itu lagi dengan nada ketus.Aku mengangkat kepala menatap wajahnya yang cantik meski tanpa polesan, benar-benar anugerah luar biasa dari Tuhan. Mungkin kelebihannya itulah yang membuat laki-laki mudah jatuh cinta dan terpesona.“Memangnya ada perlu apa, Mbak? Dan kamu ini siapa? Kenapa kamu bisa kenal sama suami saya dan minta transferan uang?” Memberondong dia pertanyaan yang bersarang di benak.“Saya Syarlina temannya Ariesa. Adek ipar kamu dan suaminya itu minjem duit ke saya tiga ratus juta dan Mas Erlang sudah berjanji akan membayarnya. Tapi sudah hampir seminggu dia belum ada kabar, padahal dia janji mencicil uang itu!” ketusnya lagi.Aku syok bukan main. Jadi A
“Sar, Bapak ke mana?” tanyaku karena tidak melihat suami di tempat biasa dia bersantai ria.“Tadi pergi, Bu. Naik motor. Ditegur sama kakak sama diajak main saja Bapak diem aja. Ngga mau nyaut!” jawab Sari membuatku bertambah kesal.Kalau marah sama istri harusnya tidak usah bawa-bawa anak, karena mereka itu tidak tahu apa-apa.“Sini dedeknya, Sar. Biar saya nenenin. Sudah malam juga. Sudah waktunya kamu istirahat. Terima kasih ya.”“Tapi Ibu juga butuh istirahat. Anak-anak belum pada bobok. Kasian Ibu kalau jagain anak-anak sendirian. Aku bantuin nggak apa-apa ya, Bu. Lagian aku belum ngantuk!”Aku mengulas senyum kepada asisten rumah tanggaku. Dia memang begitu pengertian serta perhatian, juga mau memegang pekerjaan yang bukan tanggung jawabnya.Danisa dan Mikayla terlihat sudah tertidur di atas karpet diusap-usap punggungnya oleh Sari. Rasa sedih seketika merambati hati, merasa kurang memberikan kasih sayang kepada kedua putriku yang besar, karena harus sibuk mengurus si kecil yang
Aku beranjak berdiri lalu melenggang masuk hendak naik ke lantai dua ruko, sampai akhirnya langkah ini terhenti karena suami mencekal lenganku erat.“Dek, Mas minta maaf kalo Mas salah. Tapi tolong jangan minta pisah sama Mas. Mas mencintai kamu, Sayang. Kamu boleh caci-maki Mas, asal jangan ada kata perpisahan. Mas belum siap berjauhan dengan kamu,” lirihnya seraya menatap tajam manik cokelatku.“Biar reader yang bertugas mencaci-maki kamu, Mas. Karena aku nggak mau jadi istri durhaka!” Aku menepis kasar tangan suami lalu kembali menaiki anak tangga menghampiri anak-anak yang tengah asik bermain dengan Sari.“Dek, ya Allah...”Mas Erlangga mengikutiku dan ikut duduk di atas karpet sambil terus menatap wajahku yang dipasang ekspresi sedatar mungkin. Dia paling paham kalau diamku itu amarah sebenarnya. Karena jika hati ini sudah terlalu kesal, aku selalu memilih diam. Sebab diam itu emas, kaya yang di atas tugu Monas.Tok! Tok! Tok!Pintu diketuk peralahan. Mas Erlangga beranjak dari d
"Mas kamu kenapa?" tanyaku panik, melihat banyak sekali luka membiru di dada suami. Sepertinya dia habis dipukuli oleh seseorang. Tapi siapa yang melakukannya?"Aku nggak apa-apa, Dek!" Dia mengulas senyum tipis. Tapi dari ekspresi wajahnya, aku melihat kalau saat ini dia sedang menahan rasa sakit luar biasa."Jawab, Mas. Kamu kenapa? Tubuh dan wajah kamu sampai lebam-lebam begini malah kamu bilang tidak apa-apa. Apa kamu habis berkelahi?""Biasa, Dek. Urusan lelaki. Udah, ah! Mas mau solat!" Mas Erlangga segera mengenakan pakaian dan mengambil sajadah lalu menggelarnya di lantai.Aku duduk dengan kaki menggantung di pinggiran ranjang, enggan beranjak dari kamar sebelum mendapatkan jawaban."Mas tolong katakan, dengan siapa kamu berkelahi?" tanyaku lagi setelah melihat suami selesai melaksanakan ibadah wajib dua rakaat."Sudahlah, Dek. Jangan dipermasalahkan lagi. Aku nggak apa-apa, kok!""Kamu babak belur begini loh, Mas.""Aku nggak apa-apa, Sayang. Cuma mempertahankan harga diri do