Share

Kedatangan Ibu Mertua

“Mas Erlang! Kamu?” pekikku seraya menghampiri suami, memunguti beberapa kosmetik mahal milikku sudah berserakan di atas ranjang, membuat seprei limited edition yang dibeli melalui jastip yang terpasang di ranjang dipenuhi bercak merah lipstik serta blush on.

“Ini perbuatan anak-anak, Dek. Bukan aku yang melakukannya!” Wajah suami sudah terlihat kelelahan.

“Pokoknya kamu ganti semua kosmetik aku yang dirusak anak-anak!”

“Tinggal beli yang baru. Jangan kaya orang susah, deh! Lagian kamu sering beli kosmetik juga nggak pernah dipake. Sayang kalo ngegeletak terus.”

“Boro-boro mau pake kosmetik. Ngurus anak saja sudah kerepotan. Mana sempet aku pegang lipstik seperti dulu.”

“Halah, orang ngurus anak nggak repot kok, kamu saja yang terlalu mendramatisir.”

Aku mendengkus kesal.

“Kamu juga, kenapa makan mie instan di dalam kamar dan kasih izin Danisa sama Mikayla makan makanan seperti ini?!” sentakku meradang.

“Daripada anak-anak nangis terus, Dek.”

“Masa diemin anak nangis saja nggak bisa?”

“Sudah, ah. Aku ngantuk. Mau istirahat. Lebih baik kamu ganti seprei dengan yang bersih.”

“Enak saja. Sekarang ganti seprei, ngurus anak, gantiin popok, semua jadi urusan kamu walaupun aku sudah ada di rumah. ‘Kan kita sudah bikin kesepakatan untuk tukar posisi selama satu bulan!

“Loh, kok, jadi merembet begini?”

“Lha, kamu juga setiap hari begitu, ‘kan? Memangnya kamu peduli kalau aku kerepotan sendiri? Enggak, kan! Kamu juga tidak pernah mau membantu menjaga anak-anak kalau tiba-tiba mereka bangun pas tengah malam. Aku selalu kerepotan sendiri. Dan sekarang, kamu harus ambil alih tugas aku semuanya selama satu bulan. Pun dengan aku. Kita sudah sepakat dan tidak bisa diganggu gutat!”

“Nggak bisa. Udah, perjanjiannya sampe di sini saja, cukup! Nggak lucu tau pake acara tukar posisi segala!”

“Kan biar kamu tau kalo tugas perempuan itu berat. Biar kamu juga nggak ngremehin ibu-ibu rumah tangga terus.”

“Kata siapa tugas emak-emak itu berat!”

Dia belum sadar juga rupanya. Dasar kepala batu. Padahal baru sehari saja keadaan sudah kacau semua. Ancur barang-barang mahal aku.

“Memang terbukti, ‘kan, kalau perempuan itu lebih hebat dari laki-laki? Buktinya Mas Erlang baru sehari gantiin posisi aku udah nyerah. Wanita memang hebat, bisa jadi apa saja, bahkan bisa menggantikan peran suami. Sedangkan laki-laki!” Mengacungkan jempol lalu memutarnya ke bawah, membuat suami mendengus kesal.

“Oke, kita liat saja siapa yang lebih kuat, Ibu Rivani. Saya jamin kamu yang akan memohon untuk berhenti menggantikan tugas sebagai suami!” Tantangnya kemudian. Dia lalu masuk ke dalam kamar mandi dan tidak lama kemudian terdengar suara seperti benda yang begitu besar jatuh di dalam sana, karena lantai kamar terasa seperti ikut bergetar.

Ada apa?

Penasaran, berjalan mengendap lalu membuka pintu kamar mandi perlahan. Mengintip dari sela-sela daun pintu yang sedikit terbuka melihat suami sedang duduk sambil memegangi pinggang di dalam sana. Sepertinya dia jatuh terpeleset, sebab aku liat di lantai toilet banyak sekali sabun cair berceceran tidak karuan. Pasti itu ulah anak-anak dan Mas Erlangga tidak membersihkan. Untung saja dia yang jatuh. Bukan aku atau kedua anak kami.

“S*a*an! Apes banget gue seharian ini. Nggak enak banget, sih, tukeran posisi begini. Mendingan kerja. Kelar urusan bisa leha-leha. Lha, ini. Pekerjaan nggak ada habis-habisnya. Ada saja. Belum lagi kalau anak rewel. Bikin kepala pening saja!” gerutunya panjang lebar, berhasil membuat kedua sudut bibir ini tertarik ke atas.

“Mama ....” Terdengar suara anak sulungku memanggil.

Gegas kembali menutup pintu, menghampiri bidadari kecil yang tengah duduk di atas kasur dan memeluk tubuh mungilnya.

“Duh, kesayangan Mama. Kangen mama sama kamu, Nak. Maafin mama ya. Selama beberapa hari ke depan mungkin kamu harus terbiasa jauh sama mama, demi mengubah tabiat buruk Papa kamu. Kita berjuang bareng-bareng ya, Nak,” ucapku seraya mengusap lembut rambut Danisa yang tergerai indah.

“Kamu turun dulu, Dek. Biar aku ganti seprainya. Nggak mungkin, ‘kan. Kita tidur di atas seprei kotor!” perintah Mas Erlangga seraya meringis kesakitan.

Aku segera menggendong tubuh gembul Danisa dan membawanya keluar dari kamar.

“Dek, tolong buatkan kopi sama sarapan!” titah suami seperti biasanya di pagi hari.

“Sebentar, ya Mas. Nyusuin dedek dulu,” jawabku dengan intonasi sangat lembut seperti biasa.

“Jangan lama-lama. Perut aku sudah lapar.”

“Bikin sendiri, Mas. Kalau kamu nggak mau nunggu!” sungutku.

Ya Allah ... Bukannya aku berani melawan suami tapi, hanya sedang berusaha mengubah prinsipnya karena dia selalu mempunyai prinsip hidup kalau tugas mengurus anak dan rumah itu semua tugas istri, dan dia juga selalu menganggap perempuan yang ada di rumah itu tidak pernah melakukan apa-apa juga tidak sehebat wanita karir.

Mas Erlangga menghentikan aktivitasnya membaca koran lalu menatapku tajam. Menakutkan.

Santai, Rivani. Jangan gentar. Anggap saja tatapan tajam suami kamu itu sebagai tatapan guru killer saat sekolah.

Setelah Viera selesai menyusu, seperti biasa kugendong dia dengan posisi berdiri dan dagu Si Kecil di atas pundak kemudian menepuk punggung putriku pelan sampai dia bersendawa.

“Mas Erlang mau sarapan apa?” tanyaku setelah Viera kembali kuletakkan di atas kasur bayi.

“Nasi goreng dengan telur mata sapi di atasnya.”

“Adanya telur mata keranjang, Mas!”

Dia kembali menatapku dengan pindaian datar.

Istrinya melawak ketawa sedikit kek! Jan kaya kanebo kering begitu. Kaku.

Mengayunkan kaki menuju dapur, menyalakan kompor, menjerang air untuk membuat kopi sambil mengupas bawang merah serta bawang putih. Mas Erlangga itu paling anti dibuatkan masakan menggunakan bumbu instan.

“Baunya enak banget, Dek!” Aku hampir saja memekik ketika tiba-tiba sebuah tangan kekar bertengger di pinggang. “Terima kasih sudah mau membuatkan Mas sarapan. Tadinya Mas pikir kamu juga akan menolak melakukan pekerjaan yang satu ini,” bisiknya di telinga, membuat bulu kudukku meremang jadinya.

Aku memutar badan dengan mode tangan suami masih melingkar di pinggang, menangkup pipinya dengan kedua telapak tangan serta mengunci netranya dengan pandangan. Hangat, mesra, membuatku mengingat kembali saat masih menjadi pengantin baru.

“Aku tetap ingin menjadi istri yang berbakti. Mas. Aku tidak mau menjadi istri durhaka! Aku mencintai kamu walaupun kamu menyebalkan!” ucapku tanpa melepas pandangan.

Kedua sudut bibir suami terangkat. Pria dengan garis wajah tegas itu kemudian menarik daguku, mendekatkan wajahnya hendak mendaratkan kecupan kalau Sari tidak berteriak membuyarkan. Ambyar!

“Kebakaran, Bu, Pak! Kebakaran!” teriak asisten rumah tanggaku histeris.

Aku menoleh ke arah kompor melihat asap hitam mulai mengepul dan telur mata keranjang yang ada di atas wajan sudah berubah menjadi telur berkulit gelap. Gosong.

“Yah, Mas. Kamu sih, pagi-pagi pake acara ngegombal, jadi begini deh. Masakan aku gosong, ‘kan?” protesku sembari mencubit pinggang suami.

“Dasarnya kamu nggak bisa apa-apa kok, pake nyalain suami segala!” Aku dan Mas Erlangga menoleh ke arah sumber suara secara bersamaan, melihat ibu mertua tengah berdiri sambil melipat tangan di depan dada.

“Mama, tumben mampir?” Mas Erlangga menghampiri perempuan berpenampilan cetar membahana itu, menyalami tangannya dan mencium bagian punggungnya dengan khidmat. Pun dengan diriku.

“Untung saja mama mampir. Kalau nggak mampir mama nggak pernah tau kelakuan istri kamu yang serba tidak bisa ini!”

Lesss ....

Sakit. Mengoyak jantung. Mama memang tidak pernah menganggap aku berguna.

Entahlah. Semenjak bertemu dengan mami perlakuan mertua tiba-tiba berubah sama aku. Dia yang tadinya lemah lembut tiba-tiba berubah membenciku.

“Erlang, kamu jadi ‘kan ikut Mama menemui Risma hari ini? Kamu sudah janji loh, mau bertemu dia hari ini,” ucap Mama lagi, membuat hati ini bertanya-tanya siapakah gerangan Si Risma itu. “Mama sudah bosan punya cucu perempuan terus. Kalau Vani nggak bisa ngasih Mama cucu laki-laki, lebih baik kamu menikah dengan Risma yang sudah jelas semua saudaranya laki-laki. Pasti dia juga akan memberikan mama seorang cucu laki-laki.”

Aku menelan saliva dengan susah mendengar uraian kata yang keluar dari mulut mertua. Sakit, Tuhan. Perih hingga meresap ke dalam pori-pori serta hampir menghentikan denyut nadi.

“Dia sudah menunggu kamu, Erlang. Kamu nggak lupa sama janji kamu, ‘kan?”

Kali ini mataku menatap nanar wajah suami.

“Mas, apa benar kamu berniat menikah lagi hanya karena ketiga anak kita perempuan?” Memegang lengan suami menuntut jawaban darinya, namun, bibir plum itu terkatup rapat tidak mau mengeluarkan sepatah kata pun.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status