“Di dalam, ya Mas?” tanyaku selesai memberikan hak suami setelah empat puluh hari puasa karena dalam masa nifas.
“Tadi Mas terbawa suasana. Jadi kebablasan,” jawab suami seraya tersenyum lega. Wajahnya terlihat ceria tidak uring-uringan seperti kemarin.“Nanti kalo aku hamil lagi bagaimana? Danisa baru umur tiga tahun, Mikayla masih setahun setelah dan Viera baru berumur empat puluh hari,” protesku.“Kalo hamil berarti rezeki. Siapa tau anak ke empat kita itu laki-laki, Dek. Supaya mama nggak marah-marah terus karena kamu lagi-lagi ngelahirin anak cewek!”“Tapi aku mau mengistirahatkan badan, Mas. Masa hamil terus, melahirkan terus, repot terus. Kamu sih enak nggak ngerasain capek ngurus anak. Pokoknya besok anterin aku ke bidan. Aku mau ikut program keluarga berencana.”“Tidak perlu. Aku bisa main cantik. Bisa ngontrol sendiri biar kamu nggak hamil!”“Dari dulu juga begitu, Mas. Katanya bisa ngontrol, tapi selalu kebablasan!”“Sudah, aku males debat sama kamu. Aku capek, ngantuk. Jangan pernah ngebantah suami kalo nggak kepengen masuk Neraka!” sungutnya sambil memutar guling memunggungiku.Selalu saja begini endingnya. Aku selalu disuruh ngalah, dengan dalil perempuan harus nurut biar dapet pahala dan tidak masuk Neraka.Memangnya dia pikir zalim sama istri juga tidak dosa dan bikin dia masuk Neraka?Menarik selimut, membungkus tubuh kemudian berusaha memejamkan mata melepas penat yang melanda.Akan tetapi baru beberapa menit terpejam, terdengar suara tangis bayiku membuat diri ini mau tidak mau harus segera bangun dan menyusuinya.Setelah selesai memberikan ASI, kembali merebahkan bobot di atas kasur, berniat kembali memejamkan mata, namun, kali ini giliran Danisa bangun meminta diantar ke kamar mandi.Ya Allah ....Nikmat sekali rasanya menjadi ibu dengan tiga batita.Lamat-lamat terdengar suara sang Muadzin mengumandangkan azan subuh. Buru-buru turun dari tempat tidur, berjalan mengendap meninggalkan anak-anak yang masih terlelap membangunkan suami untuk melaksanakan salat subuh.“Tolong bikinin aku kopi sama sarapan. Kamu yang buatin. Jangan Mbak Sari,” titahnya seraya duduk sambil membaca koran pagi.“Iya, Mas!” Lekas menjerang air, memasukkan sesendok kopi dan sedikit gula lalu menuang air panas dan mengaduknya perlahan.Dari dapur terdengar suara tangis Viera juga Danisa secara bersamaan. Mas Erlang terlihat tak acuh seolah tidak mendengar suara tangis kedua anaknya, dan tetap fokus pada lembaran kertas berisi berita murahan di tangannya.“Mas, tolong liat anak-anak dong. Aku masih tanggung bikin sarapan buat kamu,” ucapku sambil menggerakkan spatula di atas wajan.“Tugas ngurus anak itu ‘kan tugas istri. Bukan tugas suami. Untuk apa ada kamu kalo ngurus anak saja harus aku yang turun tangan. Terus fungsinya kamu di sini apa dong?” jawabnya enteng. Menyebalkan.Astaghfirullahaladzim ... Aku hanya bisa beristigfar dalam hati.Segera kumatikan kompor, mencuci tangan lalu segera ke kamar menghampiri bidadari-bidadari kecilku.“Sayangnya Mama kenapa?” tanyaku sambil menghampiri kedua buah hatiku yang sedang menangis di atas kasur.Kugendong tubuh gembul Danisa, membawanya ke luar kemudian mendudukkannya di samping Mas Erlang lalu mengambil Viera dan menyusuinya.“Mama mimik!” rengek Danisa sambil menarik-narik tangan.“Sebentar, ya, Sayang. Mama nenenin dedek dulu.”Tangis Danisa semakin nyaring. Dan seperti biasanya, Mas Erlang tidak menoleh apalagi menenangkan putrinya. Bikinnya doang yang rajin, tapi nggak mau bantu mengurus.“Mbak, Mbak Sari, tolong buatkan susu buat kakak dan ajak main dia ya?” perintahku kepada Sari—asisten rumah tanggaku yang sudah mengabdi sejak aku dan Mas Erlangga baru menikah.“Baik, Bu.” Dia mengangguk sopan.Setelah Viera selesai menyusu kuletakkan bayi berusia empat puluh hari itu di stroller dan kembali melanjutkan aktivitasku membuat sarapan untuk suami.“Duh, lama banget, sih Dek. Nggak tau apa suami kamu itu sudah kelaparan?” protes suami membuatku menarik napas panjang dan mengembuskannya secara kasar.“’Kan Mas liat sendiri tadi. Pas aku lagi masak anak-anak bangun, sementara kamu tidak mau membantu aku sama sekali. Kalo masaknya jadi lama ya nggak usah komplain. Makanya lain kali bantuin istri. Biar ngrasain seperti apa repotnya ngurus anak!” rutukku panjang lebar walau tahu hanya masuk kuping kanan dan keluar lewat kuping kiri. Sudah biasa.“Sudah, ah. Mas mau berangkat kerja. Assalamualaikum!”“Hati-hati di jalan. Jangan lupa baca doa!”“Iya!”Suara deru mesin kendaraan terdengar menjauh dari pekarangan rumah. Aku segera menjerang air, memandikan anak-anak lalu mengajak mereka bermain di halaman sambil berjemur menikmati udara pagi.“Mbak Rivani, habis melahirkan tubuhnya tambah melar ya? Perasaan dulu Mbak itu body-nya langsing dan bagus, dandanannya juga rapi. Sekarang udah kaya emak-emak umur tiga puluh lima tahunan, padahal baru dua puluh enam taun. Rambut acak-acakan, pake baju asal begitu. Awas loh, Mbak, suaminya nanti kecantol pelakor kalo Mbak terus-terusan bergaya seperti ini?!” celetuk Bu Hielmy—tetangga depan rumah yang terkenal pedas mulutnya.Aku hanya merespons ocehan ibu beranak satu yang dandanannya cetar membahana seperti orang mau kondangan itu dengan senyuman. Malas beradu argumen. Buang-buang tenaga.“Dikasih tau cuma senyum-senyum doang. Jangan nyesel nanti kalau tau-tau Mas Erlangga kawin lagi sama yang rapi dan bohay. Secara dia ‘kan kaya. Bisa saja nyari perempuan yang lebih muda dan cantik. Mana ada suami yang betah liat istrinya amburadul seperti kamu!”Aku mengambil napas dalam-dalam lalu membuangnya secara perlahan.Sabar, Rivani. Tetangga toxic seperti dia nggak perlu diladeni.“Ya sudah, Bu. Saya masuk dulu. Permisi. Assalamualaikum!” Mendorong stroller bayiku, berjalan masuk menutup rapat pintu rumah.“Sar, saya mau mandi dulu. Tolong jagain dedek dan kakak sebentar ya?”“Iya, Bu. Jangan lupa sarapan juga. Biar kuat menghadapi kenyataan!” celetuk Sari membuatku tertawa dibuatnya.Di rumah ini, selain anak-anak hanya dia yang mampu membuat aku tertawa. Mas Erlangga selalu sibuk dan hampir tidak ada waktu untuk keluarga, sedangkan ibu mertua, sekalinya datang dia hanya membuat huru hara, mencibir karena semua anakku perempuan.Mematut diri di depan cermin, mengusap wajah yang sebenarnya masih begitu cantik juga muda. Hanya saja karena terlalu sibuk mengurus anak-anak jadi tidak punya waktu untuk mengurus badan. Apalagi Mas Erlangga selalu menuntut agar anak-anak selalu dalam pengawasanku, tidak mempercayai asisten rumah tangga untuk mengasuhnya.Baru saja menyisir rambut dan mengikatnya, terdengar suara tangis Mikayla serta Danisa. Sepertinya mereka berebut mainan dan Sari tidak bisa menangani. Ah, anak-anak ini. Sepertinya tidak bisa sehari saja tanpa berkelahi, membiarkan mamanya santai barang sejenak.“Dek, anak-anak sudah tidur?” Tangan kekar suami melingkar di pinggang, memberi isyarat kalau dia ingin meminta jatah malam.“Sudah, Mas. Tapi maaf. Aku capek banget hari ini. Lagian aku juga belum ke bidan. Takut kebobolan lagi, Mas,” tolakku secara halus.“Capek?” Dahi Mas Erlangga berkerut-kerut menatapku dengan mimik aneh. “Memangnya habis ngapain, Dek? Kok ngeluh capek?”“Ngurus anak-anak, Mas. Kok ngapain?”“Lha, ngurus anak-anak doang masa capek? ‘Kan tinggal duduk, liatin anak-anak sambil main hape. Anak-anak tidur ikut tidur. Beres-beres rumah juga nggak pernah ‘kan? Semuanya Sari yang ngerjain!”“Mas, ngurus anak itu nggak hanya duduk dan tidur doang!”“Lantas?”“Kamu belum pernah ngerasain seperti apa ngurus tiga batita. Malam kurang tidur, siang boro-boro bisa merem. Pundak juga ampe sengkleh nggendong Danisa kalo dia lagi datang cantiknya!”“Ibu dulu punya anak enam dan jaraknya deket-deket nggak pernah negeluh. Ervita juga sama-sama punya anak tiga nggak pernah ngeluh kaya kamu. Padahal dia juga kerja. Sedangkan kamu, di rumah doang malah ngeluh capek. Aneh.”“Kerja kantoran sama ngurus anak itu cape’an ngurus anak, Mas. Kalo kerja kantoran ‘kan masuk kerja jam tujuh jam lima sudah bisa pulang. Dapet gaji pula. Lha kalo ngurus anak ....”“Sudah-sudah! Nggak bakal selesai kalo debat sama kamu, Dek. Makanya sekali-kali kerja. Biar ngrasain kaya apa capeknya nyari duit. Nggak Cuma ongkang-ongkang kaki di rumah tapi giliran suaminya minta haknya malah ngeluh capek!” Sungutnya seraya beranjak dari tempat tidur dan keluar dari kamar membanting pintu hingga ketiga anakku terbangun.Argh!Aku menjambak rambut frustrasi karena badan sudah begitu lelah tapi gagal diistirahatkan.“Loh, Dek. Kamu mau ke mana?” tanya suami sambil menatapku dengan mimik heran, karena pagi-pagi sudah berpakaian rapi ala orang kantoran.“Kerja. Mulai sekarang aku yang akan mengelola toko dan kamu jaga anak-anak di rumah. Kita tukeran peran selama sebulan!”“Jangan gila kamu, Dek? Memangnya kamu bisa mengelola toko kita?”“Kamu lupa ya? Sebelum menikah dengan kamu aku juga pernah mengelola toko punya keluarga aku. Toko kamu maju juga karena campur tangan aku dulu. Jadi, nggak usah khawatir aku tidak bisa mengelolanya. Perempuan itu bisa mengerjakan semua pekerjaan laki-laki, jadi tulang punggung, jadi ayah sekaligus ibu, tapi laki-laki belum tentu bisa mengerjakan tugas seorang perempuan. Itulah kelebihan perempuan dan kekurangan laki-laki.”“Kata siapa? Mas juga bisa ngerjain semua tugas perempuan. Mas bisa jagain anak-anak. Jangan suka meremehkan suami kamu, Dek. Jangan jumawa!”“Oke. Kalau begitu kita tukeran peran.”“Deal!” Mengulurkan tangan.“Deal!” Dia menjabat tanganku dan menatap yakin.Menyambar tas yang tergeletak di atas meja, mengambil kunci mobil dan segera melajukan kendaraan roda empatku menyusuri jalan kota menuju toko elektronik yang Mas Erlangga kelola. Aku pengen tau, sejauh mana dia bertahan mengurus ketiga batita kami.Mungkin ini saatnya aku mengalah dan pergi. Membiarkan dia hidup dengan kekasih hatinya, tanpa lagi mengganggu apalagi berusaha merebut dia dari pelukan Erlangga. Semoga saja setelah ini aku bisa kembali menata hidup seperti sebelumnya, melupakan semua kenangan dan mengubur duka yang tengah bertahta dalam dada.***"Pak Damian bukan?" sapa seorang laki-laki berkoko putih saat aku sedang duduk di sebuah rumah makan."Iya, betul. Kamu siapa ya?" tanyaku penasaran, karena merasa tidak mengenal lelaki tersebut."Saya Rian, Pak. Dulu Bapak pernah menolong saya waktu saya dikejar warga gara-gara dikira copet!"Aku mengernyitkan dahi, lalu tersenyum saat mengingat kejadian beberapa tahun yang lalu. Seorang pemuda berpenampilan lusuh berlari ketakutan karena ada beberapa orang yang sedang mengejarnya, lalu aku menarik pemuda itu dan membawanya masuk ke dalam mobil.''Kenapa kamu dikejar-kejar warga?" tanyaku saat itu.
POV Damian.Membuka mata perlahan, memegangi dada yang kadang masih terasa sakit akibat luka bekas tembakan yang diberondongkan kepadaku. Untung saja tidak mengenai jantung, sehingga aku masih memiliki kesempatan untuk hidup. Meskipun hidup tapi terasa mati, karena harus berpisah dengan separuh jiwaku.Andai saja Mami tidak mengancam akan mengakhiri hidupnya jika aku terus mengejar Rivani, 'kan kuperjuangkan cintaku sampai titik darah penghabisan, hingga akhirnya Tuhan berkenan mempersatukan kami berdua dalam ikatan suci pernikahan.Tapi ketika aku sekarat dan mengalami koma selama berhari-hari, Mami malah memanipulasinya kematianku. Dia membuat diri ini seolah-olah sudah mati, lalu membawaku terbang ke Kalimantan, dan setelah aku sehat dia terus mendesakku untuk menjauhi putrinya."Mami mohon, Dem. Jangan terus menerus mengganggu adik kamu. Dia sudah bahagia bersama pasangannya. Vani sudah bahagia bersama keempat anaknya juga. Jangan ganggu
Sari duduk di bibir ranjang dengan riasan menempel di wajah,serta kebaya putih melekat di tubuh rampingnya. Tangannya terus saja meremas ujung kebaya, menahan rasa grogi luar biasa karena hari ini Andika akan mengucap janji suci di depan penghulu serta saksi, menjadikan dia sebagai seorang istri yang sah baik menurut hukum maupun agama.Rasanya bagai mimpi, karena setelah melewati titian takdir yang begitu menyakitkan akhirnya Allah meniupkan kebahagiaan di dalam hidupnya. Dinikahi oleh pengacara yang membantu menangani kasusnya, menemukan keluarga baru yang mau menerima dia apa adanya.Melalui pengeras suara, sang pembawa acara mulai membacakan susunan acara, dilanjutkan oleh pembacaan ayat suci Al-Quran lalu disusul khutbah nikah. Mata Sari mulai terlihat berkaca-kaca ketika acara inti dimulai, apalagi setelah mendengar suara ayahnya di pengeras suara."Ayah kamu datang, Sar. Dia mau jadi wali nikah kamu!" bisik Rivani sambil mengusap air mata bahagia.
"Maaf, Pak. Kedatangan kami ke sini hanya untuk meminta restu sama Bapak, karena saya akan menikahi Sari secepatnya!" ucap Andika sambil merangkul pundak Sari, menatap tanpa takut secuil pun laki-laki yang sedang berkacak pinggang di hadapannya.Baginya, apa pun keputusan ayah Sari nanti, tidak akan menyurutkan sedikit pun niatnya untuk meminang sang pujaan hati. Dia hanya berusaha meminta restu karena Sari masih memiliki keluarga. Tidak sopan rasanya kalau tiba-tiba menikahi sang calon istri tanpa restu dari orang tuanya, karena biar bagaimanapun Sari masih punya wali."Ya sudah. Nikahi saja dia, asalkan jangan pernah dibawa pulang ke rumah ini. Sudah cukup malu saya dengan kelakuannya yang tidak bisa menjaga diri. Menjijikkan. Hamil sama mertua majikannya. Aib. Jadah!" maki laki-laki berusia setengah abad tersebut sambil menatap mencemooh ke arah putrinya sendiri."Harusnya sebagai orang tua bapak mendukung Sari, bukan malah ikut membenci seperti ini. Ka
"Ada apa, Pak?" tanya Sari sambil menatap Andika yang terus saja menundukkan kepala, dengan pipi sudah memerah seperti tomat matang."Emm...begini, Mbak Sari. Kedatangan saya ke sini, sebenarnya...emmm..."Perempuan berambut hitam panjang itu terus menyimak dengan tidak sabar, sambil terus memindai Andika yang terlihat semakin gemetar. Padahal dia biasa menghadapi beberapa kasus berat dan tidak jarang memenangkannya. Akan tetapi ketika hendak berbicara dengan Sari, mendadak bibirnya kelu. Kata-kata yang sudah dia susun sedemikan rupa hilang seketika."Ada apa, Pak? Apa Bapak mau meminta bayaran kepada saya?" Sari menatap tajam wajah lawan bicaranya, merasa sedikit takut jika tiba-tiba pengacara yang ditunjuk keluarga Erlangga untuk membantu menyelesaikan kasus yang dia hadapi tiba-tiba meminta bayaran."Bu--bukan, Mbak Sari. Kedatangan saya ke sini, mau anu..."Bu Irmawati, ibundanya Andika menyikut pinggang anaknya gemas. "Begi
Kesal, merasa bodoh dan terhina. Itu yang selalu dia rasakan. Bahkan beberapa kali berniat mengakhiri hidup, akan tetapi akal sehat serta hati kecilnya selalu berbisik, melarang dia untuk melakukan hal tersebut.Melihat kedua majikannya terus saja bersiteru dan Rivani terus saja menuduh Erlangga telah berselingkuh dengannya, Sari akhirnya memutuskan untuk meninggalkan rumah tempat dia mengadukan nasib serta merasa menemukan keluarga, juga tempat dimana dia dinodai oleh Ayah mertua dari sang majikan.Namun, kepergiannya dari rumah Rivani ternyata justru membuat dia harus menjadi pelampiasan seksual Ilman. Sari tidak sengaja bertemu dengan pria bajingan itu saat hendak pergi meninggalkan kediaman Erlangga, disekap oleh Ilman dalam sebuah rumah dan harus berkali-kali melayaninya.Sari juga pernah mengalami pendarahan dan dibawa ke rumah sakit oleh pria yang menghamilinya, lalu berhasil melarikan diri ketika Ilman sedang menebus obat di apotek kemudi