Share

Tukar Posisi agar Suamiku Mengerti Kalau....
Tukar Posisi agar Suamiku Mengerti Kalau....
Author: Ida Saidah

Tukar Posisi

“Di dalam, ya Mas?” tanyaku selesai memberikan hak suami setelah empat puluh hari puasa karena dalam masa nifas.

“Tadi Mas terbawa suasana. Jadi kebablasan,” jawab suami seraya tersenyum lega. Wajahnya terlihat ceria tidak uring-uringan seperti kemarin.

“Nanti kalo aku hamil lagi bagaimana? Danisa baru umur tiga tahun, Mikayla masih setahun setelah dan Viera baru berumur empat puluh hari,” protesku.

“Kalo hamil berarti rezeki. Siapa tau anak ke empat kita itu laki-laki, Dek. Supaya mama nggak marah-marah terus karena kamu lagi-lagi ngelahirin anak cewek!”

“Tapi aku mau mengistirahatkan badan, Mas. Masa hamil terus, melahirkan terus, repot terus. Kamu sih enak nggak ngerasain capek ngurus anak. Pokoknya besok anterin aku ke bidan. Aku mau ikut program keluarga berencana.”

“Tidak perlu. Aku bisa main cantik. Bisa ngontrol sendiri biar kamu nggak hamil!”

“Dari dulu juga begitu, Mas. Katanya bisa ngontrol, tapi selalu kebablasan!”

“Sudah, aku males debat sama kamu. Aku capek, ngantuk. Jangan pernah ngebantah suami kalo nggak kepengen masuk Neraka!” sungutnya sambil memutar guling memunggungiku.

Selalu saja begini endingnya. Aku selalu disuruh ngalah, dengan dalil perempuan harus nurut biar dapet pahala dan tidak masuk Neraka.

Memangnya dia pikir zalim sama istri juga tidak dosa dan bikin dia masuk Neraka?

Menarik selimut, membungkus tubuh kemudian berusaha memejamkan mata melepas penat yang melanda.

Akan tetapi baru beberapa menit terpejam, terdengar suara tangis bayiku membuat diri ini mau tidak mau harus segera bangun dan menyusuinya.

Setelah selesai memberikan ASI, kembali merebahkan bobot di atas kasur, berniat kembali memejamkan mata, namun, kali ini giliran Danisa bangun meminta diantar ke kamar mandi.

Ya Allah ....

Nikmat sekali rasanya menjadi ibu dengan tiga batita.

Lamat-lamat terdengar suara sang Muadzin mengumandangkan azan subuh. Buru-buru turun dari tempat tidur, berjalan mengendap meninggalkan anak-anak yang masih terlelap membangunkan suami untuk melaksanakan salat subuh.

“Tolong bikinin aku kopi sama sarapan. Kamu yang buatin. Jangan Mbak Sari,” titahnya seraya duduk sambil membaca koran pagi.

“Iya, Mas!” Lekas menjerang air, memasukkan sesendok kopi dan sedikit gula lalu menuang air panas dan mengaduknya perlahan.

Dari dapur terdengar suara tangis Viera juga Danisa secara bersamaan. Mas Erlang terlihat tak acuh seolah tidak mendengar suara tangis kedua anaknya, dan tetap fokus pada lembaran kertas berisi berita murahan di tangannya.

“Mas, tolong liat anak-anak dong. Aku masih tanggung bikin sarapan buat kamu,” ucapku sambil menggerakkan spatula di atas wajan.

“Tugas ngurus anak itu ‘kan tugas istri. Bukan tugas suami. Untuk apa ada kamu kalo ngurus anak saja harus aku yang turun tangan. Terus fungsinya kamu di sini apa dong?” jawabnya enteng. Menyebalkan.

Astaghfirullahaladzim ... Aku hanya bisa beristigfar dalam hati.

Segera kumatikan kompor, mencuci tangan lalu segera ke kamar menghampiri bidadari-bidadari kecilku.

“Sayangnya Mama kenapa?” tanyaku sambil menghampiri kedua buah hatiku yang sedang menangis di atas kasur.

Kugendong tubuh gembul Danisa, membawanya ke luar kemudian mendudukkannya di samping Mas Erlang lalu mengambil Viera dan menyusuinya.

“Mama mimik!” rengek Danisa sambil menarik-narik tangan.

“Sebentar, ya, Sayang. Mama nenenin dedek dulu.”

Tangis Danisa semakin nyaring. Dan seperti biasanya, Mas Erlang tidak menoleh apalagi menenangkan putrinya. Bikinnya doang yang rajin, tapi nggak mau bantu mengurus.

“Mbak, Mbak Sari, tolong buatkan susu buat kakak dan ajak main dia ya?” perintahku kepada Sari—asisten rumah tanggaku yang sudah mengabdi sejak aku dan Mas Erlangga baru menikah.

“Baik, Bu.” Dia mengangguk sopan.

Setelah Viera selesai menyusu kuletakkan bayi berusia empat puluh hari itu di stroller dan kembali melanjutkan aktivitasku membuat sarapan untuk suami.

“Duh, lama banget, sih Dek. Nggak tau apa suami kamu itu sudah kelaparan?” protes suami membuatku menarik napas panjang dan mengembuskannya secara kasar.

“’Kan Mas liat sendiri tadi. Pas aku lagi masak anak-anak bangun, sementara kamu tidak mau membantu aku sama sekali. Kalo masaknya jadi lama ya nggak usah komplain. Makanya lain kali bantuin istri. Biar ngrasain seperti apa repotnya ngurus anak!” rutukku panjang lebar walau tahu hanya masuk kuping kanan dan keluar lewat kuping kiri. Sudah biasa.

“Sudah, ah. Mas mau berangkat kerja. Assalamualaikum!”

“Hati-hati di jalan. Jangan lupa baca doa!”

“Iya!”

Suara deru mesin kendaraan terdengar menjauh dari pekarangan rumah. Aku segera menjerang air, memandikan anak-anak lalu mengajak mereka bermain di halaman sambil berjemur menikmati udara pagi.

“Mbak Rivani, habis melahirkan tubuhnya tambah melar ya? Perasaan dulu Mbak itu body-nya langsing dan bagus, dandanannya juga rapi. Sekarang udah kaya emak-emak umur tiga puluh lima tahunan, padahal baru dua puluh enam taun. Rambut acak-acakan, pake baju asal begitu. Awas loh, Mbak, suaminya nanti kecantol pelakor kalo Mbak terus-terusan bergaya seperti ini?!” celetuk Bu Hielmy—tetangga depan rumah yang terkenal pedas mulutnya.

Aku hanya merespons ocehan ibu beranak satu yang dandanannya cetar membahana seperti orang mau kondangan itu dengan senyuman. Malas beradu argumen. Buang-buang tenaga.

“Dikasih tau cuma senyum-senyum doang. Jangan nyesel nanti kalau tau-tau Mas Erlangga kawin lagi sama yang rapi dan bohay. Secara dia ‘kan kaya. Bisa saja nyari perempuan yang lebih muda dan cantik. Mana ada suami yang betah liat istrinya amburadul seperti kamu!”

Aku mengambil napas dalam-dalam lalu membuangnya secara perlahan.

Sabar, Rivani. Tetangga toxic seperti dia nggak perlu diladeni.

“Ya sudah, Bu. Saya masuk dulu. Permisi. Assalamualaikum!” Mendorong stroller bayiku, berjalan masuk menutup rapat pintu rumah.

“Sar, saya mau mandi dulu. Tolong jagain dedek dan kakak sebentar ya?”

“Iya, Bu. Jangan lupa sarapan juga. Biar kuat menghadapi kenyataan!” celetuk Sari membuatku tertawa dibuatnya.

Di rumah ini, selain anak-anak hanya dia yang mampu membuat aku tertawa. Mas Erlangga selalu sibuk dan hampir tidak ada waktu untuk keluarga, sedangkan ibu mertua, sekalinya datang dia hanya membuat huru hara, mencibir karena semua anakku perempuan.

Mematut diri di depan cermin, mengusap wajah yang sebenarnya masih begitu cantik juga muda. Hanya saja karena terlalu sibuk mengurus anak-anak jadi tidak punya waktu untuk mengurus badan. Apalagi Mas Erlangga selalu menuntut agar anak-anak selalu dalam pengawasanku, tidak mempercayai asisten rumah tangga untuk mengasuhnya.

Baru saja menyisir rambut dan mengikatnya, terdengar suara tangis Mikayla serta Danisa. Sepertinya mereka berebut mainan dan Sari tidak bisa menangani. Ah, anak-anak ini. Sepertinya tidak bisa sehari saja tanpa berkelahi, membiarkan mamanya santai barang sejenak.

“Dek, anak-anak sudah tidur?” Tangan kekar suami melingkar di pinggang, memberi isyarat kalau dia ingin meminta jatah malam.

“Sudah, Mas. Tapi maaf. Aku capek banget hari ini. Lagian aku juga belum ke bidan. Takut kebobolan lagi, Mas,” tolakku secara halus.

“Capek?” Dahi Mas Erlangga berkerut-kerut menatapku dengan mimik aneh. “Memangnya habis ngapain, Dek? Kok ngeluh capek?”

“Ngurus anak-anak, Mas. Kok ngapain?”

“Lha, ngurus anak-anak doang masa capek? ‘Kan tinggal duduk, liatin anak-anak sambil main hape. Anak-anak tidur ikut tidur. Beres-beres rumah juga nggak pernah ‘kan? Semuanya Sari yang ngerjain!”

“Mas, ngurus anak itu nggak hanya duduk dan tidur doang!”

“Lantas?”

“Kamu belum pernah ngerasain seperti apa ngurus tiga batita. Malam kurang tidur, siang boro-boro bisa merem. Pundak juga ampe sengkleh nggendong Danisa kalo dia lagi datang cantiknya!”

“Ibu dulu punya anak enam dan jaraknya deket-deket nggak pernah negeluh. Ervita juga sama-sama punya anak tiga nggak pernah ngeluh kaya kamu. Padahal dia juga kerja. Sedangkan kamu, di rumah doang malah ngeluh capek. Aneh.”

“Kerja kantoran sama ngurus anak itu cape’an ngurus anak, Mas. Kalo kerja kantoran ‘kan masuk kerja jam tujuh jam lima sudah bisa pulang. Dapet gaji pula. Lha kalo ngurus anak ....”

“Sudah-sudah! Nggak bakal selesai kalo debat sama kamu, Dek. Makanya sekali-kali kerja. Biar ngrasain kaya apa capeknya nyari duit. Nggak Cuma ongkang-ongkang kaki di rumah tapi giliran suaminya minta haknya malah ngeluh capek!” Sungutnya seraya beranjak dari tempat tidur dan keluar dari kamar membanting pintu hingga ketiga anakku terbangun.

Argh!

Aku menjambak rambut frustrasi karena badan sudah begitu lelah tapi gagal diistirahatkan.

“Loh, Dek. Kamu mau ke mana?” tanya suami sambil menatapku dengan mimik heran, karena pagi-pagi sudah berpakaian rapi ala orang kantoran.

“Kerja. Mulai sekarang aku yang akan mengelola toko dan kamu jaga anak-anak di rumah. Kita tukeran peran selama sebulan!”

“Jangan gila kamu, Dek? Memangnya kamu bisa mengelola toko kita?”

“Kamu lupa ya? Sebelum menikah dengan kamu aku juga pernah mengelola toko punya keluarga aku. Toko kamu maju juga karena campur tangan aku dulu. Jadi, nggak usah khawatir aku tidak bisa mengelolanya. Perempuan itu bisa mengerjakan semua pekerjaan laki-laki, jadi tulang punggung, jadi ayah sekaligus ibu, tapi laki-laki belum tentu bisa mengerjakan tugas seorang perempuan. Itulah kelebihan perempuan dan kekurangan laki-laki.”

“Kata siapa? Mas juga bisa ngerjain semua tugas perempuan. Mas bisa jagain anak-anak. Jangan suka meremehkan suami kamu, Dek. Jangan jumawa!”

“Oke. Kalau begitu kita tukeran peran.”

“Deal!” Mengulurkan tangan.

“Deal!” Dia menjabat tanganku dan menatap yakin.

Menyambar tas yang tergeletak di atas meja, mengambil kunci mobil dan segera melajukan kendaraan roda empatku menyusuri jalan kota menuju toko elektronik yang Mas Erlangga kelola. Aku pengen tau, sejauh mana dia bertahan mengurus ketiga batita kami.

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status