Share

Sang Calon Madu

Sambil menahan nyeri di sanubari kutinggalkan ibu dan anak yang tengah berbicara di dapur, tidak mau mendengar ucapan Mama yang begitu menusuk serta mengoyak perasaan.

Apa kurangnya aku selama ini kepada mereka? Bahkan ketika pertama menikah dan keluarga Mas Erlangga sedang terlilit hutang, akulah orang yang menyelamatkan mereka dari jeratan rentenir sampai rela menjual perhiasan serta menguras tabungan yang aku punya.

Pun ketika toko elektronik suami hampir saja bangkrut, tanpa memikirkan harga diri meminjam uang kepada Papi dengan jaminan rumah yang kutinggali. Namun semuanya tidak pernah dianggap. Tetap saja salah di mata mama mertua.

Tanpa dikomando buliran-buliran air bening lolos begitu saja membasahi pipi, dan aku segera menghapusnya dengan punggung tangan. Mas Erlangga nggak boleh liat aku nangis. Bisa besar kepala dia nantinya.

"Dek." Berjingkat kaget ketika tiba-tiba tangan suami mengusap lembut bahu ini. Aku menoleh menatap wajah tampan yang membuat semua wanita jadi tergila-gila itu, ingin mencegah suami untuk tidak menemui perempuan bernama Risma itu tapi, Mas Erlangga itu tipe anak yang begitu penurut. Mana berani dia menolak permintaan mamanya walaupun dia disuruh membuang kami sekali pun.

"Selamat ya, Mas. Sebentar lagi kamu akan menikah dengan wanita pilihan Mama. Jangan lupa segera urus perceraian kita dan anak-anak biar aku bawa," ucapku seraya beranjak dari duduk, berniat meninggalkan suami. Rasanya tidak kuat jika harus bersitatap dengan laki-laki yang sebentar lagi jiwa serta raganya akan terbagi.

"Mas minta maaf!" Dia mencekal tanganku, melingkarkan tangannya di pinggang memeluk tubuh ini dari belakang. "Mas tidak mau kehilangan kamu."

"Aku nggak mau jadi penghalang bakti kamu sama mama. Lagian aku juga lelah hidup seperti ini terus. Dihina, dicaci, di rumah tidak pernah dipedulikan oleh suami. Aku lelah, Mas. Hati aku hanya sebongkah daging yang mudah tergores luka." Mencoba mengurai pelukan suami, namun, dia malah mempererat dekapan.

"Kita akan temui Risma bersama-sama. Kamu ganti baju dan berdandanlah yang cantik. Aku tunggu di luar!"

"Aku nggak mau, Mas!"

"Dan aku nggak mau dibantah. Kamu tau 'kan hukumnya menolak perintah suami?"

"Kamu juga sepertinya lebih tau hukumnya zalim terhadap istri!"

Mas Erlangga menyentak napas kasar. Dia kemudian melepas pelukannya, mengayunkan kaki ke luar dari kamar meninggalkan aku sendiri yang masih berdiri mematung sambil menahan nyeri di sanubari.

"Mas tunggu di depan. Jangan lama-lama!" perintahnya lagi.

Dengan berat hati berjalan menuju lemari, mengambil pakaian terbaik ingin menunjukkan kalau aku juga masih cantik dan akan ada laki-laki yang masih mau menerima diriku nanti jika sampai bercerai dengan Mas Erlangga.

Segera kusapukan bedak di wajah, mengukir alis tipis-tipis juga memoles lipstik di bibir ala artis Korea. Apalagi wajahku yang memang seorang keturunan Tionghoa mendukung penampilanku saat ini. Sempurna.

Setelah selesai berdandan, aku keluar menghampiri ketika buah hatiku, dan hampir menangis karena ternyata belum ada satu anakku pun yang sudah mandi.

Astaga...

"Mas ... Mas Erlang ...!" panggilku dengan suara nyaring.

Meski tahu dia sudah memiliki perempun idaman lain, aku tidak mau berpura-pura dan sok-sokan jadi lemah lembut di depan suami. Sebab aku benci kepura-puraan.

"Ada apa, Dek?" Laki-laki berambut klimis itu menghampiri tapi, bukannya segera mengambil anaknya malah terpesona melihat diriku yang sudah lama tidak berdandan seperti ini.

"Anak-anak belum ada yang mandi."

"Terus?"

"Nggak mungkin 'kan, aku sudah rapi begini masih disuruh mandiin anak-anak. Lagian kita sudah sepakat untuk tukar posisi selama sebulan. Setidaknya ada yang berkesan di hidup aku jika berpisah dengan kamu nanti."

"Dek, masa aku suruh mandiin ketiga anak kita sementara kamu duduk manis sambil mainan ponsel?" protes suami tidak terima.

"Kamu juga biasanya seperti itu 'kan, setiap kita mau pergi jalan-jalan? Aku repot ngurus anak-anak sementara kamu santai kaya di pantai. Sudah, sekarang nikmati peran kita masing-masing mumpung masih bersama! Sudah siang. Kalau kamu nggak mau mandiin anak-anak ya kita nggak jadi pergi. Aku mau ke toko saja!"

"Tapi aku nggak bisa mandiin anak-anak, Dek?"

"Tuh, 'kan. Apa aku bilang. Laki-laki itu tidak bisa mengerjakan pekerjaan ...."

"Sudah! Biar aku suruh Sari yang mandiin anak-anak. Males banget kalo sudah mengungkit masalah kemampuan istri dan suami!" potongnya.

"Emm...Maaf, Pak. Saya tidak pernah membantu Ibu memandikan anak-anak. Biasanya kalo saya bantu mandiin dedek Viera saya dibayar tiga ratus ribu sama Ibu!" Sari melirik ke arahku. Mungkin dia mau menolak permintaan suami tapi tidak enak hati, sampai akhirnya menyebutkan nominal angka.

Tapi bagus. Gue suka gaya lo Sari!

"Ini, mandikan Viera dan Danisa. Mikayla biar saya yang mandikan!" Mas Erlangga terlihat mengambil tiga lembar ratusan ribu lalu menyodorkannya kepada asisten rumah tangga kami.

"Maaf, Pak. Tiga ratus ribu untuk satu anak. Biasanya Ibu juga seperti itu!"

"Kamu itu kerja di sini saya gaji setiap bulan lho, Sar. Masa mau mandiin anak-anak saja saya harus bayar lagi?!" Dengus suami bertambah kesal.

"Sekali lagi saya minta maaf. Tugas saya di sini hanya mengurus rumah, Pak. Bukan ngurus anak-anak!"

"Sudah! sudah! Sana kamu mandikan Viera saja. Biar Mikayla dan Danisa saya yang mandikan!" Sambil memasang wajah jutek pria dengan garis wajah tegas itu menggandeng dua orang putrinya masuk ke dalam kamar mandi lalu membuka pakaian kedua anakku. Aku tersenyum getir melihatnya.

'Aku harap suatu hari nanti masa ini akan membuat kamu merindukan anak-anak, Mas," gumamku dalam hati.

Aku tidak tahu harus bagaimana jika suami benar-benar menikahi wanita pilihan Mama, juga bingung menjelaskannya nanti kepada Mami dan Papi. Sebab dari awal, hubunganku memang tidak direstui oleh kedua orang tua karena menurut mereka Mas Erlangga itu bukan tipe laki-laki setia. Dan sekarang, apa yang diucapkan orang tuaku terbukti. Sebentar lagi pria yang sudah empat tahun mendampingi hidupku itu akan membagi cintanya dengan perempuan lain.

"Dek, kok malah bengong?" tegurnya membuatku terkesiap. "Jangan terlalu dipikirkan," imbuhnya lagi.

"Aku itu manusia, Mas. Punya hati dan pikiran. Jadi jika punya masalah pasti dipikirkan, apalagi menyangkut rumah tangga!" Aku menyahut malas.

Tidak lama kemudian Sari kembali membawa Viera yang sudah cantik dengan gaun berwarna merah muda dan bandana melingkar di kepala. Dia lalu menyerahkan putriku, membantu Mas Erlangga memakaikan baju kedua putriku yang besar dengan warna pakaian dan model yang sama.

Sambil menyusui Viera kutatap lamat-lamat wajah-wajah anakku. Mereka cantik-cantik. Sempurna. Tapi kenapa kakek neneknya seperti tidak menyayangi mereka. Padahal jika dibandingkan dengan cucu-cucu Mama yang lainnya, hanya ketiga anakku saja yang terlahir normal.

Sanel--putri pertama Amalia terlahir dengan kelainan jantung. Sedangkan Syahira anaknya Ervita terlahir istimewa. Down sindrom. Pun dengan putrinya Ariesa yang terlahir dengan gangguan perkembangan serius yang mengganggu kemampuan berkomunikasi serta berinteraksinya, atau biasa disebut autis.

"Ayo, Dek. Kita jalan sekarang!" ajak suami sambil mengancing lengan kemejanya.

Dengan langkah ragu mengekor di belakang suami, masuk ke dalam mobil lalu duduk si kursi sebelah kemudi sambil menatap keluar jendela. Aku lebih memilih membuang pandang daripada harus menatap wajah suami yang tega mengenalkan istri sahnya dengan sang calon madu. Benar-benar tidak berperasaan.

Mobil Mas Erlangga menepi di depan sebuah restoran kelas Sultan. Sambil menggendong Mikayla dan menggandeng Danisa dia melangkah masuk, mengulas senyum melihat rombongan keluarganya dan ada seorang wanita berpakaian kurang bahan diantara keluarga besar suami.

Tuhan, sakit sekali melihat pemandangan ini. Apalagi ketika tanpa basa-basi perempuan berdandan menor macam ondel-ondel tersebut menyambut suami, menyalami tangan Mas Erlangga dan mengecup bagian punggungnya dengan khidmat.

"Kenapa kamu bawa dia juga, Lang?" protes Mama menatapku tidak suka.

"Vani itu istri aku, Ma. Jadi kalau aku ada acara ya harus aku bawa," jawab suami membuat wajah ibunya bertambah memerah.

"Tapi kan, ini acara istimewa kita, Erlang. Mama tidak mengundang dia!"

Laki-laki berkulit bersih itu menarik kursi, mempersilakan aku untuk duduk lalu menarik kursi satu lagi untuk dia mengenyakkan bokong.

"Risma, perkenalkan, ini istri saya Rivani Cahaya Kesuma, dan ini ketiga buah hati kami." Sepasang manik hitam milik suami menatap tajam wajah perempuan yang akan dijodohkan dengannya. Jujur, hati ini terbakar cemburu. Aku tidak rela berbagi suami dengan siapa pun.

"Aku tau, Mas. Tante Anita pernah menunjukkan fotonya sama aku," jawab si calon madu seraya membalas tatapan Mas Erlangga.

"Kalau kamu tau saya laki-laki beristri, kenapa kamu mau menerima perjodohan ini? Kamu juga wanita, Risma. Harusnya kamu lebih mengerti perasaan istri saya saat ini."

Kontan semua mata menatap ke arah Mas Erlangga, tanpa terkecuali Mama dan juga Papa.

Ah, tidak menyangka kalau ternyata suami akan membelaku dan menolak perjodohan ini. Terima kasih, Mas Erlangga.

"A--aku mencintai kamu, Mas. Sudah sejak lama, sebelum kamu menikah dengan Vani," lirih perempuan itu.

"Tapi, maaf. Saya tidak bisa membagi hati apalagi cinta."

"Erlangga, jaga bicara kamu. Pokoknya, Mama akan tetap menjodohkan kamu dengan Risma, walaupun kamu tidak setuju!" sentak mama mertua.

"Sudahlah, Mas. Lagian apa sih, yang bisa dibanggakan dari Si Vani. Cantikan ge Mbak Risma kemana-mana!" Ariesa ikut menimpali. Dia memang tidak pernah suka denganku semenjak cintanya ditolak oleh Bang Damian, kakak tertuaku. Mungkin dia ingin balas dendam.

"Kenapa nggak kamu suruh Daffo saja yang menikahi Risma? Kenapa mesti Mas?!" sungut Mas Erlangga membuatku ingin bersorak. Memangnya enak?

Kedua mata Ariesa membola sempurna. Wajahnya memucat seperti mayat. Dia saja tidak mau berbagi suami, tapi malah memaksa sang kakak untuk menikah lagi hanya karena alasan tidak masuk akal.

"Ya sudah. Aku permisi dulu. Sudah siang. Assalamualaikum!" Si pemilik alis tebal mengangkat bokong dari kursi, kembali menggendong Mikayla lalu mengajakku pergi.

"Erlang. Kamu mau ke mana?" teriak mertua.

"Jalan-jalan sama Vani."

"Terus, siapa yang akan membayar semua makanan ini?"

"Kalian yang makan, ya kalian semua yang bayar. Masa harus aku?"

"Tapi semua makanan di sini harganya selangit, Erlang. Kamu jangan lepas tangan begitu!"

"Lepas tangan? Memangnya saya mengundang kalian untuk makan-makan di sini? 'Kan aku yang kalian undang?" Mas Erlangga merangkul pundakku dan segera mengajakku pergi.

"Erlang! Erlangga! Tunggu! Bayar dulu!"

Laki-laki yang tengah berjalan di sampingku seolah tidak mendengarkan teriakan ibunya. Dia terus saja melangkahkan kaki meninggal restoran, mengajakku pergi entah ke mana.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status