“Kalian tidak dibayar?” tanyaku belum percaya. Aku yakin mereka semua sedang membohongi diriku secara kompak. Karena walaupun Mas Erlangga sedang sakit dan membutuhkan banyak sekali biaya, aku selalu memprioritaskan para pegawai daripada kebutuhan-kebutuhanku sendiri. Sebab tidak mau dianggap zalim, karena sudah menahan hak orang lain.“Tolong jelaskan semua ini kepada saya, Linda. Sebab saya yakin kamu pasti tau jawabannya. Selama ini saya mempercayakan keuangan sama kamu, dan bahkan semua uang gaji karyawan pun sudah aku titipkan ke kamu!”Kini, semua mata tertuju kepada Linda, dan wajah wanita itu langsung terlihat pias serta ketakutan.“Sa—saya... Uangnya diminta sama Pak Ilman dan kalau saya tidak memberikannya, Pak Ilman mengancam akan melukai saya dan putri saya. Apalagi Pak Ilman sudah bawa surat kuasa, jadi saya tidak berani membantah beliau!” terang Linda sambil menangis.“Bukannya saya sudah bilang ke kamu, kalau toko itu urusan
Air mata lolos begitu saja dari kedua sudut netra, melewati pipi kemudian jatuh di dada. Tepat di tempatku merasakan sesak sekaligus nelangsa.Mengurus suami dari pertama dia sakit sampai ke tahap sekarang, merawatnya dengan sepenuh hati tanpa kenal lelah hingga mengorbankan seluruh waktu istirahatku, dan sekarang, ketika ada sekeping masa lalu yang dia ingat, justru orang yang sama sekali tidak pernah ada saat dia terbaring koma. Menyakitkan.“Dek, kenapa menangis?” tanya suami tanpa rasa bersalah sama sekali. Dia mencekal lenganku ketika hendak pergi, menggengam jari jemari ini dengan erat dan kedua bulat beningnya terus saja memindai ke arahku.“Siapa Sari, Mas?” Sengaja kutanya siapa wanita itu, ingin tahu juga mendengar jawaban dari Mas Erlangga.“Tidak tau. Tapi setelah sampai di sini dan melihat tower sutet itu, nama Sari tiba-tiba muncul di ingatan Mas. Tapi Mas tidak merasakan kalau diantara Mas dan dia ada ikatan entah keluarga a
“Mana bisa kita menikah, Bang. Aku ini adik Abang!”Lagi, Bang Damian menyentak napas kasar. Dia lalu mendorong kursi ke belakang, lekas beranjak bangun meninggalkan aku sendirian.Ada-ada saja si Abang. Masa mau menikahi adiknya sendiri?“Dek, sarapan buat Mas mana?” Aku berjingkat kaget saat Mas Erlangga ternyata sudah berdiri tidak jauh dariku duduk.“Kamu mau sarapan apa?” tanyaku sambil menelisik tampilannya yang sudah rapi, mengenakan kemeja pendek berwarna hijau telur asin serta celana bahan berwarna hitam panjang. “Mas Erlang mau ke mana?” “Kerja!” jawabnya serius.“Kerja? Di mana?”“Nggak tau. Mas lupa dulu saat sehat Mas kerja di mana. Makanya Mas mau nanya sama kamu.” Dia menjawab dengan polos, membuat hati ini mencelos hingga ke dasar.“Kamu lagi sakit. Tidak usah kemana-mana.”“Tapi aku laki-laki. Harus bertanggungjawab menafkahi istri dan anak.”“Iya, aku tau.
Penasaran, aku kembali membuka lemari Sari. Di sana masih ada dua buah lingerie, juga beberapa baju miliknya. Aku juga membuka laci dan melihat beberapa buah test pack bergaris dua. Hal itu mengingatkan saat pertama kali mengetahui Sari hamil dan dia pergi dari sini. Aku harus mencari Sari dan menginterogasinya, supaya misteri siapa yang menghamili dia bisa terungkap.Ketika hendak menutup pintu, mata ini menyipit saat melihat ada celana dalam berwarna cokelat tergeletak, dan sepertinya itu bukan punya suamiku. Size-nya terlalu besar dan aku juga tidak merasa membelikan underwear merek serta bentuk seperti ini.Mengambil sarung tangan, aku memungut barang berbau tidak enak tersebut lalu memasukkannya ke dalam kantung kresek dan menyimpannya di dalam gudang. Siapa tahu suatu saat berguna sebagai barang bukti.Pokoknya aku harus mengusut tuntas kasus ini. Jika nanti terbukti Sari hamil karena diperkosa, siapa pun pelakunya tidak akan kulepaskan. 'Kan kupenjarakan dia meski dia mertua,
Seperti janji Mami, hari ini Mbak Susi datang untuk membantu mengurus rumah. Mbak Susi itu sudah lama ikut sama Mami, jadi sudah tidak diragukan lagi pekerjaannya. Dia sama seperti Sari. Rajin dan tidak banyak tingkah. Hanya saja Mbak Susi berusia lebih tua dari Mas Erlangga, jadi tidak akan ada lagi drama seperti ketika ada Sari di sini. Lagian Mbak Susi sudah mempunyai anak juga suami, tidak seperti Sari yang masih muda dan belum menikah pula."Mbak. Saya mau ke apotek dulu. Nebus obat buat Mas Erlang!" pamitku kepada Mbak Susi seraya mengikat rambut lalu memakai sweater. Danisa sengaja aku ajak supaya dia tidak terlalu kerepotan. Aku juga berniat ke pasar untuk mencari jajanan pasar, karena si jabang bayi sedang ingin menyantap makanan tradisional."Iya, Cik. Hati-hati di jalan. Nggak usah ngebut-ngebut bawa mobilnya. Soalnya Cici Vani lagi hamil!" ucapnya membuatku tertawa.Sepertinya dia merasa trauma karena dulu pernah ikut denganku dan dia
***"Kenapa kamu bawa Sari kembali ke rumah, Vani?" tanya Bang Damian ketika kami sedang duduk berdua di teras belakang."Karena aku kasian sama Sari. Dia sedang mengandung dan aku nggak akan membiarkan dia terlunta-lunta sendiri, karena aku sama-sama wanita. Aku juga seorang ibu yang memiliki perasaan. Mana tega aku liat wanita hamil berkeliaran di luar sana tanpa penjagaan serta perlindungan!" jawabku seraya menyesap teh hangat buatan Bang Damian."Apa kamu tidak takut kalau ternyata malah Erlang yang menghamilinya?""Sepertinya tidak. Karen menurut penuturan Sari, pria yang menghamilinya itu mempunyai tatto di paha, sedangkan Mas Erlangga tidak mempunyai tato di tubuhnya!"Bang Damian tersedak teh yang sedang ia minum hingga terbatuk dan wajahnya memerah."Kenapa? Apa jangan-jangan...""Nggak usah berpikir macam-macam lagi kamu sama Abang. Biar kata Abang kamu b*jin*an, tetapi Abang tidak mungkin berani berbuat sekeji
Menekan sebelas digit angka, menghubungi Bang Damian ingin menanyakan keberadaannya sekarang. Tersambung, tetapi tidak ada jawaban dari pria itu.[Abang lagi di mana, sama siapa? Dan apa yang sudah Abang lakukan hari ini?]Segera mengirimkan pesan kepada Abang, karena aku sangat mencurigai kalau memang dialah pelaku tabrak lari yang dialami mertua.[Papa kecelakaan. Dia jadi korban tabrak lari dan aku curiga kalau Abang yang melakukannya.]Centang dua abu-abu, menandakan kalau pesanku belum dibaca. Mungkin Bang Damian sedang sibuk jadi tidak segera membaca pesan dariku. Sebab, biasanya dia paling cepat membaca pesan apa pun yang aku kirim. Tapi, entah mengapa kali ini pesan dariku malah dia abaikan. Bikin tambah curiga saja.Pukul tujuh malam, seperti biasa aku menutup toko dan berniat segera pulang. Besok saja lah, jenguk papa mertuanya, karena badan sudah terasa lelah setelah seharian bekerja. Perut juga sudah terasa begitu lapar, dan anak-anak pasti sudah menungguku di rumah."Bu
"Aku udah kenyang!" ucapku jengkel."Kenyang? Kenyang makan cinta?!" "Bang Dem itu kenapa sih?""Kamu yang kenapa?""Aku udahan makannya, soalnya sudah tidak berselera lagi!" Mendorong piring menjauh, akan tetapi sang pemilik rahang tegas malah menariknya lalu menyuapiku."Aak! Buka mulut!" Dia menyodorkan sesendok nasi di depan mulutku.Aku menggeleng menolak."Buka mulut, Rivani. Kamu harus makan!!" bentaknya seraya menggebrak meja dengan sekuat tenaga. "Makan! Jangan egois. Ingat bayi kamu!" Mata elang milik Bang Damian terus menatap tajam."Aku udah keny...""Makan. Kamu seharian bekerja dan malah menolak untuk makan. Jangan menye-menye jadi perempuan. Hanya karena laki-laki tidak berguna seperti Erlangga saja kamu langsung ngambek, dan tidak mau makan. Liat badan kamu sudah seperti tengkorak hidup. Apa kamu nggak kasihan sama diri kamu sendiri, Vani. Di dunia ini hampir tidak ada orang y