LOGINSilvia menghampiri putranya yang berdiri di dekat gerbang sekolah.
"Bintang!" Silvia melambai dengan sebuah paperbag berisi mainan. Bocah taman kanak-kanak itu tersentak kaget. Rona wajahnya memudar, gerak langkah mundur perlahan ke belakang.Silvia menarik bibirnya sekilas karena tak suka melihat reaksi putranya. “Bintang, ini Mama, Sayang. Mama bawa mainan kesukaan kamu. Kamu mau kan?” Suaranya lembut, berusaha menenangkan, walau di hati terasa berbeda. Namun bocah kecil itu justru semakin bersembunyi di balik tubuh seorang wanita berseragam guru.Silvia kesal, tetapi sebisa mungkin menyembunyikan semuanya. Setelah mengurung diri dan menyelesaikan dua masalah yang tiba-tiba menghampirinya. Silvia memutuskan untuk mengambil putranya untuk ikut dengannya. Hanya dengan itu dia bisa kembali masuk ke dalam keluarga Anggara.Silvia tahu betul berapa besar rasa sayang yang diberikan wanita yang seharusnya menjadi mertuanya itu.“Ngapain Mama ke sini?” suara Bi"Perbedaan?" Nadira menaikkan salah satu alihnya pertanda ia mulai tertarik dengan obrolan mereka yang canggung. “Iya, sikap manjamu seakan tak bisa melakukan apa pun—berbanding terbalik dengan Leya yang selalu mandiri.” Nirwan mengatakannya dengan nada hati-hati, seolah setiap kata dipilih agar tidak melukai. Tetapi kalimat itu tetap saja membuat dada Nadira menghangat, bukan marah, hanya … tersentuh dan sedikit tersindir. “Manja?” Nadira mengulang kata itu sambil menyandarkan kepala pada jendela, matanya mengarah ke jalanan yang padat. “Aku tidak manja. Aku hanya … terbiasa ditemani.” Nirwan melirik sekilas. “Itu bukan sesuatu yang buruk, kamu tahu. Sikapmu membuatku seakan dibutuhkan." Nadira memajukan bibirnya seraya berdecak. "Memangnya kapan aku bersikap manja padamu?" Nadira mencoba mengingat-ingat setiap hal yang ia lakukan pada saat mereka bersama. Ia merasa dirinya tak bersikap seperti yang Nirwan ucap
Silvia kembali datang ke kediaman keluarga Anggara, seperti halnya yang sering ia lakukan di masa lalu. Ia kerap datang hanya untuk meminta biaya hidup berdalih dengan alasan Bintang. "Kenapa tidak kamu bawa Bintang ke sini? Bagaimana kondisinya, apa dia sehat?" tanya Liliana setelah menyerahkan uang yang ada di dalam amplop ke tangan Silvia. Silvia tersenyum bahagia. Amplop coklat yang ia pegang terasa tebal. "Keadaannya sehat," jawabnya acuh tak acuh. Silvia mengintip ke dalam amplop tersebut, memeriksa sekilas lembaran uang pecahan berwarna biru itu."Bawa Bintang ke sini, biar Mama yang merawatnya. Mama yakin kamu tak akan mungkin merawatnya dengan baik. Kasihan anak itu ... dia pasti kesepian seorang diri di rumat setiap kamu tinggal begini."Liliana menghela napas panjang, suaranya bergetar oleh kekhawatiran yang sudah lama ia tahan. Namun Silvia hanya menutup amplop itu, meremasnya sedikit seolah memastikan isinya benar-benar nyata, lalu memasukkannya k
Hari ini hari di mana Mas Abram melamarku. Ia begitu romantis, baik dan juga penyayang. Katakan ... apa lagi yang membuatku menolaknya? "Abram?" gumam Nadira setelah membaca bait pertama pada bagian depan buku tersebut. "Sepertinya buku ini adalah dairy pribadiku." Nadira mencoba mengingat apakah ada memory yang tersimpan di kepalanya, namun nihil. Ia kembali membaca kelanjutan yang tertulis di dalamnya. Semua hal yang telah terjadi dari hari ke hari, tertulis dengan singkat dan jelas di dalam buku tersebut hingga sebuah perselingkuhan yang membawa nama Arsya di sebutkan di dalamnya. Nadira menutup mulutnya karena terkejut. Ia kembali teringat pada percakapan antara dirinya dan Arsya terakhir kali. "Jadi apa yang dia katakan saat itu semuanya bohong. Pintar sekali dia memutar balikkan fakta," ujarnya geram. Nadira ingin kembali melanjutkan kembali membaca isi dari buku tersebut, namun ia kembali teringat akan sesuatu. Na
Semalaman Nadira tak bisa tidur. Perbincangannya dengan Sartika terus hingga di kepalanya. Kemungkinan-kemungkinan buruk di balik peristiwa kelam yang telah ia hadapi dan belum semuanya ia ingat. Detak jam pun terus berputar menjadi teman dalam keheningan malamnya. Hingga jam berputar di angka tiga subuh barulah mata dengan bulu lentik itu terpejam. Dengkuran kecil terdengar dari bibir tanpa ronanya. Semilir angin subuh menyelinap lewat celah jendela kamar, menggoyangkan tirai tipis yang menggantung lemas. Nadira tidak merasakannya. Tubuhnya akhirnya menyerah setelah berjam-jam dipaksa berjaga. Namun ketenangan itu tidak bertahan lama. Sekitar satu jam setelah ia terlelap, napasnya mulai tidak stabil. Alisnya berkerut, seperti seseorang yang tengah mencoba melawan sesuatu dalam mimpi. Jari-jari tangannya sedikit menggenggam seprai, seolah ingin berpegangan pada sesuatu yang tak ada wujudnya. Dalam tidurnya, bayangan samar itu kemba
Silvia duduk di ruang tamu seolah tempat itu miliknya. Gerakannya tenang—terlalu tenang. Dress birunya rapi tanpa satu kerutan, rambut diikat rapi, namun kantung mata hitam yang ia tutupi dengan concealer tetap mencolok. Concealer itu tidak mampu menyembunyikan kelelahan yang sudah berhari-hari terpendam, apalagi kegelisahan yang lebih dalam daripada yang ia perlihatkan.Liliana memperhatikannya dari seberang meja. Alisnya terangkat sedikit. Ada sesuatu dalam cara Silvia menautkan kaki dan menyandarkan tubuh, suatu ketenangan yang tidak wajar, ketenangan yang justru menimbulkan rasa was-was. Ruang tamu itu hening, tetapi Liliana merasakan ketegangan seperti selimut tipis yang mencekik.“Kenapa kamu hanya datang sendirian? Di mana Bintang?” akhirnya ia bertanya, suaranya terkontrol tetapi dingin.Silvia tidak langsung menjawab. Ia mengusap ujung lengannya, gerakan kecil yang tampak seperti refleks untuk menenangkan diri. Senyumnya tetap, tapi retakan itu terliha
“Dari mana kamu mendapatkan foto ini, Nak?” Pertanyaan itu terdengar pelan, hampir seperti bisikan. Bukan kemarahan, namun lebih seperti seseorang yang baru saja dipaksa membuka luka lama. Nadira berdiri kaku. Ia tidak menduga respon ibunya akan seperti ini. “Aku … menemukan itu di dalam buku tua, Ma. Yang ada di rak paling bawah.” Sartika tidak menjawab. Ia hanya menatap foto itu lama sekali, jauh lebih lama daripada seharusnya. Sorot matanya melembut, tapi bukan lembut yang nyaman—melainkan lembut yang patah. “Buku itu Mama simpan supaya … tidak ada yang menemukannya lagi,” ucapnya dengan suara serak. Tatapan mata yang rapuh itu cukup menjelaskan beberapa hal tentang gadis yang ada di dalam foto. Nadira menelan ludah. “Apa wanita itu sangat berharga bagi Mama. Siapa dia?” “Tentu saja sangat berharga dan tak tergantikan,” potong Sartika cepat, tapi nada suaranya rapuh. “Dia sosok yang selalu Mama rindukan hingga detik ini.







