Share

Bab 7 : Ingatan Samar

Author: Diyah Islami
last update Last Updated: 2025-12-04 20:46:01

Pagi itu Zara bangun dalam keadaan setengah sadar, ia duduk cukup lama di atas ranjang sembari menatap sisi ranjang satunya yang tak ia tempati, kosong.

“Kayak ada yang aneh.” Ia beranjak turun dari ranjangnya, memutari isi kamar dan menemukan sesuatu yang sedari tadi membuatnya merasa aneh.

“Mas Halim,” panggilnya pada lelaki yang tengah meringkuk tanpa selimut di sofa. “Mas Halim kenapa tidur di sini? Bukannya tadi malam tidur di ranjang?”

Halim tersentak, ia menguap lebar. Matanya merah dengan kantung mata hitam. Hampir semalaman ia tak bisa tidur dan berusaha untuk tetap terlelap, namun tidak bisa. Pandangannya beralih pada Zara yang berdiri di hadapannya.

“Astaga! Mas kenapa? Sakit?”

Halim menggeleng, ia bangkit dari posisi tidurannya.

“Aku tak bisa tidur.”

“Kenapa?”

Lelaki itu termenung, ingatannya melayang pada malam di mana ia masih tidur di atas ranjang, tepat di sebelah Zara. Wanita itu… hampir memeluknya, hal yang membuat Halim kelabakan dan memutuskan untuk tidur di sofa. Tapi entah kenapa ia malah tak bisa tidur sampai pagi ini. Ada sedikit penyesalan kenapa ia memilih menghindar malam tadi.

“Insomnia,” ucapnya beralasan.

“Kenapa gak ngomong?”

“Kadang-kadang aja kambuhnya.”

“Seharusnya kamu bilang, biar aku siapin susu buat kamu sebelum tidur. Katanya minum susu bisa bikin kita lebih cepat buat tidur.”

“Susu apa?”

Halim dan Zara saling tatap untuk beberapa saat, sampai pandangan Halim mulai turun.

“Mesum!” seru Zara menutupi dadanya membuat Halim seketika tersentak kaget. Ia sama sekali tak bermaksud, tapi Zara sudah terlanjur salah paham.

“Sarah aku ….”

Wanita itu berpaling meninggalkan Halim yang terpaku di sofa, menggaruk kepalanya yang tak gatal. Sedikit merasa bersalah tapi … beberapa saat kemudian seulas senyum tipis terbit di bibirnya.

***

“Apa rencana kalian hari ini?” tanya Mama Halim saat ia dan suaminya tengah bersiap untuk pergi.

“Tidak ada, Ma,” jawab Zara cepat.

“Loh kok gak ada, Halim ajak istrimu pergi keluar, dia pasti ingin bosan setelah empat hari hanya terbaring di rumah sakit.”

Halim mendongak, menatap sang Papa yang mengedipkan sebelah matanya.

“Nanti, aku akan mengajaknya keluar.”

“Kemana?” tanya Zara.

“Kau mau diajak ke mana?”

“Boleh aku yang menentukan?”

Halim mengangguk, Zara bersorak senang.

“Ma, Pa, kami tak perlu mengantarkan ke bandara?” tanya Halim.

“Gak usah Halim, Zara juga baru pulih, nanti kalian malah capek di jalan. Ajak saja dia jalan-jalan.” Mama Halim mengusap lembut kepala Zara.

“Kami pergi dulu, ya, Nak. Semoga pernikahan kalian baik-baik saja.”

“Makasih, Ma,” ucap Zara walau sedikit bingung, pernikahannya dengan Halim baik-baik saja. Seolah nasehat dari sang mertua mengisyaratkan kalau pernikahan keduanya sedang mengalami guncangan.

Keduanya mengantarkan mobil yang ditumpangi Papa dan Mama halim hingga tak terlihat lagi. Lantas Halim melangkah masuk lebih dahulu ke dalam rumah, Zara mengikutinya dengan cepat.

“Katanya mau mengajakku jalan-jalan.”

Halim terkesiap saat Zara tiba-tiba muncul di hadapannya.

“Langsung pergi sekarang?”

Zara mengangguk dengan semangat, membuat rambut hitamnya yang ia gerai bergerak lembut mengikuti arah kepalanya.

“Pelan-pelan, kepalamu masih sakit.”

“Udah enggak kok. Mas gak ada rencana pergi ke tempat lain, kan?”

Lelaki itu menggeleng seraya meringis, Zara tampak lompat-lompat dan terlalu bersemangat hingga membuatnya sedikit khawatir.

“Kita pergi sekarang, naiklah ke kamar dan ganti bajumu, tapi jangan melompat-lompat lagi.”

“Siap Mas suami!”

Halim memejam, tak sanggup mendengar panggilan baru yang diucapkan Zara padanya.

“Nyonya Sarah sejak hilang ingatan mulai berubah, ya. Jadi lebih ceria, sama kita-kita pun jauh lebih ramah daripada sebelumnya.”

Langkah kaki Halim sejenak terhenti saat ia baru saja akan menaiki anak tangga, beberapa maid di bawah sana yang tak melihat keberadaannya tampak bercerita sembari membersihkan guci-guci mahal dari debu yang hinggap.

“Iya, kan, entah kenapa aku malah berharap Nyonya hilang ingatan terus.”

“Hust! Gak boleh gitu, kalau tuan dengar habis kamu!”

Keduanya tampak menutup mulut dan beranjak pergi tanpa tahu kalau sedari tadiHalim mendengarkan pembicaraan mereka.

Dalam diam ia melanjutkan langkahnya lagi, menyusuri tangga demi tangga dnegan tatapan kosong. Entah kenapa di sudut hatinya yang terdalam ia juga berharap akan hal itu. semoga ingatan Sarah tak pernah kembali. Ia menyukai kepribadian wanita itu yang sekarang, yang terasa dekat dengannya.

Tapi, apa mungkin?

***

“Kita mau ke mana?” tanya Halim pada Zara yang kini duduk di sebelahnya. Keduanya kini sudah berada di dalam mobil. Lelaki itu tadi sudah mendengar tujuan Zara, tapi ia entah kenapa perlu memastikannya lagi, berharap tak salah dengar.

“Panti Asuhan Mulia Karya.”

Halim tertegun, itu panti asuhan di mana ia bertemu dengan Sarah pertama kalinya. Pertemuan pertama yang tak bisa ia lupakan.

“Kenapa mau ke sana?”

Zara menggeleng, tatapannya lurus menatap jalanan dari balik kaca mobil

“Tadi malam aku bermimpi, tentang panti asuhan itu, entah kenapa aku merasa ada hubungannya denganku. Entah aku bisa mengingat sesuatu jika ke sana.”

“Kau ingin ingatanmu kembali?”

“Tentu saja, Mas. Walau aku tahu siapa aku dan apa statusku, tapi menjalani hidup dengan ingatan yang kosong membuatku seperti menjalani hari tanpa arah. Kadang-kadang aku perlu meyakini diri untuk mengenali diriku sendiri.”

“Mimpimu tentang apa?”

“Sederhana, aku bermain-main di sana dengan beberapa anak. Dua anak kecil berusia mungkin sekitar lima tahun, tiga anak kecil berusia sepuluh tahun dan dua anak lain yang kupikir sekitar tujuh tahunan. Oh ya, satu lagi, ada anak lelaki dengan seragam SMP sama sepertiku.”

Halim terbelalak, ia menoleh ke arah Zara dengan cepat.

“Kau ingat wajahnya?”

“Sayangnya enggak, yah, seperti mimpi pada umumnya wajah mereka semua samar-samar. Karena itu aku ingin mengajak Mas Halim kemari.”

Tatapan Halim nanar, memperhatikan Zara yang masih termenung entah memikirkan apa. Dari balik bayangan kaca mobil ia bisa melihat sorot sendu dari mata teduh wanita itu. seperti mengingat masa lalu yang sedikit kelam, tapi kenapa? Bukankah dia anak perempuan tunggal keluarga Herlan. Konglomerat tambang yang warisannya mungkin tak akan habis tujuh turunan.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Tukar Tempat Dengan Kembaranku    Bab 10 : Lelaki Itu

    Baru saja Sarah menginjakkan kakinya di pekarangan rumah usai pulang naik taksi diam-diam, ia sedikit dikagetkan dengan sedikit keributan yang terjadi di dalam rumah dan sebuah mobil putih yang terparkir asal di halaman. Karena terlihat pintu mobil itu masih terbuka dalam keadaan mobil menyala.Di tangannya masih terdapat dua kantung besar belanjaan. Masuk ke dalam rumah dengan hati-hati, Sarah mendapati seorang lelaki sedang berdebat dengan ibu mertua Zara.“Di mana Lukman? Aku ingin bicara padanya, Bu!”“Sudah kubilang dia pergi, dia gak di rumah! Lagipula kenapa kamu kemari, kamu kan sudah bilang gak akan ke sini lagi!”Sarah memicing, berjalan perlahan dan sembunyi di balik pintu, berusaha mencari tahu siapa sosok lelaki berbadan atletis itu. memanggil ibu Lukman dengan sebutan Ibu? Apa dia kakak Lukman?“Aku janji pergi jauh dan tak berhubungan dengan keluarga ini lagi saat kalian berjanji tak akan menyakiti Zara! Tapi apa? Lukman malah menikah lagi? Dia mengkhianati janjinya!”“

  • Tukar Tempat Dengan Kembaranku    Bab 9 : Zara?

    Panti asuhan itu masih berdiri dengan kokoh, beberapa anak kecil tampak berlarian di halaman yang lengkap dengan taman bermain."Di mimpiku Panti asuhan ini hampir roboh, apa sekarang sudah direnovasi? Aku pikir cuma ada dalam mimpi, ternyata panti ini beneran ada ya.""Keluarga Frederick adalah donatur tetap, panti ini dalam pengawasan keluarga kami."Zara manggut-manggut. "Karena itu Mas Halim tahu di mana panti ini saat aku menyebutkan namanya?""Tentu saja Sarah. Apa ini persis dalam mimpimu?""Sepertinya begitu, walau banyak yang berubah.""Kau mau masuk?"Zara mengangguk, namun baru satu langkah mendekat mendadap pandangannya buram telinganya mulai berdenging, suara-suara berisik di kepalanya sedikit mendominasi hingga membuatnya tak fokus.“Sarah kau baik-baik saja?” tanya Halim bingung saat wanita itu hampir saja terjatuh, untung Halim sempat menopang tubuhnya.Zara tampak kesakitan, ia terus memeangi kepalanya. Beberapa hal dari masa lalu mulai muncul di kepalanya seolah taya

  • Tukar Tempat Dengan Kembaranku    Bab 8 : Cinta Pertama

    "Jadi, apa yang kau temukan?" tanya Sarah begitu ia duduk. Beberapa kantong plastik hasil belanjaan asal-asalannya ia taruh di atas meja. Kenzo menatap wanita itu dengan alis naik sebelah."Serius? Seorang Sarah belanja ke pasar pagi-pagi?" tawa Kenzo hampir pecah andai Sarah tak melihatnya dengan tatapan ingin membunuh, lelaki itu menutup wajah dan menahan tawa sampai bahunya berguncang."Ini alasan klasik tahu, supaya bisa menemuimu juga. Lagipula aku gak ngerti soal beginian, asal ambil aja tadi.""Satu kemajuan tahu, Sarah yang hidup seperti putri raja kini bertingkah seperti upik abu.""Ken!" seru Sarah kesal, bibirnya mencebik, ia mengambil minuman Kenzo dan meneguknya hampir habis."Gak apa-apa, jadi pengalaman pertama, kan?""Ya iya, sih.""Hidup juga gak selamanya bakal di atas, jadi kamu bisa sekalian belajar. Kalau sama aku, kamu juga gak bakalan aku kasih belanja di pasar sendirian.""Lukman itu pelit, bisanya cuma kasih lima puluh ribu buat belanja sementara di rumah ada

  • Tukar Tempat Dengan Kembaranku    Bab 7 : Ingatan Samar

    Pagi itu Zara bangun dalam keadaan setengah sadar, ia duduk cukup lama di atas ranjang sembari menatap sisi ranjang satunya yang tak ia tempati, kosong.“Kayak ada yang aneh.” Ia beranjak turun dari ranjangnya, memutari isi kamar dan menemukan sesuatu yang sedari tadi membuatnya merasa aneh.“Mas Halim,” panggilnya pada lelaki yang tengah meringkuk tanpa selimut di sofa. “Mas Halim kenapa tidur di sini? Bukannya tadi malam tidur di ranjang?”Halim tersentak, ia menguap lebar. Matanya merah dengan kantung mata hitam. Hampir semalaman ia tak bisa tidur dan berusaha untuk tetap terlelap, namun tidak bisa. Pandangannya beralih pada Zara yang berdiri di hadapannya.“Astaga! Mas kenapa? Sakit?”Halim menggeleng, ia bangkit dari posisi tidurannya. “Aku tak bisa tidur.”“Kenapa?”Lelaki itu termenung, ingatannya melayang pada malam di mana ia masih tidur di atas ranjang, tepat di sebelah Zara. Wanita itu… hampir memeluknya, hal yang membuat Halim kelabakan dan memutuskan untuk tidur di sofa.

  • Tukar Tempat Dengan Kembaranku    Bab 6 : Kacau

    Baru Bangun, Aku Dipanggil ‘Nyonya’ dan Disebut Istri Konglomerat! Padahal Aku Hanya Ibu Rumah Tangga Biasa. Apa yang Sebenarnya Terjadi?!****6Sore itu dengan menggunakan uang mahar Tita, lantai satu rumah mulai direnovasi. Sarah yang berada di lantai dua bersama ibu Lukman dan Tita mulai memikirkan ide jahil lainnya. Apalagi saat dengan angkuh Tita memerintahkannya untuk membuat jus jeruk.Barang-barang elektronik di rumah ini sudah Sarah jual semua, dan dengan mudahnya Tita memerintahkan Sarah untuk memeras jeruk-jeruk itu menggunakan tangannya.“Dengan tanganku ya,” ucap Sarah geram sembari meremas-remas jeruk yang belum dicuci itu di dalam baskom besar, dengan tangan yang belum juga ia cuci. Meski sedikit menguras tenaga entah kenapa Sarah merasa puas dengan hasil perasan jeruk ala prindavan buatannya.Ia menyaring air jeruk itu dan mengumpulkan bijinya, lantas menghaluskan biji-biji jeruk itu dengan menggunakan gilingan beras. Mencampurkannya dengan air jeruk yang sudah ia pis

  • Tukar Tempat Dengan Kembaranku    Bab 5 : Satu Kamar

    “Ibu mertua, Papa mertua, senang bertemu dengan kalian,” ucap Zara ceria dengan senyum merekah. Kedua sejoli itu saling pandang, kemudian menatap Halim yang duduk di sebelah Zara.“Kata Halim kamu hilang ingatan, Nak? Benar ?” “Dokter sih bilang begitu, Ma,” jawab Zara polos. “Tapi aku masih ingat suamiku, kok, Mas Halim.Halim hampir tersedak, kedua orang tuanya saling menatap.“Ah, ya sudah kalau begitu kita makan dulu, nanti akan kita bahas ya,” ucap Papa halim mencairkan suasana yang sedikit canggung.Zara mengangguk, ia bangkit dari duduknya dan mengambil alih piring Halim.“Mas mau pakai lauk apa? Nasinya cukup segini?”“UHUKK! UHUUK!” Kali ini Halim beneran tersedak dengan batuk bertubi-tubi karena air yang seharusnya masuk ke tenggorokan malah masuk ke kerongkongannya akibat ulah Zara yang tak biasa.Wanita itu sejak menikah dengan Halim sangat jarang sekali tersenyum, bahkan menyapa kedua orang tuanya juga hanya sekedar anggukan, tidak akan senyum dengan lebar seperti tadi.

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status