ログインBaru Bangun, Aku Dipanggil ‘Nyonya’ dan Disebut Istri Konglomerat! Padahal Aku Hanya Ibu Rumah Tangga Biasa. Apa yang Sebenarnya Terjadi?!
**** 6 Sore itu dengan menggunakan uang mahar Tita, lantai satu rumah mulai direnovasi. Sarah yang berada di lantai dua bersama ibu Lukman dan Tita mulai memikirkan ide jahil lainnya. Apalagi saat dengan angkuh Tita memerintahkannya untuk membuat jus jeruk. Barang-barang elektronik di rumah ini sudah Sarah jual semua, dan dengan mudahnya Tita memerintahkan Sarah untuk memeras jeruk-jeruk itu menggunakan tangannya. “Dengan tanganku ya,” ucap Sarah geram sembari meremas-remas jeruk yang belum dicuci itu di dalam baskom besar, dengan tangan yang belum juga ia cuci. Meski sedikit menguras tenaga entah kenapa Sarah merasa puas dengan hasil perasan jeruk ala prindavan buatannya. Ia menyaring air jeruk itu dan mengumpulkan bijinya, lantas menghaluskan biji-biji jeruk itu dengan menggunakan gilingan beras. Mencampurkannya dengan air jeruk yang sudah ia pisahkan, Sarah menambahkan beberapa sendok gula. “Perfect,” ucapnya dengan senyum merekah. Ia membawa dua cangkir besar jus jeruk itu ke balkon, tempat di mana Tita dan ibu Lukman sedang duduk santai. “Ini jus jeruknya.” “Lama banget, bikin ginian doang,” ucap Ibu Lukman dengan tatapan sinis. “Gak ada esnya ini?” “Ibu, kan, tahu kulkas kita baru aja dicuri, jadi gak ada es di rumah ini.” “Ya kamu inisiatif beli es batu di mana kek.” “Maaf Bu, gak kepikiran.” Ibu Lukman menarik nafas panjang seraya mengambil salah satu dari dua gelas yang dihidangkan Sarah. “Payah, punya menantu lemot.” “Cih! Kok pahit banget!” seru Tita sembari memuntahkan jus jeruk yang baru saja ia minum, ibu Lukman yang baru saja menenggak juga kaget. “Kamu taruh apa Zara? Kamu mau racuni kita ya?” Ibu Lukman meliriknya tajam, Sarah buru-buru menggeleng. “Gak mungkin, Bu. Jeruknya yang memang pahit kali,” ucapnya asal. Lukman kemudian datang, menyela di saat ibunya hendak membantah perkataan Sarah. “Lantai satu akan kembali seperti semula sore ini, barang-barang yang berserakan juga sudah dibereskan. Aku akan menempati kamar utama bersama Tita, ibu seperti biasa di kamar sebelahnya. Sementara Zara, kau akan menempati kamar di lantai dua.” Sarah mengangkat bahu, merasa tak mempermasalahkan semua itu, baginya justru itu hal bagus ia bisa bebas menempati lantai dua ini sendirian. “Kau harus sadar diri Zara, Tita lagi hamil jadi dia yang pantas tidur di kamar utama karena harus mendapatkan perhatian lebih.” “Aku tak masalah, Bu. Aku juga gak protes, kan?” tukas Sarah. “Ingat, ya, Mbak Zara. Ini udah disepakati, jangan sampe nanti kamu protes dan marah-marah samaku. Aku mau tenang di sini biar bayiku yang akan jadi keturunan pertama Mas Lukman bisa lahir dengan sehat.” “Terserah, aku bilang tak mempermasalahkannya jadi gak usah khawatir.” Sarah mengalihkan tatapannya, muak, saat itulah matanya bertemu dengan Lukman yang sedari tadi memperhatikannya dengan pandnagan yang … entah tak Sarah mengerti. Lagipula apa pedulinya? *** “Yah, biasanya rumah diberesin, pakaian dicuciin, ranjang dibenerin, mandi juga digosokin, sekarang semuanya serba sendiri.” Sarah menghela nafas berat sembari menarik ujung sprei dengan susah payah. Memasangnya sendiri butuh waktu, apalagi ranjang yang akan ia tempati bukan ranjang mewah yang biasa ia tempati di rumah. Usai merapikan isi kamar yang bahkan tak sampai seperempat kamarnya itu, Sarah merebahkan diri. Ia menghidupkan kipas portable canggih yang bisa mengeluarkan udara dingin seperti pendingin ruangan yang sengaja ia sembunyikan. Keringatnya mengalir deras seolah baru saja olahraga lari sekian kilometer. “Zara sedang apa, ya, di sana? Apa dia baik-baik saja?” ia menatap langit-langit plafon dengan pandangan menerawang. Sejak bertemu saat Zara hampir mati karena mencoba bunuh diri di sungai kala itu dan Sarah membawanya ke rumah sakit, Sarah sama sekali belum menemui Zara lagi. Entahpun kembarannya tak sadar kalau ia masih punya saudara yang memperjuangkan kebahagiannya seperti Sarah. Tok! Tok! Tok! Sarah terlonjak, sadar dari lamunannya. Ia bangkit dari tempat tidur demi melihat siapa orang yang mengganggu istirahatnya di jam dua belas malam ini. “Mas Lukman?” ucapnya dengan tatapan bingung. Lelaki itu berdiri di depan kamarnya dengan wajah resah seolah ingin menyampaikan sesuatu. “Zara kamu gak apa-apa, kan? Kamu gak merasa marah karena Tita menempati kamarmu, kan?” “Kenapa tanya begitu? Menurutmu sendiri gimana? Hari di mana kamu bilang kalau akan menikah lagi menurutmu sehancur apa aku? Sampai aku celaka dan dirawat di rumah sakitpun kamu juga gak peduli sama sekali.” “Aku minta maaf, Zara. Ini aku lakukan karena terpaksa. Tita itu teman kerjaku, kami gak dekat hanya sekedar saling sapa. Tapi malam itu aku khilaf, gak tahu ujungnya dia bakal mengandung. Tapi bukannya itu kesempatan bagus, kita bisa punya anak, kan? Anak yang dia lahirkan juga bisa jadi anakmu.” “Gila, aku gak habis pikir sama isi kepalamu, Mas. Coba dibelah, ingin tahu aku apa isinya.” “Aku masih cinta kamu Zara, itu alasan aku gak ceraikan kamu. Aku harap kamu tetap mau berada di sisiku dan gak akan ninggalin aku.” Sarah mendelik, seketika merasa mual. Setelah semua yang terjadi Lukman masih cinta katanya? Laki-laki ini mulutnya manis sekali, mungkin ini yang ia lakukan untuk menarik perhatian Zara dahulu. “Kalau kamu cinta kamu gak akan pernah kepikiran buat main belakang sama wanita lain.” “Aku nikahi Tita supaya kita punya keturunan, seharusnya kamu juga mikir kesitu.” Sarah menggeleng, pusing. Lelaki ini berpikir seperti tidak pernah disekolahkan. “Tergantung ke depannya gimana, entah aku tetap milih bertahan atau kamu yang gak bakalan kuat sama tingkahku nanti.” “Maksudnya?” Sarah memijit pangkal hidungnya, hal sesederhana itupun lelaki itu gak bisa mikir. Entah dapat di comberan mana Zara lelaki macam ini, bisa sampai jadi suami lagi. “Mas Lukman!” Terdengar suara Tita memanggil dari lantai bawah. Nadanya yang terdengar merengek membuat Lukman seketika lupa apa yang baru saja dikatakannya pada Sarah yang berpura-pura menjadi Zara. “Aku ke bawah dulu, dia lebih perlu aku sekarang. Aku akan berusaha adil Zara, membagi waktuku untuk dia dan juga untukmu.” Sarah mendelik tak suka, menatap punggung lelaki yang sedang menuruni tangga itu dengan mual yang ia tahan setengah mati. “Dih! Siapa elu?” serunya pelan. “Sok kecakepan banget buset dah! Hueeek! Ambil aja Tita, ambil! Zara juga pasti gak sudi make bekas lu! Hihh!” Sarah bergidik, memeluk dirinya sendiri dan membanting pintu kamar sembari mengucapkan kata amit-amit berulangkali.Baru saja Sarah menginjakkan kakinya di pekarangan rumah usai pulang naik taksi diam-diam, ia sedikit dikagetkan dengan sedikit keributan yang terjadi di dalam rumah dan sebuah mobil putih yang terparkir asal di halaman. Karena terlihat pintu mobil itu masih terbuka dalam keadaan mobil menyala.Di tangannya masih terdapat dua kantung besar belanjaan. Masuk ke dalam rumah dengan hati-hati, Sarah mendapati seorang lelaki sedang berdebat dengan ibu mertua Zara.“Di mana Lukman? Aku ingin bicara padanya, Bu!”“Sudah kubilang dia pergi, dia gak di rumah! Lagipula kenapa kamu kemari, kamu kan sudah bilang gak akan ke sini lagi!”Sarah memicing, berjalan perlahan dan sembunyi di balik pintu, berusaha mencari tahu siapa sosok lelaki berbadan atletis itu. memanggil ibu Lukman dengan sebutan Ibu? Apa dia kakak Lukman?“Aku janji pergi jauh dan tak berhubungan dengan keluarga ini lagi saat kalian berjanji tak akan menyakiti Zara! Tapi apa? Lukman malah menikah lagi? Dia mengkhianati janjinya!”“
Panti asuhan itu masih berdiri dengan kokoh, beberapa anak kecil tampak berlarian di halaman yang lengkap dengan taman bermain."Di mimpiku Panti asuhan ini hampir roboh, apa sekarang sudah direnovasi? Aku pikir cuma ada dalam mimpi, ternyata panti ini beneran ada ya.""Keluarga Frederick adalah donatur tetap, panti ini dalam pengawasan keluarga kami."Zara manggut-manggut. "Karena itu Mas Halim tahu di mana panti ini saat aku menyebutkan namanya?""Tentu saja Sarah. Apa ini persis dalam mimpimu?""Sepertinya begitu, walau banyak yang berubah.""Kau mau masuk?"Zara mengangguk, namun baru satu langkah mendekat mendadap pandangannya buram telinganya mulai berdenging, suara-suara berisik di kepalanya sedikit mendominasi hingga membuatnya tak fokus.“Sarah kau baik-baik saja?” tanya Halim bingung saat wanita itu hampir saja terjatuh, untung Halim sempat menopang tubuhnya.Zara tampak kesakitan, ia terus memeangi kepalanya. Beberapa hal dari masa lalu mulai muncul di kepalanya seolah taya
"Jadi, apa yang kau temukan?" tanya Sarah begitu ia duduk. Beberapa kantong plastik hasil belanjaan asal-asalannya ia taruh di atas meja. Kenzo menatap wanita itu dengan alis naik sebelah."Serius? Seorang Sarah belanja ke pasar pagi-pagi?" tawa Kenzo hampir pecah andai Sarah tak melihatnya dengan tatapan ingin membunuh, lelaki itu menutup wajah dan menahan tawa sampai bahunya berguncang."Ini alasan klasik tahu, supaya bisa menemuimu juga. Lagipula aku gak ngerti soal beginian, asal ambil aja tadi.""Satu kemajuan tahu, Sarah yang hidup seperti putri raja kini bertingkah seperti upik abu.""Ken!" seru Sarah kesal, bibirnya mencebik, ia mengambil minuman Kenzo dan meneguknya hampir habis."Gak apa-apa, jadi pengalaman pertama, kan?""Ya iya, sih.""Hidup juga gak selamanya bakal di atas, jadi kamu bisa sekalian belajar. Kalau sama aku, kamu juga gak bakalan aku kasih belanja di pasar sendirian.""Lukman itu pelit, bisanya cuma kasih lima puluh ribu buat belanja sementara di rumah ada
Pagi itu Zara bangun dalam keadaan setengah sadar, ia duduk cukup lama di atas ranjang sembari menatap sisi ranjang satunya yang tak ia tempati, kosong.“Kayak ada yang aneh.” Ia beranjak turun dari ranjangnya, memutari isi kamar dan menemukan sesuatu yang sedari tadi membuatnya merasa aneh.“Mas Halim,” panggilnya pada lelaki yang tengah meringkuk tanpa selimut di sofa. “Mas Halim kenapa tidur di sini? Bukannya tadi malam tidur di ranjang?”Halim tersentak, ia menguap lebar. Matanya merah dengan kantung mata hitam. Hampir semalaman ia tak bisa tidur dan berusaha untuk tetap terlelap, namun tidak bisa. Pandangannya beralih pada Zara yang berdiri di hadapannya.“Astaga! Mas kenapa? Sakit?”Halim menggeleng, ia bangkit dari posisi tidurannya. “Aku tak bisa tidur.”“Kenapa?”Lelaki itu termenung, ingatannya melayang pada malam di mana ia masih tidur di atas ranjang, tepat di sebelah Zara. Wanita itu… hampir memeluknya, hal yang membuat Halim kelabakan dan memutuskan untuk tidur di sofa.
Baru Bangun, Aku Dipanggil ‘Nyonya’ dan Disebut Istri Konglomerat! Padahal Aku Hanya Ibu Rumah Tangga Biasa. Apa yang Sebenarnya Terjadi?!****6Sore itu dengan menggunakan uang mahar Tita, lantai satu rumah mulai direnovasi. Sarah yang berada di lantai dua bersama ibu Lukman dan Tita mulai memikirkan ide jahil lainnya. Apalagi saat dengan angkuh Tita memerintahkannya untuk membuat jus jeruk.Barang-barang elektronik di rumah ini sudah Sarah jual semua, dan dengan mudahnya Tita memerintahkan Sarah untuk memeras jeruk-jeruk itu menggunakan tangannya.“Dengan tanganku ya,” ucap Sarah geram sembari meremas-remas jeruk yang belum dicuci itu di dalam baskom besar, dengan tangan yang belum juga ia cuci. Meski sedikit menguras tenaga entah kenapa Sarah merasa puas dengan hasil perasan jeruk ala prindavan buatannya.Ia menyaring air jeruk itu dan mengumpulkan bijinya, lantas menghaluskan biji-biji jeruk itu dengan menggunakan gilingan beras. Mencampurkannya dengan air jeruk yang sudah ia pis
“Ibu mertua, Papa mertua, senang bertemu dengan kalian,” ucap Zara ceria dengan senyum merekah. Kedua sejoli itu saling pandang, kemudian menatap Halim yang duduk di sebelah Zara.“Kata Halim kamu hilang ingatan, Nak? Benar ?” “Dokter sih bilang begitu, Ma,” jawab Zara polos. “Tapi aku masih ingat suamiku, kok, Mas Halim.Halim hampir tersedak, kedua orang tuanya saling menatap.“Ah, ya sudah kalau begitu kita makan dulu, nanti akan kita bahas ya,” ucap Papa halim mencairkan suasana yang sedikit canggung.Zara mengangguk, ia bangkit dari duduknya dan mengambil alih piring Halim.“Mas mau pakai lauk apa? Nasinya cukup segini?”“UHUKK! UHUUK!” Kali ini Halim beneran tersedak dengan batuk bertubi-tubi karena air yang seharusnya masuk ke tenggorokan malah masuk ke kerongkongannya akibat ulah Zara yang tak biasa.Wanita itu sejak menikah dengan Halim sangat jarang sekali tersenyum, bahkan menyapa kedua orang tuanya juga hanya sekedar anggukan, tidak akan senyum dengan lebar seperti tadi.







